Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bab XIV:
The First Flame






Mampang Prapatan — Jakarta Selatan, 2021

Langit Jakarta tampaknya sedang mengamuk akhir-akhir ini. Rentetan suara guntur menggelegar dalam interval yang intens, menjadi latar suara yang mengiringi arak-arakan kubah kelabu awan kumulonimbus masif yang membayangi sebagian besar wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kilat demi kilat menyalak di langit, bagai kelap-kelip lampu pada kubah yang muram dan kelabu.

Di siaran darurat acara-acara berita di televisi, nampak juru bicara dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menyampaikan dengan sangat hati-hati, bahwa apa yang sedang berarak di atas sana, adalah awan kumulonimbus terbesar yang pernah terekam dalam histori. "Awan kumulonimbus ini... seringkali dikaitkan sebagai penyebab cuaca ekstrem; sebut saja badai petir, curah hujan yang tinggi, hujan es, cuaca dingin ekstrem hingga banjir bandang. Pokoknya yang ekstrem-ekstrem lah," ucap sang jubir dalam jumpa persnya. Para juru kamera berhasil menangkap ekspresi kengerian dalam wajah sang jubir, yang terlihat jelas dalam siaran langsung itu. "Dengan volume awan yang semasif itu... kami dari BMKG, tengah meminta Presiden untuk mengumumkan keadaan Siaga Satu bagi warga Jabodetabek. Maka dari itu, warga diminta untuk berdiam diri di rumah, dan tetap tenang, banyak-banyak doa juga," tambahnya, sebelum undur diri dari hadapan para wartawan.

Salah seorang dari beberapa pengunjung yang sedang duduk sembari menikmati hidangan makanan di sebuah Warung Sunda, mengangguk-angguk setelah melihat siaran darurat itu. Ekspresi wajahnya menyiratkan kepahaman yang luar biasa, seakan mengerti betul tentang situasi yang sedang dihadapinya. Meski begitu, dia tetap melanjutkan sesi makannya kembali dengan santainya.

Penampilannya cukup menarik perhatian para pengunjung lain di warung makan tersebut. Pria itu mungkin berusia sekitar tiga puluhan, dengan perawakan kurus namun tinggi. Wajahnya jauh dari kesan good looking, dengan noda-noda hitam bekas jerawat di beberapa bagian wajahnya. Rambut pendeknya yang berantakan dan berwarna merah terang karena sering berpanas-panasan; terlihat kontras dengan kulit hitam kemerahan yang rata di sekujur badan, seperti habis disengat matahari terik di pantai.

"Serem juga beritanya, ya, Teh?" tanya si pria berambut merah kepada pelayan di hadapannya, yang sedang mengangkut piring bekas makan. "Udah kayak mau kiamat aja ini dunia."

"Iya nih, Bang Jamal. Mana saya baru mau lamaran bulan depan. Masa ga jadi lamaran gara-gara kiamat," pungkas si pelayan, sembari menghela napas.

Sang pria, Jamal, mengangkat sebelah alisnya. "Wih, udah mau lamaran aja si Teteh. Siapa nih, calonnya, kalo leh tau?"

"Satu kampung sama saya di Tasik, Bang. Udah ah, mending saya lanjut masak aja daripada pusing mikirin berita." Si pelayan pun melenggang pergi dari hadapan Jamal.

Sebenarnya, jika saja Jamal sedikit lebih enak dipandang, si pelayan tentu mau dengannya. Selain penampilan, Jamal tidak kurang sesuatu pun lagi dalam menyediakan kriteria suami idaman. Jamal punya toko grosir yang cukup ramai di kampung itu, yang sanggup mempekerjakan belasan karyawan dengan gaji yang cukup pantas untuk profesi sejenis. Dari usaha toko grosirnya, Jamal bahkan bisa membangun rumah dan membeli dua unit mobil; satu untuk kebutuhan pribadi, dan satunya lagi untuk urusan belanja. Dirinya juga pintar mengaji dan seorang penghafal Qur'an, bahkan rumornya dalam sebulan Jamal sanggup beberapa kali khatam Qur'an dengan mudahnya. Seakan, keamanan urusan dunia dan akhirat telah dia genggam di tangan.

Buat urusan muka, emang lebih mending calon saya kemana-mana. Sayang aja dia mah ekonominya ala kadarnya, ujar si pelayan dalam hati.

Tapi tentu saja, selalu ada dua sisi dari satu koin yang sama. Jamal yang orang sekitarnya kenal sebagai pengusaha grosir sukses nan soleh, punya sisi lain yang hanya diketahui oleh segelintir individu. Salah satu dari yang segelintir itu, kini sedang berjalan menuju ke warung makan tempat Jamal sedang singgah. Seorang pria muda, dengan rambut panjang sebahu yang dikuncir model man-bun, wajah tampan khas Eropa timurnya, serta penampilan serba hitam yang membuatnya terlihat semakin menawan, sekarang berdiri di ambang pintu warung makan, menatap punggung Jamal, lekat.

"Ifrit, saya butuh bantuanmu, segera," ujarnya, datar, namun bisa didengar oleh Jamal, dan juga orang-orang di sekitarnya.

Jamal menghela napas panjang, lalu menolehkan wajahnya ke belakang. "Heh, bukannya di chat Whatsapp tadi kita sepakat kalo lu manggil gua pake nama gua yang sekarang?" keluhnya. Jamal pun bangkit dari kursi panjang, lalu memperlihatkan layar ponselnya ke pria di hadapannya. "Nih, gua bahkan udah repot-repot ganti nama lu di kontak HP gua jadi 'Santoso'!"

"Maaf, tapi saya tidak pernah setuju dengan nama itu. Tolong panggil saya sesuai dengan nama saya."

"Jadi pake Baldur aja?"

Si pria tampan mengangguk.

"Oke, oke." Jamal pun merangkul bahu pria itu, mengajaknya pergi ke tempat yang lebih sepi. "Gua tau tempat yang enak buat ngobrol. Kuy!"

Sebelum melangkah lebih jauh, Jamal menoleh ke belakang. Ke arah para pengunjung dan pelayan warung makan yang terpaku oleh sikap Jamal yang tak biasa. Bukan saja karena tidak membayar pesanan makannya, tapi juga karena cara pria di samping Jamal memanggil namanya, dan respon Jamal setelahnya.

"Sori, no witness, kalo kata orang Barat, mah." Jamal merentangkan tangan kanannya ke arah si pelayan, lalu mengangkat jari-jarinya ke atas. "Salaam."

Tiba-tiba, api besar berkobar menyelimuti tiap orang yang berada di dalam warung makan itu. Api membakar habis sekujur badan mereka dengan cepat. Bahkan lebih cepat dari teriakan kesakitan yang hendak mereka lantangkan. Dalam sekejap, tubuh-tubuh terbakar itu hangus menjadi tumpukan abu dan serpihan tulang belulang yang gosong.

Jamal tersenyum kecil. Dua puluh tahun penyamarannya sebagai Jamal berhasil membuatnya membaur dengan manusia, harus dia sudahi lebih cepat dari ekspektasinya. Kini, salah satu jin tertua yang pernah ada dalam sejarah penciptaan makhluk-makhluk di alam semesta, kembali menunjukkan dirinya. Ifrit, Sang Api Pertama.

"Padahal nama 'Santoso' itu bagus, lho." Ifrit berusaha meyakinkan si pria, Baldur, sembari menyikut lengannya.

Baldur, menatap Ifrit dengan penuh rasa jijik bercampur iba. "Tolong hentikan. Kau membuatku malu."







— Bersambung.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd