Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ahmad Jonathan

PART 11
BUNGA DI TEPI JURANG

Tak habis kupikir mengapa kisah cintaku dengan Larissa bisa kandas bak kapal karam di lautan dangkal. Setiap kali memandang fotonya, hatiku sesak menahan rindu. Hariku jadi rusak mengingat masa-masa itu.

Kini, aroma tubuhnya pun tak dapat kuhirup lagi. Ia dan suaminya menghilang entah ke mana. Lenyap ditiup angin. Lelah kucari sedemikian rupa, tapi tak kunjung kutemukan info yang berguna.

Tetangganya bilang, suaminya mengundurkan diri dari instansi tempatnya bekerja dan pindah ke kampung terpencil di daerah asli orang tuanya. Semakin jauh aku mencari, semakin kecewa rasa hatiku. Semakin serong jalanku dari kenyataan.

Biarlah semua sakit ini kukubur dalam-dalam sebagai bekas luka yang tak kering. Sebagai gantinya, kulampiaskan mencari wanita lain untuk sekadar aku tiduri.

Telah berbulan-bulan berlalu sejak peristiwa pilu itu terjadi. Prinsipku, selama aku masih menjalankan ritual arahan Mbah Wiryo, semuanya akan jadi lebih mudah.

Eliza, Hasna, Juni, Sofia, Rona, Zenia, Maida. Semuanya akhwat alim dari luar dan berhijab lebar. Ternyata mendekati mereka semua tak sesulit yang aku bayangkan. Bahkan Rona mengaku sudah pernah tidur dengan pacar pertamanya. Tak apalah, toh masih legit. Hahaha!

Betapa kita semua tak bisa menilai sesuatu dari kulitnya saja. Di balik serba tertutupnya aurat, tersimpan syahwat yang bergejolak. Maafkan jika kalian hanya menjadi tempatku mengabaikan masa lalu dan pelarian dari kehampaan.

“Abang sudah di depan pintu kos adek.”

SEND.

Chatku pada Izzah, seorang akhwat targetku terkini, kukirim sambil melihat kanan-kiri. Biar bagaimana aku juga takut kepergok penghuni kos yang lain. Di sini kan tidak boleh ada tamu laki-laki masuk ke kamar.

“Serius??”

CEKREK.

Kubalas pesan WA darinya dengan mengirim foto area depan kamarnya. Dua centang biru diikuti dengan suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh. Mungkin sedang sibuk memakai jilbab lebarnya.

TEK. TEK. CEKLEK…

Pintu terbuka diikuti wajah manis yang melongo.

“Astaga! Ini kan kos-kosan khusus putri… Tamu lelaki dila…”

Dengan senyum mengembang, aku menyapanya.

“Assalaamu’alaikum sayang Abang…”

“Wa’alaikumsalaam!”

Kepalanya melongo sedikit keluar. Seperti memastikan keadaan memang sepi.

“Ya udah deh, masuk dulu…” katanya ketus.

Ia menggiringku masuk. Nah, gitu dong. Sebuah awal yang bagus.

“Malam-malam begini kok ke sini sih, Bang?” tanyanya bersungut.

“Ssstt… Jangan berisik dong, nanti ketahuan, gimana?” jawabku sambil cengengesan. “Abang kangen… “ kataku lagi.

“Idiihhh… Gombal ah!”

Aku membuka bungkusan yg kubawa dari rumah.

“Kita makan, yuk?”

Pasta dan daging yang sudah dimarinasi. Kuharap ini menggugah nafsu makan Izzah, sebelum menggugah nafsu-nafsu yang lain.

“Haaa… Wah kebetulan, aku belum makan,” katanya sumringah.

Kosan Izzah ini terbilang terlampau mewah untuk ukuran mahasiswi perantauan yang kampusnya pun biasa-biasa saja. Terdiri dari dua lantai, namun kamar yang disewakan lebih banyak di atas. Di bawah, hanya ada 2 kamar.

Bangunan kos-kosan ini setengah menyatu dengan rumah pemilik kos. Tapi, menurut cerita Izzah, si Ibu kos yang tinggal sendirian ini lebih sering plesiran dan jarang di rumah.

Ukuran kamar Izzah ini sangat istimewa dan besar. Dengan kamar mandi di dalam dan air hangat. Lalu, ada dapur mininya juga. Ia juga bercerita kalau lebih sering masak sendiri.

Tipikal ciri istri idaman… Ahh…

“Mau dimasak apa nih?” Ia berdiri di depan perabot masaknya.

“Bebas,” jawabku singkat. Bukan menu makanan yg jadi perhatianku, tetapi bentuk segitiga dari celana dalamnya yang tercetak jelas terlihat di celana tidur berbahan satinnya.

Jilbab yg dipakainya kini sebetulnya cukup panjang, tapi tak sampai menutupi pantat.

Aku menghela nafas panjang demi menahan ereksi.

“Sabar. Belum saatnya, Joe,” gumamku sambil tetap mengkhayal.

Kulayangkan pandangan jauh ke arah luar jendela. Kamar Izzah terletak di tepi tebing yg lumayan curam. Ada hamparan kebun dan semak belukar yang cukup luas. Di bawah, dapat kulihat temaram lampu rumah-rumah lain di pinggir sungai.

Pemandangan yg bagus, jika hari terang. Di langit, kilasan petir sesekali muncul di antara gelapnya mendung. Tuhan seperti sedang mengeluarkan tanda tanganNya.

Ada juga halaman luas di sisi samping yang dipenuhi pot-pot tanaman yang terkesan tak sempat diurus.

Aneh… Apa rumah kos sebesar ini tidak ada pekerjanya?

Kualihkan pandanganku ke arah rak buku Izzah yang rapi. Buku-buku tebal dan tertata kusisir demi mengetahui tulisan macam apa yg jadi minatnya.

“Pembaca Allan Poe?” tanyaku ingin tahu. Kuambil “The Raven”, tulisan yg kata orang adalah karya paling fenomenal penulis yang hidup dalam beberapa kontroversi itu.

“Nope. Aku gak terlalu suka sastra, Bang. Itu hadiah dari Kakak di Malaysia,” jawabnya sambil mengambil sayur dari kulkas.

Dapat kulihat di halaman awal buku ini ada nama yang asing.

“Tahu nggak,” kataku. “Dia menikahi sepupunya yg masih 13 tahun,” sambungku datar sambil berbalik.

“Oh, ya? Gak tahu sih, tapi gak tertarik juga bahas kehidupan penulisnya.” Ia menjawab sambil membetulkan kacamatanya.

“Beberapa penulis terkenal punya sisi hidup yang gelap dan tak lazim,” lanjutku sok tahu. Supaya terlihat pintar saja.

Aroma lezat makanan menyeruak masuk ke hidungku.

“Yuk makan, laper…” ajaknya.

Ia menebar dua piring sekaligus sendok dan garpu.

“Wah, cepat juga jadinya,” tukasku.

“Gampang ini, Bang…” Izzah menyiapkan semuanya. Lengkap sekali isi kamar kos ini. Seperti apartemen saja.

Kumasukkan suapan pertama ke mulutku.

“Hmm… Enak sekali!”

Rasa masakan Izzah terbilang istimewa. Mungkin karena jarang jajan di luar dan lebih sering bereksperimen di dapur.

Kami bicara banyak hal sembari makan. Tentang kegemarannya membaca. Soal mengapa ia terdampar di universitas yang tak terkenal di kota ini. Tentang Ibu Kos yang agak aneh walau baik hati.

Setelah makan, ia bangkit mencuci piring.

Perutku kenyang. Namun aku tak melupakan hal utama yang membuatku datang kemari.

Kudekati tubuhnya dari belakang. Perlahan, aku melangkah berjinjit. Saat sudah persis di belakang telinganya, suaraku berbisik.

“Abang suka calon istri yg jago masak,” rayuku.

“Idih, paan sih, ngegombal?” Ia masih jual mahal. Segera kubuka resletingku dan mengeluarkan onderdil andalanku.

“Lihat sini, dong…” kataku sambil memelorotkan celana.

Ia berbalik dan melihat ke bawah. Seakan bola matanya hendak keluar, ia kaget setengah mati.

“B—Baang?!”

Dengan cepat, ia menutup matanya dan membalikkan badannya kembali. Badannya langsung panas dingin.

“I-itu ap-apa, Bang?”

Sempurna, inilah efek kerja keras Mbah Wiryo.

“Sepertinya cukup,” kataku dalam hati, lalu memasukkan kembali kontolku yang terlanjur menegang.

“Izzah sayang…” kataku lembut, masih mencoba merayu.

Pelan-pelan kuraba pinggangnya yang langsing.

“Hhmmm…” ia mendesis nyaris tak terdengar. Nafasnya memburu.

Bagus, belum ada penolakan berarti.

Kupeluk tubuhnya lebih erat. Dapat kurasakan perutnya yang rata. Kuhirup wangi khas wanita.

Kubalik badannya dengan cepat, dan tanpa memberi aba-aba lagi, kulumat bibirnya yang ranum dan tipis.

“Hmmmpphh… Mmmpphhhh… Bbbaang… Hmmppfff…”

Ia mengabaikan cucian piring yang belum selesai dibilas. Matanya terpejam. Ia berusaha mengimbangi serangan lidahku yang mulai bermain di dalam rongga mulutnya. Kacamatanya mulai tak sempurna terletak di tempat yang seharusnya.

Kupegang erat lehernya. Tangannya pun memeluk erat leherku. Ia mulai tersengal.

“Ccuupp… Slluurrpp…”

Beberapa menit kami beradu dan berpagutan. Aku sangat menikmati momen ini.

“Enghhh… Ssshhh… Ah… Baang…”

Kugendong Izzah menuju ranjang sambil terus menatap wajahnya yg cantik. Hidungnya yang mungil dan tajam. Tepian mata yang meruncing memberi efek oriental. Dapat kulihat pula beberapa lembar rambut yang keluar berantakan dari jilbab lebarnya.

Ia menunduk malu, seakan memalingkan wajahnya, mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya?

Kubaringkan ia di atas kasur berpegas yang empuk. Ia masih mengalihkan pandangan. Aku berjalan menuju saklar lampu. Kamar ini harus benar-benar temaram untuk suasana yg lebih romantis.

JDDDAARR.

Bunyi petir yang keras membuatku kaget, sekaligus bersyukur. Dingin-dingin gini memang paling enak dibawa bercinta. Apalagi dengan perempuan suci yang kata orang susah ditaklukkan.

DDRESSSS. TS TS TS.

Rintik hujan yang makin intens mulai membasahi tanah di bawahnya. Dedaunan di luar seperti menari-nari seirama alunan angin. Kilatan cahaya yang diikuti suara menggelegar dari langit berusaha mencapai bumi. Aku penasaran mengapa setiap persetubuhanku seringnya diiringi hujan.

“B—Bbaang…”

“Ada apa, sayang?”

Ada momen mirip dan berpola yang kuhadapi setiap aku memulai menggarap “korban” yang kebanyakan akhwat berjilbab lebar ini. Momen di mana mereka tampak malu namun mau.

Sebuah momen dilematis yang muncul karena susah mencari relevansi antara “jilbab lebar” dan “keinginan untuk berkentot”.

“Kalem aja ya sayang, biar gampang masukinnya…” kata-kataku mulai cabul dan berani.

Kuingat-ingat lagi semua akhwat yang kurenggut keperawanannya. Semuanya diam saja. Semuanya tunduk pada keinginanku. Terima kasih aku ucapkan pada ajian Mbah Wiryo yang membuat hati mereka takluk.

"Hmmppff…"

Izzah hanya bisa merintih pelan. Kuambil kacamatanya dan kuletakkan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Bibirnya kembali aku lumat. Tangan kiriku menggenggam tangannya sambil tangan kananku mulai masuk ke area kemaluannya dari atas celananya.

Jari manis dan tengahku mulai menyusuri pusar, menggerayang perlahan dan jatuh ke bulu kemaluan Izzah yg halus, lalu bergerilya mencari gundukan lengket yang mulai berembun dan separuh basah. Kugosok-gosok dengan lambat daerah sekitar klitoris Izzah.

SLUUURRP. CPOOKK. SHHHSS.

Sepertinya Izzah mulai membalas serangan-seranganku pada bibirnya yang mungil. Gigi kami sampai beberapa kali beradu. Geram sekali rupanya dia, tak sabar untuk masuk ke ronde selanjutnya.

“Baaang… “ rintihnya. “Ak-aku… Pengeenn…”

Tentu tak secepat itu. Sebelum hidangan utama, tentu aku ingin ia benar-benar basah sehingga timun milikku ini mendekam masuk dalam rahimnya.

Jemariku mulai merasakan cairan hangat keluar dari memeknya yang mulai menegang.

Aku sibak jilbab lebarnya. Toh sedari tadi pun sudah berantakan. Kubelai rambutnya yang hitam mengkilap dan kuhirup aroma wanginya. Lalu tanganku mulai membuka satu per satu kancing baju tidurnya yang mulai kusut.

“Sedotin ya?” pintanya manja sambil menunjuk ke arah payudaranya yang putih, mulus, dan besar. Kedua benda bulat itu sungguh tegang, membulat sempurna. Saking besarnya, bagian aerolanya terlihat sebagian.

Air liurku seakan menetes. Kulanjutkan melepas BH-nya dari depan. Kini kedua puting merah muda yang mengeras dan tegak mengacung menyambut lidahku, tak sabar untuk minta dikulum.

HAPP! SLUUPP…

Segera kulahap dengan ganas makanan pembukaku ini. Namun Izzah memekik.

“Uurrgghh… Pelan-pel… lan… Aduuuhh…” katanya ketus.

Kuhentikan sebentar aksiku, kupandang ia lekat-lekat sambil tersenyum.

“Maaf sayang, Abang nafsu lihat susu kamu yg segar,” jawabku berkilah.

Lidahku hanya memutari putingnya tanpa kusentuhkan sama sekali. Demikian pula tanganku hanya meremas-remas payudaranya tanpa menyentuh daerah puncak bukitnya yang sensitif.

“Hmmmhhh… Errhhh… Bbaaaang…”

Setelah puas beberapa menit seperti orang tak sadarkan diri, aku mulai tak sabar untuk memelorotkan celana tidur sekaligus celana dalam Izzah.

PRRROOTT.

“Uuuhhhh…” ia mencoba menutupi area terlarang miliknya.

Tampak bulu kemaluan berpola segitiga yang indah di atas vaginanya yg sudah berlendir. Kepalaku sudah berada persis di depan hidangan lezat ini.

“Ma-mau ngap-pain… Baaang… Ooohhh…”

Sebelum ia siap, aku lahap serabi lempitnya sambil kutekan-tekan dengan lidahku. Pahanya langsung mengapit wajahku, membuatku sedikit kesulitan bernafas. Tangannya menjambak rambutku. Akan kuberikan kenikmatan surga dunia padamu, Izzah…

“Oooohhh… Teruusss… Eennaakk… Yessss… Sshhh… Zzzhhh… Nggkkk…”

Ia mulai meremas apa saja. Rambutnya. Sarung bantal. Tepian kasur. Seprai. Bahkan payudaranya sendiri.

Kulesatkan lidahku yg panjang lebih dalam, sambil aku putar dan kusedot-sedot. Rasanya sedikit anyir, khas vagina gadis.

Tak butuh waktu lama ketika ia sampai pada orgasme yang panjang. Tubuhnya melengkung, matanya terpejam, lehernya menegang. Dalam deru hujan, pekiknya tertahan.

“Aaaashhhhhhhhhhh… Ahhh… Ahhhhh…”

Klimaks pertama Izzah ditandai dengan lolongannya yang melengking. Nafasnya tak beraturan. Badannya berkedut-kedut. Dari liang merah muda itu ku lihat mengalir cairan cinta yang membanjiri seprai.

“Enak ya, sayang?” kataku sambil mengelus pahanya yg mulus.

Aku mulai melanjutkan ritual gila ini. Berharap dengan permainan awal tadi, lahan suburnya bisa siap untuk aku bercocok tanam.

Torpedoku menegang, memberontak seperti ingin keluar dari boxer yang sempit. Dengan ukuran yang membuat mata sipit Izzah terbelalak, rasanya ia akan kelelahan sekali malam ini.

“Jang-jangan kasar-kasar ya Bang…” pesannya, sembari ngos-ngosan dan berkeringat. Ugh, sangat menggoda. Ialah bunga di tepi jurang. Indah dilihat, sulit digapai. Betapa berharga. Walau akhirnya sange juga.

Onderdilku meluncur melintasi jepitan daging vaginanya yang masih mulus tanpa cela. Belum aku masukkan, hanya kupermainkan di depan lubang guanya yang berdenyut.

“Iiiiihhh… Nakal ih,” protesnya.

Kuambil gel pelumas dari tas kecilku. Kuoleskan sambil kuperlihatkan pada Izzah betapa aku menyayangi aset berhargaku ini. Kukocok perlahan supaya makin tegang sempurna.

Kurapatkan kedua pahanya, menjepit kontolku. Aku mulai memainkan batangku ini di atas memeknya yg sudah tidak sabar ingin menghisap lontong super. Belum kumasukkan, hanya kugesek-gesek saja di bagian luar.

“Hihihihi… Apaan sih? Geli tauk!” katanya sambil cekikikan.

Kuambil kacamatanya kembali dan kusuruh ia mengenakannya. Kubuka bajuku seluruhnya.

“Nih, biar muka kamu makin napsuin,“ kataku. “Dan supaya kamu bisa lihat jelas barangku ini.”

Kusodorkan batang jantanku ke genggaman tangannya yg kecil.

“Kocokin sayang, biar makin besar…” pintaku.

“Huhuhu… Ini aja udah besar, mau segede apa emangnya?”

“Sebesar… Ular naga!” jawabku.

Ia cekikikan lagi. Tangan imutnya meremas-remas kontiku dengan gerakan memutar.

Setelah kurasa cukup, kubuat kakinya mengangkang makin lebar. Ujung kepala kontolku yg berurat dan seperti jamur kugesekkan pada daerah sensitifnya.

“Uuughhh…” desahnya, semakin tak tahan.

Daging serupa bibit itu mulai merekah, menerima dorongan kontolku yg perkasa seperti bor. Merangsek masuk. Mili demi mili. Aku harus sabar. Ini adalah pengalaman pertamanya.

Saat sepertinya ujung alat perangku sudah hampir menjamah selaput kegadisannya, kutatap matanya yg cantik.

“Izzah…”

“Iya, Bang?”

“Abang ambil ya perawan kamu”

“Iya Bang, Izzah pasrah,masukin aja, tapi pelan-pelan ya… Izzah ta-takut…”

Kudorong lebih dalam otongku yg semakin tegang. Sekitar 1-2 cm dari dunia luar. Membuka jalan, menyikap tabir yg selama ini tak pernah dibuka lelaki manapun.

PLOPS.

“Aaaaarrgghhh… Perriihh… Baangghhh…”

Kubiarkan penisku di dalam. Kutenangkan Izzah dengan memeluknya. Tangan kami saling menggenggam. Dinding bagian dalam vaginanya terasa mencengkeram dan memijat penisku. Nafasnya semakin memburu dan tak teratur.

Izzah mulai berinisiatif mengulum bibirku. Ia menjadi lebih liar dari sebelumnya.

“Lanjutin?” tanyaku.

“He-eh, tapi pelan-pelan ya…” jawabnya mengiyakan.

Kudorong batang laki-lakiku ini maju mundur. Perlahan tapi pasti. Ia merasakan pedih, tapi hanya sementara.

ZZRUUUTT. ZZZZZRUUTTT.

Semakin lama semakin kagum aku pada betapa sempitnya memeknya yg sudah banjir. Kuintip sedikit, ada percikan darah di pangkal penisku. First blood.

“Uuugghh… Ooowwhh… Sssshhh… Sedaaapp… Teruuuss…”

POOK. PLOK. PLOOK.

Sodokanku semakin kencang dan brutal. Tanganku meremas dan menggenggam gunung kembarnya yg bundar seperti mangkuk terbalik. Lengkap dengan sedotan di bibir.

SSLUURRP.

“Mmmppfffhhh… Hhhhmmmfff…”

Erangan dari mulutnya semakin membuatku bernafsu.

Tak perlu waktu lama untuk membuat Izzah merasakan puncak birahi dan orgasme keduanya.

“Aaarhhhh…!!”

JDDAARRR.

Suara teriakan Izzah tersamarkan oleh petir di luar.

CEEEESSS. CREET.

Beberapa kali semburan dari lubang kemaluannya membuat penisku menghangat. Otot selangkangannya kaku, seperti sedang mengurut apapun yang berada di dalamnya.

Aku tak sabar menggoyang pantatku lagi. Ia tampak kelelahan. Akan aku sudahi permainan ini lebih awal saja.

PLOK PLOK PLAK SLOORRP.

“Oowhh… Ahhh… Ngggeek… Hmmppff… Zzzhhh…”

Luar biasa jepitan akhwat cantik ini. Kantung spermaku sudah tak sabar untuk meledakkan isinya.

“Abang mau keluar nih,” kataku sembari ngos-ngosan juga. Kumiringkan badan Izzah, lalu kumasukkan penisku lagi. Posisi seperti ini menambah kenikmatan bercinta kami.

ZZZROOOT ZRRUUUT PLAAK PLOOK.

“Keluarin di perut, Bang! Ak-akkuu… Belum mau… Ham-hamil… Aahhh…”

Goyangan kupercepat, seperti orang kesetanan. Tangan Izzah mencengkeram pinggiran tempat tidur lebih kuat.

“Keluarin sama-sama ya…”

“Aaahhhhhhhh…”

Berbarengan dengan badan Izzah yang kejang-kejang, kucabut penisku dan kuarahkan ke pahanya. Sambil kukocok kuat-kuat, pejuh menyembur dan mendarat hingga ke kacamatanya.

CCRROOOOT. XXXRROOOT. CRUUUT. CREEDD.

Mataku terpejam, merintih sambil terus mengocok penisku ini.

CREET. CROOOT.

“Iiihhh… Aahhh… Geliii… Jauh banget ngecrotnyaaa… Hihihi…”

CRET. CREET.

Pejuhku masih menyembur dengan tekanan yang lebih lemah.

“Udah doong, jangan dikocok-kocok terus, hihihi… Entar kopong loh…” tawa Izzah meledak melihat tingkahku.

Setelah puas “menodai”, kupeluk dia dan kubisikkan terima kasih. Kami beristirahat dalam balutan peluh. Aku hendak beranjak menuju meja makan untuk mengambil tissue, tapi tangan Izzah menahanku.

“Bang?” matanya seperti memelas. “Malem ini bobo di sini aja, ya?”

Kutatap matanya lebih dalam. Mata yang mengharap cinta, belaian, kasih sayang, perlindungan. Apapun itu namanya. Sungguh disayangkan, mata itu hanya sekadar berharap, tanpa dapat kukabulkan.

Izzah, polos sekali dirimu. Harusnya kau pun tahu, yang kuinginkan hanyalah kepuasan bersenggama. Tak lebih jauh dari itu.

“Oke, sayang,” jawabku berbohong. Tentu esok adalah hari yang baru bagiku. Hari yang berbeda, dengan wanita target yang berbeda. Aku akan tidur menemanimu, tapi besok sebelum kau membuka mata, aku akan pergi seperti angin. Tanpa jawaban.

Kubersihkan sisa-sisa cairan kental yang berceceran. Di luar dingin sekali, tapi badan kami basah karena mandi keringat.

Kudekap tubuh Izzah yg masih tanpa busana. Kuelus lemah kepalanya.

“Zzzzzz… Zzzz…”

Dengkuran halus Izzah terdengar merdu. Dengkuran sehabis beradu kelamin. Kutarik selimut untuk kami berdua. Lalu kucoba untuk menutup mata juga.

————————————

Kulihat jam. Pukul 3 pagi. Aku terbangun dengan tenggorokan yang kering. Kupakai boxerku dan mulai berkemas. Tanpa suara, aku berdiri menuju pintu keluar. Kupandang wajah Izzah untuk terakhir kali. Selamat tinggal, bunga di tepi jurang. Maafkan jika permainan cinta kita hanya semalam.

CEKLEK.

Baru beberapa langkah hendak ke luar pagar, aku kaget saat sebuah suara dari belakang membuat jantungku berhenti.

“Hlo, kamu siapa??”

Mati aku! Apa itu suara ibu kos Izzah?

Badanku berbalik, agak pasrah. Sambil otakku berputar merancang jawaban yg harusnya masuk akal. Ini jam 3 pagi, apa kemungkinannya? Mengerjakan tugas kuliah? Terlalu klise.

“Sa-saya… “ belum selesai aku menjawab, si Ibu kos yang berjilbab lebar itu sudah memotong duluan.

“Ka-kamu? Kamu, kan?”

Pandangan kami saling bertaut. Astaga! Tak kusangka keberuntunganku ternyata belum habis-habis juga.

“Joe?!” sepasang matanya yg indah terbelalak. Mata yang pada akhirnya aku ingat.

——————————

Aku bangun dengan rasa kantuk dan lelah yang tak mampu kutahan. Kulihat jam di dinding kamar ini. Gawat, sudah jam 8 pagi.

Kucari handphone-ku. Kulihat layarnya. Tiga belas kali panggilan tak terjawab. Ada 22 chat tak terbaca. Semua dari Izzah. Aku lupa memblokir nomornya semalam.

“Sudah bangun?” sebuah suara mesra dari wanita yang horny jam 3 pagi dan mengajakku bercinta di kamar mewah ini. Ia tampak anggun. Sudah mandi dan bersiap berdandan di depan cermin riasnya yang mahal.

“Mau ke mana?” tanyaku penasaran.

“Pengajian. Biasalah ibu-ibu…” ia menjawab sambil mematut diri di depan kaca.

Melihat bodinya, dengan kondisi morning wood yang tak dapat kukontrol, kuserang dia dengan memeluknya dari belakang. Tanpa permisi, tanganku menyelinap di antara breast holder-nya yang hitam.

“Aduuhhh… Gamis aku entar kusut ihh… Udah dong…” ia mulai berontak saat kuremas buah dadanya yg besar dan menggoda.

Segera kusingkap gamis lebarnya dan kulebarkan kedua kakinya. Dari belakang, aku ingin mengajaknya bercocok tanam sekali lagi. Tak kubuka celana dalamnya yg tipis, hanya sekadar kugeser agar penisku bisa menyusup ke dalam.

“Eehhh, semalam kan udah, Joe?! Duuuhh… Edaann… Pemanasan dulu kek… Oohhh…”

“Enak saja, aku gak bakal bikin memek-mu istirahat!” kataku sambil sedikit mendorong tubuhnya.

Tanpa sabar, kumasukkan batangku yang besar ke dalam lubang memeknya yg belum panas. Berbekal air liurku sebagai pelumas, kuharap vaginanya makin mudah dipenetrasi.

“Owhhh… Shhhhhsss…”

“Kamu nggak ketagihan sama kontolku? Heh? Ayo sayang, ngangkang yg lebar,” kataku kasar.

“Nnggghh… Duhhh… Iiihh… Besarnyaa… Ngghhhh… “

Tak kuduga, pertemuan ini menambah panjang daftar wanita yang pernah kutiduri. Walau pertemuan pertama kami begitu singkat, itu cukup agar ia terangsang dan mengajakku bergumul di ranjang besarnya.

"Kasarin aku, Joe…" akhirnya ia memelas.

PLOK PLOK ZROOT CLOP. Sepasang bijiku beradu dengan pantatnya dengan keras.

“Nanti sedot ya pejuhku, seperti dulu di pesawat,” kataku mengingatkannya pada momen pertama kuuji keampuhan ajian Mbah Wiryo.

Kugoyang bokongku maju mundur dengan hentakan yang kuat dan dalam. Kutarik ke belakang kedua tangannya, sambil memperhatikan wajahnya yang mengiba dari cermin besar di depan kami.

“Oohh… Tasyaa… Memekmu sungguh hebaat… Oohhh… Kamu mau klimaks? Ngghhh…”

“Iya sayang… Sodok aku, Joe… Terusss… Ennaagh… Daleemm… Ugghh…”

Kuangkat kaki kanannya ke atas meja rias. Beberapa perlengkapan make-up berjatuhan ke lantai. Masih dengan posisi jilbabnya terpasang, aku kembali mengaduk-aduk lubang kewanitaannya.

Aku menambah kecepatan sodokan. Gerakanku semakin buas. Payudaranya bergoyang seperti balon. Dan, tak seberapa lama…

“Aaaahhhhhh… Nggkhh”

CESSSS.

Ia mengejang merasakan orgasme pagi pertamanya. Kuberi ia waktu untuk mengatur nafas. Kulihat wajahnya yang kelelahan dari cermin meja rias. Sebenarnya penisku pun ingin sekali memuntahkan kepuasan, tapi ternyata ia dulu yang sampai.

Ia mulai menanggalkan pakaiannya, selembar demi selembar. Tak tersisa apapun kecuali jilbab lebarnya yang kemudian ujungnya diikat di leher.

Sungguh menambah rasa nafsuku yang sudah besar.

Peristiwa di ranjang semalam dengannya sudah menguras banyak tenagaku. Kini ia mendorongku kembali ke ranjang, menghendaki posisi WoT yang membuatku pasif saja berbaring.

"Kamu pasrah aja, biar aku yang kerja…" katanya.

PLOKK. ZRUUT. BLESH.

Ia menunggangiku layaknya kuda, sambil meremas-remas buah dadanya sendiri.

Aku terpekik lemas. Menahan agar jepitan otot vaginanya tak membuat batangku terkilir. Ia mendesah, berusaha mencari nafas segar, lalu merebahkan diri di pelukanku.

Setelah beberapa saat, ia berbalik dan kini aku bisa memandangi tulang punggungnya yang seksi.

Sesekali, kutampar pantatnya dengan geram, membuat bekas pudar telapak tangan yang merona.

Tak butuh waktu lama untuk kami berdua mencapai puncak kenikmatan kembali.

“Joooee…”

“Aaaahhh…”

ZROOOOTTT. ZROOT. CRUUT. CRESS.

Spermaku tertumpah di dalam liang vagina Tasya, sampai meleleh mengotori seprai tempat tidur yg berwarna maroon. Tak sebanyak semalam. Rentang 4 jam tak cukup agar kantung spermaku penuh kembali.

Kubiarkan sesaat tubuh kami bersatu. Melepas ketegangan dan mengatur nafas.

“Enak… Oohh… Pengen tiap hari… Uuggh…“ Tasya pun mencapai puncak birahinya. Ia berbalik lagi dan mengulum penisku.

SLUURRP. Ia menjilati sisa-sisa sperma tanpa merasa jijik. Urat kontolku yang timbul dan terlihat kebiruan sepertinya membuat ia tetap bersemangat.

“Udah doong, udah lemes dengkulku,” kataku memohon.

Ujung penisku dikulum, ditelan hingga menyentuh dasar tenggorokannya. Sesekali tangannnya yang putih dan kurus mengocok-ngocok batangku yang sudah terlalu lemas.

"Udah-udah, please…" aku memelas dan berusaha menghindar. Selangkanganku ngilu. Kepala jamurku memerah kepedasan. Ia pun paham dan menyudahi permainan gila ini dengan senyum manisnya.

“Aku juga jadi telat nih. Kamu sih, ngaceng mulu, hihi… Aku kudu ganti baju lagi deh,” katanya bersungut.

Petualanganku sungguh menakjubkan. Selesai dari menggarap kebun bunga Izzah, aku lalu jatuh ke sumur Tasya yg dalam.

“Semalem ngapain, sih?” tanyanya menginterogasi, sambil mulai membersihkan semua lendir yang tersisa.

“Dari kamar Izzah. Belajar kelompok,” kataku enteng sambil tersenyum, sembari memperhatikan pangkal penisku yg sepertinya sedikit lecet.

“Huuu… Belajar kelompok kok berdua aja?”

Aku hanya cengengesan. Tanpa jawaban, kami juga sudah sama-sama tahu.

“Ya iyalah dia kan cantik, muda, pinter, bodinya bagus lagi,” ada aura cemburu dari komentarnya.

“Tapi, aku lebih suka gaya kamu, lebih pengalaman,” jawabku santai sambil mengelus dagunya yang runcing.

“Ish, gombal!” Ia memalingkan wajah.

“Suer…” kutarik dan kukecup bibirnya yang hangat. Hidung kami saling bertabrakan.

“Eh, jangan bilang-bilang ya kalau aku masih di sini,” pintaku, masih was-was kalau hubungan kami ketahuan.

Aku bersiap-siap pulang. Pakaianku berserakan entah di mana. Aku harap Tasya bisa menjaga rahasia ini, hanya untuk kami.

Kupegang selangkanganku, terasa sedikit perih dan pegal. Cerita ini tak akan kulupakan seumur hidupku. Aroma air hujan yg segar membasahi tanah meringankan langkahku kembali ke rumah.

Kusedot dalam-dalam nikmat Tuhan ini. Bersiap menuju liang kenikmatan berikutnya yang menanti. Tak tahu dalam bentuk cerita yang seperti apa.
Izzah oh Izzah, kasihan sekali kau terlalu polos nak, hahaha
 
Marathon......
Ceritanya apik rapi hu.
Keliatan kalo suhu sudah melalang buana dalam hal penulisan.

Mantap mantap & mantap.
Lanjutkan berkarya hu.
Semoga lancar di RL lancar update tentunya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd