Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

Part 09 Masih Ada Mendung Setelah Badai

Pintu terbuka. Jantungku bekerja lebih keras. Kakiku merasa ngilu.

Di ujung dinding kamar, kulihat Larissa sedang dibekap dari belakang oleh seorang pria tua. Mulutnya ditutup sampai tak bersuara. Matanya yg sembab menatapku penuh harap.

“Lepaskan dia!” kataku lantang. Tanganku terkepal kencang, siap bila memang ini menjadi pertarungan berdarah.

Mata Larissa melotot dan mengarah ke samping. Seolah ingin memberitahuku sesuatu.

Aku terkejut saat menoleh. Dari arah belakang pintu, seorang lelaki lain menyerangku dengan pisau lipat!

ZZZRAATT!

“Aakhh!” Aku sudah berusaha menepis namun refleksku kalah cepat dibanding sabetannya. Tanganku mulai terasa perih karena luka yg cukup dalam.

Mereka berdua. Aku sendiri. Di kamar yg sempit ini, masih ada ruang antara aku dan si Pipi Codet ini. Kutarik nafas dan mencoba berpikir.

Ini peraduan yg tak seimbang. Tapi jika aku menang melawannya, seharusnya semua selesai.

“Ha ha ha ha… Mau sok jadi jagoan, ya?” si Codet jelek ini mengintimidasi. Kutatap posturnya. Besar dan terlihat lebih kuat.

“Kita akan lihat, siapa yg lebih jago,” kataku tanpa gentar. Bagai menantang Jalut dengan pedangnya, aku seperti Daud tanpa ketapel kecil.

“Sob! Habisi dia!” kata pria tua itu pada piaraannya ini. Aku bersiap memasang kuda-kuda. Dalam keadaan seperti ini, nyali dan ilmu bela diriku yg tinggi amat sangat berguna.

SSEETT.

Tangan kanan berpisaunya mulai maju menusuk. Badanku yg jauh lebih gesit adalah sebuah keuntungan. Kuhindari serangannya dan kutangkap tangannya.

PLAAK.

Kupuntir pergelangannya sehingga pisau lipatnya terlepas. Dengan kaki, kutendang senjata itu menjauh. Namun tangan kirinya tak tinggal diam.

WUUT.

Arah ayunan tinjunya terbaca dan dapat kuhindari dengan mudah. Tinjuku membalas dan kuarahkan ke perutnya.

BUKK.

“Ugghh…”

Ia meringis dan mundur. Kepalanku lemah karena luka gores pisau tadi cukup mengganggu.

Setidaknya keadaan kini mulai jadi imbang. Ia memegangi perutnya. Adu tangan kosong ini semakin membuatku tegang. Kucoba untuk fokus. Tidak ada ronde kedua. Hidup atau mati. Itu saja pilihanku.

SSSUUP.

Kali ini aku maju duluan. Ia menangkis pukulanku dengan tangannya, lalu membalas.

WUUPP. BUK.

Pandanganku yg mengeruh membuat pukulannya ke arah pelipisku tak sempat terhindar.

Aku sempoyongan, lalu kembali menjaga jarak.

Ia sepertinya tak menyia-nyiakan kesempatan.

Jual beli pukulan terjadi. Sepertinya ia tahu luka di tanganku yg makin deras berdarah adalah kelemahan tambahan.

BAK. BUK. TPIS!

Aku tersudut, mencoba menjaga jarak kembali.

Berkonsentrasi pada kecepatanku, aku harus menyerang titik yg lebih vital di tubuhnya.

WUUPPSS.

Ia kembali maju. Mungkin ia pikir aku sudah lemah, serangannya seperti membabi buta dan tanpa dipikirkan.

Ulu hatinya terbuka. Dengan satu serangan cepat, kupukul bagian itu.

BAK!

Ia mengaduh. Momen ini kumanfaatkan dengan baik. Kembali kuserang gendang telinganya.

BUK!!

Si Codet ini seperti kehilangan kesadaran. Dengan kedua tanganku, kupegang kepalanya lalu kuhantam dengan lutut menuju rahangnya.

BRAK!

Tak sampai di situ, badannya yg sudah tanpa pondasi kuseret menuju lemari. Kepalanya kutabrakkan ke arah cermin.

PRRAANG.

“Uuhhh…”

Pecahan kaca jatuh ke lantai bersama badan bongsornya yang kesakitan.

Nafasku memburu. Kutatap lekat si pria tua yg semakin ketakutan. Posisinya terjepit.

“Lepaskan Larissa!”

Si Tua ini merenggangkan dekapannya. Larissa menghambur ke arahku sambil sesenggukan.

“A-ampun… Ba—baik, kami akan pergi…” kata Pak Tua ini dengan ekspresi wajah yang pucat.

Larissa memelukku. Tanpa melihat wajah Pak Tua, ia menunjuk sambil berkata dengan serak.

“Hand—handphone… Am… Ambil handphone-nya, Akhi…”

Aku tak sepenuhnya mengerti. Tapi, si Tua ini tanpa disuruh kedua kali, sepertinya paham.

“I—iya ini… Ambil hanpdhone saya… Tolong jangan sakiti saya…”

Kutarik telepon genggamnya lalu kuberikan ke Larissa.

“Sekarang, pergilah!” bentakku muak.

“Ba—baik… Kami akan pergi…”

Dengan terhuyung-huyung, si Codet dibopong keluar. Dahinya terus mengeluarkan darah. Aku lega lukaku tak seberapa. Padahal bisa saja keadaan akhirnya adalah sebaliknya.

Mereka berdua keluar dari ruangan.

“Kau tak apa-apa, Rissa?” Kupeluk tubuhnya yang dingin seperti mayat. Ia masih sesenggukan dan gemetar.

Kuusap lembut punggungnya. Berusaha menenangkan.

VRROOM. Suara mobil kedua lelaki itu menjauh.

“Siapa mereka? Mau apa mereka darimu?”

Ia diam saja. Badannya masih bergetar dan ketakutan. Kucium bau tak sedap dari kamar ini. Seperti aroma…

“Video… To—tolong hapus… Videonya…” Ia menyerahkan handphone milik Pak Tua padaku.

Astaga. Oh, tidak. Apakah ini semua seperti yang kuduga? Kulihat preview beberapa file video di ponsel. Mataku seakan tak percaya. Tanganku menggeram.

“K—kamu… D—dua lelaki itu…”

Tangisan Larissa semakin keras. Kepiluan memenuhi isi dadanya, tak mampu membuatnya berkata apapun.

“Kurang ajar!”

Andai saja aku datang lebih cepat. Ah tidak, andai saja aku terus bersamanya. Mungkin ini semua tak akan terjadi. Penyesalanku seperti plokis India yang datang belakangan.

“Maafkan aku, Rissa… A—aku terlambat…” kataku turut sedih.

Lama sekali kami saling berpelukan. Bukan, lebih kepada, aku yg memeluknya. Tubuhnya bagai es. Dingin dan kaku. Dalam hatinya ia bungkus segunung kegetiran. Padahal pagi ini aku menganggap kami baru saja merengkuh hangat kebahagiaan bersama.

Semuanya berlalu dengan begitu cepat. Semuanya tak dapat kulawan. Di dalam batin ini, bercampur amarah pada diriku sendiri, dan rasa takut menghadapi esok hari.

Larissa masih terisak di pangkuanku. Ia seolah menegarkan dirinya, dan mengambil posisi duduk menjauh. Pandangannya dilempar membelakangiku. Tatapannya kosong dan linglung.

"Pulanglah, Joe…" katanya lirih.

Aku terdiam.

"Obati lukamu," katanya lagi.

"Bagaimana… Denganmu?" tanyaku.

"Lukaku akan sembuh, Joe. Tapi tidak hari ini. Tidak bersamamu. Cepatlah pulang, Joe. Mas Rohim bisa pulang kapan saja."

"Ta… Tapi…"

"Sudahlah, Joe. Aku tak kan meminta dua kali."

Suara Larissa masih bergetar dan serak. Memendam rasa sakit mendalam karena goresan yang berdarah tanpa henti. Aku tak bisa berkata apa-apa. Mulut dan otakku serasa buntu.

Dengan gontai, kuseret langkahku menuju pintu yang rusak. Aroma kamar ini tak akan pernah aku lupakan. Sorotan mata Larissa yang pilu. Pertarunganku dengan si Codet. Wajah menyebalkan si Tua.

Kutatap Larissa untuk terakhir kalinya. "Assalaamu'alaikum."

Ia masih termenung seperti orang kemasukan jin. Tak kudengar jawaban darinya. Kututup pintu depan dan berharap ia akan baik-baik saja. Kudoakan yang terbaik demi kelangsungan hidup keluarga Larissa.

Kuhidupkan motor dan kupacu sekencang yang aku bisa.

Kurenungi kisah cintaku seperih Arjuna yang ditolak Dewi Anggraeni, walau suaminya telah muksa.

Dalam kecepatan yang membabi buta, aku berteriak lepas, mengeluarkan auman selepas adu tangkas satu lawan satu dengan singa lainnya.

"Aaaaaaaarggghhhhh!!!"

Adrenalin mengalir deras di seluruh tubuhku. Jauh di depan, ada sebuah perempatan lampu lalu lintas. Bagai kesetanan, aku berniat menerobosnya.

Tanganku tremor. Kubuka gas kuda besi ini lebih lebar. Badanku menunduk. Angin yang menerpa membuatku semakin bersemangat. Gejolak darah mudaku berontak ingin disuapi.

Laju motorku tak terkendali. Akulah nakhoda tanpa mualim dan peta. Berlayar tanpa tahu arah di tengah badai. Yang kutahu hanyalah aku harus menghela kudaku untuk melompati ombak.

TIIIN! WOOOI!!

Tak kupedulikan klakson dan teriakan orang lain yang kudzalimi.

WUUUUSSH! NGEEENG!

Aku berhasil menerobos! Kepuasan menjalar. Akulah raja hutan tanpa lawan. Akulah penguasa samudera di gelapnya malam. Akulah Dewa Petir di luasnya langit mendung.

Tak lama berselang, secara tiba-tiba, dari mulut sebuah gang, keluar sebuah mobil pickup dengan kencang. Refleks motor kuarahkan menjauh, tapi lajunya sudah melewati batas.

CCCIIIITT! BRRAKK!

Motorku oleng menabrak pembatas jalan. Tubuhku terlempar, bersama dengan jiwaku yang tenang tanpa beban. Momen beberapa detik di udara ini membawaku melayang mengingat semua hal yang terjadi di kehidupanku.

Aku teringat orang-orang yang kucinta. Kedua orang tuaku yang telah tiada. Aku membayangkan wajah Mang Ujang dan Bi Inah. Aku membayangkan Larissa, dan momen-momen berdua kami.

Lalu, aku mulai menggigil. Batinku diterpa ketakutan luar biasa.

Sebentar lagi aku mungkin mati. Meninggalkan semuanya. Menyusul Papa dan Mama. Tapi, amalku tak cukup membawaku ke surga. Keburukanku lebih menggunung bertumpuk.

DEBUGG! BUG! BUG!

Aku terjatuh dan berguling beberapa kali. Aku tak dapat merasakan apa-apa, kecuali kepala yang sakit. Pandanganku gelap. Telingaku berdengung. Samar-samar kudengar suara kerumunan orang. Aku tak sadarkan diri.

-- Part 09 selesai
#sukaniqab
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd