-= Chapter 1: A Man Called Rafa =-
[11 Maret 2011, 10.30, bis ungu]
“
...
I push my fingers into my eyes
It's the only thing that slowly stops the ache
But it's made of all the things I have to take
Jesus, it never ends, it works it's way inside
If the pain goes on,
I'm not gonna make it!
...”
*WhatsApp – 2 new message*
Hmm? Siapa yang ngeWA gue?
*Bang Iril*
*0857xxxxxxxx*
“Le, kita ke wisma jam berapa? Gue abis jumatan masih ada jadwal ngajar.”
“Nanti gue jemput aja, gue bawa mobil.”
Oooh, bener juga. Mau ketemu anak-anak komunitas ya..
“
Nng, sore aja ya, Bang. Gue juga masih mau konsul dulu ama dosen gue.”
“
Abis itu paling garap-garap dikit.”
“
Nanti jemput di perpusat aja ya.”
“Oke lah, Le. Nanti gue kabarin kalo gue udah jalan kesana.”
“Sanah lo konsul yang bener, biar keburu cum laude.”
“
Hahaha siap, Bang. Arigatou!”
“Arisihasale!”
Aku menutup layar Galaxy W bututku, kembali memasukkannya ke kantong celanaku. Duality dari Slipknot masih menggebu-gebu di telingaku.
“
...
All I've got...all I've got is insane...
All I've got...all I've got is insane...
All I've got...all I've got is insane!
All I've got...all I've got is insane!
...”
Kepalaku berayun mengikuti hentakan drum Joey Jordison. Suara serak Corey Taylor terdengar begitu indah. Mataku menatap mural karakter berwarna putih bermata beler yang adminnya terkenal suka bikin kalender libur ngaco, saat bis yang kutumpangi melewati sebuah flyover.
Udah deket kampus.
Jariku memainkan untaian kabel earphone sambil memikirkan, apa saja yang perlu aku bicarakan dengan Bu Lidya, dosen pembimbing skripsiku. Penelitian sudah jalan 3 bulan, kalau semua sesuai jadwal, mestinya aku bisa mengajukan sidang bulan Juni.
Finger crossed, bless me, My Lord. Jangan bantai gue ya, Bu.
“
Bang, kober kiri ya bang!”
==================================================
[11 Maret 2011, 11.30, ruangan Bu Lidya]
“...”
“Tapi sampel-sampelnya analisanya lancar semua kan?”
“
Lancar kok, Bu. Saya sudah menganalisa 80 dari 106 target sampel saya. Nanti saya ke Dharmais lagi untuk ngecek permintaan sampel saya.”
“Lho? Belum genap 106 toh?”
“
Harusnya bisa dapet 106 sampel minggu lalu sih, Bu. Cuma emang approval dari dr. Hary-nya belum keluar, jadi saya ga bisa bawa sampelnya ke lab.”
“Hmm, kamu yakin 26 sampel bisa diburu analisanya dalam sebulan ini?”
Waduh, ini beneran Bu Lidya ngedesak gue ngeberesin analisa akhir Maret ini? Mbak Diana kan belum ngabarin kalo dr. Hary udah approve. Gimana ini..
“
Saya coba dulu ya, Bu. Saya sih optimis masih bisa kekejar akhir bulan ini kok,” ujarku dengan senyum sedikit dipaksakan.
“Harus optimis, lah. Nilai kamu bagus-bagus kok, La. Masa 3 bulan kemarin ngurus 80 sampel bisa tapi 3 minggu ngurus 26 sampel aja kamu bimbang? Akhir Maret ya, saya tunggu hasil analisanya.”
Yaelah, Bu. Sampel-sampel yang kemaren kan juga bekas analisanya Ibu, tinggal gue tambah analisa gue sendiri juga beres.
“
Baiklah kalo begitu, Bu.”
“Kamu masih ada lagi yang perlu ditanyakan ngga?”
“
Untuk kali ini kayaknya itu saja dulu, Bu.”
“Gitu dong, waktu istirahat saya sudah kamu renggut 50 menit nih. Saya harus pergi makan siang dulu. Yang semangat ya. Ingat, akhir Maret saya tunggu!”
“
Siap, Bu Lid. Saya permisi dulu ya, Bu.”
“Iya, silakan.”
Dengan langkah sedikit gontai, aku keluar dari ruangan Bu Lidya. Di depan ruangan aku masih sempat melap bulir-bulir keringat di bawah ciputku. Ruangan Bu Lidya sebenarnya cukup dingin, tapi siapa juga yang tidak gerah diomongin seperti itu sama dosen pembimbingnya sendiri.
Baru mau jam 12. Kantin FISIP dulu lah, gue butuh es teh manis sama fuyunghai!
==================================================
[11 Maret 2011, 16.30, Perpusat kampus]
“
Ting ting ting”
*WhatsApp – 1 new message*
Bang Iril nih, pasti.
Aku membuka aplikasi WA di Hpku.
“Gue udah di deket BNI. Buruan sini.”
“
Yaelah, Bang. Kabarin dulu lebih awal ngapah biar lo ga nunggu lama. Gue beres-beres dulu bentar.”
Aku buru-buru membereskan catatan dan Acer 5745G ke dalam ransel Jansport hitam kebanggaanku. Sembari melangkah menuju ke luar perpustakaan, aku bisa melihat jelas Avanza Silver terparkir tepat di depan pintu perpustakaan. Samar-samar terlihat sesosok lelaki bertubuh besar di belakang kemudi mobil.
“
Bang, lo mah suka gitu. Kalo mau jemput itu kabarin dulu kek kalo udah deket. Pas masuk gerbang kan bisa dulu tuh lo WA gue,” cercaku sembari menghempaskan badanku ke kursi sebelah Bang Iril. Kututup pintu di kiri kursi yang kududuki.
“Yaelah, Achilles.. Achilles. Lo dateng-dateng bukannya ngomong ‘
Makasih Nietzsche panutanku, anda benar-benar penyelamat waktu. Anda bahkan merelakan waktu menunggu hamba di tengah kekacauan dunia ini’, malah ngomel-ngomel.” Badan Bang Iril yang bongsor bergoyang agak gemulai, tangan kirinya memegang setir, tangan kanannya melayang-layang mengiringi entah sajak apa lagi yang dia utarakan.
“
Iye, makasih! Noh udah. Jangan berfilsafat dulu, baaang. Gue abis kena sama Bu Lidya coba tadi. Jangan ama lo lagi laah. Cukup sudah, cukup..” Aku ketus membalas sajak Bang Iril.
“Yah, padahal gue baru mau ngenalin buku baru, Le. Nih, tentang simulakra.” Bang Iril menyodorkan buku karya Yasraf Amir Piliang.
“
AAARRGH BANG JANGAN DULU HUHUHUHU~~”
==================================================
[11 Maret 2011, 18.00, kawasan Pejaten]
Mataku membuka, berkedip beradaptasi dengan gemerlap lampu penerangan. Perlahan terdengar alunan bas Steve Harris dari intro salah satu lagu hit Iron Maiden dari audio mobil Bang Iril.
Hmm, The Trooper. Dibawain ga ya besok?
Lengkingan Bruce Dickinson saling sahut-menyahut dengan suara berat Bang Iril yang sepertinya.. 1 oktaf lebih rendah daripada suara Bruce.
“
You'll take my life but I'll take yours too
You'll fire your musket but I'll run you through
So when you're waiting for the next attack
You'd better stand there's no turning back.”
“
Mm, Bang, kita udah dimana?”
“Bangun juga lo, Le. Udah deket wisma. Tadi kata Sarah udah rame anak-anak disana.”
“
Mm, okelah. Hhooaaammmm..”
“Nguap itu tutup mulut lah. Jadi cewek anggun dikit, jangan perkasa-perkasa amat.”
“
Iya, Nietzsche panutankuuuu.”
Tak lama kemudian, Avanza Bang Iril sampai juga di suatu wisma di bilangan Pejaten. Wisma ini sengaja disewa oleh pengurus pusat komunitas musik tempat aku bernaung, yang secara kebetulan aku juga terlibat sebagai pengurus pusat di dalamnya, bersama Bang Iril juga. Teman-teman komunitas dari daerah lain cukup dipusingkan dengan urusan akomodasi selama di Jakarta sehingga kami pengurus pusat berinisiatif untuk membantu mencarikan penginapan murah dengan syarat teman-teman ini mau patungan.
“Sar, katanya anak-anak udah rame. Pada dimane?” tanya Bang Iril ke Mbak Sarah yang sedang duduk santai di lobby wisma bersama 2 orang yang tidak kukenali.
“Yah, baru pada keluar tadi ama Robi, mau nyari makan katanya, pada laper. Lo sih baru dateng,” ujar Mbak Sarah menjawab Bang Iril.
“Jangan-jangan yang rame-ramean papasan ama mobil gue tadi ya? Nng, Ini gue ngejemput cewek jadi-jadian satu ini dulu.” Bang Iril melirik sinis ke arahku. Aku balas melotot ke dia.
“Eh iya, La. Kaos sama stiker udah lo jemput kan di percetakan?”
“
Baru kaosnya sih, Mbak. Gue kasih lo sekarang aja ya. Takutnya besok gue agak telat kesini lagi. Desain si handcraftnya mau gue beresin malam ini dulu, besok baru gue print sekalian ngambil stiker.” Aku mengambil dua kaos komunitas berwarna hitam dari tasku. Kaos yang mau dipakai sama Mbak Sarah dan suaminya saat konser Iron Maiden besok.
“Santailah, La. Paling juga anak-anak baru bener-bener ramenya besok di venue. Udah ditagihin juga sih gue sama anak-anak. Eh iya, kenalin nih Dito sama Teddy. Baru nyampe dari Palu tadi.” Mbak Sarah mengenalkan aku dan Bang Iril ke 2 orang asing tadi.
“Hai, Dito. Ini Teddy.” Ujar Dito mengenalkan dirinya dan temannya. Aku menyambut sodoran tangannya, menyalami mereka satu persatu.
“
Hai. Kayaknya kita belum pernah ketemu di forum ya? Kenalin, saya A..”
“Achilles. Panggil aja Lele. Postur mini, casing cewek, aslinya perkasa. Macem-macem di forum ntar disambit bata ama dia lho.” Bang Iril langsung menyambar omonganku.
“
..Baru gue mau pencitraan udah lo ancurin, Bang.” Aku menonjok keras lengan kiri Bang Iril.
“SAKIT KAMPRET!”
*Dddrrrtt ddrrrrttt. Ddddrrrtt ddrrrrttt.*
Ada getaran di kantong celanaku. Sepertinya ada yang menelpon.
*Ayah calling*
“
*salam*, Yah. Kenapa?”
“
Aku lagi di wisma tempat anak-anak komunitas.”
“
Mmm, nggak sih, ntar lagi juga balik.”
“
Sama Bang Iril. Nanti juga diantar balik sama dia kok.”
“
Hmm, sekarang banget?”
“
Okelah, siap, Ayaaah.”
“
*jawab salam*”
*Call ends*
“
Bang, balik sekarang gapapa ya? Bokap gue nyuruh segera balik nih.” Aku memohon ke Bang Iril.
“Santai sih, gue juga sekalian ngejemput Dimas dulu. Baru landing di Soetta dia, nih baru ngabarin gue. Tapi katanya dia mau nungguin Jody dulu. Katanya jadwal landing mereka selisih satu setengah jam.”
“
Lho, Bang Dimas udah nyampe? Eh iya, ini gapapa kan, Mbak Sar nemenin anak-anak dulu?”
“Santai aja, La. Gue juga masih nungguin Aldi ngejemput gue. Kejebak macet di Menteng dianya.” Mbak Sarah sedikit mengernyit, mungkin memikirkan nasibnya telat dijemput suaminya.
“
Okelah. Cabut duluan ya guys, maaf ga bisa lama-lama hehe,” ujarku pada Mbak Sarah, Dito, dan Teddy, mencoba bersikap ramah pada teman-teman baru.
Sambil berjalan meninggalkan lobby, sayup-sayup terdengar percakapan di belakangku.
“Mbak, itu si Mbak Achilles beneran namanya Lele?”
“Hahaha, nggak lah. Dia ama Iril emang udah kayak kakak adek, makanya santai banget kata-kataan. Nama aslinya A..”
“Eh, Le, lo besok berangkat ama gue lagi ga kesini?” tanya Bang Iril kepadaku, suaranya mengalahkan suara percakapan tadi.
“
Nggak kayaknya, Bang. Kan gue mau ngejemput stiker dulu, sama beresin desain boneka kertasnya papi-papi Iron Maiden. Nanti gue kesininya ngeteng bis aja.”
“Hmm, yaudah kalo gitu.”
Kami berdua memasuki mobil Bang Iril, lantas beranjak pergi dari kawasan wisma penginapan teman-teman komunitas. Belum lama perjalanan kami..
“Le, itu kayaknya anak-anak yang pada makan deh. Lo samperin dulu gih.”
“
Eh iya, itu ada Robi juga tuh. Lo ga turun, Bang?”
“Ga usah, kalo ketemu Robi gue bawaannya pengen ngatain dia. Lo aja sanah.”
“
Hadeeh. Yaudah ntar yee..” sahutku menuruti saran Bang Iril sambil turun dari mobil.
“
ROB!!”
“Eh, La. Lah kok lo disini? Ama siapa?”
“
Noh ama Bang Iril. Males dia turun mobil, males ketemu lo katanya.”
“Hahaha sianying. Eh ini anak-anak yang baru pada nyampe tadi..”
Aku melihat orang-orang sekelilingku. Beberapa memang wajah familiar semua.
“
UDA!! Nyampe juga lo dimari haha. Apa kabar?”
“Hahaha capek, La. Padang-Jakarta kau pikir cuma macam nyebrang jalan. Eh, perasaan di FB lo badan lo ga sekecil ini sih. Kok mini ya?”
“
..Udah kenyang gue ama tanggapan macem gitu, Wil. Eh mau liat scratch desain handcraft gue ga? Besok pada bantuin gue ngerakit ya ya ya.”
Aku mengeluarkan sketch book dan memperlihatkan coretan desain boneka kertas yang sudah kukerjakan sejak minggu lalu. Sambil mengoceh mengenai boneka kertas ke anak-anak lainnya, sudut mataku menangkap satu sosok familiar yang berjalan menuju mobil Bang Iril.
Siapa sih? Bukannya ikut gabung ama gue, malah misah ke sana.
Tanpa aku sadari sudah 10 menit aku mengoceh antusias. Takut Ayah tiba-tiba nelpon lagi, aku pamitan sama Robi, Wily, dan anak-anak, juga menjanjikan besok akan ketemu lagi di wisma karena aku berencana berangkat bersama rombongan wisma ke venue konser.
Selagi melangkah, kusadari pintu kiri mobil terbuka. Ada dua sosok di kursi depan. Satunya jelas Bang Iril, tapi ada satu sosok yang badannya sedikit kecil dari Bang Iril, tapi jelas lebih besar dari badanku.
Dia.. yang tadi melipir dari rombongan dan ga ikut gabung kan?
Setibanya di sisi kiri mobil, ada sosok yang.. terlalu familiar. Dia kan..
“Eh Le, baru aja diomongin orangnya. Nih kenalin, ...” Bang Iril mencoba mengenalkan sosok kampret di sebelahnya.
Bener kan si Rafa. Yang kerjaannya di forum cuma ngegalauin mantannya mulu. Kursi gue didudukin pula, apa hak dia coba. Gue kan buru-buru mo balik. Bukannya turun, tau diri kek..
“
Aqila yaaaa!? Wah ketemu juga sama orang aslinya. Bener ya, kecil yang asli. Tapi ngga sekecil yang lo bilang juga lah, Bang. Eh, La, tebak gue sapa hayoo?”
Eh, eh.. kok.. kok dia.. sumringah ketemu gue?
Kok dia.. tersenyum lebar menyambut gue?
Kok.. gue.. ikut.. senyum sih?
“
Sapa yaaa? Kasih clue dulu dong, masa ga ada cluenya~”, jawabku antusias.
Hmm, antusias?
Kok..
“
Palu. Siapa coba anak forum yg dari Palu? Gue doang..”
“
Rafa!? Hahaha. Gue kirain foto lo di FB sok-sokan doang, beneran anak emo ternyata. Poni lempar gitu.”
“
Ya... gitulah. Tuntutan pekerjaan. Ngomong-ngomong sorry ya, gue tadinya mau ikut nimbrung sama kalian tapi kayaknya udah keramean, ntar gue malah dikacangin. Jadinya gue nyamperin Bang Iril aja, sekalian ngobrol asik,” ujar Rafa.
“Hahaha iya, Le. Kemarin dia ikut gue pas ngumpul sama Sarah, sama Robi, sama Aldi, sama anak-anak lain lah. Itu yang lo ga jadi ikut ke PasFes. Mumpung Rafa lagi maen ke rumah gue ya gue ajak aja sekalian.” Bang Iril ikut menambahkan.
“
Eh iya, lo kan udah mau balik haha maaf maaf kursi lo malah gue dudukin.” Rafa beranjak turun dari mobil dan mempersilakanku naik lagi.
“
Yah itu anak-anak udah cabut duluan ninggalin gue. Bang Iril, gue duluan yaa. La, next time bisa lah kita ngobrol-ngobrol lagi.” Rafa ngomong dengan ramah kepadaku. Dan Bang Iril.. juga..
“Siap, Fa. Udeh sana lo lari, ditinggalin noh sama Robi,” jawab Bang Iril. Aku hanya tersenyum lebar menanggapi Rafa.
Wait, tersenyum lebar? Ya Tuhaaan, gue kenapa sih..
“
Yo, Bang. La. Ati-ati di jalan ya. Daaahh. WOY WIL, TUNGGUIN!!”
Aku melihat ke arah belakang, badannya yang agak bongsor (walaupun tidak sebongsor Bang Iril sih) terlihat lucu berlari-lari kecil mengejar rombongan Robi.
Hah? Lucu?
Mobil Bang Iril meninggalkan kawasan wisma. Dia menyetel album Time of The Oath-nya Hellowen ke dalam pemutar musik mobilnya.
“Jadi, Rafa gimana, Le?”
“
Gimana apanya, Bang?”
“Lah kok nanya gue? Perasaan lo deh yang paling getol nyerocos kelakuan Rafa di forum. Tadi akhirnya ketemu aslinya nih. Gimana tuh?”
“
Hmm, ternyata asik sih orangnya, Bang. Gue pikir bakal gloomy, tipikal vokalis-vokalis band emo gitu, kerjaannya galau mulu. Tapi ngga tuh, asik-asik aja orangnya.”
“Tadi kayaknya lo diajakin ngobrol lagi tuh ama dia. Menarik~”
“
Yaelah Bang ajakan gitu doang diseriusin.”
“Kan kali aja, Le.”
Aku diam saja tanpa menanggapi Bang Iril. Kebanyakan ngobrol ternyata melelahkan juga.
Tapi kalo diajak beneran, gue mau-mau aja sih. Sepertinya.
Hihi..
Forever and One mengalun menemani lamunanku.
“...
Here I am
Seeing you once again
My mind's so far away
My heart's so close to stay
Too proud to fight
I'm walking back into night
Will I ever find
Someone to believe?
...”
Hmm, Rafa ya..
Ternyata aslinya kayak gitu..
That nice smile, though..
Tak terasa pipiku panas memerah..
========================== BERSAMBUNG =======================