Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 14 HARI (RSP Series)

EMPAT



Drama tengah malam terjadi. Tea terbangun ketika kusentuh pipinya dan menjerit ketakutan. Ia langsung duduk di sudut ranjang sambil menutupi wajahnya dengan selimut. Aku tak kalah panik, tak menyangka bahwa Tea akan sehisteris itu. Berulangkali aku minta maaf dan menjelaskan bahwa aku tidak bermaksud mesum atau berniat jahat. Tetapi Tea tetap menunjuk-nunjuk mukaku supaya menjauhinya. Dan.. aku salah paham. Ia sama sekali tidak berpikir aku datang untuk berbuat mesum, tapi ia takut kalau aku tertular Covid.

Akhirnya aku menjauh dan mengambil persediaan masker dari laci meja. Setelahnya aku tertawa karena merasa geli sendiri.

“Lagian aku khawatir, Tea, makananmu masih utuh di luar. Aku takut kamu kenapa-napa.” ujarku sambil menyodorkan masker untuknya.
“Hehe.. Maaf, tadi abis kamu telpon aku langsung tidur. Bablas deh..” kekehnya.
“Tapi beneran kan kamu udah mendingan?” aku masih belum yakin.
“Bukan mendingan, Le, tapi udah sembuh. Aku udah gak ngerasa demam lagi kok.”
“Syukur deh.”

Aku langsung keluar kamar untuk mengambil makanan Tea, lalu kupanaskan pada microwave. Kubuatkan juga susu hangat.

“Makasih, Le.” ujarnya tulus.
“Nyantai.” singkatku.

Aku dan Tea duduk berhadapan di atas sofa. Ia menikmati makan malamnya yang sudah sangat telat, sedangkan aku menikmati paras cantiknya. Kuceritakan pula pengalaman konyolku dengan Bu Sukma membuat Tea sekali-kali menghentikan makannya. Ekspresi kaget, marah, dan lucu terpancar bergantian. Tentu saja aku tidak menyampaikan kalau aku dan Bu Sukma berciuman.

Waktu sudah menunjukan jam dua pagi, namun kantukku hilang. Berada bersama Tea membuatku selalu segar. Tea sendiri tentu saja tidak ngantuk lagi karena sudah tidur sejak sore. Akhirnya kami ngobrol ngalor-ngidul, sekali-kali diselingi canda dan tawa.

Pada titik tertentu, Tea berubah sendu dan obrolannya mulai serius.

“Aku kangen Bagas, Le.” keluhnya. Ia tidak tahu bahwa dengan menyebutkan nama itu, rasa gembiraku bersamanya langsung pudar.

“Sabar, ya Tea, semoga semuanya ini bisa berakhir dan kalian bisa bersama-sama lagi.” aku mencoba menghiburnya, walaupun sebetulnya sangat tidak berselera membahasnya.

Tea pun curhat. Di balik kerinduannya, ia juga sering merasa bete atas sikap Bagas. Ia tidak pernah menghubunginya duluan. Selalu saja Tea yang lebih dahulu menelpon atau mengirim pesan.

“Gimana gak kesel coba, Le, selalu saja aku yang menelpon lebih dulu. Chatting pun selalu aku yang duluan padahal sering kulihat WA-nya online.” keluh Tea.

“Ya mungkin dia sibuk, Tea. Kita kan gak tahu situasi di sana seperti apa, apalagi katanya Jakarta sendiri akan segera memberlakukan lockdown.”
“Ya sesibuk-sibuknya orang, masa sih gak ada inisiatif sama sekali untuk sekedar menyapa duluan.”

“Tapi kalau pas telponan kamu merasa ia berubah, gak?”
“Nggak sih.”
“Nah berarti memang Bagas tidak berubah. Mungkin karena kondisimu habis ngedrop, jadi kamu lebih sensitif.” ujarku.
“Jadi aku yang salah?” tiba-tiba nadanya meninggi.
“Bukan gitu, Teaaa.. maksudku…”
“Apa?”
“Iiya.. aku salah.”

“Kok kamu yang salah sih? Kan lagi ngomongin aku dan Bagas?!”

Buseet. Ni anak kesambet apa sih, tiba-tiba jadi bad mood seperti ini. Kutatap wajah Tea yang cemberut, matanya sedikit berkaca. Aku hanya menghela nafas. Kehilangan kata-kata.

“Alle..!! Aku kan nanya, kok malah diam?”
“Eh.. emang kamu nanya yah?” pentium otakku tiba-tiba menjadi 510 Mb.
“Iih kamu tuh! Kenapa jadi kamu yang salaah?!”
“Eh.. iya.. iya… Bagas salah.”
“Kok kamu jadi nyalahin pacarku sih? Dia itu baik tahu!”

Kupret!!

“Hmm.. kalau gitu kamu yang salah.”
“Apa?! Cowok tuh yah.. selalu saja cewek yang disalahin! Hiks…”

Bajindut!!!

Aku hanya bisa melongo sambil menatap Tea yang mulai menitikan air mata. Aku benar-benar serba salah, dan tidak tahu harus berkata apa. Setahuku corona itu menyerang saluran pernafasan dan organ paru-paru, tetapi kenapa pada gadis ini malah menyerang syaraf kewarasannya.

“Maaf, Tea, aku.. aku…”
“Selalu saja.. cowok tuh gampangin banget, selalu memakai jurus ‘minta maaf’ untuk melindungi diri.”

Setelah berkata begitu, Tea terisak. Air matanya berubah deras. Seorang wanita karier muda yang sukses, kini di depan mataku tak ada ubahnya dengan gadis ababil yang perubahan mood-nya bisa berubah drastis.

Aku pun pindah duduk di sampingnya.

“Tea, kamu kenapa? Maaf kalau aku salah omong ya.” aku mencoba menghiburnya, karena tidak tahu harus berbuat apa selain itu.

Tea tidak menggubris. Ia menutup mukanya dengan tangis yang semakin keras. Tubuhnya sedikit berguncang.

Tanganku terulur untuk menyentuh bahunya, namun berhenti ketika tinggal beberapa senti. Aku takut disangka kurang ajar, dan tangisnya menjadi marah kembali.

“Tea…”

“Hiks.. hiks… kenapa harus begini sih, Le? Aku ini punya dosa apa sehingga harus terdampar di negeri orang? Harus kena Corona? Harus jauh dari Bagas? Harus jauh dari keluargaku? Hiiiiiikssss.” litani tanya dan kemarahan membuncah di tengah tangisnya.

Mendengar itu, aku sungguh terenyuh. Tanganku benar-benar menyentuh, dan memberi tepukan-tepukan kecil.

“Tea, kamu tidak salah apa-apa. Kamu tenang dulu yah, kalau kamu hanya protes dan bersedih maka tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Tangismu tidak akan membuatmu bisa bertemu Bagas seketika.” ujarku.

Tea membuka katupan tangannya, maskernya nampak kuyup karena cucuran air mata. Kedua bola matanya merah dan basah.

Kuraih kedua tangannya dan kugenggam. Tak apa dianggap kuang ajar, inginku saat ini adalah membuatnya tenang.

Tea tidak menepis, malah balas meremas dengan keras. Aku mencoba tersenyum tanpa kata-kata. Tea masih terisak, tetapi tidak lagi merintih penuh protes.

Aku masih diam sambil menggenggam, menunggu Tea lebih tenang. Inginku saat ini adalah ada bersamanya, dan membuat gadis ini tidak merasa seorang diri.

Aku dan Tea saling bertatapan, suasana malam yang sunyi membuat suasana terasa sendu. Hanya sisak isak tangisnya yang terdengar. Remasan tangan kami sudah berhenti, tetapi tetap bertautan seolah enggan dipisahkan. Jemarinya yang tadi terasa dingin dan kaku, kini berubah hangat dan lembut.

Setelah sekian lama, kulakukan sebuah remasan. Maksudku untuk memberi Tea kekuatan sebelum aku melepaskannya. Namun tanpa diduga, itu memberi efek yang berbeda bagi Tea. Tubuhnya nampak lemah, miring mendekat.

Ia menjatuhkan dirinya dalam pelukanku. Aku tercekat, jantungku sesaat seolah berhenti berdetak. Gantian aku yang merasa lemah, sebaliknya Tea memelukku erat.

“Aku takut, Le.” ia mengeluh. Lebih berupa ungkapan perih tanpa air mata.

Mendengar ucapannya, aku refleks membalas pelukan Tea. Kuusapi rambutnya yang bergelombang halus. Itu membuat kepalanya semakin terbenam di atas bahuku. Kini hati dan pikiranku berkecamuk. Kasihan dan iba memang ada, tetapi biar bagaimana pun gadis yang kini sedang berada dalam pelukanku ini adalah sosok yang diam-diam telah mencuri hatiku. Entah apa yang Tea pikirkan ketika ia memelukku, namun kini aku membalasnya bukan hanya karena ingin menguatkan rapuh hatinya. Aku mendekap dan membelainya terdorong oleh rasa sayang.

Aku dan Tea terbawa suasana. Abai pada keadaan. Aku malah melepaskan masker Tea dan mengusapi sisa air matanya, lantas kubenamkan kembali kepalanya. Kali ini pada dadaku.

Usapanku berubah menjadi belaian, dan Tea seolah merasa nyaman. Satu tangannya pindah memeluk pinggangku, matanya terpejam. Kulepas maskerku sendiri, dan kuhirup aroma wangi rambunya. Helaian-helaian halus menyentuh bibirku, dan aku mengecup tipis.

Aku tidak tahu apakah Tea menyadarinya atau tidak karena kecupanku hanya menempel pada permukaan rambutnya. Tapi aku sungguh terbuai, dan menikmatinya. Lupa bahwa Tea sudah menjadi kekasih orang.

“Kalau ini semua bukan karena karma, lalu kenapa aku harus menanggung semuanya ini, Le?” lirihnya.

Tea mendongak, sorot mata kami beradu. Dadaku terkesiap. Pancaran cantiknya tergambar begitu dekat, sorot matanya yang sedih terlihat sendu. Bibirnya yang pucat malah terlihat seksi. Aku mengerjap untuk membuang pikiran-pikiran yang tidak seharusnya.

“Aku tidak tahu, Tea. Kita baru akan tahu maknanya nanti setelah kita bisa melewatinya. Tapi…”

Aku menelan liur dan mengalihkan pandangan.

“…” Tea malah semakin mendongak menungguku melanjutkan ucapan. Sebisa mungkin aku mengatur nafas agar Tea tidak merasakan detak jantungku yang berdegup tak beraturan.

“… tergantung bagaimana kita menyikapinya sekarang ini. Peristiwa pahit ini akan menjadi trauma di masa depan kalau kita hanya melihat sisi gelapnya, tetapi bisa juga menjadi kisah indah ketika kita menjalani dengan ikhlas.”

“Allee…” lirinya terdengar begitu lembut, lebih berupa desahan.

Senyum Tea terpulas, pucat wajahnya perlahan pudar. Kami bukan hanya bertatapan, tetapi jarak wajah kami semakin dekat. Sorot matanya nampak sedikit redup. Sepertinya ia menggigit kecil bagian dalam bibirnya.

Ada magnet. Ada energi. Ada rasa. Aku abai pada virus yang sedang bersemayam dalam tubuhnya, begitu pula Tea. Tanpa minta persetujuan, perlahan aku merunduk. Sangat perlahan, tapi sebaliknya dadaku berdebar kencang.

Kecupan kudaratkan pada kening Tea. Gadis itu memejamkan mata, kurasakan pelukannya semakin erat. Gumpalan kenyal payudaranya bergerak seiring sesak nafas yang ia tahan.

Ciuman kedua kulakukan. Masih pada tempat yang sama, tetapi tidak langsung kulepaskan. Bibirku betah mendarat pada halus keningnya.

“Alle..”
“Tea..”

Bisik kami bersamaan. Mata Tea kembali terbuka, sorotnya sayu. Bibirnya sedikit terbuka untuk memberi ruang nafas. Hangat. Rasa sayangku tiba-tiba tercurah.

Aku merunduk, Tea tercekat. Aku mendekat, Tea menahan nafas. Aku memiringkan wajah, ia miring ke arah sebaliknya.

Cuuupp!!

Bukan kecupan lembut, melainkan sebuah lumatan panas. Kutahan kepala belakang Tea, sedangkan ia malah menangkup kedua pipiku. Ciuman ini bukan nafsu, tetapi seperti cumbuan rindu.

Bererapa lumatan panas kami lakukan, saling melilit lidah kemudian.

“Mmmmh…” Tea melepaskan gerah gairahnya, membuat ciumanku semakin dalam dan panas.

Permukaan lidah kami saling menyapu, dan menghisap pada ujung basahnya. Sekali-kali kuhisap juga bibir bawahnya, ia melakukan hal yang sama setelahnya.

Degh!!

Aku kaget ketika Tea tiba-tiba melepaskan ciuman dan mendorong pipiku agar menjauh. Aku tidak rela ciuman ini berakhir, tetapi juga takut kalau Tea sadar bahwa ini salah dan berbalik marah.

Aku menatap Tea dengan jantung berdebar. Pun pula ia menatapku dengan nafas tersengal. Dan… aku gelagapan. Tea tiba-tiba mencumbu kembali, lebih panas, lebih bergairah. Sedetik kemudian aku langsung membalas, takutku hilang, larut dan hanyut dalam kenikmatan.

Kepala kami sekali-kali saling berputar untuk memperdalam cumbuan. Tangan Tea meremas rambut belakangku, sedangkan usapanku pada punggungnya mulai turun ke arah pinggul.

“Shhh….” Tea mendesah resah.

Terdengar erotis dan semakin membangkitkan gairah. Panas dan panas.. batas kasih sayang dan nafsu menjadi tidak jelas. Bahkan aku tidak tahu arti semuanya ini, hubunganku dan Tea tanpalah status.

Tea sedikit mengejang ketika aku meremas bongkahan pinggulnya yang seksi dan kenyal, juluran lidahnya sedikit tegang.

“Mhhh…. Gas, aku kangen banget, sayang.”

Degh!!

Harga diriku terasa dijatuhkan. Ia membayangkan Bagas dibalik cumbuan panasnya. Aku ingin marah, tapi aku tidak punya hak untuk itu. Aku sakit hati dan mengutuki diri. Aku terlalu melibatkan perasaan, padahal Tea hanya butuh pelampiasan.

Langsung kudorong tubuh Tea. Aku sungguh tersinggung, marah, dan bahkan cemburu. Tea sendiri seolah sadar akan apa yang sudah kami lakukan.

Plaaak!!!

Tamparan keras kudapatkan.


*

*

*


Hari-hariku suram. Sudah tiga hari Bu Sukma tidak mau bertemu denganku. Sepertinya peristiwa malam itu cukup membuatnya terpukul. Aku sudah menjadi lelaki ‘terlarang’ yang mencumbu jatah suaminya. Hal yang sama terjadi dengan Tea. Sekalipun kami hanya dipisahkan sebuah dinding, tapi ia tidak mau lagi berjumpa. Jangankan bertemu, berbicara pun tidak mau.

Malam itu, di malam yang sama, seolah menjadi peristiwa laknat yang semua kesalahannya ditimpakan padaku. Kami pernah sama-sama terbuai, sama-sama hanyut dan menikmati, namun kemudian aku yang dijauhi dan diasingkan. Kini temanku di gedung ini hanyalah Bu Yasinta. Ia masih rutin datang ke kamarku, itu pun bukan melulu demi aku. Ia datang sekedar transit untuk mengantarkan makanan Tea. Ia datang untuk merokok. Ia datang hanya untuk meminjam kamar dan mendesah-desah sendirian.

Kupret!!!

Bu Yasinta tahu bahwa hubunganku dengan Bu Sukma dan Tea sudah renggang. Ia berusaha mencari jawabannya. Setelah terus didesak, akhirnya aku tidak menutupinya. Kuceritakan semuanya pada Bu Yasinta dengan syarat wanita itu harus bersikap seolah tidak tahu. Inginku, Bu Yasinta juga mendengar sendiri dari versi Bu Sukma dan Tea sendiri. Sepertinya Bu Sukma dan Tea sendiri belum mau terbuka pada Bu Yasinta. Aku bersedia untuk menyelesaikan masalah atas inisiatif Bu Yasinta, tapi baik Bu Sukma maupun Tea selalu menolak.

Bangke!!!

Pada titik puncak kesalku, aku tidak lagi mau peduli dan memikirkannya. Kalau mau jujur, merekalah yang menumpang, dan aku adalah tuan rumah walaupun gedung ini bukan milikku. Aku sudah lebih lama di sini. Aku bersedia membantu, tapi jika mereka tidak butuh ya untuk apa aku memaksa. Aku sudah tidak peduli.

Siang ini aku bersantai sambil menikmati secangkir kopi. Aku baru saja membersihkan kamar. Rasa tidak peduliku membuat bebanku berkurang, tidak lagi dipenuhi rasa marah dan kecewa. Cemburuku juga hilang, Tea bukanlah siapa-siapaku.

Aku beranjak ketika mendengar ketukan pada pintu. Bu Yasinta datang membawa kantong plastik berisi makan siang untuk Tea. Tetapi yang mengejutkan, ia tidak sendirian. Ada Bu Sukma di belakangnya.

“Bu..” aku langsung menyapa Bu Sukma dengan sedikit grogi.

Bu Yasinta sendiri nyelonong masuk dan langsung menuju balkon.

Bu Sukma tidak menjawab, selain mengangguk dan tersenyum kecut. Lalu aku mempersilakannya masuk dan duduk di atas sofa. Bu Sukma menunduk untuk menghindari bertatapan denganku, sedangkan aku berpaling keluar. Terdengar Bu Yasinta sedang berbicara dengan Tea.

Aku bernafas lega ketika Bu Yasinta masuk dan ikut duduk di antara kami, setidaknya aku bisa mengurai kekakuan.

“Ini buat kamu, Le. Bu Sukma yang masak loh.” Bu Yasinta menyodorkan kotak tupperware.
“Makasih, Bu. Makasih, Bu Sukma.” ujarku sambil melihat ke arah mereka bergantian. Keduanya tersenyum, bedanya yang satu nampak gembira, yang satu masih kikuk.

“Makanlah.” perintah Bu Yasinta.

Kubuka isi kotak, aroma nasi goreng langsung tercium dan menggugah selera. Aku langsung makan diselingi obrolan ringan antara aku dengan Bu Yasinta, atau antara Bu Yasinta dengan Bu Sukma.

Untung masakannya sangatlah lezat sehingga aku bisa fokus pada makanan. Aku pun makan dengan lahap, sudah sangat lama tidak menikmati masakan Indo yang lezat seperti ini. Bu Yasinta meledekku, Bu Sukma tertawa kecil. Suasana pun perlahan tapi pasti mulai cair.

Bu Sukma malah berjingkat menuju kulkas dan mengambilkan botol minum untukku.

“Makasih, Bu.” dengan mulut penuh.

“Hahahaa…” Bu Sukma dan Bu Yasinta menertawakan ulahku.

Fix. Suasana pun langsung cair. Aku cengengesan sambil meneruskan makan. Nasi goreng yang lezat pun terasa semakin nikmat seiring berubahnya suasana yang tadi kaku.

“Gini.. kalian sudah sama-sama dewasa, jadi tidak seharusnya diem-dieman. Semua masalah ada jalan keluarnya, semua kesalahan bisa diperbaiki kalau mau terbuka.” Bu Yasinta mengawali percakapan yang lebih serius di akhir makanku. Sikapnya cukup berwibawa layaknya seorang boss.

Kini aku mengerti kenapa mereka berdua datang. Rupanya Bu Yasinta berhasil membujuk Bu Sukma untuk menyelesaikan masalahnya denganku.

Bu Yasinta mengaku bahwa Bu Sukma sudah bercerita apa adanya, dan itu diamini anggukan Bu Sukma dengan pipi sedikit memerah. Aku diam menyimak sambil sekali-kali melirik Bu Sukma.

“Sekarang tidak ada lagi rahasia di antara kita. Bu Sukma sudah cerita semua tentang kejadian yang kalian alami malam itu. Saya juga sudah terbuka tentang kehidupan pribadi saya, dan juga alasan saya sering-sering datang ke apartemenmu.” lanjut Bu Yasinta.

“Bu Sukma, saya minta maaf atas sikap saya malam itu.” ujarku.
“Ibu juga minta maaf, Le. Beberapa hari ini ibu menghindar dari kamu bukan karena ibu benci kamu, tapi karena ibu merasa bersalah.” ujarnya.

“Nah kalau gini kan enak, kalian tuh kayak anak kecil aja.” sahut Bu Yasinta.

Kami pun terkekeh. Aku bernafas lega karena kebekuan relasiku dengan Bu Sukma kembali cair, entahlah nanti dengan Tea, apakah bisa kembali seperti semula atau tidak. Itu nanti saja. Kini perutku kenyang, beban hatiku perlahan terurai.

Obrolan selanjutnya mengalir seperti semula, sekali-kali dipenuhi canda tawa. Aku dan Bu Yasinta sambil merokok, dan Bu Sukma tidak keberatan.

Selain perjalanan kariernya yang terus menanjak, tak jarang juga Bu Yasinta juga mengungkapkan masalah keluarganya, kemarahannya, dan juga kesepiannya. Hal ini memancing Bu Sukma untuk juga bercerita. Tampaknya ia sudah merasa nyaman dan percaya pada kami berdua.

Mereka adalah dua wanita dari dunia batin yang berbeda. Bu Yasinta sukses dalam karier, tetapi keluarganya mendekati karam. Kepuasan seksual ia dapatkan dengan cara memuaskan diri sendiri disertai dengan fantasi-fantasinya. Bu Sukma lain cerita. Kariernya sukses, keluarganya harmonis, tapi ia minim mendapatkan kepuasan bercinta di atas ranjang.

Yeah.. setiap orang mempunyai kegembiraan yang berbeda, juga masalah yang tak pernah sama. Apapun itu, kami tak lagi sungkan saling mencari kelegaan dengan saling berbagi kisah kehidupan masing-masing. Di pihakku, aku juga mempercayakan kisah hidupku pada mereka berdua. Kuceritakan tentang hidupku, keluargaku, jatuh-bangunku berada di negeri orang, dan menjalani itu semua tanpa kekasih.

Hari pun semakin sore, dan kami masih enggan meninggalkan kebersamaan. Kami bertiga bagaikan sahabat baru, meski tentu saja aku memiliki rentang usia yang cukup jauh dengan mereka.

Bungkusan cemilan aku keluarkan, dan Bu Sukma menikmatinya sambil rebahan di sofa panjang. Bu Yasinta sudah mengeluarkan Blue Label dari dalam lemari yang ia beli beberapa hari yang lalu, beberapa botol beer juga ia letakan di atas meja. Bu Sukma penasaran dan ingin mencicipi, tapi Bu Yasinta melarang keras. “Memulai itu semudah memasukan dildo ke dalam vagina, namun mengakhirinya sesulit kamu (Bu Sukma) mendapatkan orgasme,” ujarnya pada Bu Sukma, dan kami pun tertawa.

Efek alkohol membuat Bu Yasinta semakin tanpa beban. Ia bicara apa adanya dan bahkan vulgar. Tak malu menyebut ‘vagina’, ‘kontol’, dan segala hal yang berkaitan dengan titik-titik erotik. Ia juga bercerita tentang tipe laki-laki yang sering ia fantasikan saat masturbasi, dan bahkan area-area sensitifnya yang bisa membuatnya cepat terangsang. Namun perlu dicatat, ia tidak sedang mabuk.

Bu Sukma nampak jengah, namun juga menikmati kekonyolan rekan kerjanya itu. Mukanya sering memerah karena malu, namun juga tertawa terbahak mendengar hal jorok yang keluar dari mulut Bu Yasinta.

Setengah enam sore Bu Sukma pamit untuk mandi, tetapi Bu Yasinta meminta pulang duluan. Ia ingin mandi duluan karena merasa gerah, mungkin karena efek alkohol. Diputuskan Bu Yasinta yang mandi duluan, sedangkan Bu Sukma tetap tinggal. Kami memutuskan untuk masak makan malam di apartemenku.

Bu Sukma mengeluarkan bahan masakan dari dalam kulkas, sementara aku membereskan ruangan yang kotor oleh kulit kacang dan remah-remah keripik.

“Masak apa, Bu?” seusai melakukan pekerjaanku, aku mendekati Bu Sukma.
“Sup daging.”

Aku bersemangat membantunya, dan menyediakan apa yang ia butuhkan.

“Makasih, ya Bu, ibu sudah tidak marah lagi. Aku juga minta maaf atas kejadian malam itu.” ujarku sambil membuka bungkusan daging yang beku karena baru dikeluarkan dari dalam freezer.

“Kok minta maaf lagi? Sudahlah tidak usah dibahas lagi.” ujarnya. Tidak ada ekspresi marah pada wajahnya, senyumnya terpulas indah.

Bu Sukma memang memintaku untuk tidak membahasnya kembali, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kami bernostalgia. Keseruan malam itu kami kenang kembali sambil diselingi tawa. Sebuah peristiwa mendebarkan yang akan selalu ia kenang. Ia sendiri tertawa ketika membayangkan seandainya kami tertangkap polisi malam itu.

Tik tok tik tok.

Pada titik tertentu kami kehabisan bahan cerita. Kami menyiapkan masakan sambil saling diam.

Aku melirik, ia pun sama. Kami berpaling, begitu juga dia. Sekali-kali lengan kami bersentuhan, saling menatap sebentar, lalu melanjutkan pekerjaan. Terus terulang.. dan kami tertawa. Entah berbicara ataupun diam, rasanya cukup lucu dan menggelikan.

“Boleh ibu jujur?” ia pada akhirnya.

“Jujur apa, Bu?”

“Sebenarnya selama ini ibu menjauh bukan karena marah ke kamu, tapi…”
“Tapi?”
“Karena ibu merasa bersalah pada suami ibu.”
“Iya, tadi kan ibu sudah bilang. Maaf, ya Bu.”
“Tuh kan minta maaf lagi. Bukan hanya itu…”

“…” aku berbalik menghadap ke arah Bu Sukma.

Kupandang paras ayunya yang bersemu merah, sementara ia berusaha menghindari tatapan mataku.

“Ibu memang merasa bersalah, tapi.. tapi.. eh kamu jangan bilang Bu Yasinta ya…”
“Iya, Bu. Apa?”
“Ibu memikirkannya.”

Usai berkata begitu, kedua pipi Bu Sukma langsung merah padam. Aku mengernyit heran dan tetap menatapnya untuk menunggu jawaban.

“Maksud ibu?” karena tak kunjung mendapat penjelasan, aku mendesaknya.
“Mmmm… memikirkan ciuman itu.”

Degh!

“Mmaksud ibu…” gantian aku yang tergagap sesaat. “Maksud ibu, ibu menikmatinya dan ibu takut terulang gitu? Atau…?”
“Iih Alleee.. kok malah dipertegas sih?!”

Ia cemberut. Pipinya masih merah. Lalu melengos. Aku tahu marahnya hanya dibuat-buat, sekedar menutupi rasa malu.

Pengakuan Bu Sukma membuat perasaanku berdesir, biar bagaimana pun aku sering memikirkan kelembutan bibir dan lidahnya.

“Yaa kalau boleh jujur, aku juga sering memikirkannya, kok Bu. Aku juga mau jujur, sebenarnya ciuman terakhir kita, aku sengaja melakukannya, bukan pura-pura.”

“Iya, ibu tahu! Dasar kamu..!!”

Ia mendelik sambil mencubit lenganku, padahal tangannya belepotan bumbu.

“Heheh… kok ibu bisa tahu?”
“Ya tahulah… beda…”
“Beda gimana?”
“Haish kamu tuh.. malah dibahas.. sudah-sudah…” ia kembali cemberut sambil meneruskan pekerjaannya.

“Tolong ambilkan pisau, Bu.” aku menunjuk ke sisi kanannya.

Ia pun sedikit membelakangiku. Segera aku merunduk dan mendekatkan wajahku, begitu ia kembali…

Cuuup!!

Pipinya mengenai bibirku yang memang sudah kuposisikan.

“Allee…!!”

Ia melotot kaget, tapi tidak nampak marah.

“Biar gak kepikiran lagi.” ujarku seolah tanpa dosa.

“Kamu!!”

Sikapnya berubah layaknya gadis belia yang sedang jatuh cinta. Ada senyum tersembunyi di balik gurat manis keibuannya. Ada binar gembira dibalik setiap delikan dan pelototannya.

Merasa ia tidak marah, aku semakin berani dan tidak lagi mencari-cari kesempatan. Kutunjukan kalau memang aku ingin menciumnya, dan ia selalu punya cara untuk menghindar. Berkelit bukan dalam kemarahan, tapi sambil tertawa manja. Ia seperti merpati yang menghendaki, tapi masih malu melakukannya.

Acara masak pun berubah menjadi penuh canda mesra. Kami bagaikan pasangan sejoli yang sedang digandrung asmara. Memang ia belum mau memberikan pipinya untuk kucium, tetapi ia tidak menghindar ketika aku dengan sengaja menyentuh lengannya.

“Alle, jangan ah.” tolaknya ketika aku mulai nekad memeluknya dari belakang. Ia sedang mencuci beras.

Itu penolakan ucap, tubuhnya sama sekali tak menghentak. Ia tetap melanjutkan mencuci, dan daguku menumpang pada pundaknya. Sekali-kali pipi kami menempel.

Kami harus mengakhiri kemesraan ketika terdengar ketukan pada pintu. Bu Yasinta datang. Wajahnya nampak segar dan hanya dipulas makeup tipis. Tubuh seksinya juga terpamer karena hanya mengenakan celana kain setengah lutut dan atasan baju bertali.

Dua wanita itu pun bergantian peran. Bu Yasinta melanjutkan memasak, dan Bu Sukma pamit untuk mandi. Bedanya, Bu Yasinta tidak mau kubantu.

Sebelum melangkah menuju pintu, aku dan Bu Sukma bertatapan berbagi senyum. Bu Yasinta sedang membelakagi kami.

Cuuuup!!

Tiba-tiba bibir lembut Bu Sukma mengecup pipiku, dan ia langsung berjingkat pergi, seperti malu dan tak mau melihat ke belakang lagi. Rasanya aku ingin mengejar dan memeluk pinggangnya dari belakang, tapi aku hanya terdiam sambil mengusap bekas ciumannya.


Bersambung….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd