Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[KOMPILASI] FROM OFFICE AFFAIR (CopasEdit dari Tetangga)

-----------------------------------------------------------------

Cerita 15 – Gadisku

Chapter 10 – The Riot

Seingatku
kejadian ini terjadi di pertengahan bulan Maret 1998, saat ramai-ramainya demonstrasi melanda Jakarta.
Ketika itu sudah lebih dari tiga bulan Eksanti pindah ke kantornya yang baru, yang berlokasi di daerah Jakarta Pusat..
sedangkan kantorku masih menempati sebuah Ruko kecil di bagian utara Jakarta.

Dalam tiga bulan pertama perpisahan kami, sejak terakhir kali aku sempat pergi bersamanya.. (Gadisku: (Probably) The Last Session)..
aku memang jarang berkomunikasi dengan Eksanti.

Namun sekitar pukul 16.00 tadi, aku mendengar bahwa Eksanti sempat mampir sebentar ke kantorku..
untuk mengambil beberapa file penting miliknya yang masih tertinggal di kantorku ini.

Sayangnya.. saat itu aku sedang kedatangan tamu.. seorang klien yang sangat penting bagi perusahaanku..
sehingga aku sama sekali tidak sempat meninggalkan tamuku untuk menemui Eksanti barang sejenak.

Aku sedikit merasa kesal dan kecewa ketika tamuku pulang, karena ternyata Eksanti juga baru saja meninggalkan gedung kantorku.
Receptionist di lantai bawah mengatakan bahwa sebenarnya tadi Eksanti telah menunggu aku cukup lama.

Tetapi karena ia merasa khawatir dengan informasi di radio yang memberitakan bahwa situasi demonstransi semakin memanas..
sehingga akhirnya ia memutuskan untuk cepat-cepat pulang.
Maklum saja.. suasana Jakarta waktu itu memang agak mencekam, apalagi bagi seorang wanita seperti Eksanti.

Sore itu di sekitar kompleks ruko kantorku pun sudah dipenuhi oleh para demonstran..
baik yang memakai jaket mahasiswa maupun orang yang tidak memakai atribut apapun.

Karena sudah jam 18.00 dan ingin segera sampai di rumah.. aku nekat keluar dari kantor walaupun banyak teman-temanku yang menasehati..
bahkan melarang agar aku jangan meninggalkan gedung dengan menggunakan kendaraan, dalam situasi yang sedang sangat semrawut seperti ini.
Namun peringatan mereka ini aku tidak aku indahkan.

Belum jauh aku meninggalkan kantor melewati jalur lambat yang penuh dipadati oleh para demonstran..
kaca jendela kiri mobilku terasa dipukul oleh tangan dengan agak keras.

Tadinya aku membiarkan saja, karena aku berfikir pasti itu adalah ulah tangan-tangan jahil para penjarah yang mengaku sebagai demonstran.
Tetapi setelah aku melihat sekilas, ternyata yang memukul jendela tadi adalah seorang wanita.. Eksanti. Ia kelihatan berwajah lusuh dan sangat ketakutan.

Segera aku membuka kunci pintu depan mobilku dari dalam. Dengan sigap Eksanti meloncat masuk ke dalam mobil dan mengunci pintunya kembali.
Tubuh Eksanti terlihat gemetaran dan ekspressi wajahnya dipenuhi oleh rasa ketakutan.

“Maaas.. cepat deh.. cari jalan yang sepi dan cepat keluar dari daerah sini.. bisa-bisa Santi mati ketakutan..
Tadi waktu Santi nunggu taksi di pertigaan itu, Santi melihat tentara dan orang-orang sudah saling bentrok dan pukul-pukulan..
malah ada yang lempar-lemparan batu..” ia bercerita penuh rasa khawatir.

Aku melirik sebentar ke arahnya dan baru aku perhatikan bahwa seluruh pakaian Eksanti ternyata basah kuyup.
Aku bertanya.. “Santi.. kenapa bajunya sampai basah kuyup begitu..?”

Eksanti menjelaskan dengan bibir gemetaran..
“Waktu di pertigaan tadi Santi kena semprotan air yang disiramkan oleh mobil tentara untuk mengusir para demonstran..”
Lalu ia melanjutkan lagi cerita tentang kejadian yang baru saja dilihatnya dengan lebih rinci.

Jujur saja.. aku sebenarnya juga merasa khawatir dengan suasana mencekam saat itu..
apalagi mobilku kembali dipukul-pukul oleh tangan-tangan jahil para demonstran. Aku menjadi bertambah ngeri mendengar cerita Eksanti ini.

Akhirnya, terpaksa aku hanya sekilas saja mendengarkan penjelasannya dan sudah tidak peduli lagi dengan suasana panas di sekeliling kendaraanku.
Aku hanya berusaha menjalankan mobil secara pelan di tengah kerumunan orang ramai untuk mencari putaran terdekat ke arah pintu tol.

Kupikir bahwa jalan layang tol di atas sana pasti lebih aman. Ketika mobilku telah berhasil berputar ke arah pintu tol..
ternyata aku melihat jalan layang tol itupun tidak kalah ramainya dengan jalanan di bawahnya yang baru saja aku lalui.
Jalan tol itu dijadikan tempat lari dan berlindung oleh orang-orang yang sedang di kejar-kejar tentara dan polisi.

Untungnya tidak jauh dari pintu tol itu aku melihat ada sebuah kompleks Ruko yang pintu pagarnya masih terbuka..
dan dipenuhi dengan mobil-mobil yang diparkir lebih dulu untuk berlindung di situ.

Kubatalkan niatku untuk mengambil antrean masuk ke jalan tol dan mobilku berjalan merayap lambat ke sisi kiri.
Lalu segera saja aku Masukkan dan aku memarkir mobilku dengan susah payah di halaman kompleks Ruko itu.
Kulihat arlojiku.. jam telah menunjukkan pukul 19.00 malam. Gila.. perlu waktu 1 jam, hanya untuk menempuh jarak kira-kira sejauh 2 km dari kantorku.

Kulihat Eksanti duduk diam gelisah.. ia kelihatan masih ketakutan.
Badannya sedikit menggigil, mungkin kedinginan karena bajunya yang basah itu.

Setelah aku berhasil mencari tempat parkir yang cukup aman untuk mobilku.. tiba-tiba saja Eksanti menangis dan memelukku.
“Bagaimana kita.. Maaas, kita bisa pulang apa tidak..? Santi takuuut.. Maas..”

Aku sebenarnya masih merasa ngeri setelah menjalankan kendaraan di tengah kerumunan para demonstran yang terlihat sedang beringas itu.
Tetapi aku harus mencoba untuk menenangkannya dengan mengelus-elus pundaknya..
“Tenaaang.. tenaang.. saja Santi.. mudah-mudahan di sini kita aman dan nggak akan ada apa-apa..”

Setelah beberapa saat dan mungkin Eksanti sudah sadar, tiba-tiba ia melepas pelukannya.
“Aaacch.. maaf.. yaaa.. maaas, habis Santi takut sekali..” katanya lirih.
“Nggak apa-apa kok.. San..” jawabku sambil aku elus-eluskan punggung tangan kiriku di pipinya.

Sudah satu jam lebih kami di berada di dalam mobil yang diparkir di kompleks Ruko ini.
Bisa dibayangkan bagaimana kesalnya kalau sedang menunggu tapi tidak tau apa yang sedang ditunggu.

Apalagi situasinya bukan semakin sepi.. tetapi semakin ramai dan semrawut.
Petugas keamanan dan orang-orang saling kejar-kejaran dan lempar-lemparan.. sehingga membuat Eksanti semakin bertambah ketakutan.

“Maaas.. gimana.. dooong..? Apa kita mau di sini teruuus..? Santi sudah kedinginan.. bisa-bisa masuk angin nanti..”
kata Eksanti sambil mendekapkan kedua tangannya di dadanya.

Karena keadaan seperti ini.. membuatku jadi kehilangan akal dan aku menjawab pertanyaan Eksanti sekenanya.
“Yaaa.. habis mau gimana lagi.. San..? Mau meneruskan perjalanan juga nggak mungkin..” lanjutku.

“Oooh.. iyaaa San.. aku baru ingat.. kira-kira 500 meter dari kompleks ini kan ada Hotel.. gimana kalau kita ke sana..?
Yang penting Santi bisa telepon ke rumah, mengeringkan baju dan kita bisa istirahat sebentar.. sambil menunggu sampai suasana menjadi agak sepi.
Lalu nanti baru Mas antar pulang ke rumah kostmu..” kataku.

Santi tidak segera menjawab dan ia kelihatan sedikit ragu.
“Ayooo.. deh Mas, kita ke sana. Kayaknya kita nggak punya pilihan lain ‘kan..?” Katanya tiba-tiba.
“Benar juga kata Mas tadi.. Santi ingin memberitahu teman-teman di kost.. kalau Santi masih selamat dan nggak apa-apa..”
oOo

Setelah aku mengunci pintu mobilku, lalu kami berjalan keluar kompleks Ruko itu dan masuk di sela orang-orang yang hiruk-pikuk di jalanan.
Dengan bersusah-payah karena harus berdesak-desakan.. akhirnya kami bisa sampai ke depan pintu Hotel tanpa hambatan yang berarti.

Tetapi ketika aku mengajak masuk ke dalam lobby Hotel.. tiba-tiba Eksanti berhenti dan melihat ke arahku.
Aku mengerti dengan keragu-raguannya dan segera aku katakan.. “Santi.. jangan takut.. kita bisa pesan 2 kamar. Ayooolaah..”
kataku lebih lanjut sambil menggandeng tangannya masuk ke dalam lobby Hotel.

Ketika aku memesan 2 kamar kepada receptionist Hotel.. ternyata.. “..Yang tersisa hanya 1 kamar Junior Suite pak
. Sedangkan kamar lainnya sudah dipenuhi oleh orang-orang yang baru masuk seperti bapak..” kata receptionistnya.

Aku melihat ke arah Eksanti untuk meminta pendapatnya, tetapi belum sempat pertanyaanku keluar..
Eksanti segera menyahut.. “Oke deh Mbak.. kami ambil saja..” katanya kepada receptionist hotel.
Ia segera merogoh tasnya, mungkin mau mengambil uang atau credit cardnya, tapi tangan Santi segera aku pegang dan aku katakan, “Biar Mas saja..”

Setelah administrasinya aku selesaikan, kami diberi kunci dan ditunjukkan arah kamarnya.
Karena suasana di dalam hotel juga terlihat agak kacau.. sehingga tidak ada bell boy yang bisa mengantarkan kami ke arah kamar..
seperti biasanya standar operasi sebuah hotel berbintang seperti ini.
Kami pun maklum.. sehingga kami memutuskan untuk langsung menuju kamar yang ditunjukkan itu, tanpa harus ada yang mengantarkannya.

Setelah kunci pintu kamar aku buka, Eksanti yang aku persilahkan masuk ke kamar terlebih dahulu.
Ternyata ia tidak segera masuk dan aku mengetahui keragu-raguan yang muncul di wajahnya.

Sambil memegang pundaknya, lalu aku mengatakan, “Santi, jangan takut.. Mas janji nggak akan mengganggumu..”
Mendengar kata-kataku ini.. Eksanti langsung memelukku serta mencium pipiku sambil berkata.. “Terimakasih Mas, Santi nggak takut.. kok..”

Setelah masuk ke dalam kamar yang cukup luas dengan tempat tidur yang mewah itu..
segera Eksanti menuju ke tempat telepon dan memencet angka-angkanya.

“Mbak, ini Santi.. Santi sedang di tempat kost-kostan temanku di dekat kantor..”
katanya sambil melihat ke arahku dan meletakkan jari telunjuknya di bibirnya dan terus menceritakan aksi-aksi demonstran tadi.
“Mungkin aku akan nginap di sini sampai semuanya aman dan mudah-mudahan besok pagi aku bisa pulang..” lanjut Santi di telepon.

Setelah Santi selesai dengan telephonenya lalu dia mengacungkan gagang phone padaku.
“Mas, apa Mas nggak telephone ke rumah dulu supaya yang di rumah nggak was-was..?” Kata Santi.

Benar juga kata Santi dalam pikiranku, lalu aku mengambil gagang telepon dari tangan Santi dan aku putar nomor rumahku.
“Ini aku.. aku nggak bisa pulang malam ini dan sekarang aku ada di rumah salahsatu teman kantor yang rumahnya nggak jauh dari kantor.
Mudah-mudahan demonya selesai malam ini dan besok pagi aku bisa pulang...” kataku sambil meletakkan gagang telepon di tempatnya.

Kami saling bertatapan dan hampir secara serentak kami berseru dan saling menunjuk.. “Naaah.. belajar bohong yaaa..?” Sambil terus tertawa bersama.
“Mas, Santi mau mandi duluan yaa..?” Kata Eksanti sambil berjalan ke arah kamar mandi, tetapi kemudian berhenti dan berbalik menengok ke arahku.

"Mas, kalau Santi mandi nanti.. tolong panggilkan room boy-nya dong.
Minta tolong mereka mencuci baju kita super kilat.. supaya bisa kita pakai lagi dengan segera..”
“Iyaaa.. tuan putri.. perintah dilaksanakan..” kataku bergurau.

Eksanti segera masuk ke kamar mandi, tetapi selang beberapa saat dia keluar lagi dengan hanya mengenakan lilitan handuk di badannya.
Ia meletakkan bajunya yang telah digulung-gulung di atas lantai, kemudian mengacungkan sebuah handuk lain kepadaku.

“Niiih Mas, ganti deh bajunya dengan handuk ini.. supaya room boy-nya bisa mencuci baju-baju kita..”
Setelah selesai berkata dan tanpa menunggu jawabanku, Eksanti segera masuk lagi ke kamar mandi serta menguncinya dari dalam.

Aku menjadi sangat terperangah melihat ke-sexy-an Eksanti tadi yang hanya mengenakan lilitan handuk.
Sejenak aku sempat melihat belahan dadanya sedikit tersembul di balik handuk yang menutup dadanya..
bahkan kulit pahanya yang putih serta mulus itu, tidak sempat tertutup dengan rapat.

Tidak terasa, kejadian yang hanya sesaat itu ternyata sudah mampu membuat birahiku naik ke permukaan.. sehingga kejantananku menjadi berdiri tegang.
Setelah aku membuka baju dan celanaku, aku segera membungkus badanku dengan handuk yang diberikan Santi.

Aku mencari formulir laundry di dalam map hotel di sebelah meja TV dan segera mengisinya.
Tetapi karena aku tidak mengetahui jenis apa saja pakaian Eksanti yang akan dicuci..
terpaksa aku membuka pakaian Eksanti yang digulungnya tadi, satu per satu.

Ternyata selain blouse dan roknya, di dalam gulungan itu terdapat bra warna krem..
dengan renda-renda indah di sekitar cup-nya yang kira-kira mempunyai ukuran 32.
Selain itu ada lagi celana dalam dari bahan satin yang sangat tipis berwarna cream, yang juga memilik renda-renda tak kalah indahnya.

Melihat bra dan celana dalam ini, perasaanku menjadi semakin terangsang.
Sebelum aku memasukkan ke dalam laundry bag, aku sempat mencium celana dalam dan branya beberapa saat.
Wuihh.. Tercium aroma keringat dan kewanitaannya dengan wangi khas yang sangat aku kenal.

Puas melakukan itu, aku baru memanggil room boy untuk mengambil pakaian-pakaian kotor..
dengan pesan singkat agar diantar kembali secepat mungkin, paling lambat besok pagi.

Kudengar kunci kamar mandi dibuka dan Eksanti muncul dengan rambut yang masih basah.
Wajahnya terlihat segar, roman mukanya bertambah cantik dan semakin sensual.

Apalagi badannya masih terlilit dengan handuknya..
sehingga kembali membuat mataku sedikit terbelalak, karena menyaksikan belahan payudaranya serta kulit pahanya yang putih mulus itu.

“Mas, ngelihatnya kok begitu amat sih..? Iiihh.. menakutkan sekali..?" Kata Eksanti sambil berjalan menuju kaca.
“Mas, sekarang gantian deh, supaya badan Mas kembali segar, Mas mandi. ‘Ntar Santi pesankan makan, Mas mau makan apa..?” Lanjutnya lagi.

“Makan apa yaa..?" Sahutku seakan bertanya.. “Makan Santi.. aja deh..” lanjutku santai sambil berjalan menuju kamar mandi.
“Haaah..!? Makan apa Mas..?” Sahut Santi sambil membelalakkan matanya dan mencubit tanganku ketika aku melewatinya.
“Aacch.. maaf Santi, Mas salah ngomong, maksudku, makan seperti yang Santi pesan saja..” jawabku sambil tersenyum dan lalu masuk ke kamar mandi.

Setelah selesai mandi, aku melihat makanan sudah siap di atas meja sofa yang ada di sudut kamar.
Karena sudah merasa sangat lapar, kami langsung makan dengan hanya mengenakan lilitan handuk di badan.
Sesekali aku melirik paha Eksanti yang selama makan di tumpangkan ke paha satunya.

Aku berharap, siapa tau Eksanti mengubah posisi duduknya..
sehingga aku bisa melihat bagian dalam pahanya yang aku yakin tidak memakai celana dalam karena semua pakaiannya sedang dicuci.
Tetapi harapanku tidak pernah terwujud sampai acara makan kami selesai.

Setelah selesai makan, kami meneruskan dengan mengobrol masalah demonstrasi tadi..
masalah kesibukan pekerjaan dan masalah-masalah lain sambil melihat acara TV.
Sampai akhirnya aku melihat Eksanti menguap dan aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 21.45 malam.

Segera saja aku mengatakan, “Santi.. sudah malam nih, kita tidur saja.. biar kita bisa bangun pagi-pagi dan terus pulang..”
kataku sambil mengambil satu bantal di antara tiga bantal yang ada di tempat tidur.

Tidak lupa aku juga menarik bed cover dan meletakkannya di atas Sofa.
Melihat tindakanku itu, segera saja Eksanti berkata, “Mas.. lho.. kok Mas tidur di situ..?"

“Nggak apa apa deh.. Santi.. tadi ‘kan Mas sudah janji nggak akan nggangguin kamu.
Lagipula biar Santi bisa tidur lebih nyenyak..”
sahutku dengan tersenyum sambil merebahkan tubuhku di atas sofa dan menarik bed cover untuk menyelimuti badanku.

“Mas, tidur di sini saja, ‘kan tempat tidurnya cukup lebar..”
kata Eksanti sambil tiduran dan masuk ke dalam selimut serta meletakkan salah satu bantal di tengah-tengah tempat tidur.

“Sudahlah Santi.. nggak apa-apa kok.. tidurlah..” kataku sambil terus memejamkan mata.
Tetapi Eksanti masih tetap saja memaksa agar aku tidur di atas tempat tidur..
“Mas, ayooo.. dooong.. tidur di sini.. Santi ‘kan jadi nggak enak..” kata Eksanti lagi.

Karena terus dipaksa, akhirnya aku beranjak menuju ke tempat tidur.
Aku memasukkan badanku ke dalam selimut sambil melepaskan lilitan handuk yang ada di tubuhku.

Sempat kudengar suara Eksanti agak mengguman.. “Tapi.. janji jangan nakal yaa.. Mas..” sambil memiringkan badannya..
sehingga posisi tidurannya membelakangiku.

Aku berbaring dengan posisi telentang. Kutumpangkan tangan kananku di atas bantal yang tadi diletakkan Eksanti di tengah kasur..
sebagai pemisah tubuh kami.

Aku berusaha keras memejamkan mataku agar cepat bisa tertidur.
Beberapa lama kemudian, ketika aku sudah hampir terlelap, tiba-tiba aku merasakan telapak tangan kananku ditimpa oleh tangan halus Eksanti.

Tidurku menjadi agak terjaga dan aku terpaksa membuka mata sedikit. Aku melihat Eksanti telah tidur telentang juga.
Namun karena sudah mengantuk sekali.. aku membiarkan saja telapak tangan kirinya bertumpu di atas telapak tangan kananku..
karena kupikir Eksantipun sudah tertidur lelap.

Tetapi beberapa saat kemudian, aku merasakan jari-jemari tangan Eksanti seperti mengelus telapak tanganku.
Mula-mula kubiarkan saja.. dan aku tidak mengacuhkannya.. Aku beranggapan kalau orang tidur, kadang-kadang tangannya memang suka bergerak-gerak.

Tetapi setelah aku rasakan beberapa saat, ternyata jari-jemari tangan Santi sekarang mulai memijat jari tanganku walaupun tidak terlalu keras.
Ketika merasakan pijatan-pijatan halus di tanganku itu, rasa kantukku mendadak menjadi hilang..

Tetapi aku masih tetap berpura-pura seolah-olah masih lelap tertidur. Kubiarkan jari-jemari lentik Eksanti meremasi jari tanganku.
Makin lama remasan jemari Eksanti semakin agak keras.. sehingga aku menjadi semakin yakin kalau sebenarnya Eksanti juga masih belum tertidur.

Sambil tetap memejamkan mataku, aku menarik nafas sedikit agak panjang.
Aku menggerakkan dan memiringkan posisi tidurku menghadap ke arah Eksanti.

Tangan kiriku aku jatuhkan di atas bantal pemisah..
Tetapi telapak tangannya sengaja aku jatuhkan perlahan tepat di atas payudara Eksanti yang masih tertutup selimut rapat.
Kuatur nafasku seolah aku sudah tertidur nyenyak, tetapi aku tidak bisa mengontrol kejantananku yang mulai berdiri.

Eksanti kelihatannya mendiamkan saja posisi tanganku ini.. dan sama sekali tidak berusaha untuk menggeser telapak tanganku..
yang kini berada tepat di atas payudaranya.

Eksanti tetap saja melanjutkan remasan-remasan lembut jemarinya ke jari-jari tangan kananku..
karena mungkin masih menyangka kalau aku sudah tertidur nyenyak.

Sesekali aku tekankan telapak tangan kiriku pelan-pelan ke payudaranya.. tetapi masih saja Eksanti tidak bereaksi.. sehingga membuatku bertambah berani.
Tekanan jari tanganku aku ubah menjadi remasan-remasan yang halus pada payudaranya.

“Mas..?” Tiba-tiba terdengar suara lemah Eksanti seraya memelukku, setelah ia membuang bantal pemisah ke atas lantai.
Momen indah ini tidak aku sia-siakan. Langsung saja aku memeluk erat tubuh Eksanti.

Tanpa canggung lagi bibirku mulai mencium lembut bibirnya.. ternyata Eksanti pun membalas.
Eksanti begitu menggebu-gebu melumat bibirku disertai dengan juluran lidahnya ke dalam mulutku.
Nafasnya mulai terdengar cepat, serta mulai tidak beraturan.

Seperti pengalamanku sebelumnya, Eksanti begitu mudah terangsang oleh ciumanku..
sehingga aku langsung meneruskan dengan menjilati leher jenjangnya disertai dengan melakukan gigitan-gigitan kecil di sana.

Tanganku mulai bergerilya dengan menelusupkan jemariku di balik selimutnya.
Oocchh.. aku sudah tidak sabar ingin segera menyaksikan keindahan di baliknya..
sehingga aku mempergunakan kesempatan yang ada untuk melepas selimut dan handuk yang menutupi tubuh kami berdua.

Dengan sedikit kasar aku menarik kain selimut bagian atas tubuhnya itu ke samping.
Maka tampaklah dua buah bukit indah dengan puting yang merah kecoklatan. Begitu bersih dan putih tubuhnya.

Aku terpana sesaat dan kembali lidahku menjilati lehernya, lalu pelan-pelan turun ke arah dadanya.
Eksanti mendengus perlahan sambil mengacak-acak rambutku. Ketika aku melingkar-lingkarkan lidahku di seputar puting payudaranya..

Eksanti makin keras melenguh. Lenguhannya semakin membuat emosi jiwaku memuncak..
“Isaap.. Mas.. isapp.. terusss.. aacchh..” ia mulai meracau merasakan nikmat.

Aku menyedot, mengisap putingnya.. lalu seiring dengan makin memuncaknya birahi yang ia rasakan.. aku menggigit putingnya dengan lembut.
Mulut Eksanti semakin meracau, menggila, mendesah-desah tidak karuan.

Sementara itu, di bawah sana perlahan-lahan aku memasukkan jemari tanganku di balik kain selimutnya.
Ooocch.. begitu halus bulu kewanitaannya dan aku bisa merasakan begitu basah belahan daging lembutnya.

Aku kembali tidak sabar, kain selimut bagian bawah itu aku campakkan ke samping..
sehingga tubuh Eksanti yang telanjang bulat segera tampak, begitu mulus dan putih kulitnya.

Sejenak aku memandangi tubuh indahnya dengan tertegun, kini sudah tidak ada lagi bagian tubuh kami yang tertutup kain..
kini kami berdua telah telanjang bulat tanpa selembar benang pun.

Kepalaku kembali mendekat ke arahnya dan aku segera menggigit-gigit kecil serta menjilati perutnya perlahan-lahan.
Mulutku terus turun ke arah pangkal pahanya, lalu.. turun lagi sampai ke telapak kaki kiri dan kanan.

Aku membalikkan badannya hingga ia tengkurap, lalu dari belakang leher aku menjilati perlahan-lahan sambil menggigit kecil dan turun.. terus turun..
“Occhh.. Mass.. terus Mass.. och.. och.. enak Mass..” erang Eksanti disertai dengan remasan kasar telapak tangannya di atas kain seprei.

Bibirku terus merayap turun, lidahku menjilat-jilat dari punggung merayap melalui deretan tulang belakang, ke arah bukit pantatnya.
Sampai di sana, lidahku kembali menjilat, menusuk, membasahi celah di sekitar anusnya..
dan akhirnya mulutku menggigit gemas dua bongkah daging kenyal itu.

Eksanti meregang.. menjerit kecil, menikmati sensasi nikmat yang aku berikan kepadanya.
Lalu tubuhnya kembali aku balik, hingga kini kepalaku tepat berada di daerah selangkangannya.

Kulihat dengan jelas bibir kewanitaannya telah memerah, basah berkilat-kilat terkena lendir birahinya.
Pelan-pelan aku menjilati bagian pinggir kewanitaanya dengan gerakan melingkar di sepanjang bibirnya.

Aku pun mulai membuka bibir kewanitaannya dengan kedua jemari tanganku..
hinga tampaklah daging kecil di celah lepitannya yang tampak menegang berwarna merah.

Perlahan-lahan aku mejilat klitorisnya, perlahan tapi pasti sambil aku gerakkan ujung-ujung lidahku naik-turun di sepanjang garis celah kewanitaannya.
Eksanti semakin mengerang, menghempaskan badannya ke kiri dan ke kanan sambil sesekali menjambak rambutku disertai teriakan-teriakan kecil.

Beberapa saat kemudian Eksanti mulai mengejang dan bergetar sambil meringis menahan sesuatu..
“Acchh.. acchh.. Masss.. aku kelluuaar..” sambil menggigit bibirnya.

Eksanti tampak lemas, namun ia tiba-tiba bangkit lalu mendorong badanku.. sehingga aku pun terhempas telentang.
Eksanti menggerakkan dan menggeser badannya.. sehingga tubuh indahnya sekarang sudah berada di atas tubuhku.

Eksanti mulai mencium kening, hidung, pipi dan bibirku.
Ia semakin ganas saja dalam berciuman dan kadang-kadang kembali diselingi dengan menciumi seluruh wajahku.

Dengan posisi Eksanti yang masih tetap berada di atas badanku..
kupeluk tubuh Eksanti yang ramping tetapi padat itu rapat-rapat, sambil berusaha mencium seluruh wajah cantiknya.

Demikian juga dengan Eksanti, ia melakukan ciuman yang sama sambil sesekali terdengar rintihan suaranya.
“Aaacchhh.. aaacchhh.. ooocch.. maaasss..”

Eksanti sekarang mencium leherku dan terus turun ke arah dadaku.. terasa geli dan enak..
sehingga tidak terasa aku berdesis lirih, “..ssshhh.. ssshh.. Santiiii.. ssshhh..”

Dan tibalah di salah satu daerah paling sensitifku, di kedua putingku. Aku mulai mendesah ketika Eksanti menjilatinya..
Eksanti tanggap akan hal itu, dia terus menjilatinya dan karena aku tidak tahan lagi aku memintanya menggigit dengan keras.
Aku pun blingsatan menahan nikmat tak terkira, makin keras gigitannya makin puas aku rasakan.

Eksanti meneruskan ciumannya, sambil kepalanya terus bergerak menuruni badanku.
Ketika mulutnya sampai di sekitar pusarku, ia menciuminya dengan penuh bersemangat, disertai dengan jilatan lembut lidahnya di sekeliling pusarku.

Sungguh hanya rasa nikmat semata yang mampu aku rasakan sekarang.. sehingga kejantananku kian menegang, masih di bawah tubuh indah Santi.
“..Sssshhh.. Santiii.. adduuuhh.. aaacchh..” aku merintih lagi.

Kepala Eksanti kembali secara perlahan-lahan terus turun. Ketika sampai di sekitar kejantananku..
Eksanti tidak segera memasukkan kejantananku ke dalam mulutnya, tetapi menciumi dan mengisap daerah sekelilingnya..
termasuk bola kejantananku.. sehingga rasa enaknya terasa sampai ke ubun-ubun.

“..Sssshh.. aaahhh.. aaahhh.. Santiii.. ooohh..” aku mendesis berkepanjangan.
Jemari tangan kanan Eksanti mulai melingkari batang kejantananku dan mengocoknya perlahan dengan lembut.

Tiba-tiba.. “hhuuubbb..” kejantananku hilang masuk ke dalam mulutnya.
Karena merasa kaget dan merasakan nikmat yang sangat, tidak terasa aku menjadi sedikit berteriak, “..aaacchh..”

Eksanti segera menaik-turunkan mulutnya pelan-pelan dan sesekali aku merasakan kejantananku seperti terisap-isap karena sedotan kuat mulutnya, “Aaaduuuhh.. Santiiii.. enaaakkk.. aaacchhh..”

“Ayooo.. dooong.. San.. siniii.. Mas juga kepingin..” kataku sambil sedikit bangun dari tidurku dan menarik badannya.
Eksanti sepertinya mengerti kemauanku.

Tubuhnya diputar mengikuti tarikan tanganku dengan tanpa melepas kejantananku yang masih menyumpal di dalam mulutnya.
Posisi kami sekarang 69 dan Eksanti masih tetap berada di atas tubuhku. Tercium aroma kewanitaan yang khas itu.

Kewanitaan Eksanti ditumbuhi bulu-bulu hitam yang cukup lebat, menutupi celah nikmat yang belahannya masih sangat rapat.
Pelan-pelan aku menjilat bibir kewanitaan Eksanti yang sudah sangat basah itu.

Badan Eksanti menggelinjang setiap kali bibir kewanitaannya aku isap-isap.
Dari mulutnya yang masih tersumpal kejantananku itu terdengar suara, “hhhmmm.. hhhmmm.. hhhmmm..”

Dengan kedua tanganku, aku segera membuka belahan kewanitaan Eksanti pelan-pelan dan terlihat bagian dalamnya yang berwarna merah muda.
Aku segera menjulurkan lidahku, mejilati dan mengisap-isap seluruh bagian dalam kewanitaan Eksanti.

Kembali aku mendengar erangan Eksanti yang sekarang sudah melepas kejantananku dari mulutnya..
“Aacchhh.. ooocchhh.. ssshhh.. maaas.. ooocchhh..” sambil berusaha menggerak-gerakkan pantatnya naik-turun..
sehingga sepertinya mulut dan hidungku masuk semuanya ke dalam rongga kewanitaannya.

Wajahku terasa basah semuanya oleh cairan nikmat yang keluar dari kewanitaan Eksanti.
“Oooch.. Mas.. aaacchhh.. ssshhh.. ooochh.. teruuuss.. Mas.. aaacch..”

Apalagi ketika klitoris-nya aku isap, gerakan pantat Santi yang naik-turun itu terasa semakin dipercepat..
Hingga kembali terdengar erangannya yang cukup keras, “Oooch.. Mas.. teeruuuss.. aachhh..”

Beberapakali klitoris-nya aku isap-isap sambil sesekali lidahku aku julurkan masuk ke dalam lubang kewanitaannya.
Gerakan pantat Eksanti semakin menggila dan cepat, semakin cepat dan, tiba-tiba tubuh

Eksanti bergetar hebat sambil meremas kuat kedua betis kakiku dan terasa agak perih mencakarinya.
“Aaachhh.. maas.. aaadduuuhh.. Santiii.. aaacchh.. keluaaarr..” sambil menekan pantatnya kuat sekali ke wajahku.

Aku sedikit kelabakan karena sulit bernafas dan terdengar nafas Eksanti terengah-engah di atas sana.
Setelah tekanan pantatnya di mukaku terasa berkurang, perlahan-lahan aku memutar badanku ke samping..
sehingga Eksanti tergeletak di tempat tidur, tetapi masih tetap dalam posisi 69.

Dengan masih terengah-engah aku mendengar Eksanti memanggil pelan, “Mas, ke sini.. Mas..”
Segera saja aku bangun serta memutar posisi, lalu aku memeluk tubuhnyanya.

Kucium bibirnya dengan mulutku yang masih basah oleh cairan kewanitaannya.
“Mas..” katanya di dekat telingaku, ketika nafasnya sudah mulai agak teratur.
“Ada apa Santii..?” Sahutku sambil mencium pipinya.

“Mas.. sejak terakhir kali kita bercinta 3 bulan yang lalu, aku belum pernah merasakan kenikmatan seperti ini, bahkan tidak juga dengan Mas Yoga..“
“Terimakasih.. Santiii.. dan sekarang.. boleh akuuu ..” sahutku..
Dan sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.. kurasakan Eksanti merenggangkan sudah kedua kakinya. Aku tidak perlu meneruskan kata-kataku itu.

Kuambil ancang-ancang dengan memegang kejantananku.. lalu aku mengarahkan pada belahan kewanitaannya yang aku rasakan sedikit terbuka.
Sleppp.. Perlahan-lahan aku arahkan kejantananku ke depan bibir kewanitaannya.

Sengaja tidak aku masukkan dulu.. tetapi aku main-mainkan, dengan cara menyerempetkan ujung kepala kejantananku ke klitorisnya.
Eksanti mulai mengerang lagi, ia kembali gelisah.

Kulepaskan pegangan tanganku saat kurasakan kepala kejantananku tepat berada di mulut belahan kewanitaan Eksanti.
"Mas.. jangan kasar-kasar.. yaaa.. Santi takut sakit..” kata Eksanti sambil memelukkan kedua tangannya di punggungku.

“Tidaaak, sayaaang.. Mas akan memasukkan sepelan mungkin. Kalau Santi merasa sakit tolong beritahu Mas yaa..” sahutku.
Segera kukulum bibir Eksanti sambil menjulurkan lidahku ke dalam mulutnya.

Eksanti mengisap dan mempermainkan lidahku.. sementara itu aku mulai menekan pantatku pelan-pelan..
Clebb.. sehingga kepala kejantananku mulai memasuki rongga kewanitaannya.

Dengan perlahan kulesakkan batang kejantananku ke lubang yang sudah basah oleh cairan cintanya tadi.
Dan.. Bleeesss..! Akhirnya batang kejantananku sudah masuk setengahnya ke dalam kewanitaannya.

Eksanti berteriak pelan, “Aaachh.. Mass..” sambil kedua tangannya mencengkeram kuat di punggungku.
Karena teriakan Eksanti ini,.. kutahan tusukan kejantananku untuk masuk lebih dalam dan aku bertanya.. “Sakit.. Santi..?”

Eksanti hanya menggelengkan kepalanya sedikit.. “Mas.. Santi kaget, rasanya makin besar aja..” sambil mencubit hidungku.
Kedua kakinya segera diangkat lalu dilingkarkan ke punggungku.. blessebb..
Akibat jepitan kakinya ini.. justru menjadikan kejantananku sekarang masuk seluruhnya ke dalam kewanitaan Eksanti.

Aku belum menggerakkan kejantananku karena Eksanti sepertinya sedang mempermainkan otot-otot kewanitaannya..
sehingga kejantananku terasa seperti terisap-isap dengan agak kuat.

“Santii.. teruuus.. Santii.. enaaakkk sekaliii....” aku membisikkan rasa kenikmatanku di telinganya.
Perlahan-lahan Eksanti menggerakkan badannya.. menggantungkannya ke tubuhku.. naik-turun..

Sedangkan aku hanya terpejam diam menikmati ransangan surga dunia itu.
“Aacch.. acch.. acch.. Santi.. pintar sekali.. enak Santi.. och.. terus.. ach.. ach..” aku mengerang kenikmatan.

Eksanti terus menggoyang, badannya melengkung ke atas lalu menjilati dan menggigit putingku lagi.
Sungguh satu gaya yang benar-benar bisa membangkitkan kenikmatan sensasi birahiku.

Aku hanya bisa pasrah pada situasi seperti ini. “Puaskan aku dengan tubuhmu Santi..” bisikku kepadanya.
Eksanti hanya tersenyum simpul, ia lalu menyodorkan payudaranya ke arah mulutku, aku pun mulai mengisap dan mengulum sekuatku.

Karena rasa enak yang amat sangat menderaku, dengan tanpa sadar aku mulai menggerakkan kejantananku naik-turun secara perlahan dan teratur..
sedangkan Eksanti secara perlahan juga memulai memutar-mutarkan pinggulnya.

Setiap kali kejantananku aku tekan masuk ke dalam kewanitaannya, aku mendengar suaranya..
“Aaachh.. ssshhh.. Mas, aaaccrrhh..” mungkin karena kejantananku menyentuh bagian kewanitaannya yang paling dalam.

Karena seringnya mendengar suara ini, birahiku menjadi semakin terangsang.
Gerakan kejantananku keluar-masuk ke dalam kewanitaan Eksanti semakin cepat.

Suara-suara, “Aaachhh.. ssshhh.. aaahh.. ooohh.. aaachh..” Dari mulut Eksanti semakin sering dan semakin keras terdengar.
Gerakan pinggulnya semakin cepat.. sehingga kejantananku terasa semakin enak dan nyaman.

Aku semakin mempercepat gerakan kejantananku keluar masuk kewanitaannya.
tiba-tiba Eksanti melepaskan jepitan kakinya di pinggangku dan mengangkatnya lebar-lebar.

Posisi ini mempermudah gerakan kejantananku keluar masuk kewanitaannya.
Ughhh.. Terasa kejantananku dapat masuk lebih dalam lagi.

Tidak lama kemudian aku merasakan pelukan Eksanti semakin kencang di punggungku dan..
“Aaachhh.. ooohh.. ayoo maaass.. aaachh.. akuuu.. mauuu.. keluaaar.. aaachh.. Maass..”

“Tungguuu.. Santiii.. aaachhh.. kitaaa.. samaaa.. samaaa..” sahutku sambil mempercepat lagi gerakan kejantananku.
“Oocch.. Mas.. enak Mas.. oh.. terruus.. Mas.. occhh.. oocchh..” sambil tangannya meremas kedua putingku.

Aku semakin mempercepat goyangan, setelah beberapa lama keringatku membasahi dada Eksanti, butir demi butir.
Tubuh kami berdua berkeringat hingga kami berdua bermandikan peluh.

Justru hal itulah yang membuatku semakin bernafsu.
Mataku terpejam-pejam, aku sungguh menikmati pemandangan indah ekspressi wajah Eksanti di bawahku.

Perut Eksanti mulai mengeras, otot perutnya mulai mengencang siap untuk meledakkan sesuatu, ia bergetar hebat.
“Adduuhh.. Maaas.. akuuu.. nggaaak.. tahaaan.. Maaas.. ayooo.. se.. karaaang.. aaarrcch..”
sambil kembali kedua kakinya dilingkarkan dan dijepitkan di punggungku kuat-kuat.

“Oochh.. Santii Mas juga mau keluar.. Keluarin di mana Santiii.. di dalam yaa.. och.. och..” aku mengerang kenikmatan.
“Keluarin di dalam aja Mas, terus Mas.. makin cepat.. yaa.. begitu.. och.. och.. terus Mass..!” Dengan menjerit Eksanti terlihat pasrah.

“Ooh.. Santiii.. sekarang.. Sann.. occh.. acch.. acchh.. sshh.. acch.. Santiii.. akuuu.. jugaaa..” Kubenamkan setandasnya.
Plash.. plash.. plash.. crett.. crett.. crett.. ledakan lava kentalku keluar dari ujung kejantananku.. tumpah ruah di dalam kewanitaan Eksanti.
"Erghh..!" Aku mengejan sambil aku tekan kuat-kuat kejantananku melesak ke dalam rongga kewanitaannya.

Dengan nafas yang masih terengah-engah dan badan penuh dengan keringat, didorongnya aku dari atas badannya..
sehingga aku jatuh terkapar di sampingnya, tetapi kejantananku masih tetap terjepit erat di dalam lubang kewanitaannya.

Setelah nafasku agak teratur, aku mengatakan di dekat telinganya, “Santii.. terimakasih.. yaa..” sambil aku kecup telinganya.
Eksanti tidak menjawab atau berkata apapun dan hanya mencium wajahku.

Setelah diam beberapa lama lalu aku mengajak Eksanti membersihkan badan di kamar mandi dan kami terus tidur sambil berpelukan.
Paginya aku antar Eksanti pulang ke rumah kostnya di bilangan Selatan Jakarta.

Hari-hari selanjutnya kami tetap bersikap biasa seolah tidak terjadi apapun.

Yang pasti sejak kejadian yang terakhir itu hubunganku dengan Eksanti ini kembali berlanjut..
Walaupun ia telah pindah kerja dan memiliki kekasih yang dicintainya, Mas Yoga-nya. (. ) ( .)
---------------------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------------------

Cerita 15 – Gadisku

Chapter 11 – Love or Just Passion..?

Sejak
percintaan kami yang terakhir pada saat huru-hara melanda Jakarta..
Gadisku, The Riot..– aku menjadi lebih berani untuk bertamu ke rumah kost Eksanti.

Dengan sukarela beberapakali aku membantunya menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan oleh perusahaan baru di mana Eksanti bekerja.
Sebagai karyawati baru, ia memang masih harus banyak belajar dan bantuanku sebagai bekas seniornya memang sangat ia harapkan.

Hingga suatu hari di tempat kostnya, seingatku hari itu hari Jumat malam. Kami berdua sedang beristirahat menikmati santapan makan malam..
setelah hampir semalaman kami berdua memelototi angka-angka dan tabel-tabel tugas kantor Eksanti.

Kami berdua makan sambil duduk di atas karpet lantai, dengan kaki diselonjorkan.. sehingga kaki jenjang Eksanti terlihat sangat indah.
Menu santapan kami adalah nasi goreng sosis, yang kami pesan dari sebuah restoran di sekitar rumah kostnya yang buka 24 jam.

Kami berbagi cerita tentang berbagai topik ringan. Yang kuingat.. kami cukup seru membicarakan tentang gosip kehidupan artis ibukota yang berinisial DR.
Ia baru saja bercerai setelah menikah hanya kurang lebih setahun.

Ketika itu Eksanti tiba-tiba terdiam dan aku terpaksa bertanya. “Ada apa Santi..? Kamu sakit..?”
“Enggak apa-apa kok..” kata Eksanti, tetapi ia tampak cukup gelisah.

Ia memalingkan wajahnya ketika aku sengaja menatapnya. Suasana menjadi cukup hening.
Sambil tetap menyantap nasi goreng sosis yang memang nikmat rasanya itu, aku bertanya-tanya dalam hati..
Eksanti kenapa sih tiba-tiba jadi murung begini.. setelah tadi membahas topik perceraian artis DR..?

Sedang asyiknya aku berpikir.. tiba-tiba Eksanti berkata..
“Mas maaf yaa.. Santi sedang menghadapi masalah pribadi, Santi baru ribut lagi dengan Mas Yoga..”
“Heeek..” sepotong sosis goreng yang baru saja aku telan terasa menyangkut di leher.

Aku bangkit dari dudukku, lalu meneguk air mineral untuk melancarkan kembali saluran pencernaan dan pernafasanku.
Setelah itu aku duduk kembali, meneruskan menyantap nasi goreng, sambil mendengarkan cerita Eksanti berikutnya.

Eksanti melanjutkan ceritanya:
“Memang keterlaluan tuh Mas Yoga. Hari Sabtu kemarin.. aku.. Mira adikku dan kedua orangtuaku yang datang dari Malang..
sedang enak-enaknya bersantap di News Cafe – Kemang. Saat kami mau pulang, aku melihat Mas Yoga di salahsatu sudut ruangan..
Ia sedang asyik makan berdua dengan seorang wanita. Tangan Mas Yoga sedang merangkul mesra bahu wanita itu..
sementara wajah wanita itu ditempelkan ke samping wajah Mas Yoga.. dengan rona muka seperti orang yang sedang kasmaran.
Panas bener hatiku, tapi aku tidak melabrak Mas Yoga saat itu juga. Malu.. ‘kan banyak orang. Lagipula orangtuaku ada di situ.
Hari Selasa malam lalu, Mas Yoga datang ke sini, aku tanya dia tentang kejadian itu. Mas Yoga sempat mencoba membantah..
tetapi aku mengatakan bahwa adikku Mira, juga turut melihat. Mira tau nama wanita itu, Anita.
Anita dikenal Mira sebagai kakak kelasnya waktu kuliah di ASMI dulu. Akupun langsung melabrak Mas Yoga. Mas Yoga akhirnya mengakui..
bahwa akhir-akhir ini ia memang sering bertemu Anita, bekas teman dekatnya dulu sebelum ia dekat dengan Santi.
Tetapi kata Mas Yoga.. ia masih tetap lebih mencintai Santi..” paparnya panjang lebar.

Setelah menarik nafas sebentar Eksanti berkata lirih. “Tidak bisa.. Santi tidak bisa menerima kelakuan Mas Yoga yang seperti itu.
Saat itu juga Santi memutuskan agar Mas Yoga nggak usah datang-datang lagi ke tempat kost Santi..”

Lalu Eksanti melanjutkan ceritanya lagi: “Santi mendorong Mas Yoga keluar dari pintu kamar, sambil membanting pintunya.
Lalu hari Rabu paginya, Santi bilang pada resepsionis di kantorku untuk menolak semua telephone dari Mas Yoga. Sebel aku..” kata Eksanti berapi-api.

“Lantas..?” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“Ya, sekarang aku benar-benar lagi benci sama Mas Yoga..”
kata Eksanti sambil menarik nafas panjang, karena tadi ketika bercerita nafasnya sempat memburu, dadanya yang indah ikut turun naik.

“Terus..?” Aku cuma bisa berkata sepotong-sepotong, karena aku tidak tau harus berkomentar apa terhadap cerita Eksanti itu.
“Mas, kamu mau ‘kan sekarang menemani aku jalan-jalan. Aku sedang sangat kesepian dan butuh teman untuk menghilangkan rasa gundahku..”
katanya perlahan.

“Bagaimana tentang laporan kamu yang harus selesai hari Senin depan ini..?”
Tanyaku sambil menunjuk dokumen-dokumen kerja yang berserakan di meja.

“Ah, no problem..” kata Eksanti.
“.. kan sudah hampir selesai, besok kan masih ada hari Sabtu dan Minggu, ayo dong Mas..” katanya merajuk sambil menarik tanganku.

“Eee.. eeei, tunggu dulu..!” aku mengingatkan. “.. kita bereskan dulu pekerjaan kamu malam ini, baru kita jalan-jalan keluar..”
“Oke Boss..” jawab Eksanti sambil tersenyum nakal.

Aku tidak menyangka.. ia langsung menumpukkan semua dokumen di atas mejanya menjadi satu.
Kemudian tumpukan dokumen itu dimasukkannya ke dalam lemari kabinet.

Lalu setengah berlari ia menghampiriku dan menumpukkan semua dokumen bagianku, menjadi satu..
untuk disimpannya juga di dalam lemari kabinet yang sama.

“Hei, tunggu dulu..! Ini kan belum selesai..” aku berkata sambil mencoba menahan kedua tangannya yang sedang menggerayangi mejaku.
Sengaja wajahku aku pasang dengan tampang yang serius.

“Maaf Boss.. tetapi jam kerja sudah lewat dan sekarang saatnya kamu menemani aku jalan..”
kata Eksanti yang tetap saja mengemasi dokumen yang ditumpukkanya ke dalam lemari kabinet.

“Ck.. ck.. ck.. Santi..” kataku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu ini kalau sudah ada maunya, tidak sabaran lagi yaa..” ujarku sambil mulai ikut beres-beres.
Eksanti tersenyum.
oOo

Kami pun keluar dari rumah kost Eksanti dan segera meluncur menuju Café Jalan-Jalan di kawasan Kuningan.
Waktu itu sudah sekitar pukul 11 malam, kami masih asyik mendengarkan live music sambil ikut berdendang.

Kadang-kadang kami juga berdansa di bar lantai dua café tersebut.
Aku tidak tau mengapa, tetapi aku merasakan bahwa Eksanti semakin berani menggodaku.
Entahlah, mungkin karena pengaruh minuman yang telah cukup banyak masuk ke dalam mulutnya.

Bahkan ketika sebuah lagu romantis berkumandang, dalam posisi duduk, tanpa ragu ia memeluk erat leherku.
Eksanti menirukan lafal nyanyian itu, ‘You Are Still The One’ dekat sekali di telingaku, sambil tersenyum mengikuti syair lagunya.

Terkadang wajahnya memelas, terkadang genit manja, terkadang tersenyum penuh canda.
Ketika lagu itu berakhir, didiamkannya kedua tangannya memeluk leherku sambil tersenyum manja.

“Mas, aku ingin sekali bercinta denganmu malam ini, tetapi sekarang Santi lagi dalam masa subur..” ia berbisik lirih di telingaku..
lalu ia melanjutkan, ”.. ntar kalau Mas nakal sama Santi, hati-hati yaa.. jangan sampai jadi..” ia tersenyum menghentikan kata-katanya.

Sepertinya Eksanti memang sedang dalam keadaan ‘on’ karena pengaruh minumannya tadi..
dan ditambah lagi dengan keruwetan masalah yang dialaminya dengan Yoga.
Tidak seperti biasanya, kali ini ia begitu terus terang mengungkapkan keinginannya untuk bercinta denganku.

Aku membalas tersenyum sambil berkata dalam hati. O.. o.. sepertinya ada bekal yang perlu aku beli nih..
“Okay Santi, Mas mengerti. Sekarang Mas mau ke toilet dulu yaa..” kataku sambil bangkit dari duduk.

Aku sebenarnya agak ragu, apakah Eksanti benar-benar sadar akan keinginannya yang baru saja diucapkan kepadaku..
karena aku tau pikirannya saat itu benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak fit.

Namun di toilet.. setelah selesai membuang hajatku, kuambil beberapa koin lau membeli beberapa kondom..
yang tersedia di box yang tertempel di dinding toilet. Siapa tau aku benar-benar memerlukannya nanti.
Aku kembali ke tempat duduk dan kembali bercanda, menikmati berbagai lagu lain yang dinyanyikan.

Hingga suatu ketika.. “Aaacch..” Eksanti menguap sambil menutup mulutnya.. ”.. Capek niih..”
“Sekarang antar Santi pulang yuk..!” Katanya sambil menggamit tanganku.

Setelah menyelesaikan pembayaran minuman kami.. aku pun bangkit dan berdua kami berjalan keluar menuju mobilku.
Mobil pun meluncur kembali ke rumah kost Eksanti di kawasan Selatan Jakarta.
oOo

“Eeh.. Mas parkir dulu dong..!” Kata Eksanti ketika aku memberhentikan mobil di muka pintu pagar rumah kost untuk menurunkannya.
Aaah.. haa.. aku berfikir sambil tersenyum dalam hati.. Ternyata aku benar-benar harus menginap nih, untung aku sudah punya bekal.. Hehe..

“Antar aku sampai kamar yaa.. Mas..” kata Eksanti lagi, sambil memegang tanganku. Wajahnya menatapku dengan senyum menggoda.
Mobil bergerak lagi dan akhirnya aku memarkir mobilku di dalam halaman rumah kostnya.

Kami berjalan kaki ke pintu pavilion rumah kostnya, lalu masuk ke ruang tamu paviliun yang sudah gelap gulita karena lampunya sudah dimatikan.
“Sepi sekali Santi.. yang lain pada ke mana..?” Aku berkomentar
“Ach.. biasa.. ini kan week end, Mas. Paling mereka pada nginep di luar..” ia menjawab.

Di dalam ruang tamu tersebut Eksanti memeluk leherku sambil merebahkan wajahnya di dadaku seraya bergumam.. “Hhhmmmm, ngaaantuuuk..”
Kepalanya bergerak-gerak halus bagaikan orang yang sangat menikmati mimpinya.

Pada saat itu kejantananku mulai menegang karena merasakan payudara indah Eksanti yang menekan hangat di dadaku.
Sementara pahanya yang nakal bergerak-gerak halus, persis mengenai kejantananku.

Keluar dari ruang tamu kami berjalan ke pintu kamar Eksanti, yang terletak persis di sebelah ruang tamu itu.
Dibukanya pintu sambil menarik tanganku. “Ayo masuk dulu..” kata Eksanti sambil menarik tanganku.

Wajah lembutnya menatapku dengan mesra. Aku pun ikut masuk ke dalam kamar Eksanti.
Ia menutup pintu kamar dengan perlahan, lalu berpaling kepadaku.

“Duduk dulu yaa.. Mas, tolong dong puterin CD lagunya Shania Twain tadi, please..”
katanya sambil meninggalkan aku menuju ke kamar mandi di dalam kamarnya.

Aku berjalan ke CD player, mengambil CD yang ia inginkan dan aku memasang dengan volume yang rendah.
Lagu mengalun lembut, aku duduk di sofa sambil menyalakan TV, memilih-milih berbagai sisa acara yang masih disiarkan.

Tanpa kuadari.. Eksanti muncul di belakangku sambil berkata..
“Waah.. udah nggak ada acara yang bagus yaa.. Mas..” sambil terus melangkah ke lemari CD.

Eksanti mengambil sebuah VCD dan menyalakannya. Ternyata VCD itu adalah sebuah film produksi Vivid Video..
dangan bintang cantik favoritku, Asia Carera. Eksanti meninggalkanku menuju kulkas, lalu kembali dengan dua kaleng minuman dingin.
Ia langsung duduk rapat di sampingku.

“Santi suka nonton film-filmnya Vivid..?” Tanyaku penasaran.
“He..em, kadang-kadang..” jawabnya sambil menyandarkan kepalanya di sofa.
“Ini film favoritku kalau Santi sedang kesepian sendiri..” katanya melanjutkan sambil tangan kanannya mengelus pangkal leherku.

Aku menyandarkan kepalaku ke sofa sambil menatapnya. “Kamu belum ngantuk..?” Tanyaku.
“Heemm..” ia menggeleng sambil tersenyum menggoda.

Aku memalingkan wajahku kembali menonton VCD..
Kini menayangkan adegan Asia Carera sedang mengulum kejantanan seorang pria dengan penuh semangat.

Kunikmati tontonan VCD tersebut.. lalu aku meneguk minuman dingin yang ada, “Aaacch.. segar..”
Sementara itu.. kejantananku mengeras kembali. Karena terus terang.. para pemain di film tersebut cantik-cantik..
sexy bagaikan para foto model.. dan hampir semuanya memiliki bentuk tubuh yang sangat indah.

Aku berbalik menatap Eksanti yang ternyata tangan kanannya sedang asyik meremas payudaranya sendiri..
sementara tangan kirinya sedang mengelus-elus kewanitaannya di atas rok mini yang masih rapi dikenakannya.

Ia pun menatapku.. dan tiba-tiba ditariknya kepalaku ke arah wajahnya.
Ia mencium bibirku dengan mesra. Tanpa ragu lagi, aku membalas dengan mengulum bibir tipisnya.

Sesaat kemudian ciuman Eksanti makin bertambah ganas. Kami pun saling berpagutan..
Kedua lidah kami menari-nari, kadang aku sedot lidahnya, kadang ia yang mengulum lidahku, seraya menggigit halus bibir bawahku.

Perlahan-lahan aku melepas bibirku dari mulutnya sambil mencium dengan lembut hidung, pipi, kelopak mata dan keningnya.
Eksanti menarik wajahku mendekat.
Ditatapnya mataku sambil berkata.. “Mas, make love with me, please..” dengan tatapan memohon bercampur gelora birahi.

Bibir kami pun kembali saling berpagutan dan kini tangan-tangan kami mulai saling menjelajah.
Tangan kiriku mengelus dada kirinya, melalui blouse sutranya yang masih tertutup bra.
Sementara tangan kananku merayap ke bawah, dari lutut terus naik ke pahanya, masuk ke dalam rok mininya dan menuju ke pangkal paha.

Jari-jari lembut Eksanti yang tadinya aktif mengelus kejantananku dari luar celana pantalonku..
kini mulai melepaskan kancing jaketku dengan kedua tangannya. Mulut dan lidah kami masih tetap saling berpagutan.

Setelah jaketku terlepas, Eksanti dengan gemas menjelajahi dadaku.
Ia menarik ke atas bagian bawah hem dari dalam celanaku dan langsung mulai melepas kancing hemku satu persatu.

Akhirnya aku pun bertelanjang dada. Eksanti mulai menciumi dadaku.
Disedotnya puting susuku yang kanan sambil diremasnya dadaku yang kiri.
“Oocchh.. nikmatnya..” lenguhku. Secara bergantian, hal yang sama dilakukannya pada dada kiriku.

Beberapa saat kemudian kuangkat tubuh Eksanti dan kami pun berdiri berpelukan.
Aku melepaskan blazer dan blouse-nya, kemudian menarik perlahan retsleting roknya.

Srttt.. kutarik rok itu ke bawah.. sehingga rok mininya terjatuh ke lantai. Eksanti masih asyik mengulum dan menciumi sekujur dada..
punggung serta leherku sambil mengeluarkan suara yang tak beraturan dari mulutnya.. “Hhhm.. aacchh.. mmm.. aacchh..”

“Aku suka wangi parfummu, Mas..” ujarnya manja.. “.. Aku sudah lama kangen sama baunya, Mas..”
Jemari lentik tangannya masih terus menjelajahi dada, leher dan kadang turun ke perutku.

Saat itu aku sedang menciumi rambutnya sambil mengelus-elus lembut dadanya.
Lalu kedua tanganku berpindah ke punggungnya.. Ctik.. kubuka pengait bra-nya. Bra Eksanti pun langsung terjatuh ke lantai.

Kuangkat dagu Eksanti yang sedang asyik menjelajahi dadaku. Kami pun bertatapan, aku melihat nafas Eksanti mulai menderu.
Dadanya naik-turun seirama dan kedua payudaranya terlihat mekar dengan indahnya.

Sambil menatap wajahnya, aku mengelus-elus lembut kedua payudaranya dengan gerakan memutar tanpa menyentuh kedua putingnya.
Mulutku mulai menciumi mulutnya kembali dan perlahan-lahan turun ke bawah, ke dagu.. terus lidahku menjilati lehernya.. terus ke samping leher..

Aku mengulum pangkal lehernya sambil lidahku aktif menari-nari di sana. Lalu aku bergeser ke bawah telinganya..
Selanjutnya daun telinganya aku jilati sambil aku tekan lubang telinganya.. lalu aku kulum daun telinganya sambil aku gigit-gigit halus.

Eksanti hanya bisa mendesah-desah sambil tangannya meremas punggung dan kejantananku dari balik celanaku.
“Aaah geliii.. eeenaaak.. Masss..” katanya.

Kedua tanganku masih asyik mengelus-elus lembut kedua payudaranya dengan gerakan memutar dan kadang meremas kedua payudaranya..
tetapi putingnya tetap tidak aku sentuh.

“Mas, remas puting Santi, please..” rengeknya manja dengan berusaha menarik kedua tanganku.
“No, not yet. Sabar Santi..” kataku sambil mengelus dadanya berputar, tetap menghindari kedua putingnya.

Kembali kupagut bibirnya. Eksanti pun memeluk leherku dan berkonsentrasi menikmati ciuman kami untuk kesekian kalinya.
Mukaku turun sambil terus menciumi pipi, dagu, lalu turun ke leher jenjangnya.

Eksanti menarik kepalanya ke belakang.. sehingga aku dapat lebih menikmati lehernya yang mulus itu dengan leluasa.
Berlanjut, sentuhan bibirku turun ke bahu, dada, masih menghindari putingnya, lalu langsung menuju ke perutnya yang ramping.

Lidahku menjilati sekitar perut dengan gerakan melingkar dan akhirnya aku menjilati pusarnya.
"Aacch.. geeliii.. Masss..” erang Eksanti menikmati sensasi bibir dan lidahku.

Kedua tanganku mengelus lutut hingga pangkal pahanya dan terus naik-turun..
memberikan rangsangan yang semakin meninggikan sensasi yang dirasakan Eksanti.

Aku berlutut sambil menengadah ke atas. Aku menatap mata Eksanti yang nampak mulai liar bernafsu.
Dengan kedua tangan, aku menyelipkan kedua telunjukku dari celah samping celana dalamnya yang berwarna hitam berenda transparan itu.

Perlahan kutarik celana dalamnya ke bawah dan dengan bantuan Eksanti yang mengangkat kakinya satu-per satu..
Splass.. maka kini terlepaslah celana dalam itu dari tubuh indahnya.

Aku mundur beberapa langkah dan menatap sekujur tubuh indah yang ada di hadapanku.
Tampaklah seorang wanita yang cantik dan sexy, dengan hanya mengenakan stocking halter..
stocking dan sepatu hak tinggi yang semuanya berwarna hitam.

Sungguh kontras dengan warna kulit tubuhnya yang seputih susu, dengan putingnya berwarna pink kecoklatan.
“Kamu cantik sekali, Santi..” kataku berterus terang. Mataku bergantian menatap dari ujung kaki hingga ke ujung rambutnya.

Tak terasa beberapa detik berlalu. ”Ayo, kita ke ranjang Santi, Mas..” kata Eksanti sambil melangkah kepadaku.
”Stop! berhenti di situ..!” Kataku tiba-tiba.

Ia pun berhenti dan kembali berdiri tegak. “Putar tubuhmu, Santi..” kataku memohon. Ia pun berputar sambil tersenyum menggoda.
Aku mendesah, “.. lagi.. kali ini pelan-pelan yaa.. !” Eksanti pun berputar-putar perlahan.

Tangannya bergerak meremas kedua payudaranya..
lantas naik dan akhirnya kedua tangannya memanjang tinggi di atas kepalanya, dengan kedua punggung tangan yang disatukan.

“Kamu suka, Mas..?” Tanyanya sambil tersenyum menggoda.
Aku tidak menjawab tetapi malah melepaskan sepatu, celana dan kaos kakiku.

Eksanti memandangi kejantananku yang telah berdiri perkasa di dalam celana dalamku.
“Hmm.. kejantananmu sudah tegang tuh Mas..”
kata Eksanti sambil mendelikkan matanya menatap sebuah garis tebal yang membekas di atas celana dalamku.

Aku mendatangi Eksanti sambil terus menatap matanya.
Kutarik dan kududukkan tubuhnya di atas sofa, lalu aku membuka lebar kedua pahanya.

Kini aku berlutut di hadapannya, aku menatap mesra kedua bola matanya, lalu aku ganti menatap kedua puting payudaranya.
Aku bertanya pelan.. “Kamu ingin aku melakukannya sekarang, Santi..?”
“Yes, please, Mas..” jawab Eksanti tersenyum senang sambil menggelinjang.

Aku menciumi bibirnya.. lidah kami saling menari-nari. Kadang aku menyedot lidahnya, kadang aku menggigit halus lidah bawahnya.
Kepala kami bergerak ke kiri ke kanan, bergantian.
Terkadang keluar suara aneh yang erotis.. prt-prrt.. mmnguuuh.. mmm.. dari bibir kami yang saling menyedot keras.

Kembali kedua tanganku meremas dan mengitari payudaranya dengan tetap menghindari kedua putingnya.
Kuarahkan mulutku ke dadanya dan lidahku mulai mengitari dada kanannya.

Aku menjilat di sekeliling dada kanannya, sambil terkadang aku mencium halus dan terkadang aku menyeret bibirku di atas dadanya.
Hal yang sama aku ulang di dada kirinya. Aku menatap mata Eksanti, lalu perlahan aku mengarahkan bibirku ke puting kanannya.

Kubuka bibirku, lidahku pun terjulur keluar dan menyapu halus puting kanan Eksanti.
Eksanti yang telah lama menantikan kenikmatan ini melenguh panjang. “Oocchh.. oochhh.. eeennaak.. geelii.. oocch.. Mas eeennnaaak..”

Lidahku masih terus menjilati dengan perlahan-lahan puting kanannya. “Eeecchhh.. hmmm.. ehmm.. eeennnaaak..”
Puting kanannya berdiri tegak. Aku memindahkan bibirku ke puting kirinya, kembali aku menjilat halus, Eksanti pun melenguh panjang, “eeecchhh..”

Kucium dada kirinya.. sambil mengemut puting kirinya dan aku memutar-mutarkan lidahku di sana. Kadang naik-turun merangsang puting kirinya.
Dan tak lama kemudian saat aku asyik mengulum puting kirinya, punggung Eksanti terangkat melengkung dan bergetar mengejang..

Beberapa detik tubuhnya mengejat.. sambil berteriak dengan nada yang tinggi, “Aaacchhhh..” Lalu tertahan sebentar dan turun lemas.
Rupanya Eksanti mampu mengalami orgasme hanya dengan rangsangan di payudaranya.

Tanpa henti, aku terus saja mengulum puting kirinya, yang masih sangat tegang.
Lalu aku beralih mengulum puting kanannya, sambil meremas dada kirinya.

Lenguhan Eksanti sudah tidak karuan lagi. Rupanya puting adalah salah satu daerah paling sensitifnya.
Aku pun sangat senang menikmati dada yang indah, kenyal, kencang berwarna putih, dengan semburat pink kecoklatan di sekitar putingnya itu.

Aku terus menikmati kedua payudara Eksanti. Kadang satu per satu.. kadang bergantian kiri-kanan sambil aku geleng-gelengkan kepalaku.
Tidak lupa aku menciumi belahan dadanya, sambil menjilat-jilat lembut di sana.
Ohhh.. Nikmat sekali melihat Eksanti puas dan nampaknya ia mulai menuju klimaksnya lagi.

Tangan kananku turun, aku menyusuri perut, aku mengusap-usap lembut, turun ke rambut kewanitaannya.
Jemari tanganku mengitari kewanitaannya dengan mengelus di sekitar pangkal pahanya.

Terus kuelus dengan telapak tangan naik-turun di atas kewanitaannya, lalu ujung jari tengahku memutar di pinggir celahnya.
Setelah puluhankali putaran jari telunjukku, akhirnya Eksanti mulai bergetar dan menggoyang pinggulnya.

Ujung jari tanganku bergerak naik-turun di atas kewanitaannya dari rambut kewanitaan hingga ke lubang anusnya, naik-turun berkali-kali.
Tak lama kemudian tubuh Eksanti bergetar dan makin mengejang.

Tidak ada gerakan yang aku hentikan.. malah jari tanganku mencari-cari sebuah daging kecil berwarna merah di celah lipatannya..
yang aku tau akan semakin meningkatkan sensasi orgasmenya.

Akhirnya aku temukan clitorisnya itu. Aku menekan dan aku mengelus lembut dengan telapak ujung jari tengahku.
“Aaacchhh.. aaacchhh.. aku keluarrrr..” teriak Eksanti. Ciuman di puting maupun elusan di clitorisnya tidak aku hentikan.

Agak lama juga Eksanti berteriak, kadang mendesah, melenguh, hingga akhirnya tubuhnya kembali lemas dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Gila kamu Mas, sudah dua kali Santi klimaks, padahal kejantananmu belum ngapa-ngapain..” katanya.

Aku menghentikan ciumanku, aku menatap kembali wajahnya. “Santai saja Santi, yang barusan kamu alami, baru awalnya saja..”
Lalu aku kembali mencium belahan dada, turun ke perut, ke rambut kewanitaannya..
terus ke celah kewanitaannya, pangkal pahanya dan kembali lagi ke celah kewanitaannya.

Eksanti membuka pahanya lebih lebar.. sehingga aku dapat lebih leluasa menikmati seluruh lipatan-lipatan kewanitaannya.
Kewanitaannya yang putih dengan bibir yang berwarna merah kecoklatan masih tertutup rapat oleh rimbun hitam bulu-bulu pubisnya.

Aku menciumi, lalu dengan lidah aku membelah (bagai membelah bibir mulut yang tertutup) dan akhirnya terbukalah bibir kewanitaannya.
Kuciumi sambil menjilatinya.. kadang naik-turun, kadang menyamping, kadang melingkar..
lalu aku berkonsentrasi menjilati daging kecil merahnya yang kecil tapi tampak tegang mengeras. “Uuucchhh.. aaaccchh..” Eksanti melenguh.

Lalu tiba giliran kedua bibir kewanitaannya yang aku jilati. Terkadang aku mengulum, terkadang aku menyedot hingga keduanya memerah.
Aku menjilati rongga dalam kewanitaannya yang sudah sangat basah, memutar.. kanan kiri..
dan kadang aku menusuk-nusuk dengan ujung lidahku yang sengaja aku bulatkan.

Aku menusuk, menekan dan aku memutar lidahku di lubang kewanitaannya.
Tidak aku perhatikan lagi lenguhan Eksanti, karena terus terang aku pun sangat terangsang, memberikan rasa nikmat yang luar biasa pada Eksanti.

Tangan Eksanti mulai mendorong kepalaku ke arah lubang kewanitaannya sambil pinggulnya bergoyang dengan desah yang tak beraturan lagi.
“Uucch.. aaacchh.. eeennnaaakkk.. aaacchh..”

Akhirnya Eksanti pun mencapai klimaksnya lagi sambil menarik kepalaku.
Ia membenamkan kepalaku ke arah kewanitaannya, sambil mendekap dengan kedua pahanya cukup kencang.

Aku terpaksa menggapai-gapai udara yang hangat tipis, lalu tubuh Eksanti kembali mengejang, tertahan, lalu terjatuh.
Aku terus menjilati lelehan cairan hangat cintanya itu dan langsung menelan penuh rasa nikmat.

Kemudian telunjukku aku jilati dan aku basahi dengan air liurku. Aku mulai memasukkan jariku ke dalam lubang kewanitaannya.
Aku menggerakkannya maju mundur, memutar, lalu aku membengkokkan supaya bisa lebih merangsang G-spot kewanitaan Eksanti.

Rangsangan maju mundur, masih terus.. dan terus.. aku berikan dengan jari kanan telunjukku.
Tangan kiriku meremas dan mengelus-elus lembut payudara kanannya, sementara lidahku mengulum dan menjilati clitorisnya.

“Lebih cepat lagi Mas, please..” lenguh Eksanti yang aku jawab dengan memasukkan jari tengahku.
Clupp.. Sekarang ada dua jari yang keluar masuk di dalam kewanitaan Eksanti.

Kecepatan gerakannya berirama, mula-mula lambat, lalu makin cepat dan makin cepat lagi.
Beberapa menit kemudian, aku melihat perut Eksanti menegang dan aku makin mempercepat gerakan jari tanganku.
“Te.. te.. tee.. ruu.. ruu.. ruuus.. faaa.. faaa.. asssterrr..” desah Eksanti.

Semakin kupercepat gerakan jari tanganku hingga akhirnya Eksanti mencapai klimaksnya yang ketiga, yang sedemikian tinggi sensasinya.
Kedua jemariku terasa diurut-urut dan diremas dinding-dinding kewanitaan dengan kerasnya.

Aku tidak segera menghentikan kegiatanku.. sehingga sensasi Eksanti itu cukup bertahan lama dirasakannya.
Lalu lidahku kembali menjilati kewanitaannya dan aku menelan sisa-sisa cairan nikmat Eksanti hingga bersih.

Setelah orgasme Eksanti berlalu, aku merebahkan kepalaku di dadanya.
“Aacch.. Mas, kamu masih seperti yang dulu. Mas selalu bisa memuaskan hasratku..” kata Eksanti sambil mengelus kepalaku.

“Kini giliran Santi yang akan memuaskanmu, Mas..” katanya melanjutkan.
Eksanti lalu menggeserkan tubuhnya, ia hendak memberikan felatio kepadaku.

Tetapi aku lebih dulu bangkit berdiri dengan kejantananku yang telah mengacung gagah.
Aku mundur beberapa langkah hingga akhirnya badanku bersender pada dinding.

Eksanti sempat terperangah menyaksikan tingkahku, tetapi kemudian ia mengerti.
Dengan menengadah seperti harimau lapar, kedua tangan dan lutut Eksanti bertumpu menyentuh lantai.

Wajahnya tersenyum menggoda, namun matanya memicing gemas dengan penuh nafsu.
Perlahan-lahan Eksanti bergerak ke arahku. Ia menijilati dengkulku yang kanan, menciuminya lalu menjilatinya lagi.
Bergantian, kini dengkul kiriku yang dijilatinya.

Setelah puas, mulut Eksanti bergerak ke atas, dengan ciumannya yang halus ia menikmati sekujur kulit pahaku hingga ke atas.
Lalu tiba-tiba badanku diputarkannya dengan kasar. Kini aku berdiri menungging menghadap tembok dengan tangan yang menumpu dinding.

Aku merasa tidak tau apa yang akan diperbuat Eksanti dari arah belakangku.
Ternyata Eksanti menciumiku mulai dari mata kaki, lalu perlahan naik ke betisku.

Mulutnya sempat menyedot-nyedot sebentar di sana, sebelum akhirnya naik lagi ke paha.
“Aaacch..” desahku saat Eksanti mulai menjilati belahan kedua buah pantatku.

Disatukannya kedua belah pantatku sambil dijilatinya, lalu dengan perlahan ia mulai berdiri.
Bibirnya terus naik menciumi punggung lalu ke pangkal leherku..
sementara tangannya masih tetap meremas dan mengusap-usap lembut kedua bola pantatku.

Sesaat kemudian, kembali diputarkannya badanku, lalu bibir kami berpagutan dengan gemas.
Eksanti melingkarkan kaki kanannya ke pinggangku sambil menggosok-gosokkan tubuhnya ke tubuhku, naik-turun, naik-turun.

Kejantananku semakin mengeras karena rasanya seperti dibelai-belai lembut oleh kulit lembut tubuhnya..
dan terkadang digesek-gesek kasar oleh bulu-bulu pubisnya.

Setelah itu Eksanti kembali melorot turun, berlutut di hadapanku.
“Apa kabar ‘yang..?” Katanya pada kejantananku sambil tersenyum nakal menatap wajahku.
“Ooocchh..” kataku tersenyum kegelian.

Slrupp.. Ia menjilati ujung kejantananku yang telah mengeluarkan cairan bening hingga bersih.
Karena kejantananku sudah tegak menegang, maka dengan mudah ia menciumi batangnya dari atas ke bawah, terutama pada bagian bawah kejantananku.

Didorongnya paha kiriku ke samping.. sehingga ia bisa leluasa menciumi hingga ke bagian belakang testisku, lalu ia mulai menjilatinya di sana.
Dari bagian itu, lidahnya naik perlahan hingga kembali ke ujung kejantananku, lalu diulangnya beberapakali..
sehingga membuat tubuhku bereaksi, seperti terdengar suara seeer.. seeer.. Aku hanya bisa mendesah pasrah.

Kejantananku akhirnya dimasukkan ke dalam mulutnya, sementara tangan kanannya mengelus-elus bagian dalam pahaku.
Sambil mulutnya maju-mundur memasukkan kejantananku, kini dibelai-belainya testisku dengan tangan kanannya.

Kemudian sambil terus mulutnya maju-mundur, tangan kanannya meremas, mengocok batang kejantananku dan tangan kirinya membelai-belai perutku.
Kejantananku disedot kuat-kuat di dalam mulutnya, sambil lidahnya berputar dan menjilati daerah yang berada persis di bawah kepala kejantananku.
Tingkahnya itu menyebabkan aku terjinjit-jinjit karena menahan rasa geli yang sungguh nikmat sekali.

Sesekali mata Eksanti menatap ke atas melihat reaksiku yang lebih banyak terpejam menatap ke atas
. Banyak variasi lain dibuatnya, kadang kejantananku diciuminya bagai orang bermain harmonika (atau orang makan jagung rebus).

Kadang kulit kejantananku agak ditarik ke atas.. sehingga ia dapat mengulum testisku dan mempermainkan lidahnya dalam mulut.
Kadang hanya lidahnya yang menari menjilati leher kepala kejantananku yang memang sangat sensitif..
lalu kembali diemutnya kepala kejantananku hingga keluar bunyi-bunyi erotis dari dalam mulutnya.

Setelah sekira limabelas menit berlalu.. aku mulai tidak tahan, aku menarik tangan Eksanti ke atas dan ia pun perlahan melepas kejantananku.
Kami kembali berciuman, kali ini dengan lembut dan mesra.

Segera kugandeng Eksanti ke sudut ruangan, lalu mengatakan.. “Santi, menghadaplah ke diniding.”

Ia lantas menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kedua siku tangannya.. sambil bola pantatnya menungging..
yang membuatku leluasa memandangi bentuk indah kewanitaannya dari arah belakang.
Otot betisnya semakin terlihat melonjong karena ia masih memakai sepatu pump hak tinggi.

Kuciumi punggungnya.. lalu turun ke buah pantatnya dan kini aku menjilati sepanjang belahannya.
Aku meremas-remas kedua bola pantatnya, sambil jilatanku beranjak turun melewati anus dan mulai menyentuh kewanitaannya.

Aku berlutut dan mendongakkan kepalaku ke atas dan kembali aku menjilat-jilat nikmat kewanitaannya.
Kini giliran kacang kecil merahnya yang aku sedot dan aku tekan-tekan dengan lidahku yang bergerak liar berputar-putar.
Hal ini menyebabkan hidungku terasa menekan-nekan, melesak ke dalam lubang kewanitaannya. “Hmmmm.. enaaak..”

Lima menit kemudian aku merebahkan tubuh indah Eksanti di atas tempat tidur. Aku di atas, dalam posisi 69.
Tubuhku sedikit bergerak naik-turun.. sehingga menyebabkan kejantananku keluar masuk mulut Eksanti dengan lancar.

Sementara itu aku menjilati kewanitaannya, dengan gerakan kepala yang agak maju mundur..
(seperti posisi push up yang disertai gerakan diving maju-mundur)..
sehingga lidahku memberikan tekanan ekstra, yang lebih keras dan lebih cepat pada dinding-dinding kewanitaan Eksanti.

Ketika Eksanti sudah sangat terangsang, tiba-tiba kegiatan itu aku hentikan.
Aku kembali ke sofa dan aku mengenakan kondom yang tadi telah aku beli sebelumnya.

Ketika aku kembali, aku melihat Eksanti sedang meremas-remas sendiri kewanitaannya.
Ia sudah sangat menginginkan datangnya klimaks lagi rupanya.

Mukanya tampak agak kesal dan tampak mulai frustrasi..
tetapi begitu ia melihat kejantananku telah mengenakan kondom, senyumnya kembali mengembang. Lidahnya keluar membasahi bibirnya.
Ayo.. cepat Mas, bara birahiku sudah siap meledak, membakar..! Eksanti berkata dalam hati.

Selanjutnya.. aku membimbing Eksanti berdiri, kami saling berhadapan.
Kaki kanan Eksanti aku naikkan ke atas kursi dan Eksanti dengan tangan kirinya memasukkan kejantananku ke dalam celah sempit kewanitaannya.

Kupompa maju mundur selama sekitar lima menit, lalu aku mengitari badan Eksanti dan kini aku memasukkan kejantananku dari arah belakang.
Lima menit kemudian aku menurunkan kaki Eksanti.. sehingga kini kedua tangannya yang memegang pegangan kursi.

Gerakan memompaku makin cepat. Kadang diselingi dengan gerakan memutar.. kadang kaki kanannya aku majukan sedikit..
sehingga kejantananku masuk tidak lurus tetapi lebih menekan dinding samping kiri kewanitaannya.

Tidak beberapa lama kemudian ia meregang.
“Ooocch.. mmm.. my God.. !.” Dan ia mencapai klimaksnya lagi. Aku menarik tubuhnya.

Aku memeluk sambil tanganku meremas-remas kasar, mengusap-usap lembut kedua bukit payudaranya..
untuk memperlama masa orgasme yang dialaminya.

Tidak lama setelah orgasme Eksanti lewat, aku membaringkan tubuhnya di tepi tempat tidur.
Kulepaskan kedua sepatunya, pantatnya menghadap ke arahku..
Lalu.. Jlebb.. aku masukkan lagi kejantananku ke dalam lubang kewanitaannya dari arah belakang.

Setelah beberapa menit aku menggoyang maju-mundur.. yang sangat menekan-nekan dinding kanan kewanitaannya..
Lalu kuputar tubuh Eksanti hingga berlutut menghadap ke arah kaca rias. Kami melakukan gaya doggy style.

Karena irama kecepatan gerakanku pelan.. tetapi sangat keras ketika menancapkan kejantananku..
maka begitu keras bunyi pahaku ketika beradu dengan pantatnya, slapp.. slapp..

Eksanti mulai tampak tersengal-sengal dan akhirnya kepalanya jatuh ke atas tempat tidur.
Aku tetap menggoyang-goyangkan buah pantatnya, lalu tiba-tiba aku melepas kejantananku perlahan.

Wajah Eksanti tampak bertanya-tanya, gaya apa lagi yang akan aku lakukan.
Aku berbaring dan kini tubuh Eksanti yang duduk tegak, naik-turun di atas tubuhku.
Tangan kami saling berpegangan untuk memberi extra support bagi tubuh Eksanti yang naik-turun cukup tinggi.

Kejantananku sering hampir terlepas setiap kali ia menaikkan tubuhnya.
Kedua mataku tak henti-hentinya memandangi payudaranya yang terayun-ayun indah.

Menjelang datangnya klimaks kami berdua, kembali aku memeluk erat tubuh Eksanti.
Kini ia yang berbaring. Aku mengangkat kedua kakinya ke atas bahuku dan aku bergerak maju mundur.

Kadang aku satukan kedua kakinya sambil tetap memompa.
Kadang kedua kaki itu aku miringkan 45 derajat sambil terus maju mundur berirama, yang semakin lama semakin cepat.. dan semakin cepat lagi.

Klimaks Eksanti yang telah tertunda kini mulai mendekati puncaknya. Kurebahkan kedua lututnya ke depan..
sehingga aku setengah berdiri sambil terus memompanya, dengan irama kecepatan yang semakin laam semakin tinggi.

Rasanya puncak nikmatku pun mulai akan segera datang dan aku tidak akan mampu menahannya lebih lama lagi.
“Lebih cepattt Mass.. lebih kerasss.. Mass..” jerit Eksanti.

Irama yang makin cepat dan tekanan yang makin kuat membuat seluruh batang kejantananku..
benar-benar merasakan remasan kuat dinding-dinding kewanitaan Eksanti yang sangat basah.

“Pijat punyakuuu.. remass punyakuu.. perasss punyakuuu.. Santiii..” aku membalas jeritannya.
“I aaammm cummminggg.. aaacchhhh..” kata Eksanti yang langsung aku ikuti.

“Aacchhh.. aacchhh..” plash.. plash.. plash.. cratt.. cratt.. cratt. cratt.. cratt..
Lava kentalku yang telah cukup lama mendesak-desak di dalam kejantananku.. tiba-tiba meledak..
Muncrat dengan kuatnya di dalam kondom yang berada di dalam kewanitaan Eksanti..

Peluh kami bercucuran. Aku bertopang pada kedua siku tanganku, di atas tubuh molek Eksanti.
Eksanti mengunci erat pinggangku dengan kedua kakinya, sambil tangannya memeluk erat leherku.

Kucium keningnya lembut, di tengah nafas kami berdua yang masih tersengal-sengal. Kuandangi ekspresi nikmat wajah cantiknya.
Sesaat setelah nikmat orgasme kami berlalu, aku melihat setetes air mata jatuh di pipinya.

Aku mencoba untuk bergerak mundur, tetapi Eksanti menahan gerakanku.
“Kamu menyesal..?” Aku bertanya lirih dengan berhati-hati, sambil menyeka air matanya.

“Nggak, Mas. Bukan karena itu..” jawabnya dengan mata berbinar.
“Justru aku merasa sangat bahagia.. aku terharu, Mas..” Ia tersenyum.

“Selain dengan kamu, belum pernah aku merasakan orgasme yang seindah ini, Mas..” lanjutnya.
Lalu ia mencium bibirku, dibelainya lembut kepalaku.

Sambil tersenyum ia berkata.. “Terimakasih Mas, kamu baik sekali padaku..” ia masih terus mengelus-elus rambutku mesra.
Kami berciuman lembut.

Saat aku merasakan kejantananku telah mengecil, aku mencoba menariknya dari dalam kewanitaan Eksanti, namun ia masih menahanku.
Aku mengatakan, “Santi, punyaku ‘kan masih pakai sarung..”
Ia menjawab, “Ooo.. ouuw.. sorry..” hingga akhirnya ia melepaskanku.

Aku pergi ke kamar mandi melepas kondom, pipis dan cuci tangan.
Lalu aku membuka kran shower air hangat.
oOo

Aku kembali ke tempat tidur, lalu aku membopong tubuh Eksanti dan kami pun mandi bersama.
Kami saling menyabuni, dengan wajah penuh senyum puas.

Setelah selesai berbilas dan saling mengeringkan badan, dengan hanya berlilitkan satu handuk besar, kami kembali ke tempat tidur.
Eksanti melepas handuknya, kami berdua telanjang dan aku membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Aku beranjak sebentar, lalu kembali dengan dua kaleng minuman dingin yang masih penuh isinya.
Setelah meminum dua tiga teguk panjang, kami berbaring telanjang saling berhadapan dengan muka tersenyum.

“Mas, terimakasih yaa.. untuk kenikmatan yang barusan kamu berikan tadi..” katanya.
“Sama-sama..” aku menjawab. “Sayang yaa.. kita sama-sama masih menjadi milik orang lain..?” Lanjutku dengan nada berbisik.

“Tapi itu tidak akan menghalangi kita untuk bisa tetap berteman intim selamanya ‘kan..?” Kata Eksanti menatap, memohon.
“Well.. kita adalah dua orang yang sedang kesepian Santi.. dan kebetulan gaya bicara kita bisa saling nyambung.
Jadi, untuk yang satu itu.. kita lihat saja nanti yaa..” aku berkata tegas.

Eksanti langsung menerjang, memelukku. Diciuminya kening, mata, pipi hidung dan mulutku.
“Thanks Mas, that’s all that I needed for now on..” sambil kembali menatapku mesra.
Sementara aku bertanya-tanya dalam hati tentang hubunganku dengan Eksanti ini, is this love or just passion..?

Aku mencium bibirnya mesra.. Ia masih ingin bicara lagi, tetapi aku segera meletakkan telunjukku di bibirnya.
“Ssshhh.. besok pagi saja lagi bicaranya, aku capek..” Eksanti mengedipkan matanya tanda setuju. Kami masih terus berpandangan.

Mata Eksanti terlihat makin sayu karena kelelahan.. digesernya aku hingga terlentang..
Kini ia pun dalam tengkurap dengan kedua tangan memeluk leherku dan kepalanya disandarkan di dadaku.

Kami pun tertidur lelap hingga pagi hari.

Again.. is this love or just passion.. aku benar-benar tidak tau.. Ahhh.. (. ) ( .)
------------------------------------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------------------

Cerita 15 – Gadisku

Chapter 12
– Rahasia Dapur

Sejak aku dan Eksanti memiliki keberanian untuk bercinta di tempat kostnya.. aku semakin sering mampir ke sana.
Eksanti sendiri nampaknya juga tidak terlalu khawatir bahwa teman-teman di kostnya akan curiga dengan hubungan kami.

Toh banyak pula diantara mereka yang sering mengundang pacarnya untuk menginap di tempat kost itu.
Selain itu hubungan Eksanti dengan Mas Yoga-nya juga belum terlalu membaik.

Sebenarnya Eksanti sendiri juga sudah mulai melupakan ‘pengkhianatan’ yang dilakukan Yoga dan mau saja ia memaafkannya.
Bagaimanapun Eksanti juga merasa telah melakukan hal yang sama terhadap Yoga.. dengan menerima kehadiranku di sisinya.
Yoga sendiri.. walaupun masih sangat mencintai Eksanti.. namun belum memiliki keberanian untuk datang menemui Eksanti kembali.

Seperti kejadian malam itu..
Eksanti mengundang aku untuk datang ke tempat kostnya Jumat siang itu.. ia akan memasak nasi goreng sosis kesukaanku.

Eksanti juga mengatakan di telepon, dengan suara manjanya.. bahwa aku bukan hanya diundang makan malam.
Aku juga diminta untuk menemani rasa sepinya dengan menginap di sana.

Aku terbahak mendengar ucapan Eksanti yang terus terang itu. Permintaan Eksanti memang masuk akal.
Akhir minggu itu memang hari-hari terakhir menjelang libur panjang akhir tahun..
sehingga seluruh teman-teman kostnya telah pulang ke daerah asal mereka masing-masing.

Sementara.. ibu kost meminta Eksanti tinggal sampai dengan hari Minggu malam untuk menjaga rumah.
Karena mereka sekeluarga akan pergi ke Bandung untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salahsatu saudaranya..

Akhirnya.. hanya ada Eksanti seorang diri di paviliun kost.. sementara seorang pembantu lain tinggal di rumah induknya.
oOo

Ketika aku tiba di rumah kost Eksanti, ia tampak sedang menyiapkan nasi goreng sosis di sebuah pantry kecil di dalam paviliun itu.
Ia segera menawarkan minuman kepadaku dan mempersilakan aku untuk mengambilnya sendiri dari dalam kulkas kecil di sudut pantry itu.
Aku memilih sekaleng coca cola kesukaanku.

Sambil mengobrol kiri-kanan, Eksanti meminta maaf kepadaku, karena ia harus kembali bekerja di pantry untuk menyiapkan makanan.
“Nggak masalah, Santi..” ujarku maklum.. lalu ikut menyusulnya ke pantry yang terletak di bagian belakang kamarnya.

Aku berdiri di pintu pantry dengan sekaleng cocacola dingin di tanganku.. melihatnya sibuk mencuci sayuran segar untuk pelengkap nasi gorengku nanti..
di sebuah pinggan keramik bermotif ikan-ikan kecil warna-warni.

Pantry di rumah kost Eksanti, walaupun ukurannya relatif kecil tetapi sangat bersih.
Di tengah-tengah ruangannya terdapat sebuah meja.. tempat Eksanti saat ini menyiapkan masakannya itu.

Tubuhnya membelakangiku, hanya dibungkus rok span pendek dari kain tipis dan badannya dibalut kaos tanpa tangan.
Sambil berbicara ke sana ke mari.. aku diam-diam memandangi tubuh itu.

Jelas sekali.. tubuhnya yang menggairahkan itu tidak memakai sepotong pakaian dalam pun.
Tidak ada celana dalam.. tidak ada bra. What the ..!!

Kain tipis yang dipakai sebagai rok itu tak mampu melindungi cahaya menerawang.. memperlihatkan bayangan dua paha yang mulus.
Kaosnya juga terlalu sempit.. tidak bisa menyembunyikan keindahan payudaranya yang padat membusung itu.

Pemandangan seperti itu adalah magnet yang amat kuat.. menarikku untuk segera mendekat.
Diam-diam kuletakkan kaleng minumanku.. lalu berjalan tanpa menimbulkan suara atau bunyi

Sekejap aku sudah sampai di belakang Eksanti.. dekat sekali.. sehingga seluruh harum tubuhnya tercium dengan jelas.
Lalu dengan mesra kucium tengkuknya. “Hei..!?” Eksanti menjerit kaget.

“Mas, jangan nggangguin Santi dong.. ntar makanannya jadi nggak enak lho..”
Aku tidak peduli. Terus saja kuciumi tengkuk yang dipenuhi rambut-rambut hitam halus itu.

Hmm.. harum sekali tengkuk itu. Eksanti menggeliat, mencoba menghindar.
Tetapi nyatanya ia tidak sungguh-sungguh menghindar. Cuma bergerak-gerak sedikit saja.

Apalagi aku kini mendesak ke depan, menyebabkan Eksanti terjepit di antara tubuhku dan meja pantry-nya.
Tanganku mengusap-usap bukit indah di belakang Eksanti, sesekali meremasnya.

Tanganku yang lain telah merayap ke depan.. menjamah sebuah payudara Eksanti yang bergoyang-goyang seksi setiap kali ia menggelinjang.
“Oocch.. Mas.. jangan sekarang..” Eksanti mendesah.. menggerak-gerakan bahunya..

Seolah mencoba menghindari ciumanku di sepanjang pangkal lehernya.
Tetapi aku tau.. dalam hatinya ia berkata lain.. malah mungkin berharap aku tidak segera mengakhirinya.. hehe..

Aku memang tidak berhenti. Tanganku merayap ke bawah, menyingkap rok yang dikenakan Eksanti.
Memang betul, ia tidak bercelana dalam dan pemandangan indah segera terpampang.

Eksanti memiliki bagian belakang yang mempesona, kenyal-padat dan menonjol mengundang selera.
Dengan gemas aku meremas-remas, membuat Eksanti menjerit kecil sambil menahan geli.

Kedua tangan Eksanti kini tak bisa meneruskan pembuatan nasi gorengnya dan berpegangan di bibir meja, antara bertahan dan menyerah.
Dengan jari tengahku, aku menelusuri celah sempit di antara dua bukit kenyal di bokong yang seksi itu.

Eksanti menggelinjang merasakan kenikmatannya mulai terbangun di bawah sana.
Apalagi lalu jari itu semakin lama semakin ke bawah, lalu agak ke depan, menyelinap ke gerbang kewanitaannya dari belakang.

Wow..! Eksanti merenggangkan kedua pahanya.. tidak tahan mendapat perlakuan seperti itu.
Sementara tanganku yang lain kini masuk menelusup ke kaos Eksanti, menjalar menuju bukit payudaranya yang membusung.

Oocch.. hangat sekali telapak tanganku merayapi perutnya, naik ke bagian bawah dadanya..
lalu menyelinap di antara kedua payudaranya.. sebelum akhirnya naik ke salah satu puncaknya.

Eksanti menggeliat dan mengerang pelan ketika telapak tangan itu berputar-putar ringan di atas puting susunya.
Oocch.. ia merasa geli sekali rasa puncak-puncak payudara Eksanti, membuat tubuhnya bergetar pelan.

Kepala Eksanti berputar-putar seperti seorang olahragawan sedang warming up..
karena bibirku menjalari lehernya, mengendus-endus tengkuknya lagi, membuat Eksanti kegelian.

Lalu dengan tiba-tiba kubalikkan tubuh Eksanti, membuat ia menjerit kaget.
Dengan segenap kekuatanku, aku sanggup memutar tubuh rampingnya dengan cepat.

Tidak itu saja, aku bahkan sudah mengangkat Eksanti dan mendudukkannya di atas meja pantry..
yang di sana-sini dipenuhi bahan-bahan mentah masakannya: nasi putih, sosis, sayuran, sambal, saus tomat, minyak dan mentega.

Kemudian aku berjongkok dan Eksanti tau apa yang akan aku lakukan.
Dengan gerak cepat.. kusingkap roknya.. sehingga membuat kewanitaannya terpampang bebas dalam terang lampu pantry yang bagai siang hari.

Jelas sekali terlihat kewanitaan Eksanti yang terbalut bulu-bulu hitam lebat tetapi sangat rapi karena baru dicukur..
Hmmm.. harumnya.. karena baru dibasuh sabun wangi.. sepertinya memang khusus untuk kewanitaan.

Wuihh.. Bentuknya menyerupai buah ranum dengan belahan di tengah, menggiurkan sekali.
Belahan itulah yang segera aku ciumi, akut telusuri dengan lidahku, membuat Eksanti merintih nikmat dan memperlebar kangkangannya.

Aku pun membantu dengan tanganku, mendorong kedua paha Eksanti agar lebih jauh terbuka.
Kewanitaan Eksanti seperti direntang, kedua bibir-bibirnya yang tebal itu terkuak..
menampakkan lembah merah-muda yang halus seperti sutra dan licin seperti diminyaki.

Segera kujilati bagian yang terkuak itu.. mendesak-desakkan lidahku yang panjang ke dinding-dinding kewanitaan Eksanti..
Jelas menimbulkan perasaan yang tak terperi dalam dirinya. “Occhh.. acchhh.. ,nggg..” cuma itu yang bisa keluar dari mulut Eksanti.

Ia tidak tau bagaimana mengungkapkan kenikmatan yang sedang dirasakannya.
Eksanti tak kuasa menahan tubuhnya rebah di meja pantry.
Untunglah meja itu cukup lebar untuk menampung seluruh badannya, walau kedua kakinya tetap bergelantungan, disangga oleh bahuku.

Rasa geli dan nikmat menjalar ke seluruh tubuh Eksanti, meletup-letup seperti air mendidih.
Apalagi ketika lidahku bermain-main di daging kecil yang menonjol dalam lempitan bagian atas kewanitaannya.

Aku menggunakan jari-jariku untuk menguak persembunyian 'Si Kecil Merah' itu..
menarik ke atas kulit tebal yang menyembunyikannya.. sehingga tonjolan kecil yang berdenyut-denyut lemah itu kini bebas terbuka.

Clupp.. clupp.. Menggunakan ujung lidah.. aku menjilati si kecil.. mengirimkan sejuta kenikmatan yang menjalar cepat ke seluruh tubuh Eksanti..
membuat wanita itu merintih-rintih dan mengerang keras.

Salahsatu tangan Eksanti tak sengaja menyentuh botol saus tomat, menyebabkan isinya tumpah di atas meja.
Terkejut.. Eksanti bangkit dan memintaku berhenti sebentar.

Bukan saja ia ingin menghentikan tumpahan saos tomat, tetapi ia juga punya ide cemerlang!
Aku menghentikan ciumanku, sambil tetap menyenderkan kepalaku di paha Eksanti yang putih mulus itu.

Lalu aku mendengar Eksanti berkata.. “Kita main-main dulu yaa.. Mas..?”
Belum lagi aku menjawab dan mengerti apa maksud ucapannya, Eksanti telah menuangkan saos tomat ke kewanitaannya.

Tersentak.. aku mengangkat wajahku dan memandang takjub..
melihat saos tomat berleleran keluar dari botol dan memenuhi celah kewanitaan Eksanti. Acch.. sebuah permainan baru..!

“Mas, bersihkan saus tomat itu dengan mulutmu, please..” desah Eksanti nyaris tak terdengar. Botol saus tomat telah diletakkannya kembali.
Tanpa banyak bicara, aku langsung menjilati saos tomat itu. Eksanti mendesah, memandangi kewanitaannya dilahap oleh mulutku.

Oocch.. menggiurkan sekali pemandangan itu. Nikmat sekali rasanya 'dimakan' seperti itu, dibumbui saos tomat.
Eksanti mengerang, merasakan orgasme pertamanya akan segera tiba.

Ia merebahkan kembali tubuhnya ketika aku tidak lagi hanya menjilat..
tetapi juga mengulum-ngulum 'Si Merah Kecil' yang dipenuhi saos tomat, menyedot-nyedotnya seperti hendak membuatnya licin bersih.

Seketika.. Eksanti merasakan klimaks yang bergelora menyergap seluruh tubuhnya..
Dimulai dari selangkangannya dan menyebar cepat ke atas, membuatnya menggelepar-gelepar seperti ikan kehabisan air.

Aku terus menyedot, mengulum, mengunyah-ngunyah. Eksanti berteriak-teriak kecil, tak tahan menerima kenikmatan yang bertubi-tubi itu.
Lalu permainan kami semakin menggila. Semakin spontan. Aku menemukan sebuah sosis matang tergeletak di dekatnya.

Kuambil sosis sebesar ibu jari itu dan sebelum Eksanti tau apa yang terjadi, sosis itu telah melesak ke dalam kewanitaannya.
Tadinya Eksanti mengira itu salahsatu jariku.. dan ia mengerang merasakan kenikmatan diterobos daging licin.

Tetapi dengan takjub ia kemudian sadar bahwa “jari” itu perlahan-lahan aku makan, aku tarik keluar sedikit-demi-sedikit.
Eksanti bangkit lagi, memandangiku dengan lahap memakan sosis yang agak basah berlumuran cairan cintanya.
Aacch.. menggairahkan sekali pemandangan itu.

Segera saja Eksanti mengambil lagi sebuah sosis. Ketika sosis pertama selesai aku makan.. langsung Eksanti memasukkan sosis yang baru.
lalu dengan cepat sosis ini aku makan pula. Lalu yang ketiga. Keempat..

Eksanti meregang merasakan kenikmatan yang unik menyerbu tubuhnya.
Orgasmenya datang lagi bertubi-tubi, sementara aku merasa birahiku semakin meningkat setelah menikmati sosis yang fresh from the oven itu!

Aku bangkit, mengeluarkan kejantanan dari celanaku. Besar dan tegang sekali kejantananku.
Eksanti melirik ke bawah dari posisi berbaringnya.. Oocch.. memandang kejantananku saja sudah cukup memberinya semangat baru.

Eksanti pernah.. bahkan sering mengatakan bahwa ia sangat menyukai milikku yang satu itu..
"Ya.. sangat kenyal dan kuat.. mampu bertahan dalam percumbuan yang panjang menggairahkan.." katanya saat itu.

Sambil mengerang, Eksanti membuka kedua pahanya lebih lebar lagi, meletakkan tumit-tumitnya di pinggir meja.
Dengan posisi seperti ini, Eksanti bagai hewan kurban yang siap disembelih, di atas altar kenikmatan yang dipenuhi bahan-bahan masakan!

Pelan-pelan aku menuntun kejantananku memasuki gerbang kewanitaannya.
Kenyal sekali liang yang basah oleh aneka cairan itu, termasuk saos tomat dan kuah sosis.

Aku mula-mula menggosok-gosokan bagian kepala dari kejantanannya yang telah membesar itu.
Oocch.. Eksanti merasakan kegelian yang amat-sangat, membuatnya bergidik-bergeletar.

Lalu.. slebb.. perlahan-lahan aku mendorong kejantanannya masuk.
Perlahan sekali.. mili demi mili batang-otot yang panas-berdenyut itu melesak ke dalam.

"Ah.. acchh.. acchhh.. accchhh..” tak pelak Eksanti mengerang setiapkali kejantananku menerobos masuk.

Setiap mili gerakanku menimbulkan percikan nikmat..
sehingga ketika akhirnya seluruh kejantanan itu tenggelam di dalam kewanitaannya, Eksanti langsung mencapai orgasme ketiganya.
Cepat sekali puncak birahi itu datang bergantian. Padahal aku belum lagi bergerak maju-mundur.

Aku lalu menaburkan sayuran yang tadinya tengah dicuci dan dipersiapkan sebagai pelengkap nasi goreng..
di atas dada Eksanti yang sedang berguncang-guncang. Warna hijau, kuning dan merah segera menghiasi tubuh putih mulus itu.

Eksanti kegelian merasakan daun-daun yang basah dan dingin melekat di tubuhnya yang panas terbakar birahi.
Rasa yang amat kontras ini -panas dan dingin- menambah rangsang baru di diri Eksanti. Betul-betul unik permainan cinta kami kali ini.

Betul-betul spontan dan tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang selama ini diimpikan Eksanti jika bercinta.
Beruntung sekali ia mendapatkan pasangan bercinta sepertiku. Hehe..

Sambil mulai menggerak-gerakan pinggulku, menghujam-hujamkan kejantananku, aku pun menunduk mulai memakani sayur-sayuran.
Eksanti telah pula menaburkan saus tomat dan mentega cair di atasnya.. sehingga benar-benar menjadi santapan lezat.

Sedap sekali rasanya memakan sayur segar di atas tubuh wanita yang menggairahkan ini.
Sambil menikmati pula cengkraman otot kenyal di bawah sana yang mengurut-urut kejantananku.

Wow..! Aku bagai berada di langit ke tujuh.
Fantasi seksualku tersulut dengan cepat, membakar badanku, menyediakan energi berlipat ganda untuk terus bercumbu dan bercumbu lagi.

Eksanti merintih-mengerang merasakan bagian-bagian dari tubuhnya ikut tergigit ketika aku menyantap “sayuran” di atas tubuhnya.
Hal ini menambah nikmat permainan cinta kami dan sekali lagi.. tanpa dapat dicegah..
orgasme keempat datang menderu memenuhi tubuh Eksanti yang memang sudah sangat sensitif ini.

Sedikit saja gerakanku mampu menimbulkan kobaran birahi yang membahana.
Sedikit saja aku memaju-mundurkan kelaki-lakianku, Eksanti sudah menjerit-jerit kecil merasakan kenikmatan yang berlipat ganda.

Pada saat Eksanti mencapai klimaks, aku menggigit seiris tomat di puting Eksanti dan secara tak sengaja menggigit pula puting itu.
Eksanti menjerit karena ada rasa perih.. tetapi jeritannya segera berubah menjadi erangan..
karena aku pun segera menyadari 'kecelakaan' itu dan mengubah gigitannya menjadi kuluman.

Rasa perih segera bercampur dengan geli, cepat sekali membuat Eksanti menggeliat kuat..
Dia menyerah pada gelombang-gelombang besar puncak birahinya.

Ketika semua sayuran telah habis.. aku tidak lagi memiliki kegiatan lain selain menggenjot menghujam-hujamkan kejantananku.
Setelah sekian lama menahan diri dan memberikan empat orgasme kepada Eksanti, kini aku membiarkan klimaksku sendiri datang menyerbu.

Aku mempercepat hujaman-hujaman kejantananku, tidak mempedulikan Eksanti yang sebenarnya belum lagi selesai dengan klimaks terakhirnya.
Eksanti masih menggelepar-gelepar merasakan akhir dari klimaks itu, tetapi aku telah pula memberikannya kenikmatan baru.

Tubuh Eksanti berguncang, menggeliat.. meluncur hampir terjatuh dari meja..
yang kini penuh keringat bercampur air bekas sayuran, saos tomat dan sebagainya.
Aku cepat-cepat menahan tubuh itu, mencengkram bahunya dengan kuat. Eksanti cepat-cepat pula berpegangan pada pinggir meja.

Dengan erangan yang menyerupai banteng terluka,. aku akhirnya melepaskan salvo-salvo birahiku..
menumpahkan banyak sekali lahar putih pekat yang muncrat sangat kuat dari ujung kejantananku.

Eksanti entah sedang berada di langit yang keberapa, tidak bisa merasakan semprotan-semprotan hangat di dalam kewanitaannya..
karena ia sendiri sedang meregang menikmati klimaks kelimanya yang datang menyambung akhir klimaks sebelumnya.

Kedua kakinya erat menjepit pinggangku. Matanya terpejam. Mulutnya menganga dengan suara-suara tertahan seperti orang tercekik.
Payudaranya berguncang-guncang hebat. Sebuah desahan yang panjang akhirnya keluar dari mulut Eksanti, setelah segalanya mereda.

Aku terkulai menindih tubuh Eksanti. Meja pantry berantakan.
Botol saos tomat akhirnya terguling tanpa dapat dicegah. Untung botol itu kuat.. sehingga tidak jatuh berkeping.

Tetapi isinya bermuncratan ke mana-mana, bercampur potongan-potongan sayur.. tebaran nasi putih yang belum sempat dimasak..
Lelehan mentega cair dan beberapa buah tomat yang jatuh bergelindingan. Kacau sekali..!

“Oocch, Mas.. kamu harus membantu Santi membersihkan pantry..” begitu kata Eksanti setelah kami mampu berbicara lagi.
Berdua kami tertawa terbahak-bahak mengenang kegilaan-keedanan yang baru saja kami lalui.

Makan malam kali ini terpaksa ditunda. Setelah membersihkan pantry, Eksanti dan aku kehilangan nafsu makan.
Sebaliknya, setengah jam kemudian kami telah terlihat bergumul di kamar tidur.

Percumbuan dilanjutkan, tetapi dengan tempo yang jauh lebih lambat dan dalam rentang waktu yang jauh lebih lama.
Kami tak perlu khawatir.. karena di seberang tempat kost Eksanti ada restoran nasi goreng yang buka 24 jam. Hehe.. (. ) ( .)
---------------------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd