Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Siapakah Fatimah Az-zahra...?

  • Sosok wanita baru dalam cerita ini

    Votes: 62 23,7%
  • Sosok wanita yang menyamar dalam cerita ini

    Votes: 200 76,3%

  • Total voters
    262
Selamat Sore Semua....!

Apa kabar suhu-suhu, om-om, semua reader di thread Pelarian Cinta?

Mohon maaf beberapa hari ini jarang online selain karena kesibukan ane di RL, juga bermasalah di HP dan jaringan.

Untuk chapter 34 sebenarnya sudah selesai ane tulis, dan belum sempat ane edit, Sekalian nunggu sinyal stabil ane usahakan update insya allah dalam waktu dekat...

Mohon sabar dan dimaklumi...:ampun:
 
Chapter 34. Berjuanglah! Kami Sayang Kalian Berdua, Selamat Jalan Mas Prima


Cuplikan chapter sebelumnya...


Beberapa menit kemudian...


Setelah kondisi kejiwaan mereka semua sudah bisa tenang dan sudah bisa menerima kenyataan. dr. Heru kemudian mengajak mereka semua ke ruangan ICU dimana Dewi dan Akbar di tempatkan di ruangan yang sama, kecuali Adit yang dimintai keterangan oleh Ipda Haris Ardiansyah.

Ipda Haris Ardiansyah mengajak Adit berbicara di sebuah ruangan yang sudah disiapkan oleh dr. Heru Ismail.

Setelah mereka duduk Ipda Haris Ardiansyah berkenalan terlebih dahulu sebelum ia mulai meminta keterangan Adit untuk penyelidikan kasus kecelakaan ini selanjutnya.

"Pak Adit," Serunya mulai menginterogasi Adit. "Jam berapakah pak Prima beserta anak dan istrinya bertolak dari kediaman anda di kota Depok?"

"Mereka bertolak dari rumah kontrakan kami sekitar pukul 20:30 wib." Jawab Adit dengan cepat dan penuh keyakinan.

"Apa hubungan anda dengan pak Prima?" Tanya Ipda Haris selanjutnya.

"Almarhum adalah kakak kandung dari istri saya." Jawab Adit tegas memberitahu. "Cinta Rahayu Pramudya nama istri saya adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan suami istri Pramudya Adi Pratama dengan Sekar Rahayu Sukmawati."

"Jam berapakah almarhum datang ke rumah anda Pak Adit?" Tanyanya lagi.

"Mas Prima sampai di rumah kontrakan kami sekitat pukul 17:00 wib," Jawab Adit yakin dan tegas. "Sebagai informasi saja, Pak. Saya dapat informasi dari istri saya bahwa pagi tadi almarhum pergi ke kantor pusat di Jakarta Pusat untuk meeting."

"Ok, Pak Adit," ucapnya sambil tersenyum sumringah pada Adit. "Terima kasih atas informasinya, nanti apabila pihak kepolisian membutuhkan keterangan lebih lanjut, apakah Pak Adit bersedia?"

"Sama-sama, Pak Haris," sahut Adit tanggap. "Jika Bapak dan pihak kepolisian masih membutuhkan informasi tambahan, saya sangat terbuka untuk memberikan keterangan selanjutnya sesuai dengan yang saya ketahui."

Setelah keduanya selesai berbicara empat mata, Ipda Haris Ardiansyah kemudian mengajak Adit menuju ruang ICU yang berada di lantai 3.
.
.
.
icu-baru-rsup-kandou_20161223_172424.jpg

Ilustrari ruang ICU sebelum Dewi dan Akbar dipindahkan​

Ruang ICU RS. HARAPAN BERSAMA-SAMA...

Ruang ICU atau Intensive Care Unit terletak di lantai tiga. Di dalam ruangan tersebut terdapat dua orang terbaring koma di atas kedua ranjang yang berdampingan. Dewi Safitri adalah istri dari almarhum Prima Sukmawan Pramudya dan Akbar Maulana Putra, putra satu-satunya dari pasutri tersebut, setelah beberapa jam lalu mereka bertiga mengalami kecelakaan lalu lintas yang sangat memprihatinkan.

Kini ibu dan anak tersebut, terbaring koma. Semua alat bantu medis rumah sakit sudah terpasang di beberapa bagian tubuh keduanya. Selang infus menancap di kedua lengan Dewi dan Akbar, kantong darah pun telah terpasang berdampingan dengan botol infus, kedua benda tersebut bergelantungan di tiang infus, kedua selang dari kedua benda itu telah mengalir ke tubuh Dewi dan Akbar. Sementara itu, alat bantu pernafasan juga telah terpasang di mulut dan hidung mereka berdua. Dan tak ketinggalan dua buah alat pendeteksi jantung atau ECG juga telah bekerja terpasang baik di dada Dewi dan Akbar.

Hanya bunyi helaan nafas keduanya dan alat ECG yang bekerja menampilkan grafik naik turun sebagai simbol bahwa jantung keduanya masih bekerja, sekaligus menandakan bahwa keduanya masih bernyawa.

Selain Dewi dan Akbar di dalam ruangan tersebut ada seorang suster yang standby menjaga serta memantau kondisi Dewi dan Akbar. Suster tersebut melihat, memantau dan memeriksa keduanya. Memastikan bahwa alat-alat medis tersebut bisa bekerja dengan baik.
.
.
.
Lantai 3 RS. HARAPAN BERSAMA-SAMA....


Mereka semua telah sampai di lantai 3, di hadapan mereka terlihat sebuah ruangan kaca. ICU room nama yang tertera di atas pintu masuknya. dr. Heru Ismail berhenti sejenak, lalu ia berkata di hadapan Pramudya, Cinta, Jelita, Hartono serta kedua orangtuanya Dewi.

"Mohon maaf, sebelum Bapak dan Ibu masuk ke dalam! Saya hanya mengingatkan." Seru dr. Haris memberitahu. "Sesuai peraturan rumah sakit hanya diperbolehkan 2 orang yang boleh masuk ke dalam, dan bisa Bapak dan Ibu bergantian nanti masuk ke dalam. Dan satu lagi jangan berisik dan menimbulkan gaduh di dalam sana! Ini semua demi kenyamanan pasien!"

"Iya, Dok. Kami mengerti." Sahut Pramudya mewakili yang lainnya.

Sesaat dr. Heru sedang mengetik pesan lewat ponselnya, dan setelah selesai, ia kembali mematikan ponselnya tersebut.

"Silahkan kalau ingin melihat kondisi pasien di dalam!" Ujar dr. Heru lalu ia menoleh sejenak ke Pramudya dan papanya Dewi. "Tetapi untuk Pak Pramudya dan Pak Anggoro, boleh ikut sebentar ke ruangan saya. Ada yang harus kita obrolin."

"Boleh dok," Jawab Anggoro cepat.

Diikuti oleh anggukan kepala Pramudya.

"Har, papa titip mereka semua padamu ya, Nak!" Pesan Pramudya kepada menantunya berbicara pelan. "Tolong diingatkan supaya jangan bersuara di dalam ya, Nak."

"Iya, Pa." Jawab Hartono pada mertuanya.

Selesai Pramudya berbicara denga Hartono menantunya, ia dan besannya mengikuti dr. Heru Ismail yang berjalan terlebih dahulu menuju ke ruangan direktur rumah sakit Harapan Bersama-sama.
.
.
.
Ruang Direktur Rumah Sakit Harapan Bersama-sama...

Setelah sampai di ruangan tersebut, dr. Heru mempersilahkan tamunya duduk.

"Sebelumnya saya mewakili manajemen dan karyawan rumah sakit Harapan Bersama-sama mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya Bapak Prima Sukmawan Pramudya." Ucap dr. Heru mengawali obrolan mereka.

"Iya, Dok." Sahut Pramudya menanggapi.

"Terima kasih dok atas kepeduliannya." Sahut Anggoro menambahi.

Namun sebelum dr. Heru Ismail menjelaskan lebih lanjut, terdengar suara ketukan pintu dari luar.

Tok... Tok... Tok...

Muncullah Ipda Haris Ardiansyah, langsung beliau masuk ke dalam ruangan tersebut dan segera bergabung bersama mereka, duduk di samping dr. Heru Ismail.

"Baiklah kita mulai saja pembicaraan kita. Kebetulan di sini sudah ada Ipda Haris Ardiansyah, beliau yang akan menjelaskan kronologi kejadian di lapangan sampai semua korban di bawa ke rumah sakit ini." Ucap dr. Heru Ismail memberitahu. "Silahkan Bapak Ipda Haris untuk menjelaskan kepada keluarga korban."

Ipda Haris Ardiansyah mulai bersuara, beliau mulai menceritakan kronologi kejadiannya di TKP. Sementara itu Pramudya dan Anggoro mendengarkan semua perkataan Ipda Haris Ardiansyah dengan serius.

"Saya sedang melakukan perjalanan pulang dari kantor Polsek Depok ke rumahku di kawasan Jakarta Selatan. Ketika mobil saya melintasi tempat kejadian, telah banyak warga sekitar berkerumun. Segera saya menepikan kendaraan untuk melihat lebih dekat apa yang sedang terjadi di sana! Setelah mengetahui ada kecelakaan lalu lintas, segera saya menghubungi anak buah saya di Polsek Depok, dan juga meminta mereka membawa mobil derek, meminta menghubungi pihak rumah sakit terdekat untuk membantu korban yang selamat.

Setelah menghubungi markas melalui HT atau Handy Talky, lalu saya mendekati kerumunan warga.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Saya menghimbau, jangan ada yang mendekat ke mobil tersebut, biarlah nanti petugas kami yang akan menanganinya. Supaya tidak ada barang bukti yang hilang. Silahkan kalian semua bubar!"

Para warga mulai membubarkan diri, namun ada sebagian warga yang peduli tetap berada di lokasi menemani saya waktu itu.

15 menit kemudian....

Bunyi iring-iringan mobil dari kesatuan saya bersama mobil ambulance dari Unit Satuan LAKALANTAS sudah sampai di TKP.

Dengan sigap petugas dari kami melakukan pertolongan pertama, mengeluarkan korban dari mobil tersebut dimana posisi mobil terbalik dengan roda kendaraan menghadap ke atas.

Satu persatu korban bisa segera di evakuasi dari mobil Toyota Fortuner plat B XXXX PSP tersebut. Segera dibawa masuk ke dalam mobil ambulance. Dua orang di antara korban kecelakaan tersebut masih bernafas dan segera dilakukan tindakan pertolongan pertama oleh petugas kesehatan kami. Namun sayang seorang korban laki-laki dewasa dinyatakan meninggal dunia sekitar 30 menit lalu. Dan lelaki tersebut adalah Prima Sukmawan Pramudya. Petugas kesehatan kami segera membawa korban ke RS. HARAPAN BERSAMA-SAMA dengan pertimbangan jarak tempuh. RS HARAPAN BERSAMA-SAMA jaraknya lebih dekat bila dibandingkan dibawa ke Jakarta atau ke RS. Bhayangkara Polri.

Sementara itu, Unit Satuan LAKALANTAS mengevakuasi mobil korban sebagai barang bukti untuk penyelidikan selanjutnya, dan sekarang sudah diamankan di Polsek Depok.

Di tempat kejadian perkara atau TKP sudah dipasangi oleh police line atau garis polisi.

Barang bukti lainnya berupa identitas KTP, tas kerja, dompet dan lain-lain sementara kami amankan bersama mobil Toyota Fortuner berwarna hitam nopol B XXXX PSP di Unit Satuan LAKALANTAS Polsek Depok, mungkin hanya ini yang bisa saya informasikan kepada bapak-bapak."


Setelah Ipda Haris Ardiansyah selesai berbicara dr. Heru Ismail kemudian melanjutkannya. Dokter Heru menjelaskan tentang penanganan korban setelah sampai di rumah sakit.

"Saya informasikan kepada Bapak-Bapak, bahwa ketiga korban kecelakaan tersebut tiba di rumah sakit kami pada pukul 22:30 wib, diantar oleh petugas dari Unit Satuan LAKALANTAS Kepolisian Sektor Kota Depok menggunakan ambulance, itu sesuai dengan laporan dari IGD atau Instalasi Gawat Darurat.

Telah dilakukan tindakan medis untuk menyelamatkan kedua korban yang masih hidup, salah satunya dengan segera memberikan transfusi darah dan tindakan medis lainnya. Melihat kondisi kedua pasien yang mengalami pendarahan di bagian kepala, saya selaku kepala rumah sakit ini mengambil sikap dan keputusan untuk segera membawa korban kecelakaan yang masih hidup, untuk dipindahkan ke ruang ICU supaya penanganannya lebih intensif dan terpantau.

Untuk selanjutnya kami dari manajemen berharap pihak keluarga bersedia menandatangani surat ini."

Dokter Heru Ismail menyerahkan selembar kertas yang berisikan surat pernyataan dari pihak keluarga untuk menyerahkan sepenuhnya penangan medis pada pihak rumah sakit.

Pramudya menatap sejenak Anggoro, dan Anggoro memberi anggukan kepalanya pada Pramudya.

"Setelah saya tanda tangani surat pernyataan ini, saya berharap rumah sakit ini terutama dr. Heru memprioritaskan penanganan buat menantu dan cucu saya." Pramudya menjelaskan maksud dan harapannya. "Berapapun biayanya saya dan besan saya tidak mempermasalahkannya, kami tidak keberatan sama sekali mengenai masalah tersebut. Jika memang perlu dirujuk ke rumah sakit di luar negeri pun akan kami lakukan demi kesembuhan menantu dan cucu kami, Dok."

Dokter Heru manggut-manggut mengerti, dengan apa yang disampaikan oleh Pramudya, lalu ia menjawab dengan smart dan ilmiah.

"Kami akan berusaha semaksimal yang kami mampu, Pak. Tidak ada hal yang tidak mungkin jika Yang Maha Kuasa memberikan kesembuhannya, begitu pula dengan takdir yang tidak ada seorangpun makhluk-Nya yang bisa menentang Kuasa-Nya. Bantu kami dengan doa semoga Yang Maha Kuasa memberikan pilihan yang pertama."

Pramudya segera menandatangani surat pernyataan tersebut, lalu ia menyerahkan kartu namanya kepada dr. Heru Ismail, begitu pun dengan Anggoro yang juga ikut menyerahkan kartu namanya.

"Saya dan Pak Anggoro, mempercayakan dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak rumah sakit ini. Kami mengharapkan bantuan dokter Heru untuk selalu memberitahukan perkembangan kesehatan menantu dan cucu kami."

"Pasti, Pak." Jawab dokter Heru cepat. "Kami berkewajiban memberitahukan perkembangan kesehatan pasien kepada keluarga pasien, saya akan memantaunya secara penuh, Pak. Terima kasih telah mempercayakan kepada rumah sakit kami, dan saya atas nama pihak manajemen rumah sakit ini, kami akan berusaha memberikan pelayanan terbaik kami untuk kesembuhan mereka berdua."

"Oiya Pak. Hampir saja lupa." Ucap dokter Heru memberitahu. "Golongan darah Ibu Dewi dan Akbar sama, yaitu golongan darah AB+. Untung tadi masih tersisa dua kantong golongan darah AB+, untuk Ibu Dewi dan Akbar diperkirakan perlu dua kantong darah lagi. Nah yang menjadi permasalahannya adalah persediaan darah untuk golongan darah AB+ di rumah sakit kami sedang kosong, begitu juga di PMI. Apakah ada di antara keluarga Bapak-Bapak yang mempunyai golongan darah AB+? Kalau ada sebaiknya malam ini dilakukan pendonoran darah sebelum kantong darah tersebut sudah kosong."

"Ambil darah saya saja, Dok." Sahut pak Anggoro memberitahu. "Golongan darah saya AB+. Memang Dewi mewarisi golongan darah saya."

"Ok, Pak Anggoro." Ucap dr. Heru. "Tinggal satu orang lagi yang perlu Bapak cari untuk mendonorkan darahnya."

"Iya, Dok." Ucap Pramudya menyahuti. "Kami akan cari satu orang lagi yang mempunyai golongan darah yang sama yaitu AB+. Dan untuk jenazah putra saya Prima Sukmawan Pramudya, apakah malam ini bisa kami bawa pulang ke rumah? Rencananya besok akan kami makamkan jenazahnya, Dok."

"O iya untuk pengurusan jenazah almarhum Prima Sukmawan Pramudya, nanti Pak Pram hanya perlu menandatangani surat pernyataan dari rumah sakit." Sahut dr. Heru memberitahu. "Nah mumpung ada Ipda Haris, beliau yang akan menjelaskan mengenai proses pengembalian jenazahnya. Silahkan Bapak Haris."

Ipda Haris mulai bersuara, "Mengenai pengembalian jenazah sepertinya jenazah tidak perlu dilakukan autopsi oleh bagian forensik, karena insiden kecelakaan beliau bukan merupakan tindakan kriminal yang dilakukan oleh pihak lain misalnya korban tabrak lari. Jadi Pak Pramudya atau Pak Anggoro hanya perlu menandatangani surat pernyataan ini sebagai pihak keluarga almarhum. Nanti pihak rumah sakit akan mengantarkan jenazah almarhum Prima Sukmawan Pramudya ke kediaman bapak."

Lalu dokter Heru Ismail menyerahkan surat pernyataan dari rumah sakit, begitu juga dengan Ipda Haris Ardiansyah mengeluarkan surat pernyataan dari kepolisian untuk ditandatangani oleh pihak keluarga almarhum.

Pramudya segera menandatangani kedua surat pernyataan tersebut, lalu mereka berjabat tangan dengan erat, terucap kata terima kasih dari bibir Pramudya dan Anggoro kepada dr. Heru Ismail dan Ipda Haris Ardiansyah yang telah membantu mereka dengan sangat baik. Pembicaraan dan pertemuan itu akhirnya selesai, mereka membubarkan diri. Pramudya dan Anggoro keluar dari ruangan dr. Heru Ismail, mereka berjalan ke arah ruang ICU menemui Nengsih, Cinta, Jelita, Hartono, dan Adit yang masih berada di sana.
.
.
.
Screenshot_14.png

Nengsih Rahmawati aka Nengsih

Pov Nengsih


Namaku Nengsih Rahmawati atau biasa dipanggil Nengsih. Usiaku saat ini 48 tahun, istri dari Anggoro Adi Nugroho, berusia 50 tahun. Suamiku adalah putra tunggal dari konglomerat Adi nugroho, yang memiliki perusahaan yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Salah satu anak perusahaannya adalah PT. Jagat Konstruksi (Persero) dipercayakan sepenuhnya kepada Prima Sukmawan Pramudya menantu dan suami dari putri semata wayang kami.

Perusahaan yang sudah malang melintang di bidang konstruksi baja, beton dan pembangunan Tol, kini mulai merambah di proyek rel kereta api, LRT maupun MRT.

Dewi Safitri nama yang suamiku berikan ketika ia lahir ke dunia, berparas manis dengan lesung pipit di kedua pipinya.

Kini aku mesti menerima kenyataan pahit atas musibah kecelakaan yang menimpa anak, menantu dan cucuku. Aku dan suamiku sempat syok atau terkejut ketika mendapat kabar kecelakaan mereka dari besan kami, bernama Pramudya Adi Pratama, orangtua kandung dari Prima menantu kami. Segera kami pergi ke rumah mereka untuk bersama-sama mencari kebenaran kabar tersebut.

Setelah sampai di rumah sakit Harapan Bersama-sama, akhirnya berita kecelakaan itu benar adanya. Dan yang membuatku sempat menangis dan terisak ketika mengetahui dan melihat langsung menantuku terbaring kaku sudah tak bernyawa di kamar jenazah rumah sakit tersebut.

Aku sangat terpukul dan sedih melihat jenazah menantuku yang selama hidupnya menjadi kebanggan kami karena dia anak yang baik, menyayangi istri dana anaknya. Suami dan menantu yang membanggakan keluarga besar kami, karena selain cerdas ia sangat peduli dengan keluarga, bisa mengayomi kedua keluarga besar itu yang membuat suamiku semakin sayang kepadanya.

Suasana di kamar jenazah semakin membuatku sesak dan tidak kuat setelah melihat mendengar dan menyaksikan kedua adik perempuan Prima meratapi kepergiannya. Bahkan Jelita sempat tidak sadarkan diri karena terkejut melihat kakaknya sudah meninggal dunia.

Setelah semuanya bisa sedikit tenang, dr. Heru lalu memberitahukan bahwa Dewi dan Akbar sekarang sudah ditangani secara intensif di ruang ICU.

Mengetahui putri dan cucuku sekarang berada di ruang ICU, membuat pikiranku jadi tidak tenang. Aku memikirkan keadaan mereka, rasanya aku ingin terbang dan secepatnya sampai di sana.

Ruang ICU...

Akhirnya sampai juga kami di lantai tiga, di hadapan kami adalah ruang ICU. Setelah dr. Heru memberitahu aturan rumah sakit bahwa di dalam sana tidak boleh berisik dan cuma diperbolehkan dua orang untuk membesuk, akhirnya aku memberanikan diri untuk masuk sendirian ke sana, sementara suami dan besanku diajak dokter Heru untuk membicarkan sesuatu yang penting di ruangan kerjanya. Ketika aku memasuki ruangan ini, mataku mulai berkaca-kaca. Saat melihat sendiri kondisi anak dan cucuku terbaring tak berdaya dengan sejumlah alat medis yang menempel di tubuh keduanya.

Aku menghampiri ranjang Dewi terlebih dahulu, di hadapanku dia terlihat tersenyum dengan mata tertutup, pakaiannya sudah diganti menjadi pakaian khusus pasien rumah sakit ini. Tanganku gemetar saat akan membelai pipi putriku, mengusap pipinya dengan penuh kasih sayang sebagai seorang ibu. Dalam hati, aku berkata dan memanjatkan doa kepada Sang Maha Kuasa. "Nak berjuanglah demi Akbar, demi papa dan mama, demi orang-orang menyayangimu. Mama akan selalu mendoakan kesembuhanmu, kesembuhan Akbar, kalian berdua berjuanglah. Berjuanglah demi anakmu, dia butuh kasih sayangmu, Nak. Ya Allah, Engkau Maha Pemberi Kesembuhan. Berikanlah kesembuhan kepada Dewi, putriku yang kini terbaring koma, tunjukkan kuasa-Mu, hamba yakin Engkaulah yang sanggup mengangkat semua penyakit dan memberikan kesembuhan. Hanya kepada-Mu hamba meminta dan memohon pertolongan, dan hanya kepada-Mu pula hamba ikhlaskan apapun yang sudah menjadi ketentuan-Mu. Hamba percaya, Engkau memberikan ujian kepada kami karena kami pasti sanggup untuk melewatinya, kabulkanlah doa hamba-Mu yang hina ini. Amiien Ya Robbal Alamin." Aku mencium kening Dewi dan sejenak kemudian mengusap kembali pipi putriku tersebut.

Setelah melihat Dewi, lalu aku berbalik badan dan mendekat ke ranjang di sebelahnya, tampak Akbar seperti sedang tidur, wajahnya terlihat agak pucat. Air mataku akhirnya tak sanggup kubendung lagi, menangis tanpa mengeluarkan suara karena aku masih ingat pesan dokter supaya menjaga ketenangan pasien. Sambil mengelus pipi Akbar, aku berkata dan berdoa dalam hati. "Akbar, cucu oma yang ganteng. Oma sangat menyayangi kamu. Oma berharap sama kamu sadarlah dari komamu, oma ingin melihatmu tumbuh dewasa, menjaga oma, opa dan juga menjaga mamamu kelak. Berjuanglah cucuku, berjuanglah untuk kesembuhanmu, supaya kita bisa kumpul dan main bersama-sama lagi. Oma kangen melihat senyummu, kelucuanmu, serta kepolosanmu. Dan semua itu memberikan kebahagiaan buat oma dan opa. Bangun dan sadarlah dari komamu cucuku, berjuanglah demi orang-orang yang menyayangimu. Ya Allah, hamba-Mu ini memohon sadarkanlah Akbar cucuku dari komanya, berikanlah kesembuhan kepadanya. Kabulkan doa hamba-Mu yang lemah ini. Amiien Ya Robbal Alamin." Nengsih mencium kening Akbar, lalu kemudian mengelusnya dengan penuh cinta.
.
.
.
images_10.jpg

Cinta Rahayu Pramudya aka Cinta

Pov Cinta

Jujur sejak aku menerima telepon dari papa mengabarkan mas Prima kecelakaan membuat perasaanku sudah tidak enak, hati kecilku berkata bahwa kecelakaan yang mereka alami sangat serius. Kami sampai di rumah sakit tetapi ternyata papa dan yang lainnya belum tiba dan meminta kami untuk menunggu, "Dek Cinta, kita diminta menunggu! Mereka sedang dalam perjalanan ke RS ini," ucap mas Adit memberitahu.

Akhirnya mobil mereka memasuki area RS ini dan berhenti di depan kami menunggu,

Melihat kedatangan mereka, hatiku sedikit lega apalagi melihat mbak Jelita turun dari mobil, aku langsung memeluk mbak Jelita, kami berdua seketika menangis terisak-isak.

Setelah berada di dalam kami duduk menunggu papa yang sedang bertanya dengan petugas jaga di bagian informasi, dan beberapa saat kemudian...

Datang dua orang, seorang berseragam polisi lengkap dengan tanda pangkat dan name tag di baju seragamnya, dan seorang lagi berpakaian serba putih khas seragam dokter, setelah memperkenalkan dirinya dan sedikit bertanya mengenai kami akhirnya dr. Heru mengajak kami semua ke tempat mas Prima.

Aku mengira mas Prima sekarang sudah ditempatkan di ruang pasien, dan tidak mengalami luka yang serius.

Namun harapan dan perkiraanku salah, karena ternyata di hadapan kami adalah kamar mayat. Mengetahui ruangan itu adalah kamar mayat membuatku syok, tubuhku lemas dan kepalaku pusing.

Antara sadar dengan tidak, tiba-tiba tubuhku ambruk. Tubuhku seperti ada yang menahan dan membopongku ke tempat duduk, pandanganku sedikit buram.

Samar-samar aku mendengar jeritan mbak Jelita dan setelah diberi minyak angin aku mulai sadar.

Dan...

Aku menangis, menangis karena terkenang kembali dengan mas Prima, perjumpaan terakhir kalinya di rumah kontrakan kami.

Melihat aku menangis terisak-isak, mas Adit mencoba menenangkanku.

"Dek Cinta." Ucap Adit lembut sambil membelai rambutku. "Ikhlaskan, Dek. Semua ini sudah menjadi ketentuan dari Yang Maha Kuasa. Doakan mas Prima supaya tenang di sana!"

Aku masih sesegukkan tetapi tangisanku sudah mulai mereda, aku sedikit mulai tenang setelah mendengar perkataan mas Adit, bibirku berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Aku beristihgfar untuk mengingat Allah. Menyebut namanya sebanyak mungkin supaya aku bisa tenang.

Beberapa saat kemudian....

Setelah aku sudah tenang begitu juga dengan mbak Jelita, aku langsung berdiri, begitu pun dengan mbak Jelita. Kami berdua berlari masuk dan langsung menghambur ke arah jenazah mas Prima.

"Mas Prima...." Seruku meratap. "Kenapa kamu meninggalkan kami semua dengan cara begini? Kamu jahaaat, Maaas. Jangan pergiiii....!"

"Dek Cinta." Seru Adit mengingatkan. "Istighfar sayang. Ikhlaskan mas Prima."

Aku mencoba kuat untuk melihat kenyataan ini, melihat dengan mataku sendiri sosok mas Prima kini terbujur kaku sudah tak bernyawa. Rasa kehilangan begitu terasa di relung hatiku terdalam. Tetapi ucapan mas Adit sedikit banyak bisa membuatku selalu ingat akan takdir yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Aku sudah tidak menangis lagi, air mataku seakan sudah habis, tangisanku hanya di dalam hati, sambil menyenderkan kepala di bahu mas Adit, aku mulai berdoa, "Ya Allah, maafkanlah kekhilafan hamba-Mu ini, karena telah meratapi kepergian mas Prima. Aku mohon ampunilah dosa-dosa mas Prima, terimalah semua kebaikan dan amal ibadahnya selama ia masih hidup dan tempatkanlah ia ke tempat-Mu yang indah, lapangkanlah kuburnya. Amiien ya robbal alamin."
.
.
.
Di depan ruang ICU...

Adit dan Cinta duduk berdampingan, kepala Cinta menyender di bahu suaminya. Cinta berbicara dengan pelan pada Adit. "Mas, kamu sudah hubungin mama dan papa di rumah! Kalau belum, telepon mereka mas. Pasti mereka sedang nunggu kabar dari kita."

Adit sontak sadar bahwa ia belum sama sekali mengabarkan keadaan di sini kepada papa dan mamanya. Setelah mendengar perkataan Cinta barusan, Adit berkata pada istrinya, "Dek Cinta, Mas telepon papa dan mama sebentar, memberitahukan keadaan kita di sini! Untung saja kamu barusan mengingatkan, Mas."

Adit pamit pada Cinta, setelah mendapatkan anggukan kepala dari istrinya, ia lantas berjalan menuju balkon rumah sakit, mencari tempat yang tenang untuk menghubungi papanya.

Sementara itu, Jelita dan Hartono hanya duduk di depan ruang ICU, terlihat keduanya sedang membicarakan rencana membawa pulang jenazah Prima ke rumah.

"Mas Har," seru Jelita memberitahu. "Kapan jenazah mas Prima bisa kita bawa pulang? Mesti segera kita makamkan."

"Iya, Ma." Ucap suaminya menjawab. "Kita tunggu papa Pramudya dulu ya. Biar papa Pramudya yang memutuskannya."

Kemudian, tiba-tiba...

Pintu ruang ICU terbuka lebar, tampak Nengsih baru saja keluar dari ruang ICU, beliau berjalan dengan langkah gontai dan lesu. Tampak ekspresinya terlihat penuh kesedihan.

Cinta bangkit dan mendekatinya lalu ia menuntun Nengsih, menuju tempat duduk.

Jelita melihat mamanya Dewi menangis langsung mendekatinya. Ia berusaha menenangkan Nengsih, tetapi setelah mendengar Nengsih mengatakan kondisi Dewi dan Akbar di dalam dalam keadaan koma, Cinta dan Jelitapun ikut menangis, menangisi cobaan yang berat yang mesti mereka hadapi. Ketiga wanita itu menangis dengan saling berpelukan.

Adit baru saja kembali dari balkon, setelah selesai menghubungi papanya, matanya tiba-tiba berkaca-kaca setelah melihat tiga orang wanita di hadapannya menangis. Begitu pula Hartono yang hanya diam terpaku menyaksikan keharuan tersebut di hadapannya.

Beberapa saat kemudian...

Pramudya dan Anggoro sudah berada di depan ruang ICU, wajah keduanya tampak terlihat letih dan penuh kesedihan, apalagi mereka mendapat kabar bahwa stock atau persediaan darah golongan darah AB+ sedang kosong. Dewi dan Akbar masih memerlukan transfusi darah untuk mengganti darah yang sudah banyak keluar ketika kecelakaan tersebut.

Dengan helaan nafas yang berat, Pramudya mulai bersuara. "Cinta, Jelita, Hartono dan Adit. Tadi papa dan Pak Anggoro selesai berbicara dengan dr. Heru Ismail dan Ipda Haris Ardiansyah." Ucap Pramudya, sesaat ia berhenti berkata untuk mengatur nafasnya yang terasa berat. Lalu ia melanjutkan perkataannya, "Tadi ada beberapa hal yang disampaikan oleh dr. Heru dan Ipda Haris, tetapi yang paling terpenting dan darurat adalah masalah transfusi darah. Golongan darah Dewi dan Akbar kebetulan sama, golongan darah AB+. Dan dari keterangan dr. Heru, Dewi dan Akbar masih membutuhkan masing-masing satu kantong darah lagi untuk transfusi darah. Dan yang menjadi masalah adalah persediaan darah tersebut kosong saat ini, baik di RS ini maupun di PMI. Pak Anggoro bersedia mendonorkan darahnya karena beliau juga memiliki golongan darah AB+, sekarang tinggal mencari satu orang lagi pendonor darah."

"Ambil darah Adit saja, Pa!" Ucap Adit cepat dan spontan. "Golongan darah Adit AB+ juga."

Mereka yang berada di tempat itu langsung tersenyum lebar, setelah mengetahui bahwa Adit dan Anggoro mempunyai golongan darah AB+. Segera Pramudya, Anggoro dan Adit menuju ke ruangan donor darah.
.
.
.
Keesokan harinya...


Di sebuah pemakaman umum di daerah Jakarta Timur, telah ramai dipenuhi oleh pelayat yang ingin menghadiri pemakaman.

Tampak terlihat beberapa direktur dari tempat Prima bekerja ikut menghadiri prosesi pemakamam tersebut. Hampir seluruh karyawan dan karyawati pagi itu melayat semua ke pemakaman.

Pramudya, Adit, Hartono, dan Anggoro sudah turun ke liang lahat untuk menyambut jenazah Prima yang telah di bungkus rapi dengan kain kafan.

Perlahan jenazah tersebut telah diturunkan dan ditaruh di atas tanah berukuran 2x1 meter persegi, dengan kedalaman sekitar 2 meter.

Setelah selesai di azani dan di iqhomati, dengan arahan dari Kyai Munawar. Jenazah Prima dimiringkan sedikit ke kanan dan wajahnya menyentuh tanah semua itu atas arahan dari Kyai Munawar. Satu persatu meraka naik ke atas setelah liang kuburnya ditutupi papan yang disusun berjejer menutupi liang kuburnya. Kemudian petugas penggali makam melanjutkan untuk menutup liang lahat tersebut.

Cinta tak kuasa melihat ke arah kuburan, begitu juga dengan Jelita mereka berdua terus berpelukan untuk saling menguatkan satu sama lain. Nengsih dibantu oleh Hanum menyiapkan kembang untuk ditaburi nantinya diatas makamnya Prima.

Gunawan tampak berusaha tegar walau matanya mulai berembun menyaksikann prosesi pemakaman tersebut. Gunawan berdiri berdampingan dengan Kyai Munawar, Pramudya dan Anggoro.

Sementara Adit dan Hartono segera mendekati istri-istri mereka yang terlihat sedih dan menangis karena merasakan kehilangan satu-satunya kakak lelaki mereka yang selalu memperhatikan dan menjaga adik-adik perempuannya.

Tetapi di antara keluarga besar Pramudya tidak tampak adanya Sekar. Sekar tidak bisa menghadiri pemakaman putra sulungnya dikarenakan kesehatannya terganggu, ia terkena penyakit hypertensi atau penyakit darah tinggi. Tensi darahnya naik, mengakibatkan ia mengeluh sakit kepala. Atas anjuran dokter pribadi mereka, Sekar hanya dianjurkan untuk istirahat dan berbaring di tempat tidur untuk memulihkan kondisinya.

Pada saat jenazah Prima tiba bersamaan dengan kepulangan Pramudya sekitar jam 3 dini hari. Sekar syok dan kaget dengat kenyataan tersebut, membuat ia berteriak-teriak histeris, marah-marah pada semua orang yang ada di rumahnya dan meratap-ratap dengan perkataan yang seakan menyalahkan takdir atas kematian anaknya.
Akibatnya ia sempat pingsan dan setelah diperiksa oleh dokter Yulli, dokter pribadi yang menangani khusus keluarga besar Pramudya. Dari keterangan dokter Yulli, Sekar bisa terkena serangan stroke jika ia tidak bisa tenang dan butuh istirahat yang cukup, supaya tekanan darahnya kembali normal 110-120/30, karena pada saat ini tensi darah Sekar diatas normal 180/50, dan kalau terus naik bisa berakibat pembuluh darah di bagian syaraf otak di kepala bisa pecah, menimbulkan efek menjadi stroke dan kematian.

Semua pelayat yang mengenal almarhum Prima terharu, menangis dan sebagian dari mereka bahkan seakan tidak percaya bahwa almarhum Prima akan meninggal di usia muda dengan peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawanya.

Setelah makam tersebut telah tertutup sempurna Hanum dan Nengsih menyerahkan baki berisi kembang untuk ditaburkan di atas makam Prima Sukmawan Pramudya.

Malamnya diadakan tahlilan, semua pelayat datang untuk mendoakan almarhum, dan juga mendoakan untuk kesembuhan Dewi dan Akbar.

Di dalam kamar tidur, Sekar terbaring lesu, tubuhnya seperti susah bergerak untuk digerakkan seperti biasanya. Cinta masuk menemui mamanya, keduanya sudah berdamai dan kini dengan penuh perhatian Cinta mengabdikan dirinya untuk mengurusi mamanya yang sekarang sudah lebih tenang karena beberapa obat dari dr. Yulli sedikit banyak membantunya untuk bisa tidur. Sesekali Jelita ikut membantu Cinta, kedua kakak beradik itu semakin kompak untuk merawat Sekar.

Sekar hanya bisa meneteskan air mata, tampak ekspresinya penuh kesedihan dengan meninggalnya putra sulungnya yang sangat ia banggakan untuk mengangkat martabat keluarganya, tetapi ia pun bersyukur karena ia dan Cinta sudah saling memaafkan, kini Sekar perlahan-lahan mulai bisa menerima takdir kematian setelah diingatkan terus oleh Pramudya, Jelita maupun Cinta.
.
.
.
images_11.jpg

Sekar Rahayu Sukmawati aka Sekar

Pov Sekar

"Di mana aku sekarang?" Gumamku membatin. "Seumur hidup, aku belum pernah melihat tempat ini, itu tanaman apa? Kenapa akarnya berada di atas? Di mana ini? Taman apakah ini? Tempat ini memang indah, indah sekali."

Kata-kata itu yang ada dalam hatiku, kata indah untuk menggambarkan suasana dan keadaan tempatku berada saat ini. Pelangi tampak begitu indah di hadapanku. Mataku memandang sekeliling, berusaha mengenali di manakah aku berada saat ini? Tetapi, tetap saja aku tidak ingat dan tidak tahu sama sekali di manakah aku berada saat ini?

Semilir angin berhembus sepoi-sepoi sempat membuatku merasakan nyaman berada di sini!

Sejauh mataku memandang hanya terlihat hamparan rumput yang hijau membentang. Tak jenuh bahkan semakin membuatku nyaman berada di tempat ini. 100 meter di depanku ada sebuah sungai, aku melangkah menuju sungai itu, hingga aku sampai di sisi sungai. Rasa haus membuatku ingin meminum air itu, lalu kutangkupkan kedua tanganku untuk menampung air sungai yang sangat jernih itu.

Glek..

Glek..

Glek..

Aku meneguk air sungai itu, segar sekali rasanya setelah meminum air tersebut.

Dari seberang sungai aku melihat seorang bocah lelaki, usianya sebaya dengan putra sulungku. Prima kecil sangat menyukai pantai, sungai maupun danau, saking senangnya ia sampai lupa waktu dan mesti dibujuk dulu supaya mau beranjak dari sana.

"Tapi kenapa bocah itu mirip sekali sama Prima?"Gumamku bertanya. "Benarkah itu Prima anakku."

Dan tiba-tiba....

Bocah itu mendekat dan terus mendekat hingga terlihat jelas wajahnya, aku senang ternyata benar dia itu Prima putraku.

"Mama....!" Teriaknya kegirangan. "Prima kangen sama mama."

"Iya, Nak." Sahutku berteriak. "Mama juga kangen sama kamu. Ayo kita pulang, Nak!"

Prima menggelengkan kepalanya.

"Kenapa kamu nggak mau pulang, Nak?" Teriakku padanya.

"Ini rumah Prima, Ma." Teriaknya menjawab. "Tempatnya indah, Prima suka, Ma. Di sini rumah Prima sekarang!"

"Tidak, Nak! Rumahmu bukan di sini! Ayo kita pulang, Nak!"

Prima sekali lagi menggelengkan kepalanya, dengan senyumnya ia melambaikan tangannya kepadaku.

Kemudian....

Prima membalikkan badannya membelakangiku, mulai melangkah menjauhiku.

"Prima.... Prima... Anakku kembali, Nak!" Teriakku memanggil-manggil namanya.

Aku terus memanggil namanya, karena jarak sungai yang membentang lebar dan tentunya sangat dalam aku hanya bisa berteriak memintanya pulang ketika Prima mulai bergerak meninggalkan tempat tersebut.

"Prima.... Prima..... Jangan pergi! Ayo kita pulang, Nak! Jangan tinggalkan mama!" Teriakku Histeris ketika Prima semakin menjauh dari sana.

Aku ingin mengejarnya dan menyeberangi sungai itu, tetapi bentangan sungai yang lebar dan dalam menciutkan nyaliku, dan aku hanya bisa berteriak-teriak histeris dari sisi sungai.

"Prima..... Prima.... Priiimmmaaa...."




Bersambung......

Nb :
Shock adalah
Autopsi adalah investigasi medis jenazah untuk memeriksa sebab kematian. Kata "autopsi" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "lihat dengan mata sendiri". "Nekropsi" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "melihat mayat".
Forensik menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berasal dari kata fo·ren·sik /forénsik/ adalah : 1 cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum; 2 ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan: polisi belum bisa menjelaskan identitas korban karena masih menunggu hasil pemeriksaan yang diselidiki oleh tim --
Transfusi darah
adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabkan trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah.
Penyakit stroke adalah gangguan yang terjadi pada pembuluh darah di otak disebabkan pembekuan, pengentalan darah, atau terhambatnya suplai darah dan oksigen ke otak.
 
Terakhir diubah:
Termakasih suhu atas updatenya.
Berasa banget updatenya.
Dalem bgt.... Duh
Jadi pengen cepet2 tau siapa dalang atas kecelakaannya keluarga prima. Huft
 
Selamat Pagi Semua....!!!

Salam semprot,

Ane mohon maaf atas keterlambatan update kali ini, ini di luar kemampuan dan kehendak ane pribadi. Selain karena memang kesibukan ane di RL juga karena faktor HP ane yang saat ini ane gunakan untuk update, dan beraktifitas di dunia maya sedang bermasalah. Dua hari lalu HP ini terjatuh dan sempat mati total, setelah sempat dinyalain kembali ternyata bermasalah di penerimaan sinyal jaringan.

Ane akan usahakan terus melanjutkan cerita ini, tetapi tidak bisa menjanjikan waktu dan kapan updatenya. Mau diperbaiki dulu HPnya semoga reader semua memaklumi.

Atas perhatian dan dukungannya selama ini ane pribadi mengucapkan terima kasih banyak, terutama para teman-teman, reader/pembaca setia thread PELARIAN CINTA ini.

Mohon maaf jika ane tidak bisa membalas komen reader semua satu persatu.:ampun:

Selamat membaca....:baca:

Salam semprot buat semua...:beer:

rad76
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd