---------------------------------------------------------------
Cerita 15 – Gadisku
Chapter 11 – Love or Just Passion..?
Sejak percintaan kami yang terakhir pada saat huru-hara melanda Jakarta..
–Gadisku, The Riot..– aku menjadi lebih berani untuk bertamu ke rumah kost Eksanti.
Dengan sukarela beberapakali aku membantunya menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan oleh perusahaan baru di mana Eksanti bekerja.
Sebagai karyawati baru, ia memang masih harus banyak belajar dan bantuanku sebagai bekas seniornya memang sangat ia harapkan.
Hingga suatu hari di tempat kostnya, seingatku hari itu hari Jumat malam. Kami berdua sedang beristirahat menikmati santapan makan malam..
setelah hampir semalaman kami berdua memelototi angka-angka dan tabel-tabel tugas kantor Eksanti.
Kami berdua makan sambil duduk di atas karpet lantai, dengan kaki diselonjorkan.. sehingga kaki jenjang Eksanti terlihat sangat indah.
Menu santapan kami adalah nasi goreng sosis, yang kami pesan dari sebuah restoran di sekitar rumah kostnya yang buka 24 jam.
Kami berbagi cerita tentang berbagai topik ringan. Yang kuingat.. kami cukup seru membicarakan tentang gosip kehidupan artis ibukota yang berinisial DR.
Ia baru saja bercerai setelah menikah hanya kurang lebih setahun.
Ketika itu Eksanti tiba-tiba terdiam dan aku terpaksa bertanya. “Ada apa Santi..? Kamu sakit..?”
“Enggak apa-apa kok..” kata Eksanti, tetapi ia tampak cukup gelisah.
Ia memalingkan wajahnya ketika aku sengaja menatapnya. Suasana menjadi cukup hening.
Sambil tetap menyantap nasi goreng sosis yang memang nikmat rasanya itu, aku bertanya-tanya dalam hati..
Eksanti kenapa sih tiba-tiba jadi murung begini.. setelah tadi membahas topik perceraian artis DR..?
Sedang asyiknya aku berpikir.. tiba-tiba Eksanti berkata..
“Mas maaf yaa.. Santi sedang menghadapi masalah pribadi, Santi baru ribut lagi dengan Mas Yoga..”
“Heeek..” sepotong sosis goreng yang baru saja aku telan terasa menyangkut di leher.
Aku bangkit dari dudukku, lalu meneguk air mineral untuk melancarkan kembali saluran pencernaan dan pernafasanku.
Setelah itu aku duduk kembali, meneruskan menyantap nasi goreng, sambil mendengarkan cerita Eksanti berikutnya.
Eksanti melanjutkan ceritanya:
“Memang keterlaluan tuh Mas Yoga. Hari Sabtu kemarin.. aku.. Mira adikku dan kedua orangtuaku yang datang dari Malang..
sedang enak-enaknya bersantap di News Cafe – Kemang. Saat kami mau pulang, aku melihat Mas Yoga di salahsatu sudut ruangan..
Ia sedang asyik makan berdua dengan seorang wanita. Tangan Mas Yoga sedang merangkul mesra bahu wanita itu..
sementara wajah wanita itu ditempelkan ke samping wajah Mas Yoga.. dengan rona muka seperti orang yang sedang kasmaran.
Panas bener hatiku, tapi aku tidak melabrak Mas Yoga saat itu juga. Malu.. ‘kan banyak orang. Lagipula orangtuaku ada di situ.
Hari Selasa malam lalu, Mas Yoga datang ke sini, aku tanya dia tentang kejadian itu. Mas Yoga sempat mencoba membantah..
tetapi aku mengatakan bahwa adikku Mira, juga turut melihat. Mira tau nama wanita itu, Anita.
Anita dikenal Mira sebagai kakak kelasnya waktu kuliah di ASMI dulu. Akupun langsung melabrak Mas Yoga. Mas Yoga akhirnya mengakui..
bahwa akhir-akhir ini ia memang sering bertemu Anita, bekas teman dekatnya dulu sebelum ia dekat dengan Santi.
Tetapi kata Mas Yoga.. ia masih tetap lebih mencintai Santi..” paparnya panjang lebar.
Setelah menarik nafas sebentar Eksanti berkata lirih. “Tidak bisa.. Santi tidak bisa menerima kelakuan Mas Yoga yang seperti itu.
Saat itu juga Santi memutuskan agar Mas Yoga nggak usah datang-datang lagi ke tempat kost Santi..”
Lalu Eksanti melanjutkan ceritanya lagi: “Santi mendorong Mas Yoga keluar dari pintu kamar, sambil membanting pintunya.
Lalu hari Rabu paginya, Santi bilang pada resepsionis di kantorku untuk menolak semua telephone dari Mas Yoga. Sebel aku..” kata Eksanti berapi-api.
“Lantas..?” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“Ya, sekarang aku benar-benar lagi benci sama Mas Yoga..”
kata Eksanti sambil menarik nafas panjang, karena tadi ketika bercerita nafasnya sempat memburu, dadanya yang indah ikut turun naik.
“Terus..?” Aku cuma bisa berkata sepotong-sepotong, karena aku tidak tau harus berkomentar apa terhadap cerita Eksanti itu.
“Mas, kamu mau ‘kan sekarang menemani aku jalan-jalan. Aku sedang sangat kesepian dan butuh teman untuk menghilangkan rasa gundahku..”
katanya perlahan.
“Bagaimana tentang laporan kamu yang harus selesai hari Senin depan ini..?”
Tanyaku sambil menunjuk dokumen-dokumen kerja yang berserakan di meja.
“Ah, no problem..” kata Eksanti.
“.. kan sudah hampir selesai, besok kan masih ada hari Sabtu dan Minggu, ayo dong Mas..” katanya merajuk sambil menarik tanganku.
“Eee.. eeei, tunggu dulu..!” aku mengingatkan. “.. kita bereskan dulu pekerjaan kamu malam ini, baru kita jalan-jalan keluar..”
“Oke Boss..” jawab Eksanti sambil tersenyum nakal.
Aku tidak menyangka.. ia langsung menumpukkan semua dokumen di atas mejanya menjadi satu.
Kemudian tumpukan dokumen itu dimasukkannya ke dalam lemari kabinet.
Lalu setengah berlari ia menghampiriku dan menumpukkan semua dokumen bagianku, menjadi satu..
untuk disimpannya juga di dalam lemari kabinet yang sama.
“Hei, tunggu dulu..! Ini kan belum selesai..” aku berkata sambil mencoba menahan kedua tangannya yang sedang menggerayangi mejaku.
Sengaja wajahku aku pasang dengan tampang yang serius.
“Maaf Boss.. tetapi jam kerja sudah lewat dan sekarang saatnya kamu menemani aku jalan..”
kata Eksanti yang tetap saja mengemasi dokumen yang ditumpukkanya ke dalam lemari kabinet.
“Ck.. ck.. ck.. Santi..” kataku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu ini kalau sudah ada maunya, tidak sabaran lagi yaa..” ujarku sambil mulai ikut beres-beres.
Eksanti tersenyum.
oOo
Kami pun keluar dari rumah kost Eksanti dan segera meluncur menuju Café Jalan-Jalan di kawasan Kuningan.
Waktu itu sudah sekitar pukul 11 malam, kami masih asyik mendengarkan live music sambil ikut berdendang.
Kadang-kadang kami juga berdansa di bar lantai dua café tersebut.
Aku tidak tau mengapa, tetapi aku merasakan bahwa Eksanti semakin berani menggodaku.
Entahlah, mungkin karena pengaruh minuman yang telah cukup banyak masuk ke dalam mulutnya.
Bahkan ketika sebuah lagu romantis berkumandang, dalam posisi duduk, tanpa ragu ia memeluk erat leherku.
Eksanti menirukan lafal nyanyian itu, ‘You Are Still The One’ dekat sekali di telingaku, sambil tersenyum mengikuti syair lagunya.
Terkadang wajahnya memelas, terkadang genit manja, terkadang tersenyum penuh canda.
Ketika lagu itu berakhir, didiamkannya kedua tangannya memeluk leherku sambil tersenyum manja.
“Mas, aku ingin sekali bercinta denganmu malam ini, tetapi sekarang Santi lagi dalam masa subur..” ia berbisik lirih di telingaku..
lalu ia melanjutkan, ”.. ntar kalau Mas nakal sama Santi, hati-hati yaa.. jangan sampai jadi..” ia tersenyum menghentikan kata-katanya.
Sepertinya Eksanti memang sedang dalam keadaan ‘on’ karena pengaruh minumannya tadi..
dan ditambah lagi dengan keruwetan masalah yang dialaminya dengan Yoga.
Tidak seperti biasanya, kali ini ia begitu terus terang mengungkapkan keinginannya untuk bercinta denganku.
Aku membalas tersenyum sambil berkata dalam hati. O.. o.. sepertinya ada bekal yang perlu aku beli nih..
“Okay Santi, Mas mengerti. Sekarang Mas mau ke toilet dulu yaa..” kataku sambil bangkit dari duduk.
Aku sebenarnya agak ragu, apakah Eksanti benar-benar sadar akan keinginannya yang baru saja diucapkan kepadaku..
karena aku tau pikirannya saat itu benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak fit.
Namun di toilet.. setelah selesai membuang hajatku, kuambil beberapa koin lau membeli beberapa kondom..
yang tersedia di box yang tertempel di dinding toilet. Siapa tau aku benar-benar memerlukannya nanti.
Aku kembali ke tempat duduk dan kembali bercanda, menikmati berbagai lagu lain yang dinyanyikan.
Hingga suatu ketika.. “Aaacch..” Eksanti menguap sambil menutup mulutnya.. ”.. Capek niih..”
“Sekarang antar Santi pulang yuk..!” Katanya sambil menggamit tanganku.
Setelah menyelesaikan pembayaran minuman kami.. aku pun bangkit dan berdua kami berjalan keluar menuju mobilku.
Mobil pun meluncur kembali ke rumah kost Eksanti di kawasan Selatan Jakarta.
oOo
“Eeh.. Mas parkir dulu dong..!” Kata Eksanti ketika aku memberhentikan mobil di muka pintu pagar rumah kost untuk menurunkannya.
Aaah.. haa.. aku berfikir sambil tersenyum dalam hati.. Ternyata aku benar-benar harus menginap nih, untung aku sudah punya bekal.. Hehe..
“Antar aku sampai kamar yaa.. Mas..” kata Eksanti lagi, sambil memegang tanganku. Wajahnya menatapku dengan senyum menggoda.
Mobil bergerak lagi dan akhirnya aku memarkir mobilku di dalam halaman rumah kostnya.
Kami berjalan kaki ke pintu pavilion rumah kostnya, lalu masuk ke ruang tamu paviliun yang sudah gelap gulita karena lampunya sudah dimatikan.
“Sepi sekali Santi.. yang lain pada ke mana..?” Aku berkomentar
“Ach.. biasa.. ini kan week end, Mas. Paling mereka pada nginep di luar..” ia menjawab.
Di dalam ruang tamu tersebut Eksanti memeluk leherku sambil merebahkan wajahnya di dadaku seraya bergumam.. “Hhhmmmm, ngaaantuuuk..”
Kepalanya bergerak-gerak halus bagaikan orang yang sangat menikmati mimpinya.
Pada saat itu kejantananku mulai menegang karena merasakan payudara indah Eksanti yang menekan hangat di dadaku.
Sementara pahanya yang nakal bergerak-gerak halus, persis mengenai kejantananku.
Keluar dari ruang tamu kami berjalan ke pintu kamar Eksanti, yang terletak persis di sebelah ruang tamu itu.
Dibukanya pintu sambil menarik tanganku. “Ayo masuk dulu..” kata Eksanti sambil menarik tanganku.
Wajah lembutnya menatapku dengan mesra. Aku pun ikut masuk ke dalam kamar Eksanti.
Ia menutup pintu kamar dengan perlahan, lalu berpaling kepadaku.
“Duduk dulu yaa.. Mas, tolong dong puterin CD lagunya Shania Twain tadi, please..”
katanya sambil meninggalkan aku menuju ke kamar mandi di dalam kamarnya.
Aku berjalan ke CD player, mengambil CD yang ia inginkan dan aku memasang dengan volume yang rendah.
Lagu mengalun lembut, aku duduk di sofa sambil menyalakan TV, memilih-milih berbagai sisa acara yang masih disiarkan.
Tanpa kuadari.. Eksanti muncul di belakangku sambil berkata..
“Waah.. udah nggak ada acara yang bagus yaa.. Mas..” sambil terus melangkah ke lemari CD.
Eksanti mengambil sebuah VCD dan menyalakannya. Ternyata VCD itu adalah sebuah film produksi Vivid Video..
dangan bintang cantik favoritku, Asia Carera. Eksanti meninggalkanku menuju kulkas, lalu kembali dengan dua kaleng minuman dingin.
Ia langsung duduk rapat di sampingku.
“Santi suka nonton film-filmnya Vivid..?” Tanyaku penasaran.
“He..em, kadang-kadang..” jawabnya sambil menyandarkan kepalanya di sofa.
“Ini film favoritku kalau Santi sedang kesepian sendiri..” katanya melanjutkan sambil tangan kanannya mengelus pangkal leherku.
Aku menyandarkan kepalaku ke sofa sambil menatapnya. “Kamu belum ngantuk..?” Tanyaku.
“Heemm..” ia menggeleng sambil tersenyum menggoda.
Aku memalingkan wajahku kembali menonton VCD..
Kini menayangkan adegan Asia Carera sedang mengulum kejantanan seorang pria dengan penuh semangat.
Kunikmati tontonan VCD tersebut.. lalu aku meneguk minuman dingin yang ada, “Aaacch.. segar..”
Sementara itu.. kejantananku mengeras kembali. Karena terus terang.. para pemain di film tersebut cantik-cantik..
sexy bagaikan para foto model.. dan hampir semuanya memiliki bentuk tubuh yang sangat indah.
Aku berbalik menatap Eksanti yang ternyata tangan kanannya sedang asyik meremas payudaranya sendiri..
sementara tangan kirinya sedang mengelus-elus kewanitaannya di atas rok mini yang masih rapi dikenakannya.
Ia pun menatapku.. dan tiba-tiba ditariknya kepalaku ke arah wajahnya.
Ia mencium bibirku dengan mesra. Tanpa ragu lagi, aku membalas dengan mengulum bibir tipisnya.
Sesaat kemudian ciuman Eksanti makin bertambah ganas. Kami pun saling berpagutan..
Kedua lidah kami menari-nari, kadang aku sedot lidahnya, kadang ia yang mengulum lidahku, seraya menggigit halus bibir bawahku.
Perlahan-lahan aku melepas bibirku dari mulutnya sambil mencium dengan lembut hidung, pipi, kelopak mata dan keningnya.
Eksanti menarik wajahku mendekat.
Ditatapnya mataku sambil berkata.. “Mas, make love with me, please..” dengan tatapan memohon bercampur gelora birahi.
Bibir kami pun kembali saling berpagutan dan kini tangan-tangan kami mulai saling menjelajah.
Tangan kiriku mengelus dada kirinya, melalui blouse sutranya yang masih tertutup bra.
Sementara tangan kananku merayap ke bawah, dari lutut terus naik ke pahanya, masuk ke dalam rok mininya dan menuju ke pangkal paha.
Jari-jari lembut Eksanti yang tadinya aktif mengelus kejantananku dari luar celana pantalonku..
kini mulai melepaskan kancing jaketku dengan kedua tangannya. Mulut dan lidah kami masih tetap saling berpagutan.
Setelah jaketku terlepas, Eksanti dengan gemas menjelajahi dadaku.
Ia menarik ke atas bagian bawah hem dari dalam celanaku dan langsung mulai melepas kancing hemku satu persatu.
Akhirnya aku pun bertelanjang dada. Eksanti mulai menciumi dadaku.
Disedotnya puting susuku yang kanan sambil diremasnya dadaku yang kiri.
“Oocchh.. nikmatnya..” lenguhku. Secara bergantian, hal yang sama dilakukannya pada dada kiriku.
Beberapa saat kemudian kuangkat tubuh Eksanti dan kami pun berdiri berpelukan.
Aku melepaskan blazer dan blouse-nya, kemudian menarik perlahan retsleting roknya.
Srttt.. kutarik rok itu ke bawah.. sehingga rok mininya terjatuh ke lantai. Eksanti masih asyik mengulum dan menciumi sekujur dada..
punggung serta leherku sambil mengeluarkan suara yang tak beraturan dari mulutnya.. “Hhhm.. aacchh.. mmm.. aacchh..”
“Aku suka wangi parfummu, Mas..” ujarnya manja.. “.. Aku sudah lama kangen sama baunya, Mas..”
Jemari lentik tangannya masih terus menjelajahi dada, leher dan kadang turun ke perutku.
Saat itu aku sedang menciumi rambutnya sambil mengelus-elus lembut dadanya.
Lalu kedua tanganku berpindah ke punggungnya.. Ctik.. kubuka pengait bra-nya. Bra Eksanti pun langsung terjatuh ke lantai.
Kuangkat dagu Eksanti yang sedang asyik menjelajahi dadaku. Kami pun bertatapan, aku melihat nafas Eksanti mulai menderu.
Dadanya naik-turun seirama dan kedua payudaranya terlihat mekar dengan indahnya.
Sambil menatap wajahnya, aku mengelus-elus lembut kedua payudaranya dengan gerakan memutar tanpa menyentuh kedua putingnya.
Mulutku mulai menciumi mulutnya kembali dan perlahan-lahan turun ke bawah, ke dagu.. terus lidahku menjilati lehernya.. terus ke samping leher..
Aku mengulum pangkal lehernya sambil lidahku aktif menari-nari di sana. Lalu aku bergeser ke bawah telinganya..
Selanjutnya daun telinganya aku jilati sambil aku tekan lubang telinganya.. lalu aku kulum daun telinganya sambil aku gigit-gigit halus.
Eksanti hanya bisa mendesah-desah sambil tangannya meremas punggung dan kejantananku dari balik celanaku.
“Aaah geliii.. eeenaaak.. Masss..” katanya.
Kedua tanganku masih asyik mengelus-elus lembut kedua payudaranya dengan gerakan memutar dan kadang meremas kedua payudaranya..
tetapi putingnya tetap tidak aku sentuh.
“Mas, remas puting Santi, please..” rengeknya manja dengan berusaha menarik kedua tanganku.
“No, not yet. Sabar Santi..” kataku sambil mengelus dadanya berputar, tetap menghindari kedua putingnya.
Kembali kupagut bibirnya. Eksanti pun memeluk leherku dan berkonsentrasi menikmati ciuman kami untuk kesekian kalinya.
Mukaku turun sambil terus menciumi pipi, dagu, lalu turun ke leher jenjangnya.
Eksanti menarik kepalanya ke belakang.. sehingga aku dapat lebih menikmati lehernya yang mulus itu dengan leluasa.
Berlanjut, sentuhan bibirku turun ke bahu, dada, masih menghindari putingnya, lalu langsung menuju ke perutnya yang ramping.
Lidahku menjilati sekitar perut dengan gerakan melingkar dan akhirnya aku menjilati pusarnya.
"Aacch.. geeliii.. Masss..” erang Eksanti menikmati sensasi bibir dan lidahku.
Kedua tanganku mengelus lutut hingga pangkal pahanya dan terus naik-turun..
memberikan rangsangan yang semakin meninggikan sensasi yang dirasakan Eksanti.
Aku berlutut sambil menengadah ke atas. Aku menatap mata Eksanti yang nampak mulai liar bernafsu.
Dengan kedua tangan, aku menyelipkan kedua telunjukku dari celah samping celana dalamnya yang berwarna hitam berenda transparan itu.
Perlahan kutarik celana dalamnya ke bawah dan dengan bantuan Eksanti yang mengangkat kakinya satu-per satu..
Splass.. maka kini terlepaslah celana dalam itu dari tubuh indahnya.
Aku mundur beberapa langkah dan menatap sekujur tubuh indah yang ada di hadapanku.
Tampaklah seorang wanita yang cantik dan sexy, dengan hanya mengenakan stocking halter..
stocking dan sepatu hak tinggi yang semuanya berwarna hitam.
Sungguh kontras dengan warna kulit tubuhnya yang seputih susu, dengan putingnya berwarna pink kecoklatan.
“Kamu cantik sekali, Santi..” kataku berterus terang. Mataku bergantian menatap dari ujung kaki hingga ke ujung rambutnya.
Tak terasa beberapa detik berlalu. ”Ayo, kita ke ranjang Santi, Mas..” kata Eksanti sambil melangkah kepadaku.
”Stop! berhenti di situ..!” Kataku tiba-tiba.
Ia pun berhenti dan kembali berdiri tegak. “Putar tubuhmu, Santi..” kataku memohon. Ia pun berputar sambil tersenyum menggoda.
Aku mendesah, “.. lagi.. kali ini pelan-pelan yaa.. !” Eksanti pun berputar-putar perlahan.
Tangannya bergerak meremas kedua payudaranya..
lantas naik dan akhirnya kedua tangannya memanjang tinggi di atas kepalanya, dengan kedua punggung tangan yang disatukan.
“Kamu suka, Mas..?” Tanyanya sambil tersenyum menggoda.
Aku tidak menjawab tetapi malah melepaskan sepatu, celana dan kaos kakiku.
Eksanti memandangi kejantananku yang telah berdiri perkasa di dalam celana dalamku.
“Hmm.. kejantananmu sudah tegang tuh Mas..”
kata Eksanti sambil mendelikkan matanya menatap sebuah garis tebal yang membekas di atas celana dalamku.
Aku mendatangi Eksanti sambil terus menatap matanya.
Kutarik dan kududukkan tubuhnya di atas sofa, lalu aku membuka lebar kedua pahanya.
Kini aku berlutut di hadapannya, aku menatap mesra kedua bola matanya, lalu aku ganti menatap kedua puting payudaranya.
Aku bertanya pelan.. “Kamu ingin aku melakukannya sekarang, Santi..?”
“Yes, please, Mas..” jawab Eksanti tersenyum senang sambil menggelinjang.
Aku menciumi bibirnya.. lidah kami saling menari-nari. Kadang aku menyedot lidahnya, kadang aku menggigit halus lidah bawahnya.
Kepala kami bergerak ke kiri ke kanan, bergantian.
Terkadang keluar suara aneh yang erotis.. prt-prrt.. mmnguuuh.. mmm.. dari bibir kami yang saling menyedot keras.
Kembali kedua tanganku meremas dan mengitari payudaranya dengan tetap menghindari kedua putingnya.
Kuarahkan mulutku ke dadanya dan lidahku mulai mengitari dada kanannya.
Aku menjilat di sekeliling dada kanannya, sambil terkadang aku mencium halus dan terkadang aku menyeret bibirku di atas dadanya.
Hal yang sama aku ulang di dada kirinya. Aku menatap mata Eksanti, lalu perlahan aku mengarahkan bibirku ke puting kanannya.
Kubuka bibirku, lidahku pun terjulur keluar dan menyapu halus puting kanan Eksanti.
Eksanti yang telah lama menantikan kenikmatan ini melenguh panjang. “Oocchh.. oochhh.. eeennaak.. geelii.. oocch.. Mas eeennnaaak..”
Lidahku masih terus menjilati dengan perlahan-lahan puting kanannya. “Eeecchhh.. hmmm.. ehmm.. eeennnaaak..”
Puting kanannya berdiri tegak. Aku memindahkan bibirku ke puting kirinya, kembali aku menjilat halus, Eksanti pun melenguh panjang, “eeecchhh..”
Kucium dada kirinya.. sambil mengemut puting kirinya dan aku memutar-mutarkan lidahku di sana. Kadang naik-turun merangsang puting kirinya.
Dan tak lama kemudian saat aku asyik mengulum puting kirinya, punggung Eksanti terangkat melengkung dan bergetar mengejang..
Beberapa detik tubuhnya mengejat.. sambil berteriak dengan nada yang tinggi, “Aaacchhhh..” Lalu tertahan sebentar dan turun lemas.
Rupanya Eksanti mampu mengalami orgasme hanya dengan rangsangan di payudaranya.
Tanpa henti, aku terus saja mengulum puting kirinya, yang masih sangat tegang.
Lalu aku beralih mengulum puting kanannya, sambil meremas dada kirinya.
Lenguhan Eksanti sudah tidak karuan lagi. Rupanya puting adalah salah satu daerah paling sensitifnya.
Aku pun sangat senang menikmati dada yang indah, kenyal, kencang berwarna putih, dengan semburat pink kecoklatan di sekitar putingnya itu.
Aku terus menikmati kedua payudara Eksanti. Kadang satu per satu.. kadang bergantian kiri-kanan sambil aku geleng-gelengkan kepalaku.
Tidak lupa aku menciumi belahan dadanya, sambil menjilat-jilat lembut di sana.
Ohhh.. Nikmat sekali melihat Eksanti puas dan nampaknya ia mulai menuju klimaksnya lagi.
Tangan kananku turun, aku menyusuri perut, aku mengusap-usap lembut, turun ke rambut kewanitaannya.
Jemari tanganku mengitari kewanitaannya dengan mengelus di sekitar pangkal pahanya.
Terus kuelus dengan telapak tangan naik-turun di atas kewanitaannya, lalu ujung jari tengahku memutar di pinggir celahnya.
Setelah puluhankali putaran jari telunjukku, akhirnya Eksanti mulai bergetar dan menggoyang pinggulnya.
Ujung jari tanganku bergerak naik-turun di atas kewanitaannya dari rambut kewanitaan hingga ke lubang anusnya, naik-turun berkali-kali.
Tak lama kemudian tubuh Eksanti bergetar dan makin mengejang.
Tidak ada gerakan yang aku hentikan.. malah jari tanganku mencari-cari sebuah daging kecil berwarna merah di celah lipatannya..
yang aku tau akan semakin meningkatkan sensasi orgasmenya.
Akhirnya aku temukan clitorisnya itu. Aku menekan dan aku mengelus lembut dengan telapak ujung jari tengahku.
“Aaacchhh.. aaacchhh.. aku keluarrrr..” teriak Eksanti. Ciuman di puting maupun elusan di clitorisnya tidak aku hentikan.
Agak lama juga Eksanti berteriak, kadang mendesah, melenguh, hingga akhirnya tubuhnya kembali lemas dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Gila kamu Mas, sudah dua kali Santi klimaks, padahal kejantananmu belum ngapa-ngapain..” katanya.
Aku menghentikan ciumanku, aku menatap kembali wajahnya. “Santai saja Santi, yang barusan kamu alami, baru awalnya saja..”
Lalu aku kembali mencium belahan dada, turun ke perut, ke rambut kewanitaannya..
terus ke celah kewanitaannya, pangkal pahanya dan kembali lagi ke celah kewanitaannya.
Eksanti membuka pahanya lebih lebar.. sehingga aku dapat lebih leluasa menikmati seluruh lipatan-lipatan kewanitaannya.
Kewanitaannya yang putih dengan bibir yang berwarna merah kecoklatan masih tertutup rapat oleh rimbun hitam bulu-bulu pubisnya.
Aku menciumi, lalu dengan lidah aku membelah (bagai membelah bibir mulut yang tertutup) dan akhirnya terbukalah bibir kewanitaannya.
Kuciumi sambil menjilatinya.. kadang naik-turun, kadang menyamping, kadang melingkar..
lalu aku berkonsentrasi menjilati daging kecil merahnya yang kecil tapi tampak tegang mengeras. “Uuucchhh.. aaaccchh..” Eksanti melenguh.
Lalu tiba giliran kedua bibir kewanitaannya yang aku jilati. Terkadang aku mengulum, terkadang aku menyedot hingga keduanya memerah.
Aku menjilati rongga dalam kewanitaannya yang sudah sangat basah, memutar.. kanan kiri..
dan kadang aku menusuk-nusuk dengan ujung lidahku yang sengaja aku bulatkan.
Aku menusuk, menekan dan aku memutar lidahku di lubang kewanitaannya.
Tidak aku perhatikan lagi lenguhan Eksanti, karena terus terang aku pun sangat terangsang, memberikan rasa nikmat yang luar biasa pada Eksanti.
Tangan Eksanti mulai mendorong kepalaku ke arah lubang kewanitaannya sambil pinggulnya bergoyang dengan desah yang tak beraturan lagi.
“Uucch.. aaacchh.. eeennnaaakkk.. aaacchh..”
Akhirnya Eksanti pun mencapai klimaksnya lagi sambil menarik kepalaku.
Ia membenamkan kepalaku ke arah kewanitaannya, sambil mendekap dengan kedua pahanya cukup kencang.
Aku terpaksa menggapai-gapai udara yang hangat tipis, lalu tubuh Eksanti kembali mengejang, tertahan, lalu terjatuh.
Aku terus menjilati lelehan cairan hangat cintanya itu dan langsung menelan penuh rasa nikmat.
Kemudian telunjukku aku jilati dan aku basahi dengan air liurku. Aku mulai memasukkan jariku ke dalam lubang kewanitaannya.
Aku menggerakkannya maju mundur, memutar, lalu aku membengkokkan supaya bisa lebih merangsang G-spot kewanitaan Eksanti.
Rangsangan maju mundur, masih terus.. dan terus.. aku berikan dengan jari kanan telunjukku.
Tangan kiriku meremas dan mengelus-elus lembut payudara kanannya, sementara lidahku mengulum dan menjilati clitorisnya.
“Lebih cepat lagi Mas, please..” lenguh Eksanti yang aku jawab dengan memasukkan jari tengahku.
Clupp.. Sekarang ada dua jari yang keluar masuk di dalam kewanitaan Eksanti.
Kecepatan gerakannya berirama, mula-mula lambat, lalu makin cepat dan makin cepat lagi.
Beberapa menit kemudian, aku melihat perut Eksanti menegang dan aku makin mempercepat gerakan jari tanganku.
“Te.. te.. tee.. ruu.. ruu.. ruuus.. faaa.. faaa.. asssterrr..” desah Eksanti.
Semakin kupercepat gerakan jari tanganku hingga akhirnya Eksanti mencapai klimaksnya yang ketiga, yang sedemikian tinggi sensasinya.
Kedua jemariku terasa diurut-urut dan diremas dinding-dinding kewanitaan dengan kerasnya.
Aku tidak segera menghentikan kegiatanku.. sehingga sensasi Eksanti itu cukup bertahan lama dirasakannya.
Lalu lidahku kembali menjilati kewanitaannya dan aku menelan sisa-sisa cairan nikmat Eksanti hingga bersih.
Setelah orgasme Eksanti berlalu, aku merebahkan kepalaku di dadanya.
“Aacch.. Mas, kamu masih seperti yang dulu. Mas selalu bisa memuaskan hasratku..” kata Eksanti sambil mengelus kepalaku.
“Kini giliran Santi yang akan memuaskanmu, Mas..” katanya melanjutkan.
Eksanti lalu menggeserkan tubuhnya, ia hendak memberikan felatio kepadaku.
Tetapi aku lebih dulu bangkit berdiri dengan kejantananku yang telah mengacung gagah.
Aku mundur beberapa langkah hingga akhirnya badanku bersender pada dinding.
Eksanti sempat terperangah menyaksikan tingkahku, tetapi kemudian ia mengerti.
Dengan menengadah seperti harimau lapar, kedua tangan dan lutut Eksanti bertumpu menyentuh lantai.
Wajahnya tersenyum menggoda, namun matanya memicing gemas dengan penuh nafsu.
Perlahan-lahan Eksanti bergerak ke arahku. Ia menijilati dengkulku yang kanan, menciuminya lalu menjilatinya lagi.
Bergantian, kini dengkul kiriku yang dijilatinya.
Setelah puas, mulut Eksanti bergerak ke atas, dengan ciumannya yang halus ia menikmati sekujur kulit pahaku hingga ke atas.
Lalu tiba-tiba badanku diputarkannya dengan kasar. Kini aku berdiri menungging menghadap tembok dengan tangan yang menumpu dinding.
Aku merasa tidak tau apa yang akan diperbuat Eksanti dari arah belakangku.
Ternyata Eksanti menciumiku mulai dari mata kaki, lalu perlahan naik ke betisku.
Mulutnya sempat menyedot-nyedot sebentar di sana, sebelum akhirnya naik lagi ke paha.
“Aaacch..” desahku saat Eksanti mulai menjilati belahan kedua buah pantatku.
Disatukannya kedua belah pantatku sambil dijilatinya, lalu dengan perlahan ia mulai berdiri.
Bibirnya terus naik menciumi punggung lalu ke pangkal leherku..
sementara tangannya masih tetap meremas dan mengusap-usap lembut kedua bola pantatku.
Sesaat kemudian, kembali diputarkannya badanku, lalu bibir kami berpagutan dengan gemas.
Eksanti melingkarkan kaki kanannya ke pinggangku sambil menggosok-gosokkan tubuhnya ke tubuhku, naik-turun, naik-turun.
Kejantananku semakin mengeras karena rasanya seperti dibelai-belai lembut oleh kulit lembut tubuhnya..
dan terkadang digesek-gesek kasar oleh bulu-bulu pubisnya.
Setelah itu Eksanti kembali melorot turun, berlutut di hadapanku.
“Apa kabar ‘yang..?” Katanya pada kejantananku sambil tersenyum nakal menatap wajahku.
“Ooocchh..” kataku tersenyum kegelian.
Slrupp.. Ia menjilati ujung kejantananku yang telah mengeluarkan cairan bening hingga bersih.
Karena kejantananku sudah tegak menegang, maka dengan mudah ia menciumi batangnya dari atas ke bawah, terutama pada bagian bawah kejantananku.
Didorongnya paha kiriku ke samping.. sehingga ia bisa leluasa menciumi hingga ke bagian belakang testisku, lalu ia mulai menjilatinya di sana.
Dari bagian itu, lidahnya naik perlahan hingga kembali ke ujung kejantananku, lalu diulangnya beberapakali..
sehingga membuat tubuhku bereaksi, seperti terdengar suara seeer.. seeer.. Aku hanya bisa mendesah pasrah.
Kejantananku akhirnya dimasukkan ke dalam mulutnya, sementara tangan kanannya mengelus-elus bagian dalam pahaku.
Sambil mulutnya maju-mundur memasukkan kejantananku, kini dibelai-belainya testisku dengan tangan kanannya.
Kemudian sambil terus mulutnya maju-mundur, tangan kanannya meremas, mengocok batang kejantananku dan tangan kirinya membelai-belai perutku.
Kejantananku disedot kuat-kuat di dalam mulutnya, sambil lidahnya berputar dan menjilati daerah yang berada persis di bawah kepala kejantananku.
Tingkahnya itu menyebabkan aku terjinjit-jinjit karena menahan rasa geli yang sungguh nikmat sekali.
Sesekali mata Eksanti menatap ke atas melihat reaksiku yang lebih banyak terpejam menatap ke atas
. Banyak variasi lain dibuatnya, kadang kejantananku diciuminya bagai orang bermain harmonika (atau orang makan jagung rebus).
Kadang kulit kejantananku agak ditarik ke atas.. sehingga ia dapat mengulum testisku dan mempermainkan lidahnya dalam mulut.
Kadang hanya lidahnya yang menari menjilati leher kepala kejantananku yang memang sangat sensitif..
lalu kembali diemutnya kepala kejantananku hingga keluar bunyi-bunyi erotis dari dalam mulutnya.
Setelah sekira limabelas menit berlalu.. aku mulai tidak tahan, aku menarik tangan Eksanti ke atas dan ia pun perlahan melepas kejantananku.
Kami kembali berciuman, kali ini dengan lembut dan mesra.
Segera kugandeng Eksanti ke sudut ruangan, lalu mengatakan.. “Santi, menghadaplah ke diniding.”
Ia lantas menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kedua siku tangannya.. sambil bola pantatnya menungging..
yang membuatku leluasa memandangi bentuk indah kewanitaannya dari arah belakang.
Otot betisnya semakin terlihat melonjong karena ia masih memakai sepatu pump hak tinggi.
Kuciumi punggungnya.. lalu turun ke buah pantatnya dan kini aku menjilati sepanjang belahannya.
Aku meremas-remas kedua bola pantatnya, sambil jilatanku beranjak turun melewati anus dan mulai menyentuh kewanitaannya.
Aku berlutut dan mendongakkan kepalaku ke atas dan kembali aku menjilat-jilat nikmat kewanitaannya.
Kini giliran kacang kecil merahnya yang aku sedot dan aku tekan-tekan dengan lidahku yang bergerak liar berputar-putar.
Hal ini menyebabkan hidungku terasa menekan-nekan, melesak ke dalam lubang kewanitaannya. “Hmmmm.. enaaak..”
Lima menit kemudian aku merebahkan tubuh indah Eksanti di atas tempat tidur. Aku di atas, dalam posisi 69.
Tubuhku sedikit bergerak naik-turun.. sehingga menyebabkan kejantananku keluar masuk mulut Eksanti dengan lancar.
Sementara itu aku menjilati kewanitaannya, dengan gerakan kepala yang agak maju mundur..
(seperti posisi push up yang disertai gerakan diving maju-mundur)..
sehingga lidahku memberikan tekanan ekstra, yang lebih keras dan lebih cepat pada dinding-dinding kewanitaan Eksanti.
Ketika Eksanti sudah sangat terangsang, tiba-tiba kegiatan itu aku hentikan.
Aku kembali ke sofa dan aku mengenakan kondom yang tadi telah aku beli sebelumnya.
Ketika aku kembali, aku melihat Eksanti sedang meremas-remas sendiri kewanitaannya.
Ia sudah sangat menginginkan datangnya klimaks lagi rupanya.
Mukanya tampak agak kesal dan tampak mulai frustrasi..
tetapi begitu ia melihat kejantananku telah mengenakan kondom, senyumnya kembali mengembang. Lidahnya keluar membasahi bibirnya.
Ayo.. cepat Mas, bara birahiku sudah siap meledak, membakar..! Eksanti berkata dalam hati.
Selanjutnya.. aku membimbing Eksanti berdiri, kami saling berhadapan.
Kaki kanan Eksanti aku naikkan ke atas kursi dan Eksanti dengan tangan kirinya memasukkan kejantananku ke dalam celah sempit kewanitaannya.
Kupompa maju mundur selama sekitar lima menit, lalu aku mengitari badan Eksanti dan kini aku memasukkan kejantananku dari arah belakang.
Lima menit kemudian aku menurunkan kaki Eksanti.. sehingga kini kedua tangannya yang memegang pegangan kursi.
Gerakan memompaku makin cepat. Kadang diselingi dengan gerakan memutar.. kadang kaki kanannya aku majukan sedikit..
sehingga kejantananku masuk tidak lurus tetapi lebih menekan dinding samping kiri kewanitaannya.
Tidak beberapa lama kemudian ia meregang.
“Ooocch.. mmm.. my God.. !.” Dan ia mencapai klimaksnya lagi. Aku menarik tubuhnya.
Aku memeluk sambil tanganku meremas-remas kasar, mengusap-usap lembut kedua bukit payudaranya..
untuk memperlama masa orgasme yang dialaminya.
Tidak lama setelah orgasme Eksanti lewat, aku membaringkan tubuhnya di tepi tempat tidur.
Kulepaskan kedua sepatunya, pantatnya menghadap ke arahku..
Lalu.. Jlebb.. aku masukkan lagi kejantananku ke dalam lubang kewanitaannya dari arah belakang.
Setelah beberapa menit aku menggoyang maju-mundur.. yang sangat menekan-nekan dinding kanan kewanitaannya..
Lalu kuputar tubuh Eksanti hingga berlutut menghadap ke arah kaca rias. Kami melakukan gaya doggy style.
Karena irama kecepatan gerakanku pelan.. tetapi sangat keras ketika menancapkan kejantananku..
maka begitu keras bunyi pahaku ketika beradu dengan pantatnya, slapp.. slapp..
Eksanti mulai tampak tersengal-sengal dan akhirnya kepalanya jatuh ke atas tempat tidur.
Aku tetap menggoyang-goyangkan buah pantatnya, lalu tiba-tiba aku melepas kejantananku perlahan.
Wajah Eksanti tampak bertanya-tanya, gaya apa lagi yang akan aku lakukan.
Aku berbaring dan kini tubuh Eksanti yang duduk tegak, naik-turun di atas tubuhku.
Tangan kami saling berpegangan untuk memberi extra support bagi tubuh Eksanti yang naik-turun cukup tinggi.
Kejantananku sering hampir terlepas setiap kali ia menaikkan tubuhnya.
Kedua mataku tak henti-hentinya memandangi payudaranya yang terayun-ayun indah.
Menjelang datangnya klimaks kami berdua, kembali aku memeluk erat tubuh Eksanti.
Kini ia yang berbaring. Aku mengangkat kedua kakinya ke atas bahuku dan aku bergerak maju mundur.
Kadang aku satukan kedua kakinya sambil tetap memompa.
Kadang kedua kaki itu aku miringkan 45 derajat sambil terus maju mundur berirama, yang semakin lama semakin cepat.. dan semakin cepat lagi.
Klimaks Eksanti yang telah tertunda kini mulai mendekati puncaknya. Kurebahkan kedua lututnya ke depan..
sehingga aku setengah berdiri sambil terus memompanya, dengan irama kecepatan yang semakin laam semakin tinggi.
Rasanya puncak nikmatku pun mulai akan segera datang dan aku tidak akan mampu menahannya lebih lama lagi.
“Lebih cepattt Mass.. lebih kerasss.. Mass..” jerit Eksanti.
Irama yang makin cepat dan tekanan yang makin kuat membuat seluruh batang kejantananku..
benar-benar merasakan remasan kuat dinding-dinding kewanitaan Eksanti yang sangat basah.
“Pijat punyakuuu.. remass punyakuu.. perasss punyakuuu.. Santiii..” aku membalas jeritannya.
“I aaammm cummminggg.. aaacchhhh..” kata Eksanti yang langsung aku ikuti.
“Aacchhh.. aacchhh..” plash.. plash.. plash.. cratt.. cratt.. cratt. cratt.. cratt..
Lava kentalku yang telah cukup lama mendesak-desak di dalam kejantananku.. tiba-tiba meledak..
Muncrat dengan kuatnya di dalam kondom yang berada di dalam kewanitaan Eksanti..
Peluh kami bercucuran. Aku bertopang pada kedua siku tanganku, di atas tubuh molek Eksanti.
Eksanti mengunci erat pinggangku dengan kedua kakinya, sambil tangannya memeluk erat leherku.
Kucium keningnya lembut, di tengah nafas kami berdua yang masih tersengal-sengal. Kuandangi ekspresi nikmat wajah cantiknya.
Sesaat setelah nikmat orgasme kami berlalu, aku melihat setetes air mata jatuh di pipinya.
Aku mencoba untuk bergerak mundur, tetapi Eksanti menahan gerakanku.
“Kamu menyesal..?” Aku bertanya lirih dengan berhati-hati, sambil menyeka air matanya.
“Nggak, Mas. Bukan karena itu..” jawabnya dengan mata berbinar.
“Justru aku merasa sangat bahagia.. aku terharu, Mas..” Ia tersenyum.
“Selain dengan kamu, belum pernah aku merasakan orgasme yang seindah ini, Mas..” lanjutnya.
Lalu ia mencium bibirku, dibelainya lembut kepalaku.
Sambil tersenyum ia berkata.. “Terimakasih Mas, kamu baik sekali padaku..” ia masih terus mengelus-elus rambutku mesra.
Kami berciuman lembut.
Saat aku merasakan kejantananku telah mengecil, aku mencoba menariknya dari dalam kewanitaan Eksanti, namun ia masih menahanku.
Aku mengatakan, “Santi, punyaku ‘kan masih pakai sarung..”
Ia menjawab, “Ooo.. ouuw.. sorry..” hingga akhirnya ia melepaskanku.
Aku pergi ke kamar mandi melepas kondom, pipis dan cuci tangan.
Lalu aku membuka kran shower air hangat.
oOo
Aku kembali ke tempat tidur, lalu aku membopong tubuh Eksanti dan kami pun mandi bersama.
Kami saling menyabuni, dengan wajah penuh senyum puas.
Setelah selesai berbilas dan saling mengeringkan badan, dengan hanya berlilitkan satu handuk besar, kami kembali ke tempat tidur.
Eksanti melepas handuknya, kami berdua telanjang dan aku membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Aku beranjak sebentar, lalu kembali dengan dua kaleng minuman dingin yang masih penuh isinya.
Setelah meminum dua tiga teguk panjang, kami berbaring telanjang saling berhadapan dengan muka tersenyum.
“Mas, terimakasih yaa.. untuk kenikmatan yang barusan kamu berikan tadi..” katanya.
“Sama-sama..” aku menjawab. “Sayang yaa.. kita sama-sama masih menjadi milik orang lain..?” Lanjutku dengan nada berbisik.
“Tapi itu tidak akan menghalangi kita untuk bisa tetap berteman intim selamanya ‘kan..?” Kata Eksanti menatap, memohon.
“Well.. kita adalah dua orang yang sedang kesepian Santi.. dan kebetulan gaya bicara kita bisa saling nyambung.
Jadi, untuk yang satu itu.. kita lihat saja nanti yaa..” aku berkata tegas.
Eksanti langsung menerjang, memelukku. Diciuminya kening, mata, pipi hidung dan mulutku.
“Thanks Mas, that’s all that I needed for now on..” sambil kembali menatapku mesra.
Sementara aku bertanya-tanya dalam hati tentang hubunganku dengan Eksanti ini, is this love or just passion..?
Aku mencium bibirnya mesra.. Ia masih ingin bicara lagi, tetapi aku segera meletakkan telunjukku di bibirnya.
“Ssshhh.. besok pagi saja lagi bicaranya, aku capek..” Eksanti mengedipkan matanya tanda setuju. Kami masih terus berpandangan.
Mata Eksanti terlihat makin sayu karena kelelahan.. digesernya aku hingga terlentang..
Kini ia pun dalam tengkurap dengan kedua tangan memeluk leherku dan kepalanya disandarkan di dadaku.
Kami pun tertidur lelap hingga pagi hari.
Again.. is this love or just passion.. aku benar-benar tidak tau.. Ahhh.. (. ) ( .)
------------------------------------------------------------------------------