Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

PART 4C
GELORA LARISSA, AKHWAT AKTIVIS KAMPUS


Aku kaget.

Mataku tertegun melihat sebuah benda yg tak asing bagiku, dan sebenarnya tak lazim dimiliki seorang 'akhwat' aktivis dakwah.

Aha! Sebuah d i l d o berbentuk p e n i s warna coklat berdiri tegak di atas meja TV!

Aku hampir tak percaya dengan mataku sendiri.

Seperti menemukan harta karun, aku terperanjat sekaligus senang bukan kepalang.

Kuintip lagi sekilas Rissa yg duduk di teras sambil menunduk, mungkin ia sibuk dengan handphone-nya.

"Sepertinya aman", pikirku.

Dengan hati-hati, aku melangkah tanpa terdengar. Aku menyelinap masuk ke dalam kamar, kudorong pintunya. Kuusahakan juga tanpa suara. Perlahan, kudekati barang itu.

Benar. Ini d i l d o, tiruan p e n i s lelaki yg dipakai untuk m a s t u r b a t e.

Hm, barang ini terlihat basah, apa mungkin baru saja dipakai? Jika iya, itu menjelaskan mengapa ia tak memakai celana dalam. Atau, jangan-jangan, juga tanpa bra?

Kugenggam d i l d o itu, lalu kuhirup aromanya. Waahh... Ada uap khas yg aku hafal.

"Akh Joe, antum cari apa?"

DUARR.

Jantungku serasa lepas dari cangkangnya tatkala kudengar suara Rissa tiba-tiba sudah di depan pintu.

Secepat kilat, kusembunyikan d i l d o itu di punggungku agar tak kelihatan.

"Eh, anu, Ukhti... Maaf... Ana tadi penasaran... Kamar anti terbuka, jadi ana masuk, dan..." dengan terbata-bata aku menyusun alasan.

Raut wajah Larissa tampak kurang senang. Ia menantiku meneruskan bicara. Gelagapan, aku jadi tegang.

"Maafkan kelancangan ana, Ukhti..." Aku mencoba mengatur nafas, mengisi otakku dengan oksigen agar mampu berpikir lebih cepat.

"Tadi, ana melihat ini..." kataku sambil menunjukkan barang 'haram' bagi seorang akhwat itu. Kutunggu reaksinya.

"Aahh... " Ia menutup mulutnya. Aku rasa ia tak akan menyangka aku berani menyelinap masuk dan mengetahui rahasia pribadinya.

Kaget, malu, dan salah tingkah. Itulah mungkin yg dirasanya. Rasakan, gantian sekarang aku menunggu ekspresinya.

"To... Tolong... Kembalikan sini, akhi..." Ia berusaha merebut d i l d o dari tanganku.

"Eits," dengan tangkas, aku mengelak. Enak saja dia ingin menghilangkan barang bukti. Ha ha ha.

"To... Tolong kemarikan, akh..." katanya sambil masih berusaha merebut d i l d o dari tanganku. Lenganku dicengkeram. Sudah tak dipedulikannya batas antara lelaki dan perempuan.

"Sudahlah, Ukhti..." aku menghindar ke pojok lain ruangan, seperti petinju yg mengulur waktu.

Ia terengah. Sepertinya ia menyerah. Tinggi badanku bukanlah lawan seimbang tubuhnya yg mungil. Matanya berkaca-kaca. Seperti akan menangis karena menahan malu.

"Ana paham, kok," kataku berusaha menenangkan.

"Tenang saja, ini akan tetap jadi rahasia kita berdua, ana jamin."

Ia menunduk, lalu berpaling. Tak kubayangkan jika hal ini kubongkar ke lingkungan kampus, tentu 'reputasi' seorang Larissa sebagai 'akhwat' pastilah terguncang, demikian pula dunia per-aktivis-an.

"Ukhti, apakah ukhti juga suka nonton video syur?" tanyaku frontal.

Ia diam. Aku mulai mendengar sesenggukan.

Berarti benar dugaanku. Beberapa dari CD film yg berserakan bisa jadi berisi adegan yg membantunya terangsang.

"Jangan dipikirkan, Ukhti... Ana rasa ukhti tak sendiri." Entah khutbah macam apa yg harus kuberikan agar ia tak tersedu.

"Ana mohon akhi..." katanya lirih. "Ha—hanya kita saja yg tahu, to—tolong jaga kehormatan ana dan suami," ia memelas.

Bibirku tersungging.

"Ukhti Rissa..." Aku mulai melancarkan rayuan gombalku. Kutatap ia lekat. Aku melangkah ke arahnya perlahan.

"Apakah... Ukhti ingin sesuatu yg lebih besar dari ini?" Batang palsu tersebut aku elus-elus di hadapannya.

"Ma—maksud, Akhi?"

Suaranya serak dan bergetar. Ia mundur selangkah sambil tangannya melindungi dada. Terpancar aura ketakutan darinya.

Aku makin maju mengejar. Kuberikan seringai senyum khas serigala penerkam. Aku yakin kali ini ajian Mbah tak mengecewakan.

Ia semakin terpojok. Kalau ada dua orang berduaan, maka ketiganya adalah setan. Kurasa kami tak ditemani setan, tapi setan telah menjelma menjadi diriku.

Akulah setan. Setan pemburu wanita berhijab lebar.

"Jangan pura-pura lugu, Ukh..." Aku mencecarnya. Kuraba tonjolan di dalam celanaku. Belum terlalu aktif, namun cukup membuat Rissa bergejolak.

"Akhi... To—tolong, hentikan... Cu-cukup akhi..." Suaranya patah-patah dan makin lemah.

"Ayolah Ukhti, pasti pengen ngerasain yg bisa bikin lebih puas?" Aku semakin lepas kendali. Pagi ini, ia harus bisa kutiduri.

"Ukhti, jangan pakai ini lagi..." kataku sambil melempar d i l d o murahan itu ke atas rak TV.

Kubuka resleting celanaku...

Kuberikan tontonan yg jauh lebih menegangkan untuknya.

Kukeluarkan isi celana yg kubanggakan.

TOWEWEWWW...

Terong manisku mengayun manja, melambai-lambai seperti tak sabar ingin dielus seorang muslimah cantik berhijab lebar.

"HAAAHH... "

Larissa terbelalak. Ia menutup mulutnya. Namun matanya tak lepas memelototi kejantananku yg berurat biru.

Batang p e n i s ku yg ujungnya berlendir kumain-mainkan. Sengaja kuperlihatkan di depannya. Wajah Rissa lalu dipalingkan ke samping. Ia menggigit kukunya.

Dari jarak sedekat ini kulihat pipinya memerah seperti kepiting rebus. Entah perasaan apa yg ada di hatinya sekarang.

Efek ajian Mbah Wiryo mulai merasukinya. Ia tak punya pilihan, kecuali melayani nafsuku yg bejat dan ganas.

"Hiks... Ana mohon, akhi... To—tolong, hentikan..."

Air matanya mulai menitik dan berkumpul di tepi mata. Tinggal menunggu waktu untuk menetes, dan berubah menjadi air mata bahagia karena merengkuh nikmat bersamaku nanti.

Aku sudah tak tahan.

Kepalaku berisi darah kotor hasil niat jorok yg kurencanakan sejak sebelum aku datang ke kontrakan kumuh ini.

"Ukhti sayang..." Aku mulai berani membelai tangannya. Ia menghindar, tangannya ditariknya menjauh.

Tanganku tak mau menyerah, kukejar wajahnya dan kuelus lembut pipinya yg halus.

"Jangan salahkan dirimu. Aku tahu suamimu tak bisa memberimu kesenangan," rayuku sambil merabanya.

JEGERR. Sayup-sayup dari kejauhan, kudengar suara petir membahana di langit.

Matahari mulai meredup, tertutup mega yg menghitam.

Aku pun heran, hujan selalu menyertai petualangan birahiku.

"Ukhti terlalu cantik untuk menjadi istri yg ditelantarkan. Akan ana berikan yg tak dipunyai suami anti," kataku.

Aku membimbing tangannya menuju laras panjangku yg semakin mengeras dan siap jadi alat bor.

Ia sesenggukan. Kuraih dagunya. Lalu kucium pipinya penuh kemesraan, agar ia sedikit lebih tenang.

"Ja—Jangan akhi... Ini... Ini salah..." Ia masih jual mahal rupanya. Susah juga nih ditembus, apa mungkin karena kualitas kesholehan nya?

Aku memeras otak.

"Oohh... Jadi, yg kamu lakukan barusan, ketika suamimu sedang tak di rumah, itu hal yg benar? Ayolah... Jangan munafik..."

Aku semakin kasar dan mulai tak sabar.

Moodku terganggu, dan itu tak baik untuk proses ereksi.

"Apa bedanya dengan yg akan kita lakukan nanti?" kataku lagi. Sepertinya ia mulai melunak, walau masih menangis.

Aku genggam kedua tangannya. Kugiring dia menuju kasur. Ia mengikutiku pelan. Kutindih, lalu kugerayangi wajah, tangan, hingga perut. Tak kusentuh bagian yg sensitif. Aku masih berusaha sabar.

Kuharap ia menikmati permainanku.

"Hmm... Cup... Slurp..."

Aku menciumi bibirnya, dan ia pun membalas. Ternyata nih cewek kayak mesin diesel, panasnya lama.

"Akhi..." ia bersuara lemah sambil mendorong badanku pelan. "Pintu depan dikunci aja..." katanya.

Kode keras. Good news. Pertahanan tembus, Kapten.

Aku segera beranjak. Sebelum keluar, kuintip sekitar rumah, siapa tahu ada pengganggu. Cepat-cepat, kusembunyikan alas kakiku, lalu dengan segera masuk ke dalam lagi.

CTEK. CTEK... Kukunci pintu dua kali. Semoga aku bisa bermain dengan tenang.

Saat aku kembali ke kamar, Larissa masih terbaring pasrah. Ia tidur menyamping dan memunggungi pintu. Kututup dan kukunci kembali pintu kamar dengan slot sederhana.

Ceklek.

Tuntas sudah persiapanku.

Aku mendatanginya serasa mendatangi mempelai wanita di malam pertama. Jantungku jadi deg-degan dan excited di saat yg sama.

Aku berbaring bersamanya. Kasur ini berdecit, mungkin karena perawakanku yg berat. Aku jadi ngeri kasur ini tak kuat menahan goyangan kami berdua.

"Larissa... Sayangku..." Kuelus pinggulnya. "Kamu nggak pake CD, ya? Hi hi hi..."

Ia hanya diam saja. Tangisnya mulai reda.

"Nakal ya kamu..." Kutepuk pantatnya gemas. PLOK.

Kucium bibirnya sambil berbaring. Dia pun semakin ganas dalam membalas serangan-seranganku. Tangan kananku meraba bagian buah dadanya sebelah kanan.

"Ahhh... Akhi..." jeritnya.

"Waahh... Nggak pake bra juga? Emangnya tadi lagi ngapain, hayoo..." godaku lagi.

Kukulum bibirnya lebih kuat dari sebelumnya. Lidahku bermain dengan lidahnya. Lidah dan ludah kami bercampur jadi satu.

"Mmppfff... Ahhh... Sss... Akhi... Mmmff... Cupp..."

Kami masih menikmati permainan terlarang ini.

Momen inilah yg kutunggu sedari lama. Momen hanya berdua bersama perempuan berhijab lebar, yg seluruh auratnya tertutup sempurna, namun di dalam hati ia punya nafsu s e k s yg membara tanpa ada penyaluran.

Akulah sang penyelamat, menolong ia dari nestapa berkepanjangan, tanpa kepuasan bersama suami yg tak memberinya apa-apa kecuali setumpuk piring dan pakaian kotor.

"Aku bisa membawamu ke tempat yg lebih baik sayang, jauh lebih baik," kataku berusaha romantis. "Kita akan ke surga. Bersama-sama..." lanjutku.

Cukup lama kami saling berpagutan, meraba, menjilat, masih dalam pakaian lengkap.

Aku maju ke fase berikutnya. Kulepas celana panjangku, semuanya, hingga menyisakan boxer saja.

Nampak p e n i s ku menonjol sudah tak sabar menunggu gilirannya. Ujungnya telah basah, mencicil cairan pelumas bagi sarangnya kelak.

Perlahan, kulepas dengan penuh sayang, semua pakaian Rissa.

"Ana lepas gamisnya ya Ukh... " bisikku di telinganya.

"He eh..." katanya lemas. Kurasa liangnya telah dibanjiri pelumas pula. "A—Ana... Juga... Udah ga tahan, akhi..."

Aku berencana untuk tetap memasangkan jilbab lebarnya, seperti targetku sebelumnya. Dengan begini, semangatku menjadi berlipat ganda.

Pemandangan akhwat tanpa busana namun masih memakai hijab panjang adalah sebuah nikmat tersendiri.

Kulipat jilbab lebarnya ke bagian leher. Payudara Rissa memang tak sebesar Jamilah, tapi bentuknya lebih kusuka. Putingnya ranum merona merah, sedikit kaku dan menegang.

Sangat menggoda untuk dikenyot sampai keluar airnya...

Aku turun ke rok panjangnya. Pelan-pelan, kupeloroti ia, mulai dari bulu halus di bawah pusarnya yg seksi, lalu terus turun makin ke bawah.

Wooow... Kuhirup kuat-kuat bagian paling sensitif Larissa.

"Hhmmmm... Aromanya aku suka, Ukh..." kataku. Ia melenguh manja. Berusaha menutupi kemaluan nya dengan tangan, namun kucegah. "Kok, malu?" kataku.

Ia melepaskan tangannya lalu beralih menutupi wajahnya.

"Anggap ana ini suami anti saja," kataku.

"Nggak bisa, akhi... Antum... Antum beda..."

"Hlo, kenapa?"

"Pun—punya suami ana, gak sebesar punya antum..." katanya sambil tersipu.

Dalam hati aku makin bangga. Jelas saja. Panjang milikku ini maksimal bisa 20 cm. Bahkan lebih panjang dari d i l d o yg sering ia gunakan.

Kini lepas sudah semuanya. Terbaring penuh gelora, di depanku, dalam keadaan bugil berhijab, istri seorang p o l i s i yg senang masturbasi jika sepi. Semua karena kebutuhan yg tak pernah kesampaian.

"Ukhti, sudah siap?"

Ia hanya mengangguk. Tanpa suara.

Kulepas celana pendekku, benteng terakhirku dalam menahan gejolak birahi dan aliran nafsu yg menggelegak seperti air mendidih dalam panci tertutup.

WOOOSSHH...

Batangku langsung mencuat. Sudah sedari tadi ia berontak ingin keluar.

Glek. Larissa menelan ludah. "Akhi... Mem—memangnya bisa masuk?"

"Makanya kita coba yuk," kataku, dilanjutkan dengan menindihnya lagi.

Bulu halus bertemu bulu halus. Kelamin saling bergesek. Sepasang puting kecil bertemu gunung kembar. Bibirku, bibirnya, menyatu, saling melumat.

Oh, indahnya dunia...

Ia sudah becek sekali. Dapat kurasakan hangat cairan yg keluar dari rongga v a g i n a nya.

"Rissa..."

"Hm..."

"Sayangku..." kubelai ia dengan penuh hasrat.

"Hmmm..."

"Ikhlaskan tubuhmu untukku..."

"Iya akhi... An—ana ikhlas... Masukin aja, Akh..." pintanya mengiba. Ia telah terangsang hebat.

Kupermainkan palkon dengan cara menggesekkannya di pintu gua Larissa, menggoda i t i l nya yg sudah gatal.

"Duhh... Akhii... Please, jangan main-main lagi, Akh... Duh... Ssshh... Ah... Enak... Masukin akhi..."

"Masukin apa, Ukhti?"

"Masukin... Kon—K O N T O L antum... Cepaaat... Akhi... ADuhhh... Ngghh..."

"Kamu udah nggak tahan buat di-e n t o t ya, Ukhti..."

"Iyaa... Cepat e n t o t ana, Akh..."

Ia memang sengaja kubiarkan tersiksa sampai minta dikasihani. Rasakan... Inilah balasan bagi yg suka jual mahal. Ha ha ha.

ZLEBB.

"Uugghhh..."

Dengan tanpa aba-aba, kulesatkan k o n t o l ku dengan separuh memaksa. Hanya masuk tak sampai separuh.

Kucabut lagi, dan seperti sudah hafal dengan jalur sebelumnya, kudorong kuat-kuat 'tongkat hansip' ku hingga ambles seluruhnya di dalam liangnya yg berlendir .

"Oooouucchh..."

Ia melolong dengan lengkingan tinggi.

Kubiarkan sebentar Mr P ku bersarang di dalam Miss V miliknya, merasakan kedutan demi kedutan. Sungguh enak pijatan daging bagian dalam Larissa.

"Am—ampun akhi... Punya ant—antum... Kegedean, Akhi..." ia meratap.

"Punya kamu sempit juga, Ukh... Enak banget... Ahh..."

Aku mulai bergerak maju mundur. Ia silangkan kakinya di pinggangku. Sangat sempit m e m e k nya, membuat aku merem-melek.

"Sssshh... Ahhh... Ouhh... Akhii... Jang—jangan... Stop... Ahhh... Ana... Ana bisa ping—pingsan, akh... Hmmmpfff... Am—ampun... Perihh... Gilaaa... Duhhh... Ffff..."

Rissa mulai meracau. Batang k o n t o l ku berusaha menggerus 'kue apem' yg berakhir basah.

Aku mulai mengubah arah sudut masuk torpedoku. Yang semula tegak lurus saja, kini bervariasi: ke samping, atas, mengait, berputar, mengaduk-aduk tiap sisi lubang surgawi Larissa.

Cairan putih mulai membanjiri seprai. Kunaikkan kedua kakinya di pundakku. Kugenjot ia makin cepat. Serangan demi serangan kulancarkan agar aku tak KO duluan.

"An—ana... Hampir... Sampaaaii..." pekiknya.

Goyanganku makin gencar.

"Punya antum... Kayak ada... Geriginya... Ah... Ahh..."

Kasur pun berdecit mengiringi desahan Larissa, seperti menyemangatiku untuk terus menggenjotnya. Semakin cepat dan semakin cepat.

Plok plok plok plok plok.

"Aahhhhhhhh... Akh Joooee..." Ia akhirnya menggelepar, terhentak beberapa kali, penanda orgasme pertamanya.

Aku pun turut puas karena berhasil unggul sementara di babak pertama ini.

Batangku bagai dijepit-jepit dan dihisap oleh pasir hidup. Buah zakarku masih penuh, bekal untuk ronde terakhir.

Larissa masih terengah-engah. Kubiarkan dia beristirahat demi kuat di babak selanjutnya.

Kulihat sekilas, warna n o n o k nya berubah menjadi kemerahan, kelelahan dan kaget karena bekerja melumat benda yg terlalu keras.

Kumonyongkan bibirku dan karena geram, kusedot i t i l nya seperti orang makan kerang.

Sluurrpp...

"Ooohh... Ja—jangan akh, ana malu... Jorok..." ia mendorong kepalaku pelan.

"Tidak apa-apa sayang, yg penting ukhti terpuaskan," kataku.

Kupilin pentilnya yg seperti bakso mini mentah, warnanya masih merah. Mungkin karena jarang dieksplor suaminya.

"Akhii... Oohh... Teruuss... Nikmatnya akhi..."

Kamar ini tanpa AC, jadi keringat kami berdua membasahi seprai, bercampur dengan cairan kewanitaan Larissa.

"Antum... Hebat sekali... Ana belum pernah seperti ini..."

Sepasang matanya yg indah menyiratkan kepuasan.

Aku tersenyum senang. Kepuasan pasanganku adalah kebanggaan pula buatku.

Sedang asyik-asyiknya rehat untuk set berikutnya, tiba-tiba...

VRROOMM.

"Astaga! It—itu, suara motor suami ana!" teriaknya.

-- BERSAMBUNG
Idaman bngt pengen dengar desahan dan erangan dari seorang akhwat sambil nyebut "akhi"...
Duhhh... Kpn ya segera tersampaikan hahaha
 
Mantul ....... Nggarai lajel ..... Semangat terus ya ......
Siap Om.. Sudah disiapkan tinggal diencrotkan.

Nah lho....tembak di tempat nih....atau jangan2 malah jadi 3s??? Ngarep ?!?!?!....
Wah binal uga ya ternyata siang siang dah masturbasi
Nah loh, bisa dibuat lobang nh pala loe joe.. 😆🤔
Nah lho kentaaaaaaannnnngggggg tp bakal bahaya ini hahaha
Apakah bakal ada penjepitan wanita diantara para pria hahaha

Hehe, mirip-mirip di burung biru, reaksi pembaca macam-macam. Silakan tunggu di part selanjutnya ya Om... :)
 
Halo semua. Terima kasih ya atas komen dan like-nya. Semakin membuat TS semangat untuk update. Tentang cerita selanjutnya seperti apa, silakan menebak-nebak sendiri. Biar makin greget dan penasaran. Hehehehe..

Sekedar cerita, gw bikin cerita ini sudah lama dan hanya publish di burung biru, lalu di-private setelah followers udah banyak. Di situ gw buat ceritanya lebih interaktif, sebagai contoh, ada part tertentu gw kasih polling di cerita Jamilah (yang belum baca, silakan baca Part 2 Ia Gadai Tubuhnya Demi Suami). "Mau lepas cadar atau nggak". Dan ini mengubah alur cerita sedikit. Bahkan gw sempat bikin polling : apakah kalian pengen gw bikin cerita yang ada unsur pemaksaannya?

Walaupun gw nggak suka cerita semacam itu, dan amat sangat nggak pengen alur cerita Joe ini ada adegan seperti itu, tapi karena tuntutan polling (yang gw kalah telak), akhirnya cerita itu guwa terpaksa bikin.

Sedih sih, ketika lu menulis cerita sambil ngedumel, "Ini bukan alur yang gw inginkan". Terus terang itu bukan gaya gw. Menulis sesuatu yang bukan dari keinginan lu. Feel nya nggak ada. Nanti silakan dibaca saja, sedang gw siapkan, gw keluarin dikit-dikit. Gaya nulis seperti ini di burung biru kan emang gampang. Satu cuitan lu nggak perlu panjang-panjang, sambil nunggu angkot jalan aja biasanya gw nulis, dapet 2-3 cuitan, berhenti. Gitu terus tiap hari. Lagi di KRL, lagi di TJ, dan seterusnya. Dicicil dan dikembangkan. Yang penting plot utama cerita udah ada.

Di forum ini, gw masih merasa asing. Dengan orang-orangnya, dengan berbagai macam istilah yang gw nggak ngerti, dengan banyak hal. Dan bisa jadi, suatu saat emang cerita ini harus berhenti, gw hanya berharap cerita bersambung ini bisa sedikit berfaedah buat hidup agan-agan semua. Nggak cuma sekadar menghibur (dan bikin bacol buat imajinasi agan-agan semua), tapi yah ambil sisi lainnya aja yg positif.

Kalau dari sisi gw, gw anggap ini latihan gw belajar nulis dan bikin cerita yang lebih kompleks lagi. Mungkin sekelas novel atau apalah. Siapa yang tahu? Sampai masa itu tiba, gw akan tetap terus belajar.

Terima kasih juga gw ucapin buat yang kirim DM, gw minta maaf kalau gw balesnya lama. Bukan mau sombong tapi gw usahain baca satu-satu dan gw reply satu-satu, dan itu takes time. Harap bersabar aja. Oh, dan kalau buat akhwat emang sih gw prioritasin, harap maklum aja. Hahaha, tapi suer gw usahain bales semuanya kok.

Terakhir, untuk yang lagi rebahan di rumah bacain cerita gw dari awal sampe akhir, mungkin karena harus di rumah doang, yuk kita sama-sama berharap ini semua segera berakhir. Mungkin kita beruntung karena ada cukup makanan dan koneksi internet, dan berbagai hal lain yang mencukupi. Tapi ada banyak orang di luar sana yang walau nggak ada pandemi ini pun mereka harus ekstra keras bekerja. Bantuin mereka dikit-dikit, dengan doa, dengan minyak setengah liter, dengan roti lu, atau mungkin dengan duit goceng, pokoknya apa aja yang kita punya, buat bikin mereka semangat lagi. Untuk bertahan, dan sabar. Sama seperti kita yang di rumah, mereka juga berharap semuanya bakal normal lagi.

Aduh gw ngetik kebanyakan ya? Hahaha... Maaf ya. Sampai jumpa di bagian cerita berikutnya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd