Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG APA ITU SETIA?

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
padahal bagus ni ceritanya, sayang banget kalau gk dilanjutin
 
CHAPTER 2


Bagas Pov

Pagi begitu cerah, secerah senyum mama yang sempat hilang beberapa tahun lalu. Aku melihat perubahan yang drastis pada mama. Kabut sendu yang selalu menghiasi wajahnya kini hilang seperti kabut sirna diusir mentari. Wajahnya kini lebih bersinar, senyum indah di bibirnya tak henti mengembang. Melihat mama seperti ini aku menjadi senang. Entah apa yang membuat mama terlihat bahagia karena mama tidak menjawab saat aku bertanya tentangnya, mama cukup tersenyum saja.

Kami berdua sarapan dengan begitu nikmat, meskipun hanya dengan lauk seadanya. Saat sarapanku baru habis setengah, terdengar dering smartphone-ku. Aku ambil benda komunikasi itu dari atas meja makan dan kulihat nama Hera tampil di layarnya. Sebenarnya aku agak malas mengangkat telepon dari Hera ini. Pikiranku masih galau gara-gara dia. Namun setelah aku pikir lagi, sebaiknya aku angkat dan aku bermaksud untuk meminta klarifikasi atas foto yang aku dapat dari Ade. Kutelan dulu makanan yang ada di mulutku, baru aku terima sambungan teleponnya.

“Ya ...” Sapaku.

Bagas ... Ke kost-ku ya ...” Pinta Hera yang suaranya terdengar serak.

“Eh, kamu kenapa?” Tanyaku yang tiba-tiba khawatir karena mendengar suaranya barusan.

Aku kayaknya demam ... Anterin ke dokter ya ...” Pintanya lagi memelas. Entahlah, walau hati kesal tapi mendengar ucapannya itu hatiku seperti melunak.

“Oh ... Iya ... Tunggu saja, aku segera ke sana ...” Kataku.

Aku tidak menghabiskan sarapanku. Setelah berpamitan pada mama segera saja aku tunggangi motor antikku menuju kost Hera. Di jalan raya aku pacu motorku sekencang-kencangnya tidak peduli angin menerjang membuat perih mata. Dan kurang dari setengah jam aku pun sampai di tempat kost-nya. Aku berlari-lari kecil untuk mencapai kamar Hera dan setelah berada di depan pintu kamarnya segera aku ketuk pintu itu. Tak lama pintu pun terbuka, aku lihat keadaan Hera yang kacau balau. Terlihat sekali muka dan bibirnya pucat dengan mata sembab agak bengkak.

“Kamu sudah minum obat?” Tanyaku setelah masuk ke dalam kamar kost-nya.

“Udah ...” Jawabnya lemas tak bertenaga. Hera menggandeng tanganku, membawaku ke tempat tidurnya.

“Kalau begitu kamu siap-siap ... Aku antar ke dokter ...” Kataku lagi. Hera duduk di pinggiran tempat tidur dan aku pun mengikutinya.

“Nanti saja ke dokternya ... Ini masih terlalu pagi ...” Ucapnya sambil memeluk tanganku sehingga terasa betul benda kenyal di dadanya pada lenganku. Kepalanya bersandar di bahuku dan aku terkejut ketika bahuku terasa basah. Ternyata Hera sedang menangis.

“Kamu kenapa?” Tanyaku heran sekaligus kasihan.

“Aku mau jujur sama kamu ... Tapi aku harap kamu gak marah setalah mendengar pengakuanku ...” Suara Hera begitu bergetar seperti seseorang yang sedang menahan tangis.

“Katakanlah ...!” Lirihku dengan hati yang tiba-tiba terasa sangat berat.

“Kamu harus janji dulu ...” Pintanya.

“Ya kau janji ... Aku gak akan marah ...” Jawabku setengah tidak yakin dengan janjiku sendiri.

“Gas ... Sekarang ini aku lagi deket dengan cowok ... Tapi sumpah, aku gak ada apa-apa dengan dia ... Aku cuma kasian aja sama dia ...” Ucapnya dan langsung saja aku potong.

“Kasian? Emangnya kenapa dengan dia?” Tanyaku agak meninggikan suara.

“Gas, tolong ... Jangan salah mengerti ... Aku bener-bener gak ada apa-apa sama dia ... Aku kasian karena dia perlu pertolongan ... Si Dibyo ...” Ucapannya aku potong lagi.

“Dibyo?” Aku pura-pura terkejut.

“Ya Dibyo ... Dia perlu pertolongan kita, gas ...” Ucapnya lirih dan lagi-lagi aku potong.

“Kita??? Apa hubungannya dengan aku???” Aku kini benar-benar sewot.

“Gas ... Dia itu penderita inferior complex ... Bahasa kitanya minder yang berlebihan ... Kita harus membantunya supaya dia sembuh ... Bahaya kalau dia gak sembuh, dia bisa gila ...!” Ungkap Hera dengan mimik sangat serius.

“Maaf ya, Her ... Sekarang apa peduliku? Juga kamu?” Tanyaku menelisik.

“Aku peduli karena dia temanku sejak kecil ... Dan aku juga dibayar oleh orangtuanya untuk menyembuhkannya ...” Jawab Hera yang sukses membuatku terkejut.

“Dibayar???” Gumamku tidak mengerti keadaan sesungguhnya.

“Ya ... Orangtua Dibyo menyewa beberapa orang tenaga kesehatan dan juga aku untuk menyembuhkannya ... Aku mau menerima tawaran mereka karena aku membutuhkan biaya untuk kuliahku ...” Jelasnya.

Hera melanjutkan ceritanya seputar keterikatan antara dirinya dengan keluarga Dibyo. Hera menjadi salah satu pegawai keluarga Dibyo untuk menyembuhkan Dibyo yang memiliki sindrom minder yang berlebihan. Hera menerima tawaran keluarga Dibyo karena upah yang didapatnya sangat besar dan sangat berlebih untuk membiayai kuliah dan kehidupannya. Walau diakuinya perilaku Dibyo yang agak kelewatan namun Hera mengaku masih bisa mengantisipasi perilaku Dibyo tersebut.

“Gas, maaf ... Maafin aku kalau aku mau dicium sama dia ... Aku pikir itu adalah resiko profesi ... Tetapi sungguh, aku hanya bersedia diciumnya, tidak lebih ... Sesungguhnya aku juga tidak suka dicium-cium si Dibyo, jijik rasanya ... Kamu kan tau sendiri, bagaimana si Dibyo itu ...” Hera mengakhiri ceritanya dengan terisak-isak.

Aku pun terdiam, tak tahu harus bagaimana. Seandainya aku punya uang sudah pasti aku akan menanggung segala keperluan Hera sehingga tidak perlu ‘menyewakan’ dirinya buat orang kaya itu. Di satu sisi aku tidak rela kalau dia begini, di sisi lain aku tidak berdaya menghadapi kenyataan yang sedang terjadi.

“Gas ...” Ucapnya lirih tapi cukup untuk membuyarkan lamunanku.

“Heemm ...” Balasku tak tahu harus apa yang aku ucapkan.

“Maafin aku ... Maafin aku karena aku gak berterus terang dari awal sama kamu ... Tadinya aku pikir kerjaku hanya menemaninya saja ... Kalau tau akan begini jadinya, pasti aku akan menolak kerjaan itu ...” Ungkapnya dengan nada sendu dan sangat menyentuh kalbu. Gunung salju di hatiku seperti meleleh dan menguap entah ke mana.

“Iya, aku mengerti ... Kamu yang sabar aja ... Tapi aku ingin, sebisa mungkin, kamu jangan mau diciumnya lagi ... Kamu bisa menolaknya dengan lembut ...” Kataku sambil merangkul bahunya, ia pun membalas dengan memeluk pinggangku.

“Gas ... Percayalah ...! Aku sangat mencintaimu ... Aku bersumpah atas nama-Nya, aku sangat mencintaimu ...” Ungkapnya semakin membuatku terharu.

“Ya aku percaya ... Dan aku juga sangat mencintaimu ...” Balasku sambil mengecup keningnya.

Sesaat kemudian suasana hening, kami terdiam cukup lama dan berada di pikiran masing-masing. Tiba-tiba Hera mengurai pelukannya dan tanpa kusangka ia menggerakan badan hingga duduk di pangkuanku menyamping sambil melingkarkan tangannya di leherku. Wajah kami berhadapan begitu dekat. Tanpa berkata-kata, perlahan ia mendekatkan bibirnya ke bibirku. Masih cukup waktu kalau aku mau menolak, tetapi aku tidak mundur, sedikit pun. Hingga aku merasa bibirnya yang lembut mencium bibirku dengan lembut pula. Aku tidak bisa bohong, kalau aku bahagia. Aku sangat yakin Hera pasti mencintai aku. Akhirnya aku tidak melepas ciumannya yang semakin terasa kuat.

Kami berciuman dengan lembut bahkan air liur Hera menetes di ujung bibirku. Hera menuntun tanganku ke dadanya. Disuruhnya aku meremas-remas kedua bukit kembarnya. Aku meraba payudaranya dari luar, memberi remasan ringan dan gerakan memutar yang membuat Hera menggelinjang. Bisikan-bisikan nafsu mulai datang ke dalam pikiran dan hatiku. Syaraf-syaraf di sekujur tubuhku kini sedang dipenuhi oleh hormon birahi. Kebenaran enyah tak bersisa, akal sehat pergi tanpa kata, yang ada hanya nafsu syahwat belaka.

Entah sejak kapan tubuh kami sudah sama-sama polos. Tubuh kami bergulingan di atas ranjang sambil berpelukan erat saling menyentuh, menjilati, menghisap, dan saling memberikan rangsangan. Akhirnya birahiku sudah mencapai maksimal. Aku tindih tubuhnya dengan kejantananku yang sudah siap melakukan tugasnya. Bagian kepala penisku sudah berada di pangkal lubang vagina Hera. Kudorong batang kemaluanku, membenamkannya dengan penuh perasaan ke dalam liang syahwatnya. Sambil menikmati setiap gesekan lembut dengan dinding-dinding dalam vaginanya.

“Ooooohhh ...” Hera mendesah saat batang kemaluanku memasuki dirinya inci demi inci. Kejantananku masuk tidak ada yang menghalangi karena aku memang sudah tahu kalau Hera sudah ‘loss’.

Pada saat yang bersamaan, aku pun disergap berjuta-juta gelombang kenikmatan selama proses pemasukan itu. Bermula dari ujung penisku lalu menjalar ke batangnya lalu menyebar ke seluruh bagian tubuhku. Selanjutnya kucoba mengeksplorasi kenikmatan yang lebih besar dengan tak henti-hentinya menggali, menggali, dan menggali liang nikmat itu lebih dalam lagi secara konstan.

“Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ...” Hera mendesah-desah keenakan dengan nafas yang terdengar menderu-deru. Hera tampak begitu menikmati setiap hujaman kemaluanku. Ia menyambut dengan goyangan pinggulnya yang menghentak-hentak.

Denyutan nikmat yang diciptakan vagina Hera membuatku tambah bersemangat. Aku percepat gerakan keluar masuk penisku di vaginanya seperti sedang memacu seekor kuda balap. Terdengar nafas kami berdua yang terengah-engah saling, mengerang dan melenguh penuh nikmat. Liang senggama milik Hera mampu memberi rasa nikmat yang luar biasa. Kulumat liang itu dengan sangat bergairah. Hera kembali menggoyang pinggulnya membuat liang vaginanya bertambah nikmat ribuan kali. Aku semakin kesetanan saat menyetubuhinya. Sekian menit kemudian, kupercepat gerakan pinggulku saat terasa desakan sangat kuat di ujung penisku.

“Aaaahh ... Saayyaanngg ... Akkuuhhh ... Aaaccchhh ...!!!” Hera memekik dengan keras ketika ia lebih dahulu sampai di puncak.

Nyaris berbarengan kurasakan ujung penisku bergetar hebat. Sehingga kucoba menekan pinggul lebih dalam lagi. Akhirnya batang kemaluanku menggelepar-gelepar sembari memuntahkan cairan kenikmatan dalam jumlah yang sangat banyak diantara himpitan liang vagina Hera. Saking banyaknya hingga meluber keluar dan meleleh di atas kasur.

Tubuhku begitu lemas namun nikmat. Beberapa saat aku masih berada di atas tubuh Hera. Tak lama, aku bergerak turun dari atasnya dan berbaring di samping Hera dan menghadapkan tubuhku padanya yang masih terlentang dan terpejam. Lima detik kemudian, Hera pun menghadapkan tubuhnya padaku. Mata kami saling memandang, dengan tatapan bergelimang rasa kasih yang begitu lembut dan dalam.

“Terima kasih ya sayang ...” Ucap Hera sembari mengusap-usap wajahku.

“Aku yang harus berterima kasih ...” Balasku sambil tersenyum.

“Akhirnya ... Kamu mau menyentuhku ...” Kata Hera lalu mencium bibirku sekilas.

“Bukannya aku setiap hari menyentuhmu?” Candaku.

“Ih ... Bukan itu maksudku ...” Hera memukul dadaku pelan.

“Eh ... Keliatannya kamu sudah sembuh ...” Kataku.

“Iya ... Kan obatnya barusan kamu kasih ke aku ... Hi hi hi ...” Manjanya.

Kami pun berpelukan menyalurkan rasa sayang masing-masing. Beberapa menit berselang, kami mandi bareng kemudian merapikan diri. Sepertinya aku sudah telat masuk kuliah, akhirnya aku memutuskan pergi ke studio milik Gandi untuk mempersiapkan proyek iklanku. Hera tidak mau aku ajak dan memilih untuk masuk kuliah, ia ada kuliah siang nanti. Aku pun meninggalkan Hera di kamar kost-nya dan menuju studio tempat kerjaku.

----- ooo -----​

Hera Pov

Aku menyisir rambut yang masih basah di depan cermin. Tatapan tajamku tertuju ke depan. Langkah pertama sudah berhasil kulalui. Aku berhasil ‘mengelabui’ kekasihku. Kini aku akan melakukan langkah selanjutnya. Ya, aku harus memberinya pelajaran. Dia sudah berani mengganggu hubunganku dengan Bagas, padahal sudah kuberi peringatan. Tidak ada yang bisa menyakitiku. Sepanjang aku tidak mengijinkannya, mau jungkir balik orang-orang melakukannya, tetapi aku akan merasa baik-baik saja.

Tiba-tiba dering smartphone-ku berbunyi. Aku lihat identitas si penelepon di layar lalu senyum sinisku tercetak samar hingga nyaris tak terlihat. Aku pun segera menggeser layar smartphone-ku.

“Hallo ...!” Kataku pada Dibyo dengan nada kesal.

Aku sudah di depan ...” Katanya dan langsung saja aku putus sambungan teleponnya.

Dengan langkah kesal dan sedikit kasar, aku pun keluar kamar dan meninggalkan gedung kost. Aku hampiri mobil Dibyo yang letaknya kurang lebih 30 meter dari gedung kost. Setelah aku dekat, pintu samping kiri mobil terbuka dan langsung saja aku masuk dan membanting pintu itu sangat keras. Aku menatapnya dengan rahang mengeras dan itu sedikit membuatnya terkejut. Aku hampir saja bertanduk rasanya.

“Lo kenapa?” Tanya Dibyo keheranan.

“KENAPA ...! KENAPA ...! KAMU KAN YANG UDAH NYURUH SISKA NGANCAM AKU ...!” Teriak marahku sangat keras hingga Dibyo terhenyak kaget luar biasa, badannya sampai melonjak.

“Lo ngomong apa? Siapa Siska?” Tanyanya dengan wajah mengkerut.

“Alaaaahhh ... Jangan sok pilon deh ...! Kamu kan yang nyuruh aku putus dengan Bagas ... Pake acara ngancam segala ...” Pekikku dan mataku mendelik tajam ke arahnya.

“Lo ini ngomong apa sih? Aku gak ngerti ...” Ucapnya lagi agak memelas tapi aku sudah terlanjur marah padanya.

“Lo kira ancamanku hanya main-main, hah ... Ini ambil uang lo ... Dan dari sekarang jangan deketin gue lagi ...!” Kataku kasar sembari melempar amplop coklat berisi uang pemberiannya kemarin. Kemudian aku keluar dari dalam mobilnya.

“Hera ...!!! Hera ...!!!” Panggil Dibyo namun aku tidak mengubrisnya. Aku pun berjalan cepat menuju jalan raya utama. Aku dengar panggilan Dibyo dari belakang dan tak lama ia pun berhasil menyusulku.

“Hera ...! Ada apa ini? Gue gak mengerti ... Tolong jelasin dulu ...!” Pintanya sangat memelas sambil memegang tanganku. Dan aku segera mengibaskan tangan sehingga pegangan Dibyo terlepas dari tanganku. Baru saja mulutku akan memakinya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di samping kami. Sejurus kemudian pintu kiri mobil itu terbuka.

“Hera ... Ayo ...!” Kata pemilik mobil dari belakang setirnya.

Sejenak aku tertegun, namun tiga detik berikutnya aku pun berlari kecil mengarah pada mobil yang baru saja datang, meninggalkan Dibyo yang mematung di tempatnya. Tanpa berpikir panjang, aku masuk ke dalam mobil itu lalu menutup pintu mobil sesegera mungkin. Mobil pun bergerak langsung cepat sampai terdengar bunyi decitan ban. Aku berkali-kali melirik ke belakang, ternyata Dibyo tidak mengikutiku.

“Siapa dia?” Tanya orang di sampingku yang bernama Gandi.

“Temanku ...” Kataku lesu sepertinya aku kehabisan tenaga setelah memarahi Dibyo.

“Kalian tadi seperti keliatan sedang berantem ...” Ucap Gandi sembari fokus pada setirnya.

“Rese dia ...! Kurang ajar ...!” Aku bergumam kesal dan memang apa yang aku ucapkan tadi keluar dari hatiku yang paling dalam.

“Emangnya kenapa?” Tanya Gandi seperti seorang wartawan.

“Gak apa-apa ...” Aku jawab pertanyaannya dengan malas.

Hati dan pikiranku belum begitu tenang sampai-sampai aku kurang fokus dengan orang yang berada di sebelahku. Sering pertanyaan Gandi aku jawab serampangan dan tidak nyambung. Tiba-tiba aku baru menyadari kalau Gandi telah memarkirkan mobilnya di sebuah coffee shop.

“Kok kita ke sini?” Tanyaku bingung.

“Habisnya ... Sejak tadi aku tanya mau kemana ... Kamu gak jawab ... Ayo ..!” Gandi turun dari mobil dan aku mau gak mau mengikutinya.

Aku berjalan di samping Gandi memasuki coffee shop yang kelihatannya begitu tenang. Eksterior tempat ini berupa material batu alam mengisyarakan ada tempat yang homey untuk pengunjung bercengkarama bersama sahabat. Serupa dengan bagian eksterior, interior coffee shop ini menyatukan perpaduan warna minimalis antara warna coklat dan hitam yang terkesan cozy. Ketersediaan furnitur pendukung seperti kursi kayu dan meja dibuat seirama dengan warna dasar yang ditampilkan. Harmonisasi lainnya tampak nyata pada sebuah meja panjang yang dikelilingi oleh deretan kursi kayu di mana spot ini banyak dimanfaatkan untuk berdiskusi dan berbagi ide. Di bagian sudut, tersedia ruang kaca yang menjadi area pribadi untuk para smokers.

“Kamu duduk di sini ... Aku pesan kopi dulu ...” Kata Gandi sambil menggeser kursi dan mempersilahkan aku duduk di kursi itu.

Aku pandangi setiap sudut tempat ini. Dari sudut terkecil sampai yang terlihat semuanya sedap dipandang. Entah kenapa, tempat ini membuat hatiku tenang. Auranya memancarkan kedamaian yang mampu membuat siapa saja nyaman berada di sini. Tak lama, Gandi pun datang menghampiriku dengan membawa dua gelas kopi.

“Ngopi dulu ...” Kata Gandi sembari meletakan gelas di meja lalu duduk di hadapanku.

“Enak juga di sini ...” Kataku.

“Kamu suka?” Tanyanya dan kujawab dengan anggukan. “Ini coffee shop punyaku.” Lanjutnya.

“Oh ... Begitu?” Kataku terkejut karena aku baru sadar kalau orang yang di depanku ini adalah orang kaya, bahkan lebih kaya daripada Dibyo.

“Lumayan lah ... Buat nongkrong-nongkrong kalau lagi suntuk ...” Katanya lalu meminum kopinya.

“Kamu emang bisa buat tempat ini sangat nyaman ... Aku juga ngerasa keruetanku agak hilang ...” Sahutku lalu nyeruput kopiku. Dan kopinya benar-benar nikmat.

“Kamu bisa setiap hari datang ke sini walau gak bareng aku ... Buat kamu gratis ...” Katanya.

“Ah ... Serius nih? Gratis?” Tanyaku.

“Iya ...” Jawab Gandi singkat.

Aku cukup terkejut dengan preferensi segelas latte yang sedang aku minum. Ketika diseruput tercium aroma segar yang berbanding lurus dengan kombinasi espresso dan steam milk. Sang barista rupanya paham benar cara memanaskan susu agar mengeluarkan rasa manis yang original. Saking terpesonanya, tanpa sadar sisa foam melekat indah di bibirku.

Hari ini, di tempat ini, aku pertama kali ngobrol dengan Gandi. Sebenarnya aku sudah tahu sejak lama kalau Gandi adalah ‘majikan’ Bagas. Namun, tak sekali pun aku sempat ngobrol dengannya. Dulu, aku menilai Gandi orangnya serius dan tidak suka bergaul. Ternyata penilaianku meleset jauh, dia orangnya enak diajak ngobrol, selain itu mukanya juga yang lumayan enak diliat.

Awalnya agak grogi ngobrol sama dia, karena aku bingung mau ngobrol apa. Tetapi setelah detik demi detik berlalu dan matahari pun sudah melewati puncak, suasana asik pun tercipta, soalnya kami akhirnya ngegosip sambil tertawa-tawa. Keakraban pun sudah sangat terasa di antara kami. Aku sudah tidak lagi sungkan mencandainya, begitu pun sebaliknya. Kami bercanda ria seperti yang sudah kenal lama. Di dalam hati, aku merasa senang bisa mengenalnya seperti ada sesuatu yang membuatku semangat.

“Sekarang apa acaramu?” Tanya Gandi.

“Entahlah ... Aku gak punya acara ... Kalau pulang paling tiduran ...” Jawabku.

“Hhhhmm ... Gimana kalo ikut aku aja? ... Aku mau beli kado ulang tahun mamaku ...” Ajaknya.

“Ayo ...!!! Hi hi hi ... Tau aja kalo aku suka belanja ...” Kataku sedikit menyindirnya dengan harapan Gandi mengerti kalau aku ingin juga dibelikan sesuatu olehnya.

“Ayo!” Katanya sambil berdiri dan kami pun berjalan bersama keluar coffee shop.

Aku dan Gandi harus bersabar untuk lebih lama dalam mobil karena jalanan yang kami lalui sedikit macet. Walau demikian Gandi pintar membawa suasana ini mengasyikan. Dia menyalakan musik karaoke di audio mobilnya. Saat ia bernyanyi, suaranya begitu merdu, seperti belaian yang mengusap-usap kalbu. Akhirnya aku pun ikut bernyanyi bersamanya. Suasana menjadi meriah, sehingga perjalanan kami menjadi tidak terasa membosankan dan akhirnya sampai di tempat yang menjadi tujuan Gandi.

“Tau-tau udah sampe aja ...” Ucap Gandi sembari mematikan mesin mobilnya setelah berada di basement sebuah mall yang sangat terkenal dengan barang-barang branded-nya.

“Hi hi hi ... Ternyata enak juga bareng sama kamu ...” Kataku agak sedikit menggodanya.

“He he he ... Aku tersanjung ...” Responnya sambil tersenyum.

Kami pun turun dari mobil lalu berjalan menuju lift. Setelah berada dalam lift, Gandi memijit tombol 3 dan lift pun bergerak. Tak lama pintu lift terbuka, aku langsung disambut dengan suasana yang ramai di lantai ini. Aku berjalan di samping Gandi dengan mataku disajikan barang-barang bermerek yang tentunya pasti sangat mahal, dan sudah pasti hatiku tergelitik untuk memilikinya.

“Hei ...!” Tiba-tiba teguran dan lambayan tangan Gandi di mukaku membuatku tersadar.

“Eh ... Iya ... Iya ... Ada apa?” Tanyaku tergagap karena terkejut.

“Kamu ini, diajak ngobrol malah ngelamun ...” Tegur Gandi namun sambil tersenyum.

“Oh, maaf ... Abisnya asik liatin barang-barang di sini ... Hi hi hi ...” Jujurku sambil tertawa lirih.

“Kamu mau?” Tanyanya yang sukses hatiku seperti meledak kegirangan, tapi aku harus jaga image.

“Ah ...” Aku mendesah pura-pura malu padanya dengan kepala aku tundukkan.

“Kamu tinggal pilih saja ... Apa yang kamu mau ...” Katanya lagi semakin melambungkan perasaanku.

“Kita cari hadiah buat mama kamu dulu ...” Kataku pelan.

“Hhhhmm ... Ya udah kalau begitu ... Yuk ...!” Ajaknya.

Hatiku begitu senang tak terkira saat ini. Ada merasa tidak percaya, namun begitulah kenyataannya. Dan sejak detik ini aku mengetahui sesuatu. Ya, tidak mungkin seorang laki-laki akan begitu royal pada seorang wanita kalau dia tidak ada apa-apa di hatinya. Untuk cinta seorang wanita, seorang pria akan berkorban. Dan aku sangat tahu tentang itu.

Akhirnya, kami masuk ke dalam sebuah gerai yang memperjual-belikan perhiasan. Gandi pun tampak sangat antusias memilih-milih perhiasan yang cocok untuk mamanya. Ia pun mengaku sangat menyukai perhiasan berlian yang memiliki model cantik serta memberikan kesan mewah bagi si pemakainya.

“Kamu suka yang mana?” Tanya Gandi seperti sedang menantangku. Tentu tantangannya itu aku sambut gembira.

“Kalau perhiasan aku semuanya suka, dari mulai anting, cincin, gelang dan kalung. Ya, namanya perempuan, pasti suka banget sama perhiasan.” Ungkapku.

“Kalau begitu ... Pilih yang kamu suka ...!” Perintahnya.

“Itu ... Aku paling suka ...” Aku tunjuk sebuah kalung dengan bandul bermata berlian.

Gandi pun menghampiri perhiasan yang aku tunjuk lalu memanggil si pemilik gerai. Aku mendekati Gandi dan ternyata ia sedang melakukan transaksi. Tidak disangka, Gandi membeli perhiasan itu. Tak lama berselang, transaksi pun selesai dilakukan.

“Coba kamu pakai ...!” Pintanya dan langsung saja aku berharap kalau ia memberikan perhiasan itu untukku. Dengan bantuannya, tak lama kalung itu sudah melingkar di leherku.

“Bagaimana?” Tanyaku sambil menatap wajahnya.

This is seriously beautiful ...” Katanya.

“Ini sangat cocok untuk hadiah mama kamu ...” Ucapku sembari akan melepas kalung itu.

“Tidak ... Itu cocok untukmu ...” Ungkap Gandi dan aku terhenyak namun bukan terkejut yang aku rasakan, tetapi aku terhenyak gembira.

“Kamu tidak sedang bercanda, kan?” Tanyaku ingin kepastian.

“Mamaku tidak sedang ulang tahun ... Itu aku beli memang untukmu ...” Ucapnya yang membuatku terharu. Aku menatap matanya, mencoba mencari kebenaran di mata itu. Dan benar saja, ada rasa cinta di mata laki-laki di hadapanku ini, karena aku bisa merasakannya. Aku raih kedua tangan Gandi dan aku genggam sembari terus menatap wajahnya.

“Terima kasih ...” Ucapku sangat pelan yang dijawab anggukan kepala.

Kami pun keluar gerai dengan bergandengan tangan. Kami berdua berbincang-bincang sambil mengelilingi mall seperti layaknya sepasang kekasih. Tangannya pun tak pernah mau lepas menggenggamku. Aku memang bersikap manja dan mesra padanya saat ini, tetapi tidak berarti hatiku memberikan ruang untuk laki-laki ini. Jika kopi adalah jelmaanku, maka dia adalah gulanya, karena ia hanya sebagai pelengkap saja. Posisi dia tidak akan jauh berbeda dengan Dibyo.

Setelah puas berkeliling, akhirnya kami pun meninggalkan mall. Kembali kami nyanyi bersama untuk menghilangkan jenuh karena kemacetan. Tak terasa aku sudah sampai di tempat kost dan langsung keluar dari mobil Gandi. Setelah mobil laki-laki itu berlalu, barulah aku masuk ke dalam gedung kost dan berjalan cepat menuju kamarku. Saat sampai di lantai dua, aku harus memperlambat langkah ketika melihat seseorang sedang menunggu di depan pintu kamar kost-ku. Mataku tiba-tiba membulat dan dengan sengaja kulayangkan tatapan dingin ke arahnya.

“Sedang apa lo di sini? Bukannya udah gue katakan jagan deketin gue lagi ... Apa lo gak denger atau emang lo udah tuli?” Tanyaku sarkas tanpa memperdulikan perubahan ekspresi Dibyo.

“Kasih gue kesempatan untuk buktiin kalau gue gak bersalah ...” Pintanya sangat memelas dan hanya dibalas cibiran olehku.

“Gak ada lagi yang perlu lo buktiin ... Semua udah jelas ... Lebih baik lo pergi dari sini atau mau gue panggilin satpam?” Bentakku.

“Hera ...! Please ...! Kasih gue kesempatan ...” Pintanya merintih. Melihatnya yang demikian itu, tiba-tiba muncul rasa kasihanku.

“Baiklah ... Lo mau buktiin apa?” Tanyaku dengan nada lirih.

“Gue mau buktiin kalau gue bukan pelakunya, tapi gue ingin tau dari lo ... Siapa Siska yang lo maksud?” Ucapnya dan aku mulai sedikit percaya dengan ucapannya itu.

“Siska si model ... Mantannya Bagas ...” Jawabku sambil mendekat pintu kamar lalu membukanya. Aku masuk dan mengambil foto-foto yang Siska berikan kemarin padaku. “Dia ngasih ini sama aku, Yo ... Sambil ngancam mau ngebongkar hubungan kita sama Bagas ...” Aku berikan foto itu pada Dibyo yang ternyata dia sudah berada di kamarku. Dibyo pun memeriksa foto-foto itu dengan mimik terkejut.

“Siska ... Siska ...” Gumam Dibyo sembari menepuk-nepuk foto itu dengan telunjuknya.

“Kamu buktiin kalau omongan kamu benar ... Aku harap, kamu jangan menemuiku sebelum bisa buktiin kalau bukan kamu yang buat semua itu ...” Kataku.

“Baiklah ... Gue akan buktikan secepatnya ...” Ucap Dibyo sambil meninggalkan kamarku.

Aku mengunci pintu dan saat aku berjalan ke arah tempat tidur, sudut mataku menangkap sebuah amplop berwarna coklat di meja belajarku. Segera aku ambil amplop itu dan ternyata amplop berisi uang yang Dibyo berikan padaku kemarin. Hatiku pun tersenyum, ternyata hari ini aku sangat beruntung. Uang dan perhiasan dalam hari yang sama ada digenggaman dari dua laki-laki yang menyukaiku. Sesulit apapun persoalan yang aku hadapai, tetap saja aku merasa orang yang paling beruntung. Aku menikmati hidupku sekarang, tentunya dengan caraku sendiri. Ya, hidupku ini memang indah penuh nikmat.

Setelah meletakkan amplop berisi uang di dalam lemari, aku pun mandi untuk menyegarkan diri dan setelah itu berbaring di atas kasur dengan masih menggunakan bathrobe. Aku merenung sambil menatap langit-langit kamar. Aku tengah merenungkan cinta yang kujalani. “Kenapa aku ini?” Batinku berteriak, sungguh tanda tanya besar dalam diriku. Pasalnya, aku sangat mencintai Bagas, tidak berkurang kadarnya sedikit pun. Tetapi, kenapa aku tidak bisa menutup diri pada laki-laki lain? Kupejamkan mata, kukendurkan tubuhku, dan kuhirup sebanyak mungkin udara, lalu aku halau semua pikiranku itu. Tak lama aku terlelap dalam tidur yang dalam.

###


Bagas Pov

Setelah seharian aku berada di studio, saatnya merilekskan badan dan pikiran yang lelah dan penat di coffee shop milik Gandi. Selain itu, aku datang ke tempat ini dalam rangka memenuhi permintaan seseorang yang meneleponku tadi siang. Di malam hari, coffee shop ini dipadati pengunjung, kiri kanan pelayan hilir mudik sibuk mengantarkan pesanan ke meja pengunjung, sementara asap kopi terus mengepul di dapur, aroma harumnya kopi menusuk hidung. Coffee shop ini memang berbeda dari coffee shop kebanyakan, salah satu keunikannya adalah penataan desain ruang yang dapat membuat pikiran pengunjung menjadi lebih tenang karena meja pengunjung disusun agak berjauhan. Suasana yang tenang pun tercipta oleh pencahayaan ruangan yaitu cahaya dari lampu yang tidak terlalu terang.

Malam itu rintik hujan membasahi bumi di tengah musim kemarau, semakin melengkapi kopi yang sedang kunikmati. Tiba-tiba saja mataku menangkap sesuatu yang begitu indah. Perempuan bermata sendu itu seperti sudah menjadi candu bagiku. Bayang tatapan sendu matanya tak mampu aku sapu dari pikiranku. Rambutnya panjang sebahu hitam dan bergelombang, wajahnya putih berseri bak purnama lagi penuhnya. Hidungnya mancung, lesung pipinya timbul dan tenggelam tatkala ia mengulum senyum, dan semakin dalam menatapnya semakin menyadari begitu indah dirinya, selebihnya aku tak mampu lagi melukiskannya.

“Gas ...” Ia menyapaku ketika sudah berada di dekatku.

“Hai ...” Balas sapaku pada Siska.

“Maaf aku telat ...” Ucapnya sembari bergerak duduk di depanku.

“Nyantai aja ... Aku juga baru minum segelas di sini ...” Kataku.

Tiba-tiba pelayan datang dan meletakkan dua gelas kopi di meja kami. Si pelayan pun berlalu setelah mengambil gelas kosong bekas kopiku. Siska mulai menyeruput kopi untuk pertamanya, gelas kopi dipegang cantik oleh lentik jemarinya. Bibirnya yang berpoleskan gincu merah menyentuh gelas kopi, dahinya berkerut entah simbol menikmati kopi atau terganggu dengan rasa kopi yang sedikit pahit.

“Ada apa kamu mengajakku kemari?” Tanyaku yang tidak ingin bertele-tele. Kedua bola mata cokelat itu menatapku tajam.

“Aku ingin kamu menjadi pacarku lagi ...” Lirihnya dengan menundukkan mukanya. Mulutku kaku seakan terkunci, hatiku berdenyut kencang sesaat setelah mendengar ucapannya. “Aku harap kamu mau memaafkan aku dengan sikapku dahulu ...” Lanjutnya.

Entah kenapa pikiranku seperti kosong. Aku seperti pemain utama di sebuah cerita drama yang tiba-tiba dimasukkan di tengah-tengah drama tanpa skenario. Aku sangat tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka. Sekarang tiba-tiba aku menjadi tidak siap. Ini bukan tentang ajakannya, tetapi pada kesiapan diriku sendiri. Aku terdiam seribu bahasa, di hatiku bergetar sejuta rasa, namun sukar untuk aku meluahkannya.

Siska mengangkat kepala, ia menatapku mengiba, mungkin mengharap pengertianku. Perlahan tangannya terjulur menggenggam tanganku yang berada di atas meja. Mata kami saling bertemu. Percikan-percikan penuh makna tercermin di mata masing-masing.

“Aku bimbang melihat kamu ... Kamu terlalu membingungkan penilaianku ... Kamu yang meninggalkanku dengan keyakinan, kemudian berubah menjadi rapuh seperti ini ...” Kataku pelan mengungkapkan keraguanku.

“Entahlah, Gas ... Kuakui kalau aku rapuh saat ini ... Ternyata aku tidak bisa melupakanmu begitu saja ...” Jawabnya dengan suara yang teramat halus.

Aku berusaha menolak, namun aku tak bisa menentang apa yang diinginkan perempuan cantik ini. Pesonanya terlalu kuat untuk dilawan. Aku pun kalah saat hati kecil ini tertidur, kemudian terbangun dengan hati yang lain bersama sejuta defini baru. Akhirnya aku menyerah oleh rasa yang hadir, yang tidak bisa lagi aku sembunyikan.

“Tapi ... Kamu kan tau, kalau aku sedang jalan sama Hera ...” Kataku.

“Dan kamu juga tau kalau aku sedang jalan sama Ferdy ...” Katanya.

Ya, perasaan itu kembali muncul ke permukaan hati kecilku dan merekah bagai bunga mawar. Perasaan itu masih ada, karena hati ini selalu mengingatnya. Kami pun berdua tersenyum dan tertawa, menghabiskan malam yang menyenang dan berharap pagi tak kunjung datang. Lalu kami menghabiskan waktu dengan mengobrol, terkadang membuka kembali memori kebersamaan kami dahulu.

Aku pernah terperangkap kehilangan seseorang yang aku sayangi. Namun, harapan itu belum padam, sejauh apa pun aku melangkah. Keinginan memiliki itu belum punah, sekuat apa pun aku mengenyahkannya. Aku sangat yakin jika dia adalah cinta sejatiku, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Dan kini, itu terbukti semuanya, aku menemukan kembali cinta dan harapan yang dulu pernah hilang.

Bersambung ...
Cerita bagus cm bagasx terlalu begoo
 
Wajar sih macet...soalx penulis mngkn tdk mendapat apa2 kan dr karya terbaik mrk...mkx kdg qt liatbpenukis2 disini udh pindah ke wattpad
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd