Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG APA ITU SETIA?

Waetankung93

Semprot Baru
Daftar
4 Feb 2020
Post
30
Like diterima
1.163
Bimabet
APA ITU SETIA?

Selama menjadi anggota forum tercinta ini, newbie hanya menjadi pembaca setia. Tapi kali ini newbie memberanikan diri untuk menulis sebuah cerita. Mohon bimbingan para suhu dan subes karena tulisan newbie ini masih sangat jauh dari sempurna. Semua yang ada dalam cerita ini hanya imajinasi penulis. Tokoh dan karekter yang diciptakan hanya khayalan dan bukan karakter sesungguhnya. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam cerita ini, itu hanyalah secara kebetulan saja.

----- o0o -----​


INDEKS:

Prolog & Chapter 1

Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4

----- o0o -----


PROLOG

Sinar matahari yang hangat masuk dari jendela rumah dimana seorang pemuda sedang menghabiskan sarapannya di pagi hari sebelum ia berangkat kuliah. Pemuda itu bernama Rahandika Bagas Haryono yang lebih senang dipanggil Bagas. Pemuda itu berperawakan tinggi dan tampak gagah perkasa. Wajahnya lebar, kulitnya halus dan putih kecoklatan, dan tentu ia juga cukup tampan. Jemari tangan kiri si pemuda tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk meja makan hingga menarik perhatian seorang wanita paruh baya di depannya.

“Mama tidak akan kembali ke papamu ... Sudah berapa kali mama katakan, kalau mama tidak sudi kembali ke papamu ... Dan mama berharap kamu tidak mengulang-ulang lagi permintaan konyol itu ...!” Si wanita paruh baya itu berkata agak keras.

Bagas menatap ibundanya dengan tatapan tajam. Pemuda itu sangat berharap ibundanya mau menerima kembali ayahandanya. Bagas sangat ingin kedua orangtuanya bersatu kembali setelah lima tahun bercerai. Si wanita paruh baya yang bernama Indah Dwilestari enggan untuk sakit hati lagi sehingga lebih memilih untuk sendiri. Indah bertahan untuk menolak ajakan mantan suaminya lantaran ia merasa dikhianati, karena mantan suaminya itu secara diam-diam menikahi wanita lain.

“Papa sudah menceraikan perempuan itu, ma ... Demi kita bersatu lagi ...” Ungkap Bagas yang tanpa lelah terus membujuk ibundanya.

“Tidak!!! Sekali tidak, tetap tidak!!!” Indah kini berteriak marah sambil menggebrak meja makan, lalu meninggalkan Bagas yang hanya bisa menghela nafas beratnya.

Perceraian memang sangat menyakitkan, belum lagi jika meninggalkan luka terdalam karena mengalami perceraian disebabkan adanya orang ketiga atau perselingkuhan, itu pasti akan lebih menyakitkan. Perceraian memang sangat meyesakkan dada, tidak semua orang dengan ikhlas bisa menerima perceraian apalagi menerima status baru sebagai janda atau duda. Bekas luka hati yang masih bisa kambuh akibat perceraian mengakibatkan seseorang membawa perasaan itu seumur hidupnya.

Bagas lalu berdiri dan berjalan keluar rumah. Ia berangkat ke kampus dengan mengendarai motor kesayangannya. Sebuah sepada motor berwarna merah bermerek Hond* yang pernah booming di eranya. Motor bebek keluaran tahun 70-an dari negeri sakura yang masih mulus dan original. Bagas mengendarai motornya dengan santai karena waktu masih memungkinkan baginya untuk bersantai. Dalam waktu kurang dari setengah jam, Bagas pun sampai di tempat kuliahnya. Setelah memarkirkan motornya, pemuda itu pun bergerak ke arah cafetaria kampus.

Suasana cafetaria cukup ramai, mungkin banyak mahasiswa yang sedang jam kosong dan memanfaatkannya dengan pergi ke sini daripada di kelas. Mata Bagas langsung tertuju pada seorang mahasiswi yang duduk di pojokan cafetaria dan si mahasiswi menyambut kedatangan Bagas dengan senyuman. Pemuda itu pun bergegas mendekatinya.

“Aku kira ... Aku yang akan duluan ... Sudah lama di sini?” Tanya Bagas kepada kekasihnya yang bernama Hera Faranisa.

“Lumayan ... Barusan aku ketemuan dengan dosen dulu ... Ngurusin tugas yang telat ...” Ungkap Hera yang masih menyunggingkan senyuman.

“Oh ...” Respon Bagas sambil duduk di kursi depannya.

“Ini kado untukmu ...” Tiba-tiba Hera memberikan bingkisan kecil pada Bagas.

“Apa ini?” Tanya Bagas terkejut.

“Yey ... Ini kado ulang tahun ... Kamu kan ulang tahun hari ini ...” Ucap Hera yang merasa heran kalau kekasihnya tidak ingat dengan hari kelahirannya sendiri.

“Oh ... Benarkah? Makasih ya ... Aku lupa kalau hari ini ulang tahunku ... Makasih ya ...” Ucap Bagas sambil menggenggam tangan Hera.

Hera pun tertawa lirih melihat tingkah Bagas yang langsung membuka kado tersebut. Hera membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan Bagas. Pemuda itu sangat senang dengan hadiah yang diberikan kekasihnya. Kedua insan yang sudah menjalin hubungan sejak enam bulan yang lalu itu pun melakukan acara ulang tahun dengan sangat sederhana. Namun mereka terlihat sangat mesra.

----- o0o -----


CHAPTER 1

Bagas Pov

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.50, waktunya aku harus masuk kelas. Dengan sangat berat hati aku tinggalkan Hera di cafetaria, padahal aku masih ingin berlama-lama bersamanya. Dengan langkah cepat aku menuju ruang kuliahku di Gedung A lantai dua. Saat memasuki kelas ternyata kelas sudah ramai karena sebentar lagi memang perkuliahan akan dimulai. Aku duduk di sebuah kursi dekat jendela agak di belakang. Baru saja aku duduk, tiba-tiba ketua kelas berteriak di depan kelas mengumumkan kalau kuliah hari ini ditiadakan. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari keluar kelas hendak menemui lagi Hera di cafetaria.

Aku terus berlari-lari menyusuri koridor kampus menuju cafetaria. Namun sayang, aku tidak menemukan lagi Hera di sana. Kursinya sudah ditempati oleh mahasiswi lain. Dan tepat saat aku berbalik, seseorang sudah berdiri di hadapanku. Aku sempat mengumpat karena terkejut tetapi sahabatku itu malah nyengir memperlihatkan jajaran giginya.

“Kampret lo ...!” Itu makianku yang terakhir.

“He he he ... Met ultah, bro ... Sini, gue punya hadiah buat lo ...” Sahabatku yang bernama Gandi menarik tanganku.

“Lo punya apa buat gue ...” Kataku tak percaya kalah Gandi akan memberikan bingkisan padaku.

“Santai dulu ...! Gue pesen kopi dulu ...” Katanya sambil berlalu dari hadapanku.

Aku pun duduk di kursi sambil menikmati pemandangan sekitar cafetaria. Suasana cafeteria masih saja ramai karena memang jam segini adalah waktu mereka semua menunggu mata kuliah selanjutnya atau bahkan sebagian mahasiswa sudah selesai kuliah. Perlahan aku meluruskan dudukku, hingga mataku tertuju pada mata seorang mahasiswi cantik, yang dalam hitungan detik dia juga menatapku. Tanpa ragu, aku berikan ia senyuman sambil menganggukan kepala, dan ia pun membalasnya dengan perlakuan yang sama. Ya, dia lah mahasiswi tercantik di kampusku. Namanya adalah Siska Mardani. Ia adalah model profesional yang sudah lebih dari setahun namanya berkibar di industri periklanan.

“Hussshh ...! Jangan melototin dia terus ... Itu masa lalu lo ...!” Tiba-tiba Gandi datang dengan membawa dua gelas kopi lalu duduk di depanku menghalangi pandanganku pada Siska. Tidak salah yang diucapkan Gandi barusan. Siska adalah mantanku yang putus gegara ada orang ketiga dalam hubungan kami dulu.

“Ini hadiahnya?” Candaku sambil mengambil gelas berisi kopi pemberian Gandi.

“Bukan ...! Sabar ...! Lo punya rokok?” Ucapnya. Aku keluarkan sebungkus rokok dari dalam tas. Aku ambil dulu sebatang lalu kusimpan di atas meja. Aku mulai menyulut api ke rokok yang telah tertancap di bibirku.

“Ada apa, bro?” Aku mulai bicara serius setelah menghembuskan asap rokokku ke udara.

“Bikinin gue iklan sampo ...!” Pinta Gandi lalu membakar rokoknya.

“Hhhmm ... Gue mau Siska yang jadi modelnya ...” Ucapku santai dan menanti jawaban sahabatku yang sudah bisa ditebak hasilnya.

“Cari yang lain lah ... Jangan dia ...” Jawabannya yang sudah bisa aku prediksi.

Gandi memang seorang produser film dan iklan. Di dunia entertainment, namanya sudah menjadi jaminan mutu. Sahabatku ini memiliki banyak relasi bahkan orangtuanya adalah pemilik salah satu stasiun televisi yang cukup ternama di negeri ini. Sementara aku adalah sutradara film dan iklan. Selama ini aku mendapatkan job hanya dari Gandi.

“Dia lagi naek daun, bro ... Kenapa nggak, kita pake jasa dia?” Kataku coba meyakinkannya.

“Gue tau ... Tapi gue gak yakin kalau dia mau kerjasama dengan kita ...” Ucap Gandi yang sangat masuk akal.

“Kenapa gak dicoba dulu?” Paksaku. Gandi menatap dengan tatapan ragu.

“Lupain dia, bro ... Dia gak layak jadi pacar lo ... Lo bakalan ancur kalo jadian lagi sama dia. Lagian, lo udah punya si Hera ...” Gandi memperingatiku dengan kalimat yang sudah ribuan kali aku dengar.

“Ini gak ada dengan urusan hati ... Gue cuma mau make popularitasnya ...” Kilahku.

“Masih banyak yang lebih terkenal dari dia ... Gue udah memilih model iklan gue ...” Ungkapnya yang membuatku mati kutu. Bagaimana pun Gandi adalah produserku.

Ucapan terakhir Gandi barusan adalah kunci yang tidak bisa dibuka lagi. Aku pun terpaksa menerima keinginan sahabatku ini. Gandi menerangkan rencana kerjanya yang harus aku ikuti dan tak lama ia menyodorkan kontrak kerja padaku. Rasanya aku tak perlu membaca detail kontrak kerja yang disodorkannya. Aku hanya melihat nilai nominal fee-ku sebagai sutradara. Kesepakatan pun terjadi setelah aku menandatangani kontrak kerja itu.

“Lo bisa mulai kerja sekarang ... Uang lo segera gue transfer ...” Kata Gandi sambil membuang abu rokoknya di asbak.

“Siap, boss ...!” Jawabku.

“Lo pake aja studio gue yang di kemayor*n ... Dan inget! Waktu lo cuma seminggu ...” Gandi memperingatiku lagi.

“Siap, boss ...!” Jawabku lagi.

Aku hanya bisa ‘manut’ padanya karena Gandi adalah sumber keuanganku. Apa pun yang ia mau harus aku turuti. Kami pun akhirnya ngobrol ke sana ke mari hingga kurang lebih satu jam lamanya. Setelah itu, Gandi pun berpamitan duluan karena masih ada yang harus ia urus, sementara aku masih ingin duduk-duduk di tempat ini. Aku lihat tempat Siska sudah diisi oleh orang lain, entah kenapa aku merasa kehilangan. Perlu aku akui, ternyata benar ucapan Gandi, hatiku masih tertambat padanya. Menata hati memang sulit, banyak bukti yang menyatakan bahwa seseorang sering kesal menghadapi situasi yang kurang berkenan. Campur aduk antara kemarahan dan ketidakpuasan yang melibatkan hati hingga berakhir banyak kekecewaan.

“Woy ...!!!!” Lamunanku buyar seketika ketika tiba-tiba terdengar suara mengagetkan yang sangat keras. Ditambah lagi dengan tepukan tangan di kedua bahuku yang membuat jantungku seperti copot.

“Kampret ...! Sialan ...!” Makiku kesal pada orang yang mengagetkanku. Dia adalah teman seangkatanku yang bernama Ade.

“Ha ha ha ... Ngelamun mulu ...” Katanya ringan sambil menyambar bungkusan rokokku di atas meja.

“Hah ... Sialan ...! Dada gue sampe sakit ...!” Kataku masih kesal.

“Sorry ... Sorry ... Eh, Gas ... Lo ama si Hera masih pacaran kan?” Tanya Ade yang mulai membakar rokoknya.

“Iya ... Kok lo tiba-tiba nanya gitu?” Tanyaku heran sambil memandangi wajahnya.

“Nggak ... Gue aneh aja ... Karena gue sering liat dia jalan ama si Dibyo ...” Ungkap Ade yang sukses membuat keningku berkerut.

“Jangan jadi biang gosip deh ...” Kataku berkilah walau rasa hati mulai gak karuan.

“Serius, Gas ... Barusan aja cewek lo dibawa si Dibyo ... Mereka baru berangkat pake mobil si Dibyo ...” Jelas Ade yang aku rasa dia berkata sebenarnya.

“Kali ... Lagi mau bikin tugas bareng ...” Kataku mencoba berpikiran positif.

“Bisa jadi sih ... Tapi, tugas apaan ya sampe bareng udah hampir sebulan?” Ungkap Ade dengan memasang wajah heran. Benar juga apa yang dikatakannya, dan tiba-tiba saja firasat buruk menghinggapi kepalaku.

“Serius, lo sering liat mereka berduaan?” Tanyaku penasaran.

“Sorry ya Gas ... Bukannya mau merusak hubungan lo ... Tapi gue sesama lelaki gak rela kalo si Hera mempermainkan lo ... Ini hasil hunting gue ...” Ucap Ade sambil mempermainkan smartphone-nya dan tak lama smartphone-ku berbunyi tanda ada pesan whatsapp masuk.

Pesan yang dikirim Ade padaku langsung dibuka. Mataku menyipit tak percaya melihat foto pacarku sedang dirangkul bahunya oleh Dibyo. Mereka duduk di sebuah taman secara berdampingan. Tak lama, Ade mengirimku foto kedua dan ini lebih menyakitkan mata. Dibyo mencium pipi Hera dan sepertinya pacarku itu tak berusaha menolaknya.

“Itu, Gas ... Gue rasa cukup sebagai bukti kalo omonganku bukan sekedar gosip ...” Lanjut Ade.

“Oke, De ... Makasih atas infonya ...” Kataku sedih. Walau baru bukti awal, namun perasaanku sangat tidak nyaman.

“Sekali lagi, gue minta maaf ya, Gas ...” Ucap Ade sambil berdiri dan beranjak dari tempatku.

Terbersit ketidakpercayaanku dengan ini semua. Mana mungkin Hera mau jalan dengan Dibyo. Segera saja aku menelepon Hera. Nada sambung pun berbunyi beberapa kali lalu berhenti pertanda sudah diangkat.

Hallo Gas ...” Terdengar suara Hera di seberang sana.

“Kamu di mana?” Tanyaku dengan suara yang dibuat senormal mungkin.

Lagi di jalan ... Mau ke Pasar Baru ...” Jawabnya yang juga bersuara normal.

“Oh ... Dengan siapa?” Tanyaku lagi.

Banyakan nih ... Ada Lala, Isma ... Emangnya ada apa?” Ucap Hera.

“Oh, nggak apa-apa ... Tadinya aku mau ajak kamu jalan ...” Kataku membuat alasan.

Kenapa kamu tadi gak bilang ... Kalau tau gitu, tadi aku gak akan nerima ajakan temen-temen ... Apa aku harus balik lagi ke kampus?” Ungkapnya.

“Oh, jangan ... Lanjutkan aja ...” Kataku.

Ya udah ... Nanti aku telepon kalau sudah selesai di sini ...” Katanya lagi.

“Ya ...” Jawabku dan tak lama terputus sambungan telepon kami.

Sepertinya, keadaan baik-baik saja, tetapi tetap firasatku mengatakan sebaliknya. Perasaanku sangat mellow hari ini, ada kegelisahan di dalam hatiku. Foto kiriman Ade semakin membuat perasaanku tak menentu. Kecewa, sedih, tersiksa, marah, dan pelbagai macam perasaan lainnya bercampur menjadi satu. Beberapa saat kemudian, aku hela nafas, aku kuatkan hatiku. Tak lama berselang, aku pun meninggalkan cafetaria menuju tempat motor antikku terparkir. Akhirnya aku pun meninggalkan kampus untuk kembali ke rumah.

Jalan yang aku lalui terpantau padat, terlihat beberapa bus, mobil, dan motor berjalan pelan. Kemacetan parah terjadi sepanjang jalan saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Setelah bersusah payah, akhirnya aku berhasil keluar dari kemacetan dan hanya beberapa menit kemudian aku pun sampai di rumah. Kusimpan motor antikku di tempat biasa yakni di garasi yang belum ada pengisinya. Kemudian aku masuk ke dalam rumah melewati pintu samping yang menghubungkan rumah inti dan garasi. Saat aku sampai di ruang tengah, aku melihat mama sudah berpakaian rapi dengan dandanan sederhana.

“Eh ... Mama mau kemana?” Tanyaku dengan nada gembira karena sudah beberapa tahun aku tidak melihat mama berpenampilan seperti ini. Ternyata, mama tetap memancarkan aura kecantikannya meski di usia yang tak lagi muda.

“Mama diajak Tante Fina jalan-jalan ...” Ungkap mama sambil tersenyum.

“Nah ... Begitu dong ma ... Jangan di rumah terus ... Mama memang perlu rekreasi dan hiburan ...” Kataku sangat senang, kini ada perubahan dalam hidup mama setelah sekian tahun ‘menyendiri’ di rumah.

Mama hanya tersenyum dan bergegas keluar rumah. Sebuah mobil sudah menunggunya di depan rumah. Aku antar mama sampai teras dan setelah mobil yang dinaiki mama berlalu, aku pun masuk ke dalam rumah kemudian membaringkan tubuh di atas sofa sambil menyaksikan acara televisi. Setelah melahap beberapa potong roti kantuk pun mendera, hingga lama-lama mataku menjadi berat dan aku pun tertidur pulas.

----- o0o -----​

Hera Pov

Panasnya suhu udara masih saja terasa walau AC mobil milik Dibyo menyala. Aku mengibas-ngibaskan tangan untuk mengeluarkan sedikit angin agar terasa sejuk. Terkadang keringat dari dahi menetes ke mulut. Aku pun merasakan rasa asin dari keringat tersebut. Tiba-tiba Dibyo memberi beberapa helai tissue kepadaku. Itulah kelebihan Dibyo dibanding dengan Bagas yang berkarakter pendiam dan sedikit cuek. Sedangkan Dibyo lebih perhatian, penuh pengertian, dan aku sangat suka dengan gayanya yang homuris.

“Daripada nelen keringat sendiri ... Mendingan telan punyaku ...” Ucapnya sambil menggerakan kepalanya mengarah pada selangkangannya.

“Ih ... Dasar mesum ...!” Kataku dibuat kesal.

“Si Bagas lagi ngapain?” Tanya Dibyo.

“Nggak tau ... Harusnya kuliah ...” Jawabku agak kurang suka kalau Dibyo mulai ngobrol tentangnya. Memang barusan Bagas meneleponku dan aku jawab dengan kebohongan. Itu didengar oleh Dibyo.

“Her ... Kenapa lo gak mau mutusin dia ...? Gue pengen lo jadi pacar gue seutuhnya ...” Ungkap Dibyo dan kalimat itu sudah sering aku dengar.

“Yo ... Inget! Aku udah bilang dari awal ... Kalau hubungan kita tanpa status ... Udah ah, aku gak mau lagi ngomongin itu!” Kataku yang kini benar-benar kesal. Dibyo selalu saja memaksaku seperti itu.

Aku memandang kaca pintu mobil, menatap keluar memperhatikan jejeran mobil yang berjalan tersendat-sendat. Sebenarnya aku mencintai Bagas, aku menyayanginya, namun ada sesuatu yang tidak kudapatkan dari pacarku itu. Masalahnya Bagas masih berpikiran sangat konvensional padahal aku membutuhkannya. Dan harus aku akui bahwa Bagas adalah orang yang sangat baik tetapi itu tidak cukup bagiku. Aku sangat mengingkan kalau Bagas lebih agresif pada diriku. Aku ingin peluknya, aku ingin dekapnya dan aku ingin dibelainya sehingga hasratku tuntas bersama dirinya.

“Ah ... Keluar juga dari macet ...!” Ujar Dibyo yang membangunkan lamunanku.

“Yes ... Kayaknya berendem enak ...” Ucapku lega.

“Berenden berdua sambil ena-ena ... He he he ...” Ucapnya sambil menoel daguku. Aku pura-pura cemberut menimpali omongan Dibyo. Sesungguhnya yang ada dalam benakku pun sama dengan ucapannya barusan.

Beberapa menit kemudian, kami masuk ke pekarangan sebuah rumah yang cukup luas. Mobil berhenti di garasi dan kami pun turun bersamaan. Dibyo menggandeng tanganku memasuki rumahnya yang megah ini. Kami pun langsung menuju kamarnya di lantai dua, kamar laki-laki ini berukuran luas dengan gaya keindahan modern. Tanpa ragu dan sungkan aku buka seluruh pakaianku hingga tak ada yang tersisa lalu berlari kecil ke arah kamar mandinya.

Rumah mewah, kamar mandinya pun sangat mewah. Aku bersorak di dalam hati dan langsung saja membuka kran shower hingga tubuhku disemprot air oleh shower berukuran besar. Ya, tubuhku terlalu panas dan membutuhkan air dingin dari shower. Tubuhku lebih terasa segar karena air dingin ini. Aku sangat menikmati siraman air yang memancar deras dari shower.

Kudengar bunyi pintu kamar mandi terbuka. Tanpa melihat pun aku sudah tahu siapa yang datang. Dan aku menelan ludah yang tiba-tiba banjir di mulutku serta hasratku mulai menyala. Kurasakan dadanya menempel di punggungku. Posisi kami sangat dekat dan rawan. Bokongku tepat berada di selangkangannya, sebuah benda kenyal menekan-nekan belahan bokongku. Sedangkan kedua tangannya melingkar rapat di perutku. Terlebih ketika kurasakan ciuman di leher yang teramat mesra, semua itu sungguh menggugah gairah kewanitaanku.

“Apa sudah siap?” Godanya dengan bisikan.

“Belum ...” Desahku.

Tanganya tiba-tiba naik dan menyentuh kedua bukit kembarku. Menekannya dan merasakan jantungku yang semakin menggila. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku seperti terpatri dalam ikatannya. Tak bisa bergerak. Hanya mataku yang bisa memperhatikan gerakan tangannya. Meremas pelan payudaraku, lalu mengusap dengan jempolnya. Membuat seluruh tubuhku meremang, dan sesuatu berdesir di bawah sana.

Belum sempat aku berbalik, tangannya sudah menarikku dan membuatku berbalik menghadapnya. Membuat wajahku berhadapan langsung dengan wajahnya. Sepersekian detik kemudian, bibir kami pun beradu dengan beringas, lidah kami saling bereaksi untuk membelit. Dan tangannya masih terus bermain di payudaraku, membelai dan meremasnya lembut. Nafasku mulai tersengal. Aku benar-benar basah kuyup dan berdenyut sekarang.

Dengan sigap aku memegang kejantanannya dan perlahan mengarahkannya pada lubang senggamaku yang sangat membutuhkan sentuhan sambil membuka pahaku agak melebar. Aku sudah menantinya, siap untuk melayani kemauannya, kali ini dia menyapukan kepala penisnya ke vaginaku yang basah.

“Aaaaaahhhh ....” Aku mendesah tertahan saat penisnya menguak liang kenikmatanku. Suatu kenikmatan menjalar dari vagina ke seluruh tubuhku. Aku menegang sesaat merasakan kenikmatan itu, dan semakin nikmat dikala Dibyo mulai mengocok perlahan penuh perasaan diiringi ciuman mesra, semakin cepat membawaku melayang tinggi.

Kuletakkan kaki kananku ke pinggangnya, penisnya semakin dalam mengisi relung vaginaku. Meski tidaklah terlalu besar tetapi terasa begitu memenuhi ruangan kenikmatan tubuhku. Aku mendesah lepas di saat kocokannya makin cepat. Kupeluk erat tubuhnya, apalagi ketika ia menjilati telingaku, aku menggelinjang geli dan nikmat, semakin erat pelukanku.

Kini sebelah kakiku yang lain melingkar di pinggangnya. Posisiku kini menggantung di tubuhnya. Terasa lebih dalam lagi penisnya menyodok. Sodokan penisnya semakin cepat dan keras penuh nafsu gairah, aku pun mengimbangi dengan jeritan dan desahan nikmat sembari menjepitkan kakiku di pinggangnya. Bibir Dibyo tak pernah lepas dari tubuhku, menyusur leher, pipi, bibir lalu kembali ke leher.

Aku tak henti-hentinya menjerit dalam kenikmatan yang tidak bisa kugambarkan, terlalu indah permainan di siang ini hingga aku merengkuh puncak kenikmatan begitu cepat. Jerit kenikmatanku mengiringi denyutan otot vagina yang meremas penis Dibyo. Dia menatapku tajam seakan menikmati ekspresi kenikmatan dari wajahku, malu juga aku dibuatnya, tetapi dia hanya tersenyum melihatku orgasme.

Semakin keras aku mendesah semakin keras pula dia menyodokku, dan tak lama kemudian aku pun mencapai puncak kenikmatan yang kedua kalinya di siang ini. Jeritan kenikmatanku tidak menghentikan kocokannya, justru semakin cepat dan liar gerakannya, maka aku pun dengan cepat segera naik kembali menuju puncak kenikmatan. Belum setengah jam kami bercinta tapi aku sudah dua kali orgasme, sementara Dibyo belum menunjukkan tanda-tanda orgasme. Kutahan sekuat tenaga kenikmatan demi kenikmatan namun usahaku sia-sia karena orgasme lainnya menyusul tak lama kemudian.

“Yo ... Berhenti dulu ...!” Pintaku memelas. Dibyo pun menghentikan sodokannya, ia bergerak mundur lalu duduk di tepian bathtub. Kelamin kami masih menyatu dan kini aku duduk di pangkuannya saling berhadapan.

“Padahal aku sebentar lagi ...” Ucap Dibyo pelan dan tersengal-sengal.

“Kamu kuat banget, deh ...” Komentarku, dia hanya tersenyum. Aku mengatur nafasku yang masih naik turun menderu.

“Aku sangat mencintaimu ...” Katanya lagi namun aku tidak ingin meresponnya, karena aku tidak mencintainya, aku hanya menginginkan kejantanannya.

Setelah nafas dan tenagaku pulih, aku mulai menggoyang langsung dengan kecepatan penuh. Penis Dibyo keluar masuk di vaginaku dengan cepat dan vaginaku menjepit penisnya dengan kuat. Kukocokkan kemaluannya naik-turun, kujepit kemaluannya dengan otot dalam, kusedot ke dalam. Kulepas kembali berulang-ulang. Terdengar rintihan dan desisan Dibyo pertanda ia sangat menikmati permainanku. Sementara itu, aku pun merintih, mendesis, mendengus, dan akhirnya kehilangan kontrolku.

Aku rebahkan badanku di atas badannya, susuku menempel, perutku merekat pada perutnya. Kudekap Dibyo erat-erat. Tangan kiri Dibyo mendekap punggungku, sedang tangan kanannya mengusap-usap bokongku dan analku. Aku makin kenikmatan. Sambil merintih-rintih kukocok dan kugoyang pinggulku, sedang kurasakan benda padat kenyal dan besar menyodok-nyodok dari bawah.

Tiba-tiba aku tidak tahan lagi, kedutan tadinya kecil makin keras dan akhirnya meledak. “Aaaaaahhh…..” Kutekan vaginaku ke penisnya, kedutannya keras sekali, nimat sekali. Dan hampir bersamaan dari dalam vagina terasa cairan hangat, menyemprot dinding rahimku.

“Ooooohhh …!!!” Dibyo juga ejakulasi pada saat yang bersamaan.

Beberapa menit aku masih berada di atasnya, dan kemaluannya masih menyesaki vaginaku. Kurasai vaginaku masih berkedut dan makin lemah. Tetapi kelaminku masih menyebarkan kenikmatan. Tidak ada lagi dialektika normal dari kenikmatan penuh nafsu ini, campur aduk dengan impuls-impuls kenikmatan surgawi yang maha dahsyat. Lucunya, meski menyadari sepenuhnya bahwa ini adalah perbuatan haram. Namun mulut, hati, tubuh dan mataku memang tak nyambung lagi di saat-saat seperti ini. Hanya ada satu kuasa di antara kami, yaitu kuasa nafsu birahi yang menjejal diantara pergesekan kelamin.

“Cepetan kita mandi ... Aku laper ...” Ucap Dibyo dan kubalas dengan senyum dan anggukan.

Kami pun segera menyelesaikan mandi. Setelah berdandan dan merapikan diri, kami pun turun ke lantai satu menuju ruang makan. Beberapa jenis makanan sudah tersaji di atas meja makan. Beberapa jenis minuman pun sudah disiapkan. Sebelum mulai acara makan siang, aku minum pil anti hamil yang selalu tersedia di tasku. Kami pun makan siang sambil berbincang membicarakan tentang hal-hal yang ringan seputar kampus dan perkuliahan, sesekali tertawa karena cerita dan lawakan yang Dibyo sampaikan. Aku pun berkata dalam hati kalau aku adalah wanita yang beruntung bisa memiliki dua laki-laki yang teramat mencintaiku.

“Yo ... Aku belum bayar kost-an ...” Ungkapku di sela makan siang kami.

“Gampang ... Ntar aku bayarin ...” Jawabnya ringan.

“Kalau keperluanku yang lain?” Tanyaku setengah melempar nasib.

“Iya ... Nanti aku kasih ... Tenang saja ...” Lagi terdengar ucapannya yang menganggap permasalahanku sepele.

“Hi hi hi ... Makasih ya, Yo ...” Kataku senang.

Inilah yang aku suka dari Dibyo. Segala permasalahan keuanganku dibuat tuntas olehnya. Sayang, laki-laki ini berparas ‘sangat tidak mengenakan’ bahkan menurutku sangat jauh bila dibandingkan dengan Bagas. Walau kaya raya, Dibyo bukan lah tipe laki-laki yang disenangi wanita. Wajahnya yang ‘menyeramkan’ membuat para wanita harus berpikir berulang kali untuk menerimanya sebagai pasangan. Tapi memang di dunia ini tidak ada yang sempurna, setiap kelebihan pasti akan ada kekurangan. Aku anggap saja kedua laki-lakiku saling melengkapi. Aku jalan dengan Bagas karena ketampanan dan kebaikannya. Sementara dengan Dibyo, aku butuh uang dan kejantanannya.

Waktu pun terus bergerak maju, tak terasa tiga jam telah berlalu, sudah waktunya aku pulang karena kedua orangtua Dibyo akan segera pulang. Aku sangat menghindari bertemu dengan orangtuanya karena aku takut hubunganku dengan Dibyo akan menjadi serius. Oleh karena itulah aku berusaha untuk menghindari mereka. Tanpa bisa dicegah, aku pun diantar pulang ke kost-an oleh Dibyo. Kembali aku dan Dibyo harus melewati kemacetan karena saat ini adalah jam pulang kerja pegawai. Namun, itu bukan sebuah kendala. Perjalanan pulangku terasa sebentar karena kami selalu bercanda ria selama perjalanan. Setelah dua jam di jalanan, akhirnya kami sampai di kost-an tempatku tinggal.

“Gue masuk ya ...!” Pinta Dibyo sedikit memelas yang sudah menghentikan mobilnya beberapa meter dari kost-anku.

“Jangan, Yo ... Please, jangan maksa-maksa gitu lagi ...” Kini aku balik memelas untuk menolak permintaannya. Aku menolaknya karena aku tidak mau teman-teman se-kost mengetahui aku jalan dengan Dibyo. Sangat beresiko karena sebagian teman kost-ku adalah teman Bagas.

“Sampai kapan kita begini?” Ucap Dibyo yang sangat kentara kalau dia sedang mengeluh.

“Yo ... Kalau kamu maksa-maksa ... Aku gak akan deket kamu lagi ...” Aku keluarkan senjata andalanku untuk meredamnya.

“Oh ... Iya ... Iya ... Sorry ... Ini uangnya ...” Ucap Dibyo yang tentu sangat ketakutan sambil memberikan amplop panjang berwarna coklat.

“Makasih ya ... Aku turun ...” Kataku sambil menerima amplop coklat dari tangannya lalu mencium pipinya.

Aku pun secepatnya keluar dari mobil Dibyo dan berjalan menuju kost-an. Aku disambut oleh beberapa teman se-kost-an saat masuk ke dalam gedung kost. Setelah ngobrol sebentar, aku lajukan lagi langkah ke kamarku. Namun, langkahku melambat saat melihat seorang perempuan seumuranku sedang bersender di pintu kamarku sambil mempermainkan smartphone-nya. Perempuan cantik itu lalu tersenyum padaku tapi senyuman itu membuat bulu kudukku berdiri.

“Hai ...” Sapanya ramah. Senyumannya itu membuat dagunya yang mungil dan runcing nampak bergaris, membuat kesan cantik semakin melekat padanya.

“Siska ... Ngapain lo di sini?” Tanyaku heran pada mantan Bagas yang model itu. Aku heran karena seumur-umur dalam hidupku baru kali ini aku bertatapan langsung sedekat ini dengannya.

“Gue ingin ngobrol aja ama lo ... Bisa ...?” Ucap Siska dengan gaya khas bicaranya yang selalu genit.

“Oh ... Bi-bisa ...” Jawabku dengan jantung yang tiba-tiba berdetak agak kencang. Aku membuka pintu kamar kost dan mempersilahkan Siska masuk duluan, setelah itu aku menyusul lalu menutup pintu.

“Kost lo mewah juga, ya ... Pasti sangat mahal ...” Kata Siska sembari menelisik setiap sudut kamar kost-ku.

“Langsung aja, Sis ... Ada apa mau ketemu ama gue ...?” Aku langsung to the point menanyakan keperluan Siska menemuiku.

“Boleh gue duduk?” Siska tak lantas menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya balik. Belum juga aku mengiyakan permintaannya, Siska langsung duduk di kursi belajarku.

“Silahkan ...” Kataku walau telat. Kami saling pandang dengan tatapan curiga. Dan saat itu juga aku bisa merasakan akan ada sesuatu yang tidak mengenakan yang akan terjadi.

“Lo harus tinggalin Bagas ...!” Ucapnya bagai sambaran petir di siang bolong. Jantungku merasakan sensasi bom aktif.

“Mak-maksud lo ...?” Tanyaku terbata-bata pengaruh dari perasaan terkejut yang melandaku.

“Hera ... Lo udah melakukan kesalahan yang sama ama gue ... Main di belakang Bagas ... Lo jangan nyangkal omongan gue ini, karena gue udah punya banyak bukti ... Daripada gue bongkar kebusukan lo ... Lebih baik, lo mundur baik-baik aja ...” Kata-kata Siska sarat dengan ancaman. Aku pun tertegun mendengar ucapan Siska, antara percaya dan tidak.

“Maksud lo apa? Jangan-jangan lo masih suka sama Bagas?” Aku coba bertahan dari tekanan Siska. Aku lontarkan pertanyaan yang mengintimidasinya.

“Nih ... Aku masih punya banyak ...!” Ucap Siska sambil melempar beberapa helai foto sehingga berhamburan dan salah satunya jatuh di depanku.

Perlahan aku ambil foto yang jatuh di depanku dan mataku terbelalak saat mendapati fotoku sedang berciuman dengan Dibyo. Seluruh badanku menggigil seperti orang yang terserang flu hebat. Mataku memanas, seolah aku tidak berkedip berjam-jam. Aku luar biasa terkejut, sampai-sampai foto yang baru saja dipegangku seketika terjatuh.

“Aku tunggu kabarnya dalam tiga hari ...!” Ucap Siska sambil berdiri lalu keluar dari kamar kost-ku.

Aku shock berat, tidak ada angin tidak ada hujan, bagaimana ini bisa terjadi. Dan aku benar-benar belum percaya dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba kepalaku menjadi pening, seperti berputar. Berputar sangat hebat. Perlahan aku rebahkan tubuhku di atas kasur. Dadaku naik turun mencari pasokan oksigen. Mataku terpejam merasakan sakit di kepala dan sesak di dada. Saat ini aku belum bisa berpikir apa-apa. Tetapi, jangan dikira aku akan tunduk begitu saja untuk digiring ke arah yang dimaui Siska. Aku tak akan menyerah begitu saja. Berpasrah pada ancamannya itu adalah kedunguan. Dan sekarang aku perlu ketenangan, dan tidur adalah solusi terbaik yang harus aku jalankan untuk saat ini.

----- o0o -----​


Author Pov

Dari dalam mobil seorang laki-laki melihat perempuan suruhannya keluar dari gedung kost. Perempuan cantik itu pun sejenak berhenti dan menoleh ke arah mobil si laki-laki kemudian si perempuan mengacungkan jempolnya. Laki-laki itu pun tersenyum senang karena usahanya berhasil. Perempuan itu kemudian memasuki mobilnya dan meninggalkan tempat tersebut sementara si laki-laki masih termenung dengan jemari tangan mengetuk-ngetuk setir mobil. Pikiran dan hati si laki-laki itu dalam keadaan tidak baik. Ia begitu mencintai Hera dan ingin memilikinya. Dengan cara apapun, akan ia dapatkan Hera ke dalam pelukannya. Pasti!

Bersambung ...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd