Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT AMNESIA

Bagian Dua
ABAH DADENG

Berita mengenai ditemukannya seorang pemuda linglung oleh Abah Dadeng, langsung viral di desa itu. Beberapa gadis dan janda muda berbondong-bondong bertamu ke rumah Bah Dadeng ingin melihat pemuda yang diberi nama Lamsijan itu. Mereka datang sambil berpura-pura membawa hasil kebun mereka sendiri dan minta ditukar dengan ikan hasil tangkapan si Abah. Tapi sayangnya, keinginan mereka untuk bertemu langsung dengan Lamsijan harus menunggu kesempatan yang tepat. Soalnya, setiap kali mereka mendatangi rumah Bah Dadeng, Lamsijan selalu tidak ada di rumah. Kata Bah Dadeng, Lamsijan setiap hari pergi menyusuri sungai untuk mencari barangnya yang hilang.
"Barang apa sih, Bah?" Tanya Nyi Aan yang baru 3 bulan menjanda.
"Katanya sih henpon (handphone)." Jawab Abah sambil menatap sepasang payudara yang menggembung tersembunyi di balik kaos tipis Nyi Aan.
"Wah, henpon ya bah? Pasti dia orang kota." Kata Neng Uut dengan mata berbinar-binar. Gadis manis berkulit sawo matang ini baru saja berulang tahun yang ke-17 seminggu lalu; bersamaan dengan ulangtahunnya dia juga putus dengan Soma, pacarnya. Soalnya Neng Uut ketahuan sedang bercengkrama dengan Pak Otang, guru SD yang konon mata keranjang. Soma merasa cemburu dan dia menuduh Neng Uut berselingkuh. Mereka bertengkar dan akhirnya, putus.

Sedangkan Teh Lilis pura-pura memilih-milih ikan hasil tangkapan Bah Dadeng yang disimpan dalam sebuah ember butut yang sangat besar. Tetapi dia menyimak dengan baik pembicaraan tetangga-tetangganya itu.
"Bah, mana ikan sepatnya?" Tanya Teh Lilis.
"Ikan sepat mah sudah diambil sama ceu Popon, tinggal Ikan Gurame, Lele dan Ikan Betok."
"Ya udah, ini gurame sama lele saya ambil ya Bah, nih dituker sama beras sekilo." Kata Teh Lilis.
"I ya, Lis."
"Bah, kalau Lamsijan datang, bilang ada salam dari Lilis gitu ya." Kata Teh Lilis.
"Dari Uut juga ya Bah."
"Kalian ini apaan sih." Kata Nyi Aan dengan cemberut, "salam-salaman segala kayak anak kecil aja. Bah, kalau Lamsijan pulang, bilangin ya kalau pengen dibikinin sambel yang enak tinggal bilang sama Aan, nanti diulekin."
"Kalau abah yang pengen gimana Nyi Aan? Mau diulekin enggak?"
"Kalau abah pengen, Ceu Popon aja yang ngulekinnya." Katanya dengan tawa kecil menggoda.
"I ya, Bah, diulekin Ceu Popon aja." Kata Neng Uut mendukung Nyi Aan, "soalnya ya Bah, ceu Popon itu sudah terkenal jago mengulek, abah pasti puas."

Mendengar itu Bah Dadeng tertawa. Gadis-gadis itu juga ikut tertawa. Mereka terus berbincang-bincang dengan gembira dan tanpa pretensi saling menyakiti atau saling iri. Beberapa gadis dan janda lainnya juga berdatangan dan ikut nimbrung. Rumah kecil berbentuk panggung itu pun pikuk oleh tawa dan canda. Mereka tidak mendengar ada suara sebuah motor matic yang datang kemudian parkir tidak jauh dari rumah Bah Dadeng yang halamannya luas dan tak memiliki pagar.

Dalam suasana yang gembira tersebut, tiba-tiba ada sebuah dehem yang cukup keras.
"Ehem! Ehem! Sampurasun!" Suara perempuan itu terdengar berwibawa.
"Rampes!" Mereka menjawab serempak.
"Eh, Ceu Kades Uti, wilujeng sumping di rorompok sim kuring anu sakieu awonna. (Eh, Ceu Kades Uti, selamat datang di gubuk kami yang jelek)." Kata Bah Dadeng dengan sangat hormat.
"Bah Dadeng, apa kabar?" Tanya Ceu Kades dalam Bahasa Sunda yang halus.
"Baik, Ceu Kades. Kalau boleh tanya, ada maksud apa ya kedatangan Ceu Kades ke gubuk kami yang reyot ini?" Tanya Bah Dadeng.

Ceu Kades tersenyum manis, memperlihatkan lesung pipitnya. Bibirnya yang merah merekah membuat gadis-gadis dan para janda yang ada di situ terpesona dan ingin tahu bagaimanakah caranya bisa memiliki bibir yang begitu seksi. Memakai lipstik apa ya Ceu Kades? Begitulah kira-kira pertanyaan yang timbul di hati para gadis itu.
"Ah, tidak ada apa-apa Bah Dadeng." Katanya dengan penuh wibawa, apalagi pada saat itu dia mengenakan seragam coklat khaki serta bandul tanda jabatan kepala desa menggantung di dada kirinya yang mancung; membuat kalimat yang diucapkannya seperti memiliki tenaga yang sangat kuat. "Saya ke sini sengaja datang terkait laporan dari Pak RT Aep dan Pak RW Odang, bahwa katanya Abah kedatangan tamu dari kota yang bernama Lamsijan, benarkah itu?"
"Ah, eh, sebenarnya dia bukan tamu, Ceu Kades, tapi..."
"Oh, dia masih berkaitan saudara juga dengan Bah Dadeng?" Potong Ceu Kades dengan wajah seperti kaget.
"Bukan itu maksudnya Ceu Kades tapi..."
"Bah Dadeng... sebenarnya begini." Ceu Kades Uti memotong lagi kalimat Bah Dadeng, "baik itu saudara dekat Abah mau pun saudara jauh, bagi saya sebagai Kades, tidak akan mempermasalahkan. Tapi Abah juga harus maklum kalau desa kita ini memiliki aturan sendiri. Saya menghimbau kepada Abah dan seluruh warga untuk mentaati peraturan agar situasi kondusif yang selama ini terjaga, dapat dipertahankan. Bahkan kalau mungkin harus kita tingkatkan agar keamanan dan ketertiban warga desa semakin baik. Untuk itu terkait keluhan Pak RT dan Pak RW yang menjelaskan kepada saya kemarin, alangkah baiknya kalau abah mengikuti prosedur administrasi desa kita ini... yakni, pertama-tama abah menghadap kepada Pak RT untuk melaporkan kedatangan Lamsijan, lalu kepada Pak RW; mereka nanti akan melaporkan kepada Sekdes (Sekretaris Desa) Neng Romlah dan oleh Sekdes nanti dimasukkan ke dalam database desa. Begitu, Bah." Kata Ceu Kades Uti dengan penuh wibawa, "nah, sekarang mana orangnya?"

Abah Dadeng sebetulnya bengong mendengar kalimat yang diucapkan oleh Ceu Kades Uti yang menurut abah membingungkan.
"Ma... maksudnya, Ceu?"
"Orangnya, di mana dia sekarang?"
"Maksud Ceu Kades Lamsijan?"
"I ya, siapa lagi?"
"Oh, dia lagi nyari henpon."
"Kapan pulangnya?"
"Kurang tahu Ceu Kades, dia tidak bilang mau pulang jam berapa."

Ceu Kades Uti menggut-manggut.
"Baik, begini saja bah Dadeng... Jika dia sudah pulang dan membawa handphone... tunggu sebentar..." Kata Ceu Kades Uti sambil merogoh saku baju seragamnya dan mengeluarkan hanphone-nya yang bercasing warna ungu centil, lalu memijit-mijit HP tersebut. Ceu Kades kemudian menarik ballpoint dari saku baju dadanya, dan merobek selembar kertas dari buku memo kecil yang dia tarik dari saku baju yang lain, dia kemudian menuliskan nomor HPnya pada secarik kertas memo tersebut.
"Ini nomor HP saya, juga sebagai nomor watsap." Kata Ceu Kades Uti sambil menyodorkan kertas memo itu kepada Bah Dadeng, "biar dia nanti nge-chat saya."

Bah Dadeng yang lulusan SD itu terpesona melihat tulisan tangan Ceu Kades Uti, yang rapi, bagus dan indah.

Putri Diah Pitaloka, Kepala Desa Sirnalaya.
HP 081221324567890.


"Baik Ceu Kades, nanti akan saya sampaikan."
"Nah, sekarang saya mohon pamit. Sampurasun ka sadayana." Kata Ceu Kades Uti.
"Rampes." Jawab mereka serempak.

Ceu Kades Uti kemudian menaiki motor maticnya. Dia melaju pelahan meninggalkan rumah Bah Dadeng, menyusuri gang yang mulai rusak peluran permukaannya. Sementara para gadis dan janda membahas merk Handphone Kades mereka.

***​

Ceu Popon merasa sebal kepada gadis-gadis dan janda-janda muda yang berkerumun di rumah Bah Dadeng. Sesiang itu pekerjaan dia hanya uring-uringan saja. Saat Si Koman, anaknya datang dari pasar dan hanya memberinya uang Rp.50.000,- kekesalannya bertambah.
"Tadi kan kamu bawa ubinya 20 kilo, kenapa setornya 50 ribu? Mana yang 70 ribu lagi?"
"Jangan marah-marah, Mak. Koman cape nih baru pulang." Kata Koman sambil meletakan rancatan (alat pikulan yang terbuat dari bambu) dan karung plastik bekas kemasan beras 100 Kg ke sudut rumah. Remaja lulusan SMP 3 tahun yang lalu itu, memiliki kulit coklat gelap karena terlalu sering terpapar cahaya matahari. Dia berkata kepada Ibunya degan nada seperti tidak bersalah."Uangnya sama Koman kepake, Mak. 20 ribu buat ojeg, 10 ribu buat makan dan 15 ribu buat beli rokok."
"Dasar boros! Sekarang mana yang 25 ribunya?"
"Ini mak." Kata Koman sambil memberikan 5 lembar uang lima ribuan yang sudah kucel. Ceu Popon mengambilnya dengan cepat, lalu pergi ke kamarnya dan menyimpannya di bawah kasur. Ceu Popon mengeluh ketika menghitung uang tabungannya di bawah kasur itu, jumlahnya ternyata hanya 150 ribu. Dia perlu tambahan 50 ribu lagi untuk membeli bibit cengek (cabe rawit) di kantor desa.

Ke luar dari kamarnya, Ceu Popon merasa kepalanya berdenyut-denyut, dia melihat Koman pergi ke luar rumah dalam keadaan sudah berganti pakain dan rambut disisir rapi.
"Mau ke mana lagi tuh anak." Keluh Ceu Popon. Tapi dia tidak begitu peduli dan melongok ke jendela. Kerumunan itu sudah hilang. Dia merasa senang tapi kepalanya masih berdenyut-denyut.
"Si Lamsijan sudah tiga hari berturut-turut selalu pulang sore... hm, mungpung sepi, aku anterin pais Lele sekarang." Bisik Ceu Popon dalam hatinya. Sudah 3 tahun suaminya pergi dan tidak pernah pulang. Tidak ada kabar, tidak ada berita. Rasa sakit hatinya sudah mulai hilang dan kini Ceu Popon ingin memulai hidup baru. Salah satu kesempatannya adalah Kang Dadeng yang sudah menjadi duda sejak Maimunah, istrinya, meninggal setahun yang lalu.

Dia pergi ke dapur dan mengambil Pais Lele yang masih hangat itu. Berdandan sedikit dan mengganti baju dengan daster terusan. Walau daster itu sudah pudar warnanya, tapi menurut Ceu Popon masih pantas dipakai. Ceu Popon sadar, dia memang sudah 45 tahun. "Tapi aku masih lumayan." Katanya dalam hati.

Sebelum melangkahkan kaki ke luar, Ceu Popon menongolkan kepalanya di ambang pintu. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, tampak olehnya Bi Omah sedang menyiangi biji kopi yang dijemur. Ceu Popon diam sebentar sampai Bi Omah masuk ke dalam rumahnya, lalu dengan gesit dia setengah berlari melintasi rumah Bi Omah. Dia kemudian berbelok ke arah gang di mana rumah Bah Dadeng berada. Melangkah tenang di gang yang kiri kanannya ditumbuhi tanaman terong milik Mang Obi hingga di ujung dia tiba di halaman rumah Bah Dadeng yang tak diberi pagar.

Ceu Popon mendengar suara Bah Dadeng sedang membelah kayu di belakang rumahnya, dia masuk lewat halaman samping dan menemukan si abah sedang berjongkok memotong-motong dahan kayu tua dan ranting-ranting kering. Bah Dadeng hanya mengenakan celana pendek yang terbuat dari kain parasut. Ceu Popon datang dari arah belakang Bah Dadeng.
"Kang..." Kata Ceu Popon dengan lembut, "ini pais lelenya."
"Eh, Ceuceu. I ya, ah, koq malah jadi repot. Padahal enggak apa-apa enggak dibikinin juga." Kata Bah Dadeng dalam bahasa Sunda yang halus sambil menoleh. Dia melihat Ceu Popon mengenakan daster terusan yang longgar; meletakan goloknya, berdiri dan menerima pais Lele yang dibungkus dengan daun pisang tersebut.
"Ih, Kang Dadeng ini gimana... masa saya sudah dapat ikan sepat enggak ngebikinin pais buat akang."
"Kan waktu sebelum mancing Ceuceu bilang kalau dapat ikan jangan lupa sama ceuceu."

Ceu Popon tersenyum senang.
"Lamsijan kemana, Kang?"
"Entahlah. Kasihan sekali anak itu, dia mungkin pergi ke sungai untuk mencari barang-barangnya yang terjatuh." Kata Bah Dadeng.
"Owh... emmm, kang masih punya garam? Di rumah saya sudah habis."
"Oh, ada-ada." Berkata demikian Bah Dadeng masuk ke dalam rumahnya melalui pintu belakang, Ceu Popon mengikutinya dengan langkah yang cepat agar bisa mendekati Bah Dadeng dalam jarak yang sangat dekat, dengan begitu, tangan Bah Dadeng tak sengaja menyentuh bagian depan selangkangannya.
"Ih, si akang." Kata Ceu Popon dengan nada pura-pura marah.
"Maaf, Ceu, enggak sengaja." Kata Bah Dadeng dengan mimik wajah setengah nakal. "Kena ya?"
"Ih si akang mah." Kata Ceu Popon sambil tersenyum, "Jadi aja..."
"Jadi aja apa, ceu?"
"Tau ah gelap." Kata Ceu Popon, "mana garamnya?"
"Itu tuh di atas meja." Kata Bah Dadeng sambil menyimpan pais Lele itu di dalam lemari dapur yang sangat sederhana.

Ceu Popon melangkah pelahan melewati Bah Dadeng menuju meja serba guna, punggung tangannya sengaja melenggang dan menyerempet bagian depan selangkangan Bah Dadeng.
"Aeh, si Ceuceu..."
"Apa sih, Kang?"
"Tadi nyerempet..."
"Maaf enggak sengaja. Kena ya?" Tanya Ceu Popon dengan senyum nakal.
"I ya, kena kepalanya."
"Kasihan."
"Ceu..."
"Apa kang?"
"Ehm."
"Apaan sih?"

Bah Dadeng tiba-tiba mendekati Ceu Popon dari belakang dan memeluk janda itu. Tangan kanannya meraup payudara Ceu Popon dari luar daster dan tangan kirinya hinggap di tengah-tengah selangkangan Ceu Popon. Mengoles-olesnya.
"Aduh kang..."
"Memek ceuceu sudah basah." Bisik Bah Dadeng.
"Mmmhh..."
"Ceuceu pengen ewean ya?"
"Mmmmhhh..." Ceu Popon bergumam. Dia kemudian mencekal tangan Bah Dadeng yang sedang mengelus-elus vaginanya dan membawanya masuk ke dalam dasternya.

Bah Dadeng tersenyum. Tanpa diperintah lagi jari jemarinya langsung menerobos pinggiran celana dalam Ceu Popon dan menemukan belahan daging yang basah itu. Mempermainkannya dengan jarinya sehingga Ceu Popon mendesis.
"Kang... lepasin celana dalamnya." Bisik Ceu Popon, dia sudah tidak kuat menahan birahinya.

Bah Dadeng berjongkok, kedua tangannya masuk ke dalam daster dan menarik celana dalam ceu Popon dengan hati-hati dan memberikannya kepada Ceu Popon.
"Kaaanng..."
"Apa?"
"Langsung masukin... ceuceu sudah enggak kuat."
"Dari belakang?"

Ceu Popon mengangguk. Dia lalu membungkuk dan meletakkan kedua lengannya di daun meja. Bah Dadeng segera menurunkan celana pendeknya sampai lutut, lalu menyingkapkan daster Ceu Popon hingga punggungnya. Batang kemaluan Bah Dadeng sudah menegang keras walau tidak mendapat perlakuan rangsangan apa pun dari Ceu Popon. Menusukkannya ke dalam liang yang hangat itu dan menggenjotnya maju mundur selama beberapa menit.

Ceu Popon mendesah menikmati genjotan itu.

Ketika mereka sedang asyik, tiba-tiba terdengar suara orang di luar memanggil-manggil Bah Dadeng. Mereka terkejut.
"Ceu akang keluarin ya sekarang?"
"I ya Kang, cepat."

Bah Dadeng cepat menggenjot beberapa kali dengan cepat dan memaksa untuk menyemprotkan pejuhnya secara dini.
"Eukhkh..." Keluh Bah Dadeng. Dia gemetar sejenak kemudian menarik selangkangannya menjauh dari pantat semok Ceu Popon, sehingga batang kemaluannya terlepas dari himpitan lubang nikmat itu.

Ceu Popon dengan wajah penuh kekhawatiran mengenakan celan dalamnya, "nanti dilanjut lagi, kang." Bisik Ceu Popon sambil melangkah ke luar melalui pintu belakang dan sekilas melihat Ceu Nuning sedang berdiri di depan pintu depan rumah.
"Eeehh... Ceu Nuning... ada apa ya? koq tumben?"
"Ini bah, apa ikannya masih ada?"
"Ada Ceu. Tapi tinggal Ikan Lele dan Mujaer."
"Ada berapa ekor semuanya, Bah?"
"Mmm... ada empat. Eh, masuk dulu." Kata Bah Dadeng sambil melihat Ceu Popon dengan gesit melangkah meninggalkan halaman rumahnya.
"Berapa Bah semuanya?"
"Ah, terserah saja."
"Sepuluh ribu boleh, bah?"
"Limabelas ribu aja, ngabisin."
"Ya udah, nih uangnya."

Bah Dadeng menerima uang itu lalu memasukkan semua ikan ke dalam kantong kresek dan menyerahkannya kepada Ceu Nuning.

Abah Dadeng tercenung sambil menatap kepergian Ceu Nuning.
"Ahh... enggak sangka ternyata memek ceu Popon masih legit." Bisik Bah Dadeng dalam hatinya dengan perasaan ringan.

***​
(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd