Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT RANJANG YANG TERNODA - REMASTERED

Bimabet
The best part and the best scene ever on this long long long story
 
semakin mendekat ke certa akhir neh,..
mksh hu updatenua
 
Berapa kali pun aku baca cerita ini, tak pernah bisa baca part2 ini sekaligus selesai
Apalagi bayangan bj12 selalu mengganggu

Akhirnya selesai (lagi) sejak mulai baca semalam. Hekekek
Suwun mastah
 
mantabs, bagusss....
Kira Kira suaminya bisa maafin ga yaa??
 
BAGIAN 10-A
NAMANYA LIDYA





"Apa?”

Lidya Safitri terbelalak kaget. Bola matanya yang indah seakan hampir copot menatap sang suami yang saat itu tengah membaca berita melalui smartphone-nya di ruang tamu. Kalau saja Lidya tidak mampu menguasai emosinya, kopi yang ia bawakan untuk Andi akan tumpah.

“Apa kenapa, sayang?” Andi balik melihat ke arah istrinya yang sedang berdiri kaku dengan heran.

“Ka... ka... kamu barusan bilang apa……..?!”

“Sudah panjang lebar cerita ternyata masih harus diulang, makanya kalau ada orang ngomong itu didengerin,” keluh Andi, “tadi aku bilang... aku sudah menemukan rumah kontrakan yang bagus buat Bapak. Tempatnya tidak jauh dari sini, fasilitas lumayan, harganya juga murah. Aku sudah ajak Bapak ke sana, katanya sih cocok.”

Lidya mengangguk mengiyakan, tapi bukan kabar ini yang membuatnya kaget. Kabar yang barusan justru membuatnya senang sekali. Yang membuatnya terkejut adalah kalimat – kalimat selanjutnya diucapkan sang suami. Kalimat yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak.

“... nah dalam waktu dekat Bapak mau pindah ke sana.” Lanjut Andi, “Tapi… kata Bapak sebelum dia menempati rumah kontrakan yang baru, dia pengen balik sebentar ke desa. Pamitan, ziarah atau apalah. Selama ini kan sudah akrab banget sama orang-orang di kampung.” Andi menggerakkan jemarinya untuk membaca berita melalui portal yang ia buka di browser di ponsel sambil terus menerangkan hal yang sebenarnya baru saja ia sampaikan pada Lidya, “…berhubung aku harus mengurus kontrakan baru Bapak ditambah kerjaan yang belum selesai di kantor, maka kamu yang nganterin Bapak ke desa.”

Inilah yang membuat Lidya terkejut setengah mati.

“T – t – tapi, mas… kenapa Bapak tidak pulang sendiri saja?”

“Ah, kamu ini!” Andi menatap Lidya dengan tatapan mata galak. Pria itu paling benci kalau Lidya tidak mau berkumpul atau menyatu dengan keluarganya. “Bapak kan sudah tua, kasihan dong harus pergi jauh seorang diri walaupun hanya untuk sebentar. Biar bagaimana juga dia itu bapakku! Masa gitu aja kamu nggak mau? Kalau saja aku ada waktu, aku yang akan mengantarkannya ke desa! Aku tidak akan minta bantuanmu!”

“Bukan begitu. Bapak kan masih kuat, Mas. Aku pikir…” Lidya terus mencari celah untuk menghindar, si cantik itu meletakkan kopi Andi di meja tanpa sedikitpun menatap matanya. Dia tidak berani bertatapan mata langsung dengan suaminya, ia takut Andi akan mencurigainya. Lidya tidak ingin suaminya tahu ayahnya sendiri hampir tiap hari menidurinya. Lidya melanjutkan kalimatnya, ia mencoba mencari alasan yang tidak akan menyinggung perasaan Andi. “Aku juga tidak yakin beliau mau aku temani pulang ke desa…”

Andi mengeluarkan nafas panjang. “Aku kemarin sudah ngobrol sama Bapak. Tadinya dia memang menolak ditemani siapa – siapa, dia bilang tidak mau merepotkan. Tapi setelah aku bujuk lama – lama luluh juga. Bapak akhirnya setuju kamu antar.”

Lidya membalikkan tubuh untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat pasi. Tubuhnya bergetar ketakutan dan keringatnya mulai menetes. Andi memang tidak tahu kalau Pak Hasan yang terhormat telah memperlakukan istrinya dengan tidak senonoh. Bayangkan apa yang akan dilakukan lelaki tua cabul itu jika Andi memberikan peluang bagi Pak Hasan untuk berdua saja dengannya?? Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana menolaknya?

“Kapan Bapak mau berangkat, Mas? Berapa lama di sana?” tanya Lidya dengan penuh harap. Tidak ada gunanya melawan Andi kalau sedang seperti ini.

“Berangkat besok lusa, naik bis. Mungkin sekitar empat hari, kalian menginap di rumah sahabat Bapak di desa, namanya Pak Raka. Kebetulan yang punya rumah malah baru pergi ke kota. Keluarganya juga kenal dengan aku kok, keluarga Pak Raka sudah seperti keluarga kita sendiri, dulu waktu kecil aku sering tidur di rumah Pak Raka……” jawab Andi sambil terus membaca berita tanpa melirik sedikitpun ke arah Lidya.

Lidya memejamkan mata dan berusaha menahan geram. Sial.




.::..::..::..::.



Sudah hampir setengah jam Lidya menunggu, ia melirik ke arah jam tangan cantik yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Bis belum juga datang, padahal hari sudah semakin larut. Jika mereka berangkat terlalu malam, mereka baru akan sampai di desa esok siang. Perjalanan cukup jauh dan wanita cantik itu tidak begitu suka berduaan saja dengan mertuanya untuk waktu yang cukup lama. Bus malam yang akan membawa mereka pulang ke desa sudah dibeli tiketnya dan sudah dijadwalkan akan berangkat dari tempat ini… setengah jam yang lalu.

Seorang lelaki botak bertubuh gemuk berjalan pelan mendekati Lidya. Ia duduk di samping wanita cantik itu sambil menikmati cemilan kacang yang sudah hampir habis. Mulutnya terus berkomat – kamit mengunyah kacang.

“Bis itu pasti datang, Nduk. Sabar saja.” Kata pria yang baru datang dengan tenang. “Penjual tiketnya bilang jalan macet, jadi busnya terlambat masuk terminal.”

Lidya menggerutu. Walaupun tidak menyukai keterlambatan, dia justru berharap bis yang mereka naiki tidak kunjung datang hingga tahun depan. Si manis itu beringsut menjauh dari posisi duduk yang berdekatan dengan si pria gemuk yang sangat ia benci hidup mati. Pria gemuk itu tentunya adalah ayah mertuanya yang bernama Hasan. Lidya cukup kesal karena Andi tidak bisa menemani mereka, paling tidak sampai bisnya datang. Andi malah hanya mengantar sampai pintu terminal dan buru – buru berangkat ke kantor. Suaminya itu tidak tahu, dia tengah mengumpankan anak ayam ke kandang buaya.

Pak Hasan bukan orang bodoh, ia sadar Lidya berusaha menghindarinya. Pria tua mesum itu melirik ke arah menantunya yang mempesona. Sungguh pemandangan indah yang tiada duanya, rambut panjang yang indah, tubuh tinggi dengan kaki jenjang, kulit putih mulus bagai pualam, lekukan tubuh menggiurkan, wajah cantik rupawan dan buah dada yang sempurna. Seorang bidadari yang turun dari khayangan.

Pria tua itu tersenyum bangga, semua keindahan itu… kini jadi miliknya.

…paling tidak untuk empat hari ke depan.

Pak Hasan terkekeh kalau mengingat anaknya yang bodoh. Mudah sekali Andi ditipu. Pak Hasan berpura – pura tidak mau diantar Lidya pulang ke kampung, padahal dalam hati ia ingin sekali membawa menantunya yang molek itu dan menidurinya setiap hari di sana. Hawa di desa agak dingin dan berangin, pasti enak kalau tidur kelon dengan Lidya. Dengan sedikit tipu daya, bukan dia yang merengek ingin membawa Lidya, malah Andi yang memaksa dia mengajak si cantik itu. Ini mungkin yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba. Pak Hasan pun berhasil mengajak Lidya menemaninya ke kampung.

Sambil menghabiskan kacangnya, Pak Hasan mengamati kanan kiri. Beberapa orang di terminal sepertinya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah Lidya. Hampir semua laki – laki yang ada di sana tidak mampu menjauhkan mata dari pesona menantunya, tidak tua tidak muda. Bahkan ada beberapa orang laki – laki yang berjalan bersama pasangannya melirik diam – diam ke arah si cantik itu. Geli juga Pak Hasan melihat ekspresi benci seorang wanita melihat pasangannya ngiler melihat Lidya.

Dilihat dari cara berpakaiannya kali ini sebenarnya Lidya tidak terlalu menampilkan kemolekan tubuhnya, hanya saja karena dia memang terlampau menarik, orang dengan mudah terpesona. Saat ini Lidya mengenakan baju putih kancing depan berlengan panjang yang ditekuk hingga tiga perempat. Baju itu agak ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya namun tidak terlalu seksi. Seperti biasa, Lidya melepas satu kancing teratas karena rasanya sesak dan memperlihatkan sedikit saja belahan dada sentosa. Ia mengenakan rok pendek selutut dengan warna abu – abu tua yang membalut pahanya yang mulus dan memperjelas keindahan kakinya yang jenjang.

Menyadari banyak laki – laki melirik ke arahnya Lidya memilih diam dan mengenakan kacamata hitamnya, ia berpura – pura memperhatikan bis yang datang dan pergi dan tidak menghiraukan mereka. Toh tidak ada gunanya ditanggapi.

Lama kelamaan si cantik itu melamun, benaknya melayang tak tentu arah. Lidya menyesalkan kehidupan yang telah dikacaukan oleh ayah mertuanya yang mesum dan cabul. Ia sudah mengkhianati suaminya dengan menyerahkan barangnya yang berharga pada Pak Hasan. Belum lagi ketidakjelasan kakak – kakaknya yang juga entah bagaimana nasibnya…

Sampai sejauh ini ia sudah…

Terbangun dari lamunan, Lidya baru menyadari kalau tangan gemuk Pak Hasan telah melingkar di pundaknya dan beberapa kali memencet buah dadanya. Dengan risih Lidya menggoyangkan badan untuk melepaskan kaitan lengan sang ayah mertua.

“Apaan sih Bapak?!” Kata Lidya ketus, ia memasang muka masam, “ini tempat umum. Jangan macam – macam.”

Pak Hasan mencibir. “Dulu kamu pernah seperti ini di mal dan pasar, bahkan saat itu keadaan lebih parah. Apa bedanya dengan terminal? Sama – sama tempat umum kan?”

“Pokoknya aku nggak mau seperti dulu lagi… aku ini…”

“Jangan banyak omong!!” tiba – tiba saja Pak Hasan menghardik dengan galak.

Lidya tercekat kaget, dia tidak mengira Pak Hasan akan membentaknya. Satu hal yang ia takutkan pada saat ini adalah mengundang perhatian orang sekitar. Melihat emosi Pak Hasan meledak, Lidya mengalah karena melihat beberapa orang melirik ke arah mereka. Dengan terpaksa ia membiarkan tubuhnya yang indah digerayangi sang mertua.

Dengan berani pria tua itu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Lidya. Orang – orang yang melihat akan menganggap kedua orang ini sebagai pasangan karena mesra sekali. Rabaan tangan Pak Hasan melaju tanpa henti di tubuh Lidya, menggerayangi dan menikmati setiap lekuk tubuhnya yang indah. Membuat iri mereka yang melihatnya, bagaimana mungkin seorang pria botak, gemuk dan jelek seperti Pak Hasan bisa menaklukan wanita seindah Lidya sungguh di luar daya khayal mereka.

Untunglah penderitaan Lidya tak berlangsung lama karena bus yang mereka tunggu – tunggu akhirnya datang juga.

Pak Hasan mendengus kesal melihat bus memasuki terminal, menganggu orang seneng aja, baru seru malah masuk. Tapi beberapa saat kemudian pria tua itu terkekeh sambil menepuk pantat Lidya dan berjalan mendahului menantunya ke tempat bus parkir.

Lidya kembali menggerutu.



.::..::..::..::.



Lidya dan Pak Hasan menempuh perjalanan yang cukup panjang. Berangkat di sore hari dengan menggunakan bus malam antar kota, mereka baru sampai di tujuan besok siang. Karena bus penuh dan mereka berdua sedikit terlambat memesan tiket, Lidya dan Pak Hasan mendapatkan tempat duduk di belakang, dekat dengan toilet dan sejajar dengan pintu belakang. Lidya jelas kurang suka posisi duduknya ini sedangkan Pak Hasan menganggapnya keberuntungan karena tidak akan ada gangguan selama perjalanan. Posisi tempat duduk adalah 2 – 1, dua kursi di kiri dan 1 kursi di kanan. Pak Hasan dan Lidya duduk berdampingan, pria tua itu memilih duduk di dekat jendela.

Lidya yang tidak biasa menempuh perjalanan jauh menggunakan bus malam merasa tidak nyaman dengan jalan yang bergelombang tidak rata. Sayangnya hanya dia sendiri yang sepertinya tidak merasa nyaman, penumpang lain tidur dengan nyenyak sepanjang perjalanan. Keadaan di dalam bis sendiri sudah sangat gelap sejak lampu – lampu dimatikan. Pak Hasan sudah tertidur sejak tadi, dengkurannya yang keras cukup mengganggu Lidya. Kepala mertuanya itu disampirkan sengaja di bahu kanan Lidya, ia tidur dengan enak sementara menantunya tak sedikitpun sanggup memejamkan mata.

Untunglah kelelahan yang menghinggap perempuan jelita itu akhirnya membuatnya terlelap. Rasa capek yang amat sangat membuat Lidya bisa tertidur nyenyak.

Beberapa jam perjalanan berlalu, Pak Hasanlah yang terbangun terlebih dahulu, ia melirik jam tangan dan menengok pemandangan di luar. Perjalanan masih jauh dan keadaan di luar terlalu gelap untuk dinikmati. Pak Hasan mengangkat bahu dan tertawa kecil, kalau pemandangan di luar tidak terlihat, sebaiknya menikmati saja pemandangan indah yang ada di dalam.

Pak Hasan menengok ke arah Lidya dan mengagumi kulit sang menantu, begitu halus dan mulus, putih laksana pualam, bahkan di kala gelap seperti ini, putihnya kulit Lidya seperti menyala. Bagian atas pakaian Lidya memperlihatkan sedikit balon buah dadanya yang lumayan montok. Menggiurkan sekali, pikir Pak Hasan. Pikiran kotornya mulai menggelora. Posisi kursi yang ada di belakang membuatnya bebas melakukan apapun karena tidak ada orang lain duduk di samping kursi mereka, lagipula hampir semua orang tidur. Pak Hasan menarik selimut kecil yang ia pakai turun ke bagian selangkangan dan dengan pelan membuka kancing celananya sendiri. Pak Hasan mengeluarkan kemaluannya sambil menyeringai lebar.

Setelah mengeluarkan penisnya yang mulai mengeras, tangan kanan Pak Hasan dengan nakal menjelajah ke bagian dada perempuan cantik yang terlelap disampingnya, meremas pelan dan membelai buah dadanya yang menggiurkan sementara tangan kirinya mulai membetot penisnya sendiri. Dengan berani pria tua melepas beberapa kancing baju Lidya agar ia bisa lebih leluasa menikmati buah dada sang menantu. Tangan keriput Pak Hasan makin tak terhalangi setelah dua kancing atas baju Lidya dilepas. Ia kini menyelipkan tangan ke bawah beha Lidya, meremas payudara montoknya dan memainkan puting yang makin lama makin menegak dengan sesuka hati.

Pak Hasan menyukai buah dada Lidya yang menurutnya berukuran sempurna, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Remasan pada payudara Lidya pas dengan tangkup jemarinya. Kenyalnya balon buah dada sang menantu makin membuat Pak Hasan tak tahan, beberapa kali ia mengenduskan hidung di buah dada Lidya, menikmati baunya yang harum. Ia tak puas berhenti di payudara Lidya, Pak Hasan meraba bagian lain seperti pantat bulat dan paha mulus sang menantu yang hanya terlindungi oleh rok mininya.

Dengan gerakan selembut yang ia bisa, jari – jari keriput Pak Hasan meraba paha Lidya, menaikkan roknya sedikit demi sedikit sampai akhirnya ia mampu melihat lamat – lamat celana dalam sang menantu dalam kegelapan. Gundukan berbelah yang ada di selangkangan Lidya membuat Pak Hasan meneguk ludah, ia menarik bagian bawah celana dalam Lidya ke samping, membuka akses utama menuju liang kewanitaan sang menantu dan mulai memijat lembut bibir vagina sembari mencoba mencari kelentitnya.

Apa yang dilakukan Pak Hasan tentu membuat Lidya terbangun, masih dengan mata yang setengah terpejam, si cantik itu berbisik pelan. “Bapak? Apa yang..?”

Pak Hasan tidak menjawab, ia menengadah, menaikkan kepala dan mengenduskan hidung di pipi sang menantu. Pak Hasan mencium pipi dan leher Lidya dengan lembut sambil berbisik, “sudah, kamu diam saja…..”

Gerakan jemari nakal Pak Hasan yang menjelajah di selangkangannya membuat Lidya tersadar, mana ada orang yang tidak bangun kalau dirangsang seperti ini. “Esssst….,” desahan pelan keluar dari mulut mungil Lidya. Ia tidak menyukai sedikitpun apa yang dilakukan Pak Hasan, tapi ini… ini… enak sekali.., “…ja… jangan… essstt…” tolak Lidya. Ia menggelengkan kepala dan mendesah manja, entah keenakan atau menolak.

Lidya mencoba mendorong tangan Pak Hasan namun gerakannya seperti setengah hati, hal yang justru membuat Pak Hasan meningkatkan serangannya dan membuat si cantik itu merem melek. Tak perlu waktu lama bagi pria tua itu untuk bisa mengeluarkan cairan pelumas yang segera meleleh keluar dan membasahi belahan liang cinta Lidya. Cairan itu juga mulai membasahi jemari Pak Hasan yang berkuasa penuh di memek menantunya. Lidya menggelengkan kepala dan terus menolak, “…jangan… jangan di sini… jangan…”

Ketika menggelengkan kepala untuk mencoba menolak, mata Lidya tertumbuk pada gundukan yang makin lama makin membesar di selimut yang menutup selangkangan mertuanya. Lidya semakin tidak percaya, jangan – jangan mertuanya yang gila itu sudah membuka celana? Tidak mungkin selimut itu menggunduk sebesar itu jika kemaluannya masih ada di dalam celana. Sudah pasti kemaluannya sudah ada di luar. Gila, mereka sedang berada di bus! Ada dua orang yang saat ini duduk di depan mereka!

“Saatnya mengulum sekarang, Nduk.” bisik Pak Hasan.

Mata indah si cantik itu melotot! Lidya menggelengkan kepala semakin keras, ia tidak mau! Jelas ia tidak mau! Ini gila! Mereka sedang dalam bus… dalam bus… yang gelap dan sepi… dalam bus yang hampir seluruh penumpangnya tertidur. Lidya mencoba melihat sekitarnya dalam kegelapan, orang yang berada di kursi – kursi terdekat telah tidur.

“Hgghh!!!” Lidya tercekat ketika ia merasakan sentakan di selangkangannya.

“Cepat kulum penisku!!” bisikan galak mengagetkan Lidya, hardikan itu semakin mengena karena pada saat yang bersamaan Pak Hasan menyentil klitorisnya. Pria tua cabul itu telah berhasil menemukan titik kelemahan Lidya. Tubuh wanita jelita itu menggelinjang tanpa henti, kalau ia tidak segera mengulum penis sang mertua bisa – bisa ia berteriak – teriak seperti orang gila karena Pak Hasan terus menerus merangsang kelentitnya.

Dengan takut – takut Lidya melihat ke kursi sekitar sebelum membungkukkan tubuhnya dan menarik selimut mertuanya. Penis tua Pak Hasan langsung menyambut dengan tegak wanita cantik itu, Lidya bersyukur saat itu gelap sehingga dia tidak harus menyaksikan penis keriput milik pria tua cabul yang sudah sering memperkosanya. Dengan jemarinya yang lentik Lidya meraih kemaluan Pak Hasan.

“Naaah… begitu.” Pak Hasan menarik nafas penuh kepuasan.

Lidya menurunkan kepala untuk mencapai kemaluan mertuanya. Pria tua itu mulai merasakan lidah yang lembut memutari kemaluannya. Pak Hasan terkekeh keenakan. Susah sekali menahan lenguhan jika Lidya menyepongnya seenak ini. Lidah sang menantu naik turun di batang kemaluan Pak Hasan, merasakan setiap cm kulit kemaluan yang telah keriput, menjilati urat yang menegang pada benda kebanggaan Pak Hasan. Tidak perlu waktu lama bagi penis Pak Hasan untuk menegak seperti tiang bendera dan sekeras kayu.

Namun ketika Lidya tidak juga segera memasukkan penisnya ke dalam mulut, Pak Hasan mulai gusar. Melepaskan tangan kanan dari selangkangan sang menantu, Pak Hasan meraih bagian belakang kepala Lidya, menjambak rambutnya pelan dan menggiring bibirnya ke penis keriput yang telah menunggu.

Lidya benci sekali disuruh melakukan hal ini tanpa kesempatan untuk menolak. Karena dia tidak ingin ada keributan terjadi di dalam bus, si cantik itu menurut saja apa kehendak Pak Hasan. Pria tua itu terus saja mendorong kepala Lidya ke bawah, melesakkan penisnya ke dalam mulut sang menantu sedikit demi sedikit. Lidya tak mampu mengangkat kepalanya karena ditahan oleh Pak Hasan, itu sebabnya dia membiarkan ayah mertuanya memasukkan kepala penisnya ke dalam mulut.

Makin lama makin dalam penis itu melesak masuk. Pak Hasan bisa merasakan gerakan tubuh Lidya yang meronta, mulut si cantik itu megap – megap mencari udara, ia mencoba mencari nafas karena mulutnya penuh dijejali penis. Merasa kasihan, Pak Hasan memberikan kesempatan pada Lidya untuk menarik nafas selama beberapa saat. Lidya megap – megap ketika kepalanya diangkat ke atas dan berusaha menarik nafas panjang. Tapi Pak Hasan belum puas, ia membiarkan Lidya menarik nafas sebelum akhirnya melesakkan lagi penisnya dalam – dalam.

Tapi mungkin Pak Hasan memasukkan penisnya terlalu dalam. Ketika sodokan kepala penis Pak Hasan menyentuh dinding terdalam kerongkongan Lidya, si cantik itu tersedak! Pak Hasan menjambak rambut Lidya dan untuk kedua kalinya ia melepaskan penisnya dari dalam mulut sang menantu. Lidya memekik lirih ketika penis Pak Hasan lepas dari bibirnya.

“Hak…! Hak…!” Lidya terbatuk.

Bukannya berhenti setelah Lidya tersedak, Pak Hasan justru kembali mendorong kepala si jelita untuk melanjutkan sepongan pada kemaluannya. Lidya menatap Pak Hasan tak percaya, mertuanya ini sudah gila atau benar – benar tidak punya perasaan?!!

Untungnya untuk yang kali ini Pak Hasan lebih lembut, Lidya pun melanjutkan sepongannya dengan lebih pelan, ia mencoba menikmati kemaluan keriput yang sebelumnya membuatnya merasa jijik. Pak Hasan membantu menantunya menyepong dengan kecepatan tetap, lidah Lidya bergerak lincah menjilat batang dan ujung gundul penis sang mertua sebelum akhirnya menelan batang kemaluan Pak Hasan.

“Harghhh!!” Pak Hasan mencoba menahan kenikmatan yang diberikan oleh Lidya.

Setelah beberapa saat lamanya mulut, lidah dan bibir Lidya bekerja tanpa henti, Pak Hasan akhirnya bergetar… ia sudah tak kuat lagi! Sekali mengejang, penisnya melontarkan semprotan demi semprotan cairan kental ke dalam mulut sang menantu. Karena tidak bisa bernafas, Lidya terpaksa menelan cairan cinta sang mertua. Ia memejamkan mata mencoba menahan diri agar tidak muntah.

Pak Hasan menarik penisnya dari mulut Lidya dan melepaskan rambutnya. Si cantik itu mengangkat kepalanya dan merasa lega. Akhirnya selesai juga… eh?!!

Lidya yang mengira penderitaannya sudah berakhir ternyata salah besar. Jari nakal pria tua yang juga mertuanya sendiri itu kini bergerak lincah memainkan bibir vaginanya! Lidya memejamkan mata mencoba menahan rangsangan luar biasa. Tangan Lidya mencoba mendorong tangan Pak Hasan tanpa hasil. Pria tua itu masih terlampau kuat.

Pak Hasan puas sekali melihat tubuh menantunya bergetar hebat mencoba menahan kenikmatan yang terus menerus ia terima. Lidya berusaha menahan teriakannya dengan memejamkan mata dan menutup mulut dengan tangannya. Ia menggelengkan kepala karena tak kuat bertahan. Ia harus berteriak… ia ingin berteriak… ia tak tahan lagi!!!

Lidya menarik bajunya ke atas dan menggigitnya.

Akhirnya Lidya mengejang beberapa kali. Matanya melotot dan ia berteriak tertahan sambil menggigit baju untuk mengurangi suara. Cairan cinta meleleh dari dalam vaginanya. Lidya menggigil sebelum akhirnya lemas. Pak Hasan tertawa dalam hati melihat Lidya berusaha bertahan mati – matian agar tidak mengeluarkan suara. Untuk terakhir kalinya tubuh Lidya mengejang hebat dan akhirnya lemas.

Lidya menatap benci ayah mertuanya, dia membalikkan badan dan merapikan pakaiannya.

Pak Hasan mengancingkan celananya dan menepuk kepala Lidya.

“Gitu dong, Nduk.”



.::..::..::..::.



.: HARI PERTAMA :.

Lidya mengejapkan mata, sinar matahari yang sudah menembus masuk ke dalam bus menerangi wajah para penumpang yang mulai terbangun dari tidur. Tubuh Lidya terasa pegal, ia merenggangkan tangan untuk menghilangkan penat. Karena masih mengantuk, Lidya menguap. Hm, perjalanan masih jauh nggak ya? …hm… Rasanya ada yang aneh, ada yang salah. Tapi apa ya? Entah kenapa, Lidya merasa ada sesuatu janggal. Ketika akhirnya benar – benar sadar dari kantuknya, barulah Lidya tahu apa sesuatu yang salah itu, ia membuka selimut kecil yang sedang bertengger didadanya. Tangan kanan Pak Hasan masih berada di dalam behanya! Jadi semalaman pria tua itu terus saja memainkan payudara dan putingnya setelah Lidya tertidur??!! Dasar terkutuk!

Dengan sengit Lidya melepas tangan Pak Hasan dan merapikan bajunya.

“Kasar sekali kamu.” Maki Pak Hasan.

“Ini sudah pagi, aku tidak ingin ada orang yang melihat…”

Pak Hasan menguap, ia terkekeh dalam hati.

“Kita sudah hampir sampai.” Kata Pak Hasan sambil melihat jam tangannya.

Lidya mencoba mencari-cari ponselnya. Pak Hasan hanya tertawa, “percuma. Mulai dari sini sampai ke desa, kamu tidak akan mendapatkan sinyal. Di desa, ponselmu tidak lebih dari batu biasa.”

Orang tua sialan itu benar, tidak ada sinyal di sini. Si cantik itupun segera memasukkan ponselnya kembali. Ih, tangan busuk Pak Hasan masih saja terus memainkan payudaranya!

Lidya pun mencoba mencari cara untuk menjauhkan jari jemari Pak Hasan dari buah dadanya. Ia pun berusaha mengalihkan perhatian ayah mertuanya dengan menunjuk pemandangan di luar sambil merapikan pakaiannya yang semalaman terbuka, “Desa Bapak… kenapa namanya Desa Kapukrandu?”

Pak Hasan mengeluarkan nafas panjang. “Seperti yang kamu lihat, Nduk.” Kata Pak Hasan kemudian, dia membuka tirai jendela agar Lidya bisa melihat pemandangan di jendela samping, “di sekitar sini tanah kering, namun justru di tempat kering seperti ini pohon kapuk randu tumbuh subur. Nama pohon itulah yang yang jadi asal muasal nama desa.”

Desa Pak Hasan bernama Desa Kapukrandu, dinamakan demikian karena di sepanjang perjalanan menuju desa, pohon – pohon besar kapuk randu berjajar di sisi jalan membentang hingga jauh. Karena ditumbuhi oleh banyak pohon kapuk randu, selain bertani dan berternak, usaha kebun kapas pun menjadi penghasilan utama masyarakat desa. Desa Kapukrandu sendiri adalah tempat yang asri dan hijau, berbeda dengan tempat ini. Tanah di Desa Kapukrandu subur dan hawanya sejuk karena dikelilingi oleh perbukitan yang menghijau.

“Pohon kapuk randu?” tanya Lidya kembali sambil memperhatikan sepanjang jalan yang dilalui oleh bus, pohon – pohon besar berdiri tegak menyambut mereka di sepanjang jalan. Pohon – pohon besar yang menaungi daerahnya bagaikan payung raksasa dengan dahan – dahan yang menjorok ke langit.

“Biasa disebut juga Kapas Jawa. Tinggi pohon yang besar bisa mencapai 65 bahkan 70 meter, begitu besarnya, hingga garis tengahnya kadang mencapai dua meter.” Lanjut Pak Hasan menjelaskan. “dulu sekali aku sering memotong kayunya.”

Ketika angin bertiup, sebagian serat biji Kapuk Randu lepas dari cangkangnya, terbang berputar mengikuti arah angin. Ribuan serat yang lepas menghujani jalanan bagaikan salju yang tiba – tiba muncul di pagi yang cerah. Bis kecil yang melintasi jalan pun melaju seperti disambut hujan kapas oleh para penghuni hutan kapuk randu.

“Di sini anginnya kencang, begitu juga Desa Kapukrandu. Kalau di kampung hawanya lebih sejuk karena tempatnya berada di lembah perbukitan yang mengitari.” Kata Pak Hasan sambil memperhatikan dahan – dahan pohon yang bergoyang dan serat kapuk yang berterbangan kesana kemari.

Ketika melirik ke arah menantunya yang kagum melihat pemandangan menuju desa yang indah, Pak Hasan justru mengagumi kecantikannya yang natural. Lidya memiliki hidung mancung yang seperti seluncur dan pipi putih mulus menggemaskan. Alis matanya runcing alami bertengger di atas sepasang mata bulat yang tajam dan indah.

Pak Hasan menekuk lehernya sedikit untuk mendekatkan kepalanya ke arah kepala Lidya.

“Jadi berapa lama lag…”

Dengan satu gerakan pelan Pak Hasan mencium bibir mungil Lidya yang kaget. Mata si cantik itu terbelalak karena ciuman mertuanya begitu tiba – tiba. Lidya tak sempat mengelak dan menolak, lagipula gerakan sedikit apapun akan mengakibatkan kecurigaan tak penting dari kernet atau penumpang lain. Satu – satunya yang bisa dilakukannya adalah pasrah.

Pasrahnya Lidya membuat Pak Hasan leluasa mengulum bibir merah menantunya. Bibir mungil si manis itu sangat menggemaskan, sisa lipstik yang tadi sempat disapu lembut masih sedikit terasa. Tak mau berhenti begitu saja, Pak Hasan mengeluarkan lidahnya untuk merajai bibir Lidya. Lidah itu bergerak liar bagai seekor ular menggeliat di atas bibir sang menantu, menjilat dan menusuk ke dalam. Lidah Pak Hasan berusaha menemui pasangannya, lidah Lidya yang masih bersembunyi di lorong mulut.

Tak perlu waktu lama bagi lidah Pak Hasan untuk menemukan lidah Lidya, keduanya langsung bertaut dan menarik pasangannya, berpagut bagai saling merindu. Lidya tidak menduga dia akan menerima saja dicumbu seperti ini.

Pagutan Pak Hasan baru lepas ketika seorang penumpang berjalan ke belakang menuju kamar kecil. Pria tua itu menggerutu sementara Lidya menarik nafas dan bersyukur. Seperti apa kira – kira nasib empat harinya di Desa Kapukrandu?

Empat hari di Desa Kapukrandu. Dimulai hari ini.




.::..::..::..::.



Desa Kapukrandu yang berada di pelosok tentunya tidak dilewati oleh bus malam. Pak Hasan dan Lidya harus turun di pinggir jalan, tepatnya di sebuah pertigaan dimana terdapat jalan kecil menuju desa. Karena jaraknya masih jauh, keduanya harus memilih menggunakan ojek atau angkutan pedesaan yang biasa disebut angkudes. Saat itu kebetulan tidak ada ojek yang berada di pangkalannya, hingga Pak Hasan dan Lidya harus menanti angkudes.

Perjalanan menggunakan angkudes tidak membutuhkan waktu lama. Sekitar seperempat jam Lidya dan Pak Hasan telah sampai di tempat tujuan yaitu rumah Pak Raka, salah seorang sahabat Pak Hasan yang pada saat yang sama kebetulan pergi ke kota sekeluarga. Selama empat hari mereka akan tinggal di rumah sahabat Pak Hasan ini.

Rumah yang akan ditinggali adalah sebuah rumah sederhana namun rapi, dengan empat kamar tidur, kamar mandi dalam dan air dari sumur pompa. Bu Raka berbaik hati membelikan satu tabung gas ukuran kecil seandainya Lidya atau Pak Hasan ingin memasak. Tetangga terdekat berjarak beberapa meter saja, seorang diantaranya menyambut kedatangan Pak Hasan dan Lidya dengan gembira.

“Mbak Mirah. Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu.” Kata Pak Hasan sambil bersalaman dengan tetangga yang menyambut. Orangnya gemuk, berwajah ramah dan suka sekali tertawa. Hanya dengan sekali lihat saja Lidya tahu wanita ini adalah orang yang baik dan sederhana, ia mengenakan daster besar dan memakai selendang, sepertinya memiliki seorang anak yang masih balita karena ia membawa piring plastik berisi bubur.

“Iya nih, Pak Hasan sudah lama sekali pergi ke kota. Di sana betah ya, Pak? Eh, ini siapa, Pak?” tanya Mbak Mirah sambil menunjuk Lidya.

“Ini mantuku. Istrinya Andi, namanya Lidya.”

“Ya ampun, istrinya Mas Andi to… walah walah cantiknya… kok bisa – bisanya Mas Andi menikah dengan orang secantik ini ya? Saya Mirah, Mbak. Tetangga Pak Raka – yang rumahnya kalian pinjam ini. Kebetulan beliau menitipkan kunci rumah sama saya. Mbak Lidya ini bintang sinetron atau apa ya? Kok cantik banget?”

Lidya tersenyum ramah menyambut salam perkenalan itu. “Saya bukan bintang sinetron mbak.”

“Lho? Bukan bintang sinetron? Wah, sayang cantiknya lho, Mbak… maaf ya, Mbak. Aku kira bintang sinetron atau film atau iklan gitu. Coba saja mendaftar ke sinetron mbak. Pasti diterima jadi bintangnya….”

Lidya baru sadar kalau Mbak Mirah ini tentunya seorang ibu rumah tangga yang hiburan terbaiknya adalah tayangan sinetron stripping yang disiarkan tiap malam oleh tv swasta. Lidya membalas ucapan Mbak Mirah dengan tertawa kecil.

“Kuncinya, Mbak?” tanya Pak Hasan sopan.

“Oh iya, bentar, Pak. Saya ambilkan dulu di dalam rumah… bentar ya. Tunggu saja di teras. Saya susul kesana.” Usai mengatakan itu, Mbak Mirah lari ke rumahnya.

Pak Hasan dan Lidya duduk di teras rumah Pak Raka.

“Jadi bagaimana pendapatmu tentang desa ini?” tanya Pak Hasan sambil duduk di kursi yang ada di teras. Ia mengeluarkan nafas panjang, lega sudah sampai di tempat tujuan.

Lidya mengerutkan kening, tumben – tumbenan pria tua cabul ini bertanya seperti itu. “Memangnya bapak peduli dengan pendapatku?”

“Tidak.” Pak Hasan mengangkat bahu. “Aku tidak peduli. Yang penting aku akan menidurimu setiap malam selama kita ada di desa ini.”

Lidya mendengus kesal. Dasar bajingan.




.::..::..::..::.



.: HARI KEDUA :.

Malam telah larut dan desa sudah sepi. Tapi di sebuah pos siskamling di ujung sawah, suara tawa cekakakan memecah kesunyian. Tawa yang berasal dari empat orang yang duduk bersila di dalam pos siskamling dan asyik bermain gaple. Pos siskamling ini terletak tak jauh dari rumah Pak Raka, rumah tempat Pak Hasan dan Lidya sementara tinggal.

Pos siskamling itu berada di ujung terluar sawah yang membentang beberapa hektar, agak terpisah dari jalan kampung. Posisinya yang pas berada di mulut jalan setapak menuju hutan kapuk randu menjadi salah satu alasan dibangunnya pos di tempat sepencil itu. Atau setidaknya itulah alasan dulu mahasiswa KKN membangunnya. Kini pos itu sudah jarang digunakan untuk ronda karena di desa sudah dibangun pos yang baru dan letak tempat ini memang terlalu jauh dari balai desa.

Pak Hasan membanting kartu dominonya. “Payah nih Ecep ngocoknya! Masa dari tadi aku dapatnya balak enam melulu?”

Ecep, Edi dan Eko tertawa hampir bersamaan. Keempat orang ini adalah kawan lama, walaupun tiga orang kawan Pak Hasan usianya jauh lebih muda darinya. Malam ini Pak Hasan sengaja menyempatkan diri untuk bermain gaple bersama dengan ketiga sahabatnya untuk mengenang masa lalu.

…sekaligus berharap dapat meraup uang.

Ya, keempatnya memang dikenal hobi judi domino atau gaple. Sejak awal permainan, Pak Hasan sudah menderita kekalahan. Ia bahkan harus merelakan uang saku dari Andi lepas dari tangannya. Agak bahaya juga seandainya ia tidak bisa memenangkan kembali uang itu, karena uang saku dari Andi rencananya akan dipakai untuk membayar hutang pada Koh Liem besok. Koh Liem adalah tengkulak dan tuan tanah yang cukup disegani di Desa Kapukrandu dan ketiga orang yang saat ini bersama Pak Hasan dikenal sebagai anakbuahnya.

“Ngomong – ngomong, Pak… siapa cewek yang Pak Hasan ajak itu?” tanya Eko. “Cantiknya gila, bodynya juga mantap. Tadi pagi aku lihat dia jalan – jalan ke pasar pojok. Segerrr beneerrrr… Boleh nih kalau dia dibagi – bagi?”

Kata – kata Eko itu langsung disambut gelak tawa dua temannya yang lain. Pak Hasan hanya tertawa kecil.

“Heh, jangan ngawur. Dia itu menantuku, istrinya Andi.”

“Wah hebat punya menantu semolek itu. Bisa banget si Andi milih cewek. Tapi… Andi kan nggak ada, Pak? Kalau bisa sih tetap dibagi – bagi mumpung di sini.” Balas Eko yang kembali disambut gelak tawa Edi dan Ecep. Eko memang tidak bisa melepaskan pandangan sejak pertama kali berjumpa dengan Lidya. Kecantikannya yang natural dan tubuhnya yang indah membuat Eko panas dingin pengen mencicipi.

“Hm… mungkin itu bisa diatur?” Pak Hasan terkekeh, sebuah rencana menyeruak memasuki ruang pikirannya yang kotor. “Coba aku pulang dulu, aku tanyakan ke dia.”

Pak Hasan langsung meninggalkan ketiga kawannya dan bergegas pulang ke rumah. Entah nasib buruk apa yang selalu menggelayuti Lidya, kebetulan si cantik itu sedang menyapu teras rumah. Rambutnya yang panjang diikat kucir kuda, pakaian yang dikenakan hanyalah daster tipis sederhana, namun karena pada dasarnya ia memiliki pesona, kecantikan Lidya menerawang sampai jauh. Seakan – akan ada cahaya keemasan keluar dari tubuhnya yang indah.

Pak Hasan yang sudah beberapa kali menyetubuhi menantunya itu masih tidak percaya ia bisa meniduri wanita seindah ini. Terpesona oleh keindahan Lidya sesampainya di rumah, Pak Hasan segera mendekati Lidya.

Nduk.” Panggil Pak Hasan menghampiri Lidya.

“Ya.” Balasan keluar dari mulut yang terbuka tipis tanpa semangat.

“Berhubung ada kamu di sini, aku mau minta tolong sebentar, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil menatap mata menantunya dengan tajam. Ia menarik bagian atas lengan Lidya dan memegangnya erat – erat supaya Lidya menanggapinya dengan serius.

“Ba – bantuan apa?” Lidya menatap mata mertuanya dengan takut – takut. Begitu eratnya pegangan Pak Hasan pada lengannya sampai – sampai sapu yang sedang ia pegang terpaksa ia jatuhkan ke lantai.

“Yah, kamu kan tahu aku baru saja darimana? Teman – teman lamaku itu mengambil cukup banyak uang yang diberikan Andi. Kita harus memenangkannya kembali, uang itu aku butuhkan untuk membayar hutang besok. Aku mau kamu datang dan membantu…”

Lidya tahu Pak Hasan pergi bermain kartu di pos kamling, tapi ia tidak tahu apa yang dimaksud mertuanya itu. “Mengambil cukup banyak uang??? Maksud Bapak??”

“Judi.”

Lidya menepuk dahinya dengan kesal. “Judi?!! Bapak memakai uang Andi untuk judi?!! Astaga…!!”

“Makanya bantu aku memenangkannya.”

“Tidak mau! Aku tidak mau membantu Bapak kalau untuk alasan seperti itu… aku tidak mau berjudi!”

“Aku tidak menyuruhmu berjudi. Aku menyuruhmu membantuku mengambil kembali uang Andi yang mereka ambil. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan judi.”

“Maksudnya…?”

“Aku ingin kamu mengalihkan perhatian ketiga temanku itu.”

Lidya mengernyit heran, “Memang bagaimana caranya?”

“Kamu diam saja kalau mereka menggerayangimu, kalau perlu kau rayu mereka supaya mau menyentuh tubuhmu. Dengan begitu perhatian mereka teralih dari permainan ke kamu.”

Kata – kata itu bagaikan guntur yang membelah lautan di batin Lidya. Merayu teman – teman judi mertuanya! Dia pikir dia ini siapa? Pelacur yang bisa dipesan dan dibagikan kapan saja? Siapa pula Pak Hasan pikir dirinya itu? Germo yang menawarkan pelacur? Lidya menggerutu kesal. Dia ini menantunya!

“Aku tidak mau melakukannya! Gila!” tolak Lidya tegas.

Pak Hasan menggaruk kepalanya, “kenapa?”

“Jelas jawabannya tidak! Sadar dong, Pak. Aku ini menantumu sendiri, masih menikah dengan Andi, anakmu! Sekarang Bapak ingin aku merayu orang – orang yang tidak aku kenal demi uang judi? Aku tidak sudi! Apa yang pernah aku lakukan di mal dan pasar dulu sudah keterlaluan, aku tidak ingin melakukannya lagi.”

“Betul sekali. Tapi coba pikirkan ini baik – baik… jika Andi tahu apa yang terjadi pada dirimu, pada hubungan kita berdua, pernikahanmu yang sempurna akan hancur berantakan. Siap menerima resiko itu? Aku sih tidak ada masalah…”

Kata – kata Pak Hasan menohok Lidya. Wajah si cantik itupun berubah seratus delapanpuluh derajat.

“Kumohon, Pak… jangan lakukan ini… kalau Mas Andi sampai tahu…” rengek Lidya. Wajah pasrah dan kalah sang menantu membuat Pak Hasan makin berani menekan sang menantu. Si cantik itu jelas tidak ingin semua yang telah dilakukannya diketahui oleh Andi dan itu selalu menjadi kartu as bagi Pak Hasan.

“Sebenarnya sih semua terserah padamu, Nduk. Kalau kamu membantuku mendapatkan uangku kembali serta mendapatkan keuntungan tambahan, maka semua akan baik – baik saja. Teman – temanku itu juga bisa dipastikan tidak akan memberitahu Andi. Tapi kalau kamu tidak mau, ya terpaksa kita beritahu saja Andi apa yang sebenarnya terjadi. Begitu saja kok repot.”

“Kumohon, Pak….” Lidya masih terus merengek. “Aku mau melakukan apa saja asal jangan yang seperti itu…”

Terus menerus ditolak Lidya membuat Pak Hasan menunjukkan wajah yang sangat masam. Pria itu mendengus kesal dan dengan geram melempar gelas yang ia ambil dari atas meja teras, menumpahkan sisa kopi yang tadi sore dibuatkan oleh Lidya dan berjalan kembali ke arah pos siskamling meninggalkan Lidya yang berdiri dalam kegamangan. Pria tua itu sempat melihat Lidya menghapus tetes air mata dari pipinya. Melempar gelas itu hanya tipuannya saja supaya terlihat marah, ia bisa melihat Lidya ketakutan melihatnya mengamuk. Masalah mengganti gelas punya Bu Raka sih masalah gampang.

Lidya memunguti pecahan gelas yang tadi dilempar Pak Hasan dengan hati – hati, si cantik itu menimbang – nimbang sebentar apa yang harus dilakukan. Ia menggeram marah dan dengan langkah jengkel berjalan menuju pos siskamling setelah mengunci pintu rumah. Tak ada jalan lain, dia harus menurut pada mertuanya. Pos ronda tempat Pak Hasan dan teman – temannya bermain judi berbentuk balai – balai dengan empat kaki penyangga dan tiga sisi tertutup dinding kayu hingga langit – langit. Bagian depannya terbuka tiga perempat dengan separuh dinding bagian atas terbuka.

Kawan – kawan judi Pak Hasan adalah begundal dan preman desa, mereka dikenal dengan nama Eko Tompel – si gondrong kurus berhidung pesek yang memiliki tompel besar berambut di pipi, Edi Gagap – yang gundul dan bertubuh besar namun kurang lancar bicara, serta Ecep Sumbing – si penderita bibir sumbing yang tidak pantas dikasihani.

Ketiga orang kawan lama Pak Hasan ini membuat Lidya bergidik, ketiganya sangat lusuh dan kotor karena jarang mandi. Bau ketiganya juga membuat menantu Pak Hasan itu ingin muntah. Ketika melihat sosok wanita jelita itu datang, ketiga orang itu langsung mengamati Lidya dari atas ke bawah seperti hendak menelannya hidup – hidup. Desa Kapukrandu tentu tidak kehabisan stok warga yang cantik, tapi karena Lidya adalah wanita yang luar biasa mempesona maka penampilannya membuat Edi, Eko dan Ecep menahan nafas. Tubuhnya yang indah dan wajahnya yang cantik menjadi perhatian warga sejak kedatangannya bersama Pak Hasan di desa ini.

“Bapak – bapak sekalian, kenalkan ini menantu saya, namanya Lidya.” Kata Pak Hasan sambil tersenyum bangga. Dia mengedipkan mata pada Eko, Ecep dan Edi penuh arti. Karena sudah lama bergaul dengan Pak Hasan maka ketiganya langsung mengerti apa maksud Pak Hasan. Lidya melihat kedipan Pak Hasan pada tiga temannya, tapi dia tidak tahu apa artinya. Tanpa ia sadari, sesungguhnya Lidya telah jatuh ke perangkap maut yang sudah bertahun – tahun dipraktekkan oleh keempat orang ini pada gadis – gadis desa atau istri warga kampung yang terlalu lugu.

“Wah, ca – ca – ca – cantiknya menantu Pak Hasan! Sungguh beruntung Andi mendapatkan istri semacam ini… kalau yang seperti ini, a – a – a – aku juga mau!” kata Edi Gagap. Walaupun gagap, apa yang diucapkan Edi kadang keluar tanpa ia pikir dulu.

“Nyantik…” sambung Ecep. Karena sumbing, dia jarang bicara. Lidya biasanya merasa kasihan pada penderita bibir sumbing, tapi Ecep bukan orang seperti itu, tubuhnya yang hitam kekar nyaris penuh oleh tatto dengan bentuk tidak jelas karena gambarnya tumpang tindih. Lidahnya yang panjang menjilat – jilat bibirnya sendiri ketika melihat sosok Lidya yang seksi. Pandangan mata Ecep tajam menghujam mata Lidya yang ketakutan.

“Afa liat – liat?!!!” bentak Ecep.

“Ti – tidak… aku tidak… aku tidak…” Lidya mundur teratur mendengar bentakan Ecep, ia tidak ingin dianggap menghina bibirnya yang sumbing hingga membuat orang menyeramkan itu tersinggung. Tapi belum sempat Lidya kabur, tangannya sudah dipegang oleh Eko.

“Sini… sini, Nduk… jangan takut. Kenalkan namaku Eko. Kalau di desa sini sering dipanggil Eko Tompel. Dua temanku ini Edi Gagap sama Ecep Sumbing.” Tanpa rasa malu Eko menarik tangan Lidya, dengan berani dia bahkan mendudukkan Lidya sangat dekat dengannya. Tubuh mereka seakan tidak ada jarak, Lidya duduk tepat di tepat di depan Eko yang bersila. Dengan berani Eko memeluk tubuh Lidya yang kebingungan dari belakang.

“Ja – jangan kurang ajar…!” bentak Lidya takut – takut. Ia menundukkan kepala karena tidak berani beradu pandang dengan Pak Hasan yang melotot di hadapannya.

“Kurang ajar kenapa? Kamu mau pilih duduk sama siapa? Ecep? Atau Edi? Boleh saja…”

Lidya menggeleng, dari ketiga orang teman Pak Hasan, sepertinya Eko yang paling normal.

“Ini, coba kamu aja yang pegang kartu aku…” kata Eko sambil mendekatkan kepalanya ke samping kepala Lidya. Uuh, begitu baunya tubuh Eko sampai – sampai Lidya enggan menarik nafas karena akan langsung tercium bau tidak sedap, apalagi mereka terlalu berdekatan. Nafas orang yang jarang sikat gigi bukan nafas yang pantas dipamerkan batin Lidya, apalagi nafas Eko juga berbau alkohol bercampur rokok. Rambut Eko yang keriting gondrong sepertinya juga tidak terurus, membuatnya semakin tidak sedap dipandang apalagi dibau.

Posisi Lidya terus ditarik oleh Eko hingga kini duduk tepat di depannya. Si cantik itu awalnya bersimpuh namun kini terpaksa duduk bersila dengan kaki Eko mengapit paha kanan dan kirinya. Si tompel itupun dengan santai memeluk tubuh Lidya dari belakang dan menyuruhnya memegang kartu. Ketika Lidya menolak, kedua tangannya dipegang erat oleh Eko hingga tak bisa digerakkan. Begitu dekatnya tubuh mereka sehingga Lidya bisa merasakan ada tonjolan yang makin lama makin besar di selangkangan Eko. Tonjolan itu menyentuh sisi kanan pantatnya membuat Lidya bergelinjang jijik.

Lidya mencoba mencari bantuan, namun Pak Hasan sepertinya tidak peduli apa yang dilakukan oleh Eko Tompel pada menantunya. Setelah Lidya tidak bisa melakukan protes lagi, keempat pria yang ada di pos kamling itu melanjutkan permainan kartu domino mereka. Laki – laki buruk rupa yang ada di belakang Lidya makin berani, ia menempelkan dadanya ke punggung si cantik. Tangan Eko juga mulai nakal sesekali mengelus – elus paha mulus Lidya. Si cantik itu mengutuk dirinya sendiri karena memutuskan memakai daster malam ini. Dengan berani Eko mengendus harum rambut panjang Lidya sementara tangannya bergerilya di pahanya.

“Kucirnya aku lepas saja, ya?” tanya Eko.

Lidya mengangguk.

“Kamu lebih cantik jika rambutnya digerai.” Kata Eko sambil melepas kucir rambut Lidya.

Tubuh Lidya mulai bergetar karena takut. Pak Hasan sepertinya sudah tidak mempedulikan dirinya lagi, ia tidak ambil pusing apa yang dilakukan oleh Eko padanya. Namun berkat kehadiran Lidya, pria tua itu berhasil memenangkan satu putaran karena Eko sudah tidak bisa berkonsentrasi. Eko Tompel sendiri bagaikan raja karena dibiarkan bebas mengerjai tubuh Lidya. Ketika si pesek itu mengenduskan hidungnya yang rata ke tengkuk Lidya, tubuh si seksi itu langsung bergetar hebat. Makin berani, Eko mencium leher Lidya sementara tangannya makin naik menyusur paha sambil mengangkat dasternya sedikit demi sedikit.

“Jangan…..” bisik Lidya pada Eko. “Jangan, aku…”

Tapi kucing mana yang akan berhenti jika sudah mendapat suguhan ikan? Bibir Eko melaju tanpa henti di leher dan bahu Lidya. walaupun menolak, tidak bisa dipungkiri kalau dijadikan mainan seperti ini membuat Lidya lama kelamaan sedikit terangsang terutama pada saat Eko menggunakan gigi untuk melepas tali daster menuruni bahunya yang mulus. Lidya menggelengkan kepala seakan jika ia melakukan hal itu ia sanggup menghapus nikmat yang diberikan pria buruk rupa di belakangnya. Eko menggunakan gigi karena tangannya masih sibuk menghajar paha Lidya. Si cantik itu memejamkan mata ketika ia merasakan selangkangan Eko mulai bergerak maju menumbuk pantatnya berulang.

Pak Hasan, Edi dan Ecep menahan tawa geli ketika melihat Lidya mulai gelisah antara keenakan, takut dan malu. Tanpa bisa ditahan, Lidya menggerakkan pantatnya ke belakang secara reflek. Eko tambah bersemangat, ia mengangkat bagian bawah daster si cantik itu sedikit demi sedikit, semakin lama semakin naik dan makin menunjukkan celana dalam yang dikenakannya. Kini Edi dan Ecep bisa melihat jelas underwear berwarna merah jambu yang dikenakan menantu Pak Hasan yang seksi. Mata keduanya tidak bisa lepas dari belahan yang nampak di bagian bawah celana dalam itu.

Pak Hasan mengedipkan mata pada Eko yang langsung dibalas dengan anggukan kepala. Lidya yang memejamkan mata tak bisa melihat kode dari Pak Hasan kepada Eko itu.

Tanpa menunggu lama Eko mengelus bagian terbawah dari celana dalam Lidya. Menyentuhnya pelan dan menggeseknya dengan lembut.

“Oooooohhhhh….. essstttt…..” Lidya mendesis penuh nikmat ketika Eko menyentuh kemaluannya yang masih tertutup celana dalam. Ia tidak bisa bertahan dan menjatuhkan kartu – kartu Eko yang sebelumnya ia pegang.

Melihat Lidya sepertinya sudah jatuh ke dalam jebakan nafsu, Edi dan Ecep melepas kartu mereka dan maju dengan air liur menetes ke arah Lidya. Keduanya tak ingin ketinggalan menikmati tubuh seksi Lidya, Ecep yang meyukai perut yang rata dan ramping meraba dan mengelus perut Lidya. Sementara Edi lebih berani lagi, si gagap itu sudah tak tahan melihat ranumnya bibir Lidya dan memutuskan untuk menciumnya. Bibir manis Lidya dikulum oleh bibir tebal Edi Gagap. Bau mulut yang jarang sikat gigi begitu busuk terasa di mulut Lidya. Jika si cantik itu merasa jijik, sebaliknya Edi gembira sekali bisa merasakan bibir ranum milik istri Andi, bibir milik seorang wanita yang seharusnya tidak bisa dijamah sama sekali.

Lidya yang merasa jijik diserang oleh tiga orang secara bersamaan menolak bibir Edi. “Aku tidak mau! Jang…”

Belum selesai Lidya mengucapkan kata – kata, Edi menarik kepalanya dan kembali menciumnya. Kali ini rangsangan dari semua arah membuat Lidya tak kuat bertahan, dengan tidak mempedulikan bau yang ia cium, Lidya membalas ciuman Edi. Si gagap itu bahagia sekali.

Tangan Ecep pun tak kalah nakal, melihat Edi berhasil mendapatkan bibir Lidya, Ecep menyerang payudaranya. Tangan Ecep menggerayangi buah dada Lidya yang masih berada di balik daster. “Euuuuuhhhh…” Serangan Ecep membuat Lidya melenguh keenakan di sela – sela ciuman Edi.

Melihat Edi telah mencium bibir Lidya dan Ecep menggerayangi payudara si cantik itu, Eko Tompel segera memasukkan jemarinya ke balik celana dalam Lidya untuk menyentuh kemaluannya. Bibir vagina Lidya sudah basah oleh cairan pelumas yang keluar karena rangsangan bertubi ketiga preman membuat Eko makin girang. Dengan lancar Eko melesakkan jari tengahnya ke dalam memek Lidya.

“Huaagghhh!!! Uuuhhh!! Hiikkkghhh!!!” Lidya mengembik mencoba menolak semua yang menyerangnya, ia tidak bisa bergerak karena tiga orang teman Pak Hasan menghajarnya tanpa henti, membuat tiga bagian tubuh utamanya merasa keenakan. Sementara jari Eko bergerak lincah menusuk – nusuk vaginanya, pantat Lidya digerakkan maju mundur dengan gerakan seirama.

Tiba – tiba saja…..

“Hei, hei, hei… kalian mau ngapain? Itu menantuku.”

Suara itu menggelegar menghentikan semua gerakan yang dilakukan oleh Edi, Eko dan Ecep. Lidya terengah – engah di tengah mereka, bajunya sudah acak – acakan, sebagian besar terbuka dan memperlihatkan tubuhnya yang putih mulus. Pak Hasan yang duduk tenang di depan mereka tersenyum jumawa sambil mengocok kartu domino yang ia pegang.

“Walaupun aku tahu menantuku itu seksi dan kalian sangat ingin bisa memasukkan kontol ke memeknya, tapi maaf… aku tidak bisa menyerahkan dia pada kalian.” kata Pak Hasan.

“Yaaa, kok gitu sih, Pak?” Eko melepas cengkramannya pada Lidya dengan kecewa.

“Nyanggung amat niyh, Pak.” Sambung Ecep.

“Pa – padahal tadi i – i – ini kan su – su – sudah hampir…” Edi terduduk menahan kesal.

“Jangan sedih gitu dong, jangan khawatir. Kita kan kawan lama? Aku punya tawaran lain untuk kalian bertiga.” Pak Hasan mengeluarkan rokok dari kantongnya dan menyalakannya. “Begini lho, Lidya ini kan menantuku sendiri, aku tidak bisa membiarkan Andi sedih melihat istrinya dijadiin lonthe sama orang – orang kampung sini. Jadi kalian tidak boleh menyentuhnya…”

Edi, Eko dan Ecep mengeluh bersamaan, nafsu mereka hilang dalam sekejap.

“Hahaha, sudah aku bilang jangan sedih begitu, aku ada pengecualiannya untuk kalian. Supaya seru, kita bikin permainan. Bagaimana?” Pak Hasan terbahak sambil menarik Lidya dari kepungan ketiga kawannya. Untuk pertama kalinya malam ini, Lidya merasa lega sudah diselamatkan, tapi… permainan apa yang dimaksud Pak Hasan, ya?

“Kita lanjutkan permainan domino ini. Orang yang memenangkannya akan aku ijinkan menyentuh Lidya, hanya saja tidak boleh melakukan dikenthu. Kalau aku yang menang, permainan dibatalkan.” Pak Hasan menyeringai penuh kemenangan. “Tapi ada syaratnya, kalau kalian mau menerima tantanganku ini, kalian harus membayarnya dengan semua uang yang kalian bawa malam ini. Anggap saja untuk biaya administrasi…” Pak Hasan tertawa terbahak – bahak.

Lidya menggemeretakkan giginya dengan kesal. Ternyata belum selesai.

Edi, Eko dan Ecep saling berpandangan. Mereka mengangkat bahu dan berbisik – bisik kecil, lalu ketiganya mengangguk dan tertawa bersama. Mereka mengosongkan isi kantong dan memberikannya pada Pak Hasan.

“Dasyar mertua gila.” Geleng Ecep sembari tertawa.

“Si – si – sial, padahal ma – ma – malam ini aku bawa uang banyak.” Sambung Edi yang langsung menguras isi dompetnya.

“Tidak masalah! Kita kan temen lama, Pak. Atur aja dah.” Kata Eko yang langsung melemparkan dompetnya ke depan Pak Hasan. “Ambil berapapun Pak Hasan mau. Tapi kita juga butuh jaminan nih. Bagaimana kalau Pak Hasan minta menantunya yang cantik ini untuk membuka baju?”

“Bisa…. bisa…” Pak Hasan lalu menatap Lidya dengan galak. “Buka.”

Lidya menggeleng ketakutan. Tadinya ia merasa sudah diselamatkan, sekarang? Ia merasa seperti binatang tak berdaya yang sedang diumpankan kepada para pemburu.

“Aku bilang buka!” hardik Pak Hasan.

Lidya kembali menggeleng.

Mata Pak Hasan melotot melihat Lidya menolak membuka baju. Awalnya dia emosi karena Lidya melawan perintahnya, tapi kemudian dengan tenang Pak Hasan menyunggingkan senyum. “Aku akan memberikan pilihan, Nduk. Mana yang akan kau pilih? Buka baju sendiri atau aku minta mereka bertiga ini merobek – robek dastermu dan kamu akan pulang ke rumah tanpa sehelai benangpun?”

Lidya menundukkan kepala. Lagi – lagi dia tidak bisa membantah.

Dengan perasaan kalah, Lidya membuka dasternya. Ketika daster itu luruh ke tanah, Edi, Eko dan Ecep bertepuk tangan kegirangan. Tubuh Lidya kini hanya tinggal dibalut oleh pakaian dalam berwarna merah jambu. Melihat tatapan galak Pak Hasan, Lidya melanjutkan aksinya membuka baju. Dalam hati Lidya, ada sedikit perasaan ingin berbuat nakal di hadapan mertua dan ketiga temannya. Lihat saja Edi, Eko dan Ecep, seperti anak kecil yang berlomba untuk melihat mainan baru.

Lidya akhirnya melepas kait behanya dan menurunkan celana dalamnya.

Edi, Eko dan Ecep berteriak – teriak senang karena pada akhirnya bisa menyaksikan tubuh seksi Lidya tanpa balutan seutas benang pun. Ini benar – benar kecantikan yang sempurna karena dengan atau tanpa pakaian, Lidya sangat mempesona. Si cantik itu menundukkan kepala karena malu, wajahnya memerah.

Setelah Lidya telanjang, permainan dimulai kembali, kali ini Edi, Eko dan Ecep bermain dengan sungguh – sungguh. Tidak ada yang ingin melewatkan tubuh Lidya yang seksi itu walaupun hanya bisa menyentuh tanpa melakukan eksekusi. Sekali dua kali mereka yang bermain melirik ke arah tubuh Lidya.

Lidya yang lemas duduk di pojok pos siskamling. Memperhatikan empat orang pria sedang bermain domino untuk memperebutkan dirinya. Tidak pernah ia bayangkan selama hidup bahwa pada suatu ketika ia akan melayani tiga orang lelaki dari desa terpencil.

“Dingin?” bisik Pak Hasan lembut di tengah – tengah permainan.

Lidya mengangguk, ia memang tengah menggigil. “Di… dingin…”

“Coba pakai ini.” Pak Hasan melepas jaketnya yang tebal dan memberikannya pada Lidya. “Aku sudah pakai baju dobel.”

Terkejut juga Lidya menyaksikan mertuanya. Tumben sekali dia baik?

Sesaat kemudian Pak Hasan kembali asyik bermain, lupa pada Lidya yang kini mengenakan jaketnya. Untuk sesaat itu, Lidya merasakan kehangatan melebihi apa yang pernah ia rasakan. Sisi yang belum pernah ia lihat dari Pak Hasan. Untuk pertama kalinya, ia ingin memberikan semangat pada ayah mertuanya. Ia ingin Pak Hasan yang menang.

Tapi setelah beberapa putaran ternyata Eko Tompel yang memenangkan permainan.

Begitu menang Eko langsung melepas celananya. “Aku sudah tidak sabar lagi!” teriaknya penuh nafsu. Lidya langsung ketakutan melihat bentuk kemaluan Eko. Penis Eko sangat hitam dengan urat kemerahan melingkarinya, bentuknya agak bengkok dengan tonjolan – tonjolan di sekeliling batang yang besar. Rambut kemaluan Eko yang dibiarkan tumbuh tak teratur menambah kesan kotor pria itu.

Eko tidak mau berlama – lama, ia menarik Lidya yang ketakutan ke bagian tengah pos kamling. Lidya dibaringkan di tengah sementara Eko naik ke perut Lidya dan duduk di sana. Lidya berusaha meronta dan memukul dada Eko, namun pria bertompel itu lebih kuat darinya. Dengan mudah ia mengunci tubuh Lidya dan melepas jaket Pak Hasan yang melindungi bagian atas tubuh si molek.

“Tak ada memek, susupun jadi.” Kata Eko sambil menjilat lidah penuh nafsu melihat payudara Lidya.

“Tidak… aku tidak mau… aku tidak mau… aku tidak mauuuu…!!!” Lidya menjerit panik. Tapi Edi dan Ecep memeganginya dengan erat sehingga si cantik itu sama sekali tak mampu menggerakkan tubuh. Eko Tompel meletakkan penisnya di antara buah dada Lidya dan mulai bergerak maju mundur dengan teratur. Lidya menggelengkan kepala tak percaya, Eko tengah memperkosa buah dadanya! Penisnya kini digesekkan di dada Lidya, tepat di antara kedua payudaranya. Tangan Eko meremas susu Lidya dan mencoba mempertemukan kedua balon buah dada si cantik itu.

“Hghhh! Haghhhhh!! Hnghhh!!!” Lidya menghembuskan nafas setiap kali ujung gundul penis Eko bertumbuk dengan dagunya karena pada saat itulah beban tubuh Eko menekan dadanya. Ia meringis karena remasan tangan Eko menyakiti payudaranya. Air mata menetes perlahan dari pelupuk mata indahnya. Tidak hanya menyakitinya, tapi penisnya yang kotor itu membuat Lidya begitu jijik. Lidya meronta sejadi – jadinya tapi tanpa hasil, sementara Eko demikian bernafsu menungganginya.

Tiba – tiba saja…

“Haaaaaaaakkkkkhhh!!!” Mata Lidya melotot seakan ingin keluar dari lubangnya. Si molek itu menggeram karena merasakan sakit yang amat sangat di liang cintanya.

Tanpa aba – aba dan tanpa persiapan apapun, Pak Hasan tiba – tiba saja beringsut ke belakang Eko dan melesakkan penisnya ke dalam vagina Lidya dalam – dalam. Lidya yang kaget tentu saja langsung meronta – ronta sebisa mungkin. “Jangan Pak! Jangan!!! Jangaaaan!! Aku belum siap!!!”

Tapi kedua orang yang kini mengerjai Lidya tentu tidak ingin berhenti sampai mereka mendapatkan kepuasan puncak. Lidya menjerit – jerit sekuat tenaga, dia tidak peduli lagi jika ada orang yang akan datang. Dia justru sedang membutuhkan pertolongan! Lidya memejamkan matanya, rasa sakit di selangkangannya begitu ngilu, kasar sekali Pak Hasan menyetubuhinya. Gerakan maju mundurnya bukan gerakan yang lembut, tapi menyentak – nyentak dengan sangat cepat. Kaki Lidya dinaikkan ke pundak pak Hasan untuk mempermudah pria tua itu menghentakkan kemaluannya dalam – dalam dengan sekuat tenaga. Setiap sodokan membuat Lidya menggigil dan melenguh sakit.

Keringat deras membasahi tubuh ketiga anak manusia yang kini tengah bergulingan di pos ronda itu. Eko terus saja memangsa dan mengocok penisnya di antara buah dada Lidya. Rasa yang ditimbulkan antara gesekan penis bertonjolan dengan buah dada putih mulus membuat Eko dan Lidya sama – sama melayang. Setiap kali penis Pak Hasan menyentak masuk dan bertumbukan dengan dinding terdalamnya, saat itu pula ujung gundul penis Eko menyentuh dagu Lidya. Edi dan Ecep yang memegang tangan Lidya mengutuk ketidakmampuan mereka mengalahkan Eko dalam bermain domino, lihat betapa binalnya wanita kota ini.

“Gimana rasanya, Pak?” tanya Eko penasaran. “Gimana rasanya?”

“Sempit banget, Ko! Sempit!!! Enakk!!” jawab Pak Hasan sambil tertawa.

“Tantangan terakhir, Pak! Ayo semprotkan di dalam! Hamili dia!!! Hamili menantumu sendiri!!” kini giliran Eko yang tertawa terbahak – bahak.

“Siapa takut?!!!” Pak Hasan membalas.

Lidya menggeleng ketakutan, tidak! Itu yang dia tidak inginkan! “Jangan Pak! Jangan di dalam, keluarin di luar saja… aku tidak mau, Pak! Aku mohon!!! Aku mohon, Pak!!”

“Te – terus… kalau dia punya anak nanti, ma – ma – manggil Pak Hasan apa dong? Ba – ba – Bapak atau Kakek?” tanya Edi Gagap disusul tawa teman – temannya.

“Ayolah, Nduk. Kamu suka kan? Aku yakin anak kita akan jadi anak yang berbakti pada orangtua dan kakeknya.”

“Tidaaaaaak!!!” jerit Lidya, dia sudah menjerit sekeras mungkin, kenapa tidak ada orang menolongnya? Kenapa seandainya ada orang mendengar mereka membiarkan saja dia digumuli empat orang ini? Lidya meronta – ronta tanpa daya karena eratnya jepitan Eko pada perut dan payudaranya. Sesungguhnya orang – orang desa sudah terbiasa mendengar teriakan wanita di tengah malam datang dari pos siskamling. Itu karena Edi, Eko dan Ecep sudah terbiasa menyewa lonthe untuk mereka nikmati di sana. Jadi mereka tidak heran kalau malam itu ada teriakan dari pos kamling.

“Auuuuuhhhh!!!” Eko sudah mencapai orgasmenya, Lidya memejamkan mata dan menutup mulutnya. Penis Eko muncrat – muncrat tanpa halangan, membasahi bagian atas dada Lidya dan dagunya. Si cantik itu berusaha menahan mulutnya terkatup agar ia tidak sampai menelan sperma Eko. Tapi agak susah membersihkan bibirnya yang sudah belepotan sperma seperti ini. Belum selesai Lidya membersihkan bibir dan mendorong tubuh Eko menjauh, sentakan keras menghantam dinding terdalam liang cintanya.

“Haaaaaaghhh!!!” Lidya menahan sakit yang luar biasa. Tapi ia tidak bisa melawan Pak Hasan lagipula tidak ada gunanya, Pak Hasan tidak akan peduli. Pria tua itu menyemprotkan cairan cintanya begitu mencapai puncak kepuasan. “Hggghhhhh!! Sempit banget memekmu, Nduk!”

Lidya menjerit ketika dia merasakan semprotan cairan kental dari ujung gundul kemaluan Pak Hasan membanjiri liang cintanya. Rupanya Pak Hasan telah mencapai puncak!

“Bagaimana kalau akhirnya kamu membuatkan aku seorang cucu, Nduk?” tanya Pak Hasan sambil terus menyemburkan spermanya ke dalam liang cinta Lidya. Bagaikan mulut yang kehausan, vagina Lidya menyedot semua sperma yang disemprotkan oleh Pak Hasan. Lidya menggelengkan kepala lemas karena tak percaya, tidak hanya baru saja disetubuhi ayah mertuanya di depan tiga kawanan berandal desa yang seharusnya bertugas menjadi penjaga kampung, tapi bajingan tua itu juga berniat menghamilinya. Membayangkan dirinya dihamiliki ayah mertuanya sendiri di hadapan banyak saksi membuat Lidya ingin muntah.

Plop! Pak Hasan menarik penisnya dari dalam memek Lidya sambil meninggalkan bunyi lepasan yang nyaring. Tubuh Pak Hasan ambruk karena lemas, menimpa tubuh Lidya yang masih terlentang.

Dengan susah payah si cantik itu mencoba menyingkirkan tubuh Pak Hasan agar dia bisa berdiri tegak dan menutup ketelanjangannya. Ia membenahi tali behanya, lalu mengenakan roknya kembali. Vaginanya yang sedari tadi terus menerus diserang masih terasa perih, tapi Lidya sudah tidak tahan ingin meninggalkan tempat terkutuk ini. Dia bahkan tidak mampu berdiri, berjalanpun sempoyongan.

“Menantu yang hebat, Pak,” kata Eko sembari mengenakan kembali kaos dan jaketnya. “Lain kali kalau main kartu lagi, selalu ajak dia juga ya, Pak.”

Semua yang disana tertawa kecuali Lidya.

Malu sekali rasanya Lidya. Malu sekali. Wajahnya memerah tak tertahan. Walaupun semburat merah itu menambah manis wajahnya yang cantik, tapi tidak ingin dia mempersembahkan keindahan apapun kepada orang – orang ini. Tubuhnya seharusnya hanya menjadi milik Mas Andi, suaminya! Ingin rasanya Lidya cepat – cepat lari dan pergi dari tempat ini. ‘Menantu yang hebat’, menantu! Bukankah seorang menantu itu seharusnya dianggap sebagai anak sendiri? Bukan budak seks yang setiap saat disetubuhi? Untunglah malam kali ini begitu gelap sehingga baik Pak Hasan, Edi, Eko maupun Ecep tidak melihat merah wajah Lidya yang malu sekaligus marah. Setelah akhirnya nafasnya kembali normal dan rasa nyeri di selangkangan dan dadanya mulai menghilang, dengan buru – buru Lidya pergi meninggalkan pos ronda dan lari pulang ke rumah, meninggalkan Pak Hasan yang berjalan mengikutinya dengan santai sambil mengepulkan asap rokok.

Untuk pertama kali dan terakhir, ketiga orang yang duduk bersama dan meronda malam itu menyunggingkan senyum penuh kepuasan. Mereka tidak akan pernah melupakan saat – saat terindah dalam hidup mereka ini. Saat – saat rahasia yang hanya mereka bertiga, Pak Hasan dan Lidya yang tahu.

Semuanya akan baik – baik saja, jika mereka diam.

Ketiga orang itu berbaring di pos ronda dan memejamkan mata mereka, berharap kejadian yang baru saja mereka alami akan berulang di kemudian hari. Oh, betapa inginnya mereka memiliki Lidya yang mempesona. Sungguh beruntung Pak Hasan, memilik menantu jelita seperti Lidya.

Edi Gagap, Ecep Sumbing dan Eko Tompel tidur dengan senyum mengembang.



BAGIAN 10-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 10-B
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd