Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG APA ITU SETIA?

CHAPTER 3



Hera Pov

Lembayung senja membentang di cakrawala, menemaniku yang tengah berbahagia. Laki-laki yang bersamaku ini membelikan banyak sekali pakaian mahal nan cantik untukku. Dia begitu baik dan apa saja yang aku katakan, dia selalu mengatakan ‘iya’. Kehadiran dia sudah mulai mengusik hatiku. Dan disitulah aku mulai menerima keadaan, aku mulai berdamai dengan hatinya dan hatiku. Kini aku merasakan cinta walau hanya setitik. Dan titik kecil itu sudah bersemayam di kalbuku.

“Kita mau kemana sekarang?” Tanya Gandi yang pandangannya terfokus ke jalanan. Kedua tangannya tergenggam di setir, mengarahkan laju mobilnya.

“Gimana kalau kita ngopi di tempat kamu?” Ajakku.

“Oh ... Baiklah ...” Katanya sambil tersenyum.

Jarak saat ini dengan coffee shop miliknya tidaklah jauh. Hanya beberapa menit saja kami pun sampai di sana. Gandi membawaku ke lantai dua, dan kami pun memasuki sebuah ruangan yang mirip dengan sebuah kamar hotel yang sangat mewah. Kami ngobrol di sofa yang empuk sambil menikmati kopi kesukaanku. Sekarang aku merasa jika Gandi sebagai sosok pangeran bagiku yang selalu memperlakukanku sebagai ratu di istananya.

“Makasih ya ... Aku kok seperti kayak jadi ratu di sampingmu ...” Kataku sembari merangkul tangannya dan bersender di tubuhnya. Aku kecup pipinya sekali.

“Kamu nggak usah bilang begitu ... Aku cuma mau kamu nyaman ... Aku juga ingin tau, apa yang kamu suka dan gak suka ...” Ungkapnya.

“Kenapa? Apa itu semua perlu ...?” Tanyaku.

“Itu sangat perlu dan penting bagiku ... Sekarang, katakan ...! Apa yang membuatmu nyaman? Katakanlah ...!” Ucapnya. Aku tersenyum mendengar penuturannya. Dalam waktu seminggu saja, dia benar-benar sudah membuatku merasa seperti orang yang begitu spesial.

Aku pun bergerak duduk di atas tubuhnya. Wajahku dan wajahnya begitu dekat hingga terasa hembusan nafasnya di wajahku. Gandi melumat bibirku dengan hati-hati. Terbawa suasana aku membalasnya. Kami berciuman dengan panasnya sampai kami melebihi dari batas ciuman. Begitu lincah gerakkan bibir Gandi dan kedua tangannya sudah mempermainkan payudaraku. Hari yang baru berganti malam yang dingin pun menjadi hangat oleh sentuhan-sentuhan tangan nakal Gandi.

Kekuatan hasrat Gandi sepanas ciumannya membuat riak hasratku menjelajari tubuh. Rintihan teredam terlontar keluar dari mulutku. Gelombang hasrat yang tak tertahankan dan tak terduga mengobrak-abrikku yang haus sentuhan. Tangan Gandi yang satu lagi berkeliaran membelai lekuk-lekuk tubuhku, sensasinya sangat menggoda. Di balik pakaian, puncak payudaraku mengencang. Denyut hasrat meledak dalam diriku, denyut yang mau tak mau harus aku akui merupakan jeritan tubuh yang mendambakan kepuasan.

Malam itu kami pun bercinta. Permainan cinta kami yang pertama. Saat kami menyatu, tampaknya hanya dunia kami yang ada. Tiada lagi persoalan, tiada masa silam atau masa depan. Hanya gelora nafsu birahi yang ada di antara kami. Dan gelora itu semakin membara ketika kami menyatukan diri. Dengan mata yang terpejam, aku bisa meresapi kenikmatan demi kenikmatan yang menerpa tubuh. Kenikmatan demi kenikmatan itu kini benar-benar melingkupiku, seperti jubah yang menutupi tubuhku lapis demi lapis. Dan kemudian, semuanya meledak. Meledak dalam pusaran kenikmatan yang tak terhingga, meledak dalam hamparan keindahan yang tak terkatakan. Tubuhku seperti tersedot dalam pusaran warna warni yang indah. Sekujur tubuh kami bersimbah peluh. Nafas kami sudah tak beraturan. Tersungging senyumannya yang elok ketika mata kami saling bertemu kembali.

“Terima kasih ...” Ujarnya pelan.

“Kamu gak perlu berterima kasih, sayang ...” Balasku.

“Apakah ini artinya, kamu mau menjadi kekasihku?” Tanyanya sambil menangkup wajahku.

“Sayang ... Aku merasa nyaman dan aman jika berada bersamamu! Sulit bagiku untuk memberikan jawaban! Sungguh kamu memang sangat baik! Aku merasa bangga sekaligus beruntung. Maafkan aku, sayang ... Aku menyayangi kamu namun aku tidak bisa menjadikan kamu sebagai kekasih!” Jawabku diplomatis.

“Kenapa? Apakah Bagas alasannya?” Tanyanya lagi terdengar sedikit kecewa dan kujawab dengan anggukan kepala. Kemudian, kulihat kekecewaan di wajahnya, tampaknya bukan kekecewaan yang dibuat-buat.

Tok ...! Tok ...! Tok ...! Suara pintu diketuk dari luar terdengar beberapa kali. Kami pun segera merapikan diri, segera kami kenakan pakaian kembali. Setelah semuanya terlihat baik, baru kemudian Gandi berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Terlihat salah satu pegawai coffee shop berbisik padanya, entahlah apa yang ia bisikan yang jelas aku bisa melihat raut wajah Gandi yang berubah tegang. Setelah menutup pintu kembali, Gandi menghampiriku.

“Bagas ada di sini ... Aku harus menemuinya ... Kamu tunggulah di sini ...!” Ucap Gandi yang sukses membuatku terperanjat.

“I-iya ...” Jawabku dengan hati tak enak.

Gandi pun meninggalkan ruangan ini, sementara aku duduk termenung di sofa. Kembali pikiranku melayang pada kekasihku, seseorang yang tidak pernah bisa pergi dari hatiku. Memang aku merasakan keanehan dalam diriku, bagaimana bisa aku dengan teguh mencintainya sementara itu aku masih bisa menerima laki-laki lain. Apakah aku mempunyai dua hati? Entahlah, karena itulah yang selalui menjadi pikiranku.

----- ooo -----​


Bagas Pov

Waktu yang diberikan Gandi yang menurutku terlalu singkat, membuat aku terlalu sibuk dengan urusan job-ku. Aku yang ingin semua pekerjaan sempurna akhirnya cape sendiri dan merasa waktu tak cukup terus. Selama seminggu aku pergi pagi pulang malam, bahkan beberapa hari tidak pulang, hanya untuk mengejar deadline. Tak ada waktu untuk santai atau pun bersenang-senang, semua tenaga dan pikiran aku curahkan seluruhnya untuk menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik. Pekerjaan yang sangat menyita waktu ini, akhirnya bisa aku lalui juga.

Setelah mematika komputer, aku pun bangkit dari depan komputer dan bergegas menuju tempat tidur. Dengan segera aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Pikiranku melayang padanya. Pada satu sosok yang padanya telah kusemai cinta. Cinta indah yang memberikan energi luar biasa untukku. Sampai-sampai aku harus melupakan cintaku yang satunya. Hati dan pikiran tercurah sepenuhnya kepada Siska. Dan sudah hampir seminggu aku tidak pernah melihat Siska. Aku ingin bertemu dan melepas rindu, bahkan disela rindu yang baru, ada kenangan yang tersimpan dan teringat di benakku, yaitu tentang cerita baru yang kami buat pada saat kami bertemu.

Denting jam dinding berbunyi menunjukkan pukul 19.00 petang. Aku pun mandi lalu bersiap-siap, aku memakai jeans panjang dan memakai kaos berlengan panjang. Aku pun keluar kamar setelah memakai jaket kulit kemudian berpamitan kepada mama. Tak lama berselang, motor antik kesayanganku sudah melaju di jalanan ibu kota. Tujuanku kini adalah coffee shop milik Gandi. Selain untuk merilekskan tubuh dan otak yang letih, aku berharap sahabatku pun berada di sana. Sengaja aku membawa hasil pekerjaanku agar bisa langsung menyerahkannya.

Singkat cerita, aku sudah sampai di tempat tujuan. Segera aku memasuki coffee shop milik Gandi yang sudah terlihat cukup ramai. Sejenak kususuri pandangan mencari keberadaan si pemilik coffee shop ini, berharap bisa bertemu karena keadaan. Setelah pasti tidak kutemukan, aku pun memilih tempat duduk yang terletak agak memojok dan jarang dilewati pengunjung dan posisiku agak tersembunyi karena di dekatku ada pilar yang ukurannya sangat besar. Tanpa aku memesan, segera datang kopi kesukaanku. Para pegawai di sini memang sudah sangat paham jika aku datang berkunjung.

“Gandi belum ke sini?” Tanyaku pada pelayanan yang menghidangkan kopi.

“Ada mas ... Mungkin lagi di atas ... Lagi indohoy sama ceweknya, mas ... He he he ...” Jawabnya kemudian berlalu.

Cewek?” Batinku bertanya. Terpaksa aku harus menunggu Gandi yang aku pastikan sedang menyalurkan ‘hasratnya’ dengan cewek yang diutarakan pelayan tadi.

Tanganku sudah mengangkat cangkir kopi yang masih mengepul asapnya. Aku seruput kopi hitamku perlahan, nikmat sekali. Aku keluarkan rokok lalu mengisap dengan nikmat juga. Kopi dan rokok adalah perpaduan yang sangat paripurna. Rokok dan kopi adalah dua hal yang hampir tak bisa lepas dari kehidupanku. Di saat nongkrong lebih nikmat jika di tambah rokok dan kopi seakan hidup lebih indah dan semua imajinasi keluar dan pikiran lebih tenang.

“Hai ...!” Sebuah suara berat mengagetkanku.

“Ah ... Sialan ...! Kebiasaan banget sih lo ...!” Pekik makiku pada Gandi yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.

“Makanya ... Jangan biasain ngelamun ... Sampe gak sadar gue datang ...” Sahut Gandi lalu duduk di depanku.

“Nih ... Kelar ...!” Kataku sambil menyodorkan flashdisk berisi hasil kerjaanku.

“Pas seminggu!” Ujar Gandi sambil mengambil flashdisk pemerianku.

“Lain kali, jangan buru-buru ... Gue keteteran ngerjainnya ...” Protesku lalu menghisap rokok yang tinggal sehisapan lagi, kemudian kumatikan rokok di asbak.

“Sorry ... Ini gawean tadinya gue kasih ke si Husni ... Hasilnya berantakan banget ... Udah aja gue kasih ama lo ...” Jelasnya sambil tersenyum. “Dan, gue ada kerjaan baru lagi buat lo ...!” Lanjutnya kini menatapku tajam.

“Seminggu? Ogah ... Gue pengen istirahat ...!” Sanggahku.

“Please, bro ... Ini harus kelar lima hari ... Kalo gak selesai, gue bakal kena penalti ...” Katanya sangat memelas.

“Lima hari??? Loe gila apa???” Aku terkejut mendengarnya.

“Asal jadi aja ... Loe boleh pake si Siska yang jadi modelnya ...” Ucap Gandi dan seketika itu juga aku merasa bersemangat.

“Serius lo ...?” Tanyaku ingin yakin. Tumben-tumbennya Gandi berkata demikian.

“Serius ... Siska udah gue telpon ... Sebentar lagi dia ke sini ... Lo langsung aja buat rencana ama dia ... Studio bisa lo pake yang kemarin ...” Jelas Gandi lagi.

“Bayaran double ...!” Candaku sambil pura-pura serius.

“Deal ... Lo bakal dapat duit double ...” Kata Gandi dan tentu aku sangat senang.

“Deal ...!” Aku ulurkan tangan dan Gandi menyambutnya. Kami berjabatan tangan erat sebagai disetujuinya kerjasama.

“Segera gue transfer duit lo ... Ingat! Lima hari!” Ucap Gandi penuh penegasan.

“Beres ...” Jawabku. “Eh, lo lagi ada tamu di atas?” Tanyaku kemudian.

“He he he ... Pengen tau aja ...” Kata Gandi seperti enggan menjawab pertanyaanku.

Kami pun ngobrol sambil menikmati kopi dan rokok. Kira-kira lima belas berselang, Siska pun datang dan langsung duduk di sebelahku. Tanpa sungkan dan ragu pada Gandi, perempuan cantik ini melingkarkan tangannya ke lenganku, karuan saja sebelah alis Gandi terangkat.

“Kalian???” Tanya terkejut Gandi sambil menatapku dan Siska bergantian.

“Iya ... Kenapa?” Sahut Siska agak menaikan suaranya.

“Oh ... Nggak ... Nggak ... Silahkan dilanjut! Aku ke atas dulu ...” Kata Gandi sambil berdiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku cukup tahu apa yang dipikirkan sahabatku ini, tapi aku kini tak memperdulikannya.

“Aku kangen banget, sayang ...” Ucap Siska sangat manja.

“Mulai sekarang kita akan selalu ketemu ... Kamu sudah tau kan ... Kalau Gandi ...” Ucapanku tidak berlanjut karena dipotong Siska.

“Sudah ... Jangan ngomongin itu sekarang ... Yang lain aja ...” Katanya yang semakin mempererat pelukannya di tanganku.

Betapa senangnya hari ini aku bersamanya. Kami juga tak sungkan menunjukkan kemesraan kami di depan orang-orang yang berada di coffee shop ini. Jika sudah bersama, dunia beserta isinya seakan hanya kami yang punya. Canda, tawa, bahagia. Gurat kebahagiaan pun terlukis di parasnya yang teramat sempurna. Kami bermesraan tak hiraukan sekeliling dan lagi-lagi seakan hanya kami yang ada di sini .

----- ooo -----​

Hera Pov

Aku menunggu Gandi dengan hati yang cemas. Entah mengapa suasana hatiku begitu tak nyaman saat ini. Sudah dua puluh menit lebih aku menunggunya. Dan akhirnya orang yang kutunggu datang juga. Gandi terlihat murung saat mendekatiku dan duduk di sebelahku. Wajahnya ditekuk seakan tengah menghadapi masalah sulit. Mimik muka Gandi menambah kegalauanku saja.

“Ada apa? Kok sedih gitu?” Tanyaku sambil aku genggam tangannya.

“Bagas ...” Jawabnya pelan dan sendu.

“Oh ... Ada apa dengannya?” Tanyaku yan tiba-tiba saja jantungku seperti diperas.

“Apa kamu siap mendengarkannya?” Gandi malah bertanya dengan menatapku.

“I-ya ... Ada apa?” Kataku.

“Aku sudah bilang berkali-kali sama si Bagas ... Kalau aku gak suka si Bagas balikan lagi sama si Siska ...” Ucap Gandi dan seketika itu juga aku terhenyak dengan dada terasa sesak.

“Ja-jadi ... Dia ...” Tenggorokanku seakan tercekat ketika hendak membalas perkataannya. Jantungku berdebar hebat. Jemariku menggenggam tangannya erat.

“Maaf ...” Ucap gandi lirih sambil mengalihkan pandangannya dariku.

“Sekarang mereka di mana?” Tanyaku yang mulai merasakan amarah dalam tubuhku.

“Di bawah ...” Ucapnya lagi semakin pelan.

Aku cepat-cepat berlari ke arah pintu, tak menghiraukan panggilan Gandi yang mencoba melarangku. Dadaku seperti ditusuk jarum tak kasat mata, dan aku merasa tak rela mengetahui Bagas bersama Siska lagi. Aku memang egois, aku memang orang paling egois yang pernah ada, dan kekecewaan yang paling sakit baru saja kurasakan.

Aku melangkahkan kakiku menuruni anak tangga, ini terasa lebih ringan dibanding saat aku menaikinya tadi. Langkah terakhir, aku sudah sampai di lantai pertama. Kuedarkan tatapanku ke seluruh sudut ruangan, dan tak lama mataku dapat melihat dua sejoli yang sedang bermesraan di pojok sana. Baru berapa detik saja aku melihat mereka, terasa begitu menyakitkan mata, udara seakan menjadi sangat panas, dan dadaku terasa sesak. Saat kakiku akan melangkah mendekati mereka, tiba-tiba tanganku ditarik sangat keras sehingga aku terjengkang ke belakang dan badanku jatuh di tubuh Gandi.

“Jangan buat keributan ...!” Ucap Gandi dan langsung saja badanku melayang dan tak lama sudah berada di gendongannya. Aku pun membenamkan wajahku di dadanya sementara tanganku melingkar di leher laki-laki yang sedang menggendongku itu.

Gandi membawaku ke lantai dua kembali, ke ruangannya. Kutumpahkan semua sesak di dada, tanpa kata hanya berupa isakan pilu. Aku basahi baju Gandi dengan air mataku. Walau aku begini, tetapi tetap cintaku hanya pada dirinya. Aku mulai merasa tertekan saat ini, mengingat kejadian itu membuat aku merasa sakit.

“Sudahlah ... Jangan nangis terus ... Saatnya kamu melupakan dia ... Sekarang ada aku di sini.” Ucap Gandi penuh kelembutan sambil memeluk badanku erat.

“Aku sangat mencintainya ...” Lirihku di sela tangis.

“Kamu sudah kehilangannya ... Aku sangat tahu kalau Bagas sangat mencintai Siska ... Aku lama mengetahui itu ...” Ucap Gandi lagi yang semakin membuat hatiku pilu.

Dia satu-satunya harapan yang kumiliki dan sepertinya aku sudah kehilangannya. Dia lebih memilih Siska. Aku merasa tidak rela kehilangan ini. Untuk beberapa saat aku terus meratapinya. Setelah emosiku mulai mereda, penyesalan pun mulai menyeruak tiba-tiba. Tapi penyesalan tinggal penyesalan. Masa lalu tak dapat diulang. Baik atau buruk apa yang sudah terjadi akan tetap menjadi sebuah ‘jejak’.

Cepat-cepat aku berpikir, tak ada yang perlu disesalkan dari semua ini, tak ada yang perlu dirisaukan dari masa lalu. Tak ada yang bisa menyelamatkanku selain diriku sendiri, tak ada yang bisa mengkhianatiku selain diriku sendiri, dan tak ada yang bisa mengalahkanku selain diriku sendiri. Selagi nyawaku masih ada, selagi tenagaku masih menyala, aku akan terus melangkah hingga aku benar-benar merasa beruntung. Akan aku tunjukkan betapa beruntungnya diriku. Betapa beruntungnya aku lepas darinya. Akan aku buat ia menyesal karena telah menyia-nyiakan diriku.

----- ooo -----​

Bagas Pov

Sungguh cerah pagi ini, bunga-bunga bermekaran, dan burung-burung yang berterbangan yang menghiasi di setiap paginya. Matahari yang begitu cerah, menghiasi indahnya dunia. Sepeda motorku bergerak sangat pelan. Aku sengaja tak memacunya cepat karena ingin menikmati cerahnya pagi ini lebih lama. Hatiku merasa bahagia. Namun ada sisi lain di hatiku yang merasa bahagia, kurang ajar memang, aku mengaharapkan Siska dan Ferdy berpisah, sehingga aku bisa memiliki perempuan cantik itu seutuhnya.

Sesampainya di kampus, aku langsung saja bergegas ke kelas. Hanya lima menit lagi kuliahku akan dimulai. Suasana kelas sudah sangat ramai, aku pun mencari tempat duduk agak di belakang dekat jendela. Saat kutemukan kursi kosong dan akan mendudukinya, sebuah tas sudah mendahului pantatku. Aku terlonjak kaget kemudian menoleh pada orang yang menempatkan tasnya di kursi tersebut.

“Sorry ... Ini kursi gue ... Lo, lebih baik cari yang lain ...” Ucap seorang mahasiswi dari belakang kursi itu.

“Ya ampun ... Lo kan bisa di belakang ...!” Kataku sambil menunjuk kursi kosong di belakang kursi yang tadi hendak kududuki.

“Hi hi hi ... Kalo terlalu belakang, bakal jadi inceran dosen ... Lo, aja gih ...!” Ucapnya masuk akal. Aku pun ikut tertawa sambil duduk di sebelah kursinya. Temanku itu kemudian memutar lalu melewatiku dan duduk di kursinya.

“Baru keliatan lagi ...” Kataku padanya yang memang perempuan cantik ini sangat jarang keliatan di kelas. Temanku ini bernama Tantri.

“Baru balik dari Amrik ... Eh, Gas ... Lo masih bikin film kan?” Tiba-tiba Tantri bertanya.

“Masih ... Emangnya kenapa?” Tanyaku agak cuek menanggapinya.

“Buatin gue film dong ... Gue yang jadi pemeran utamanya ...” Ucapnya dan aku ingin tertawa tapi aku tahan.

“Lo tuh gak ada bakat jadi bintang film ... Inget gak! Waktu lo maksa pengen jadi model iklan. Bokap lo sendiri yang batalin karena lo yang jelek menjadi modelnya ...” Kataku mengingatkannya. Tantri memang salah satu anak orang kaya di antara anak orang kaya lainnya di kampusku.

“Lo kok gitu banget sih ... Gak apa-apa kan kalo dicoba dulu ...” Katanya agak sewot.

“Ogah ah ... Cape ...!” Kataku dan tiba-tiba Tantri memukul tanganku dengan bukunya.

Suasana kelas itu selalu sama, ramai dan riuh sebelum dosen masuk ke dalam kelas. Semua mahasiswa sibuk bercakap-cakap, dan asyik dengan percakapan mereka. Seorang dosen cantik bertubuh ramping dan tinggi masuk ke dalam kelas. Aku terkesima sejenak melihat penampilan dan kecantikannya karena baru kali ini aku melihatnya. Biasanya mata kuliah ini diampu oleh seorang ‘nenek lampir’ yang cerewetnya tidak ketulungan. Untuk beberapa menit kelasku ini terpenuhi dengan keriuhan, terutama dari pada mahasiswa termasuk diriku.

“Dasar mata cowok ...!” Celoteh Tantri di sampingku dengan nada kesalnya.

“He he he ... Sama aja ama cewek ... Kalau liat dosen cowok ganteng, berisik juga ...” Kataku.

“Emang dosen itu cakep?” Tanya Tantri kini dengan nada sinis.

“Ya iyalah ... I love you, deh ...” Selorohku spontan.

“Hah ...! Gue bilangin loh ama dia ...” Tantri mengancam.

“He he he ... Sana gih, bilangin kalau gue cinta ama dia ...” Candaku.

“Serius ya ... Pasti gue bilangin ...” Katanya lagi yang terdengar semakin kesal.

Tak lama, sang ‘nenek lampir’ pun masuk ke dalam kelas dan secara tiba-tiba kelas menjadi sunyi senyap seperti kuburan. Semua mahasiswa terdiam dengan tubuh agak mengkerut. Ibu Rika, dosen killer itu, memperkenalkan dosen cantik tersebut sebagai asistennya. Mulai hari ini, mata kuliah ini akan diampu oleh dosen cantik bernama Nurmala. Hatiku pun sangat senang dan aku sangat yakin semua mahasiswa di kelas ini akan sama perasaannya denganku. Setelah proses perkenalan selesai, kuliah pun dimulai.

Rasanya aku merasa rugi kalau berkedip. Kecantikan dosen baruku itu bagai menjerat mata dan menawannya, lantas dalam puncak keterpesonaannya mungkin aku akan pingsan. Aku tersenyum kagum, bisa-bisanya Tuhan menciptakan wanita secantik dan selembut ini. Benar-benar ciptaan paling sempurna. Aku tak bosan memandangi wajah cantiknya, namun tiba-tiba aku dikagetkan dengan senggolan sikut Tantri. Aku menoleh ke arah perempuan itu.

“Ada apa?” Tanyaku berbisik pelan.

“Mata lo ...!!!” Balas bisiknya kesal.

Peduli amat!!!” Pekikku dalam hati.

Aku kembali fokus ke depan, bukan fokus pada pelajaran yang diajarkannya tetapi fokus pada wajah dan lekuk tubuhnya. Lagi-lagi aku dibuat kagum olehnya. Hampir dua tahun aku bergelut dengan banyak wanita cantik tetapi aku tidak pernah melihat wanita sesempurna ini sebelumnya. Bagaimana tidak, ia bagaikan bidadari yang muncul dengan penampilan sempurna. Siapa yang mampu menolak pesonanya?

Tak terasa, jam perkuliahan pun usai. Entah mengapa mataku tidak mau lepas darinya, sepertinya aku terhipnotis dengan auranya yang terlihat begitu menawan, hingga akhirnya dosen cantik itu tak terlihat lagi oleh pandangan mata. Aku pun kemudian keluar kelas bersama-sama dengan Tantri. Obrolan ringan pun terjadi sembari menuruni anak tangga.

“Lo masih ada kuliah?” Tanya Tantri yang berjalan di sisiku.

“Gak ... Kuliah cuma satu hari ini ...” Jawabku.

“Eh Gas ... Kita ke cafetaria yang baru yuk ...!” Ajaknya.

“Cafetaria baru? Di mana?” Tanyaku heran.

“Di fakultas sastra ... Ada panggung hari ini ...” Ungkapnya bersemangat.

“Gue ada gawean ... Mepet waktunya ... Ini juga gue lagi pusing ...” Keluhku dan berhenti berjalan karena aku dan Tantri beda tujuan.

“Lo lagi bikin iklan? Siapa modelnya?” Tanya Tantri seperti yang berharap.

“Siska ... Tapi dia seperti gak ngerti aja ... Udah dua hari dia mangkir ...” Keluhku lagi semakin berat.

“Gimana kalau gue jadi modelnya?” Kata Tantri sambil mengulum senyum. Tiba-tiba ada lampu yang seolah menerangi otakku.

“He he he ... Lucky day ... Ayo berangkat ...!” Ajakku dan langsung berjalan.

“Eh ... Gimana?” Tanya Tantri sambil berlari dan mengejarku.

“Iya ... Lo yang jadi model iklan gue ...” Kataku tanpa menghiraukan Tantri yang berjalan agak kencang.

“Eh ... Loe serius?” Tanyanya sembari berlari mendahuluiku lalu menghadang di depanku.

“Iya ... Loe kan tau studio gue?” Tanyaku yang langsung dijawab dengan anggukannya. “Lo, duluan sana!” Perintahku.

“Siap, boss ... Yess ...!!!” Pekik Tantri senang. Dia pun berlari-lari kecil ke parkiran timur, sementara aku melanjutkan jalan ke tempat motorku berada.

Tidak ada rotan akar pun jadi. Pekerjaanku harus tetap jalan, soal perubahan model bisa aku bicarakan kemudian dengan Gandi. Dan aku pikir Tantri cukup layak menggantikan Siska, hanya saja masalahnya Tantri kurang pandai berdialog tetapi itu bisa aku ‘akalin’ dengan menggunakan teknologi. Ya, aku terpaksa melakukan ini karena Siska terlalu sibuk dengan acaranya sendiri, seakan pekerjaanku dengannya dianggap sepele. Entahlah, aku pun merasa jengkel dengan situasi seperti ini.

----- ooo -----​

Matahari sudah condong ke arah barat, bayangan terlihat panjang, sinar matahari tidak terasa panas lagi. Aku baru saja menyelesaikan syuting bersama Tantri. Aku cukup puas dengan kinerja Tantri, meski kuakui ada perasaan was-was dan ragu pada awalnya. Kami duduk di teras studio sembari menikmati bakso yang kebetulan lewat di depan studio. Aku memang sudah akrab dengannya sebab beberapa kali orangtua Tantri pernah bekerja sama denganku.

“Boss ... Cabut duluan ...!” Salah satu kru meminta izin pulang.

“Okay ... Jangan lupa hasil editing lo kirim secepatnya ... Kalo bisa malam ini kelar ...” Teriakku.

“Gue usahakan, boss ...!” Sahutnya sambil berlalu mengendarai motornya.

“Gue lupa ... Fee lo gimana?” Tanyaku pada Tantri yang baru saja meletakkan mangkok baksonya di lantai.

Free ... Gue gak butuh uang lo ...” Jawabnya dengan santai. Pantas dia bicara begitu karena rasanya uang fee yang akan ia terima pun tidak akan berpengaruh sedikit pun padanya.

“Njir ... Sombong kali ...” Candaku merasa senang.

“Hi hi hi ... Kalau perlu, lo yang gue bayar ...” Ucapnya lagi yang aku tahu dia sedang bercanda. Tantri memang agak sombong tetapi aku menyukainya. Orangnya masih enak diajak bicara dan tahu batas-batas.

“Cabut yuk!” Ajakku.

“Eh, Gas ... Malem ini ada pesta di rumah gue ... Datang ya ...” Katanya.

“Jam berapa?” Tanyaku.

“Jam delapan dimulainya ... Datang ya ...?” Katanya lagi setengah memaksa.

“Emang pesta apa sih?” Tanyaku lagi.

“Lo kayak wartawan aja ... Tinggal jawab ya atau tidak ...!” Tantri sewot sambil melotot.

“Iya deh ... Gue datang ... Gitu aja marah ... He he he ...” Candaku sambil tertawa.

Tak lama, kami pun pulang ke rumah masing-masing. Satu jam berselang, aku sampai di rumah dan langsung bersiap-siap untuk menghadiri undangan Tantri. Aku mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan celana panjang berwarna hitam. Setelah siap, aku keluar dari kamar, lalu mendekati motor antikku. Kuhidupkan mesin motor lalu tancap gas menuju rumah Tantri.

Singkat cerita, aku sampai di rumah megah yang dijaga oleh beberapa orang security. Untuk masuknya pun aku harus melewati pemeriksaan mereka, bahkan aku harus mengatakan diundang oleh anak pemilik rumah untuk bisa melewati penjagaan mereka. Mungkin aku dikiranya ‘gembel’ karena orang-orang yang menghadiri pesta berpakaian sangat perlente, sementara aku hanya sebegini adanya. Aku sadar dengan penampilanku yang minim ini, makanya aku melipir lewat samping rumah dan bergerak menuju halaman belakang rumah yang penuh oleh para pegawai dan pelayan.

“Eh ... Mas Bagas ... Kenapa gak di dalem?” Tiba-tiba aku ditanya seorang pegawai si pemilik rumah yang mengenaliku.

“Aku di sini aja mbak ... Keder kalau di dalam ...” Jawabku.

“Loh ... Gak apa-apa lo, mas ... Lebih baik ke dalem aja ... Di sini tempatnya orang masak ...” Katanya lagi.

Belum sempat aku menjawab, terdengar dering smartphone-ku. Aku ambil benda pipih itu dari dalam saku celana. Setelah melihat identitas si penelepon di layar, baru aku mengangkat teleponnya.

“Hallo ...” Sapaku pada Tantri.

Lo jadi gak ke rumah gue ...?” Tanyanya agak sengit.

“Ini udah di belakang ... Bantuin masak ...” Kataku.

Kenapa gak masuk? Ah, elo ...!” Kesal Tantri dan langsung saja terputus sambungan teleponku.

Aku lantas mencari tempat untuk duduk. Di depan sebuah taman bunga yang indah, aku menemukan ‘saung’ kecil, dan di sanalah aku duduk. Sepertinya sangat meriah, banyak yang menghadiri acara tersebut. Dalam pengamatanku, orang-orang yang datang bukanlah orang sembarangan. Perkiraanku, mereka adalah rekanan bisnis si pemilik rumah.

“Mas Bagas ... Dipanggil Nona Trantri ...” Ucap salah seorang pegawai yang lain.

“Oh ... Iya ...” Kataku sambil beranjak dari ‘saung’ yang baru saja aku duduk di sana.

Aku pun melangkah di belakang si pegawai. Aku pun tak lama masuk ke dalam rumah dan di sana Tantri sudah berdiri dengan pakaian pesta yang menurutku sangat minim bahan. Baju terusan sebatas paha dan ketat. Tidak ada penutup di bahu. Semua serba terbuka. Aku sempat terbengong, ternyata aku baru sadar kalau Tantri adalah perempuan yang cantik dan sexy.

“Ayo ...!” Tariknya setelah aku berada didekatnya.

Aku pun mengikuti langkah Tantri ke ruangan selanjutnya. Di sini banyak sekali tamu undangan. Beberapa dari mereka memandang kami yang sedang bergandengan tangan. Ada yang tersenyum melihat kami. Dan akhirnya, aku masuk ke ruangan utama. Saat kakiku baru dua langkah di ruangan baru ini, secara refleks badanku menjadi kaku sampai-sampai tarikan tangan Tantri pun terhenti. Mataku yang membuat badanku beku. Aku melihat Siska bersama seorang pria tampan dan yang aku tahu pria itu bukanlah Ferdy, kekasihnya.

“Lo kenapa?” Tanya Tantri keheranan.

“Gue balik aja ...” Kataku sambil hendak berbalik, tapi Tantri menarikku lagi sangat kuat.

“Heh ... Bokap gue mau ketemu lo ...” Ucap Tantri yang tetap menahan gerakanku.

“Bisa besok ...” Kataku memaksa.

“Ada apa ini?” Tiba-tiba suara bass terdengar dari arah belakangku. Aku pun berbalik lagi dan ternyata Om Henry, ayahanda Tantri.

“Ini pah ... Masa sudah datang mau balik lagi?” Ucap Tantri dan kini aku menjadi perhatian semua orang. Aku melirik ke arah Siska, tentu saja dia pun sedang memperhatikan aku, namun tatapannya seperti biasa-biasa saja, mimiknya datar seperti tidak terpengaruh dengan kedatanganku.

“He he he ... Saya cuma mau ngucapin terima kasih ...” Ucap Om Henry sambil tersenyum.

“Oh iya om ...” Kataku walau kurang mengerti arah ucapanya.

“Ya sudah ... Nikmati pesta ini ...” Kata Om Henry sembari meninggalkan aku dan Tantri.

“Udah kan ... Gue cabut ...!” Kataku pada Tantri, lagi-lagi aku ditahannya.

“Lo ini ih ...!” Tantri tetap memegangi tanganku erat.

“Biarin aja kalo dia mau cabut!” Ada lagi suara bass dan kini aku bisa melihat langsung si pemilik suara.

“Eh, Mike ...!” Tiba-tiba Tantri melepaskan cengkramannya pada tanganku. “Kenalin, ini Bagas!” Ucap Tantri lembut pada laki-laki itu. Aku sodorkan tangan untuk bersalaman, namun laki-laki bernama Mike itu hanya memandangku dengan tatapan tidak sukanya. Aku pun menarik tanganku sambil tersenyum.

“Memang lo sebaiknya cabut ... Karena lo gak pantes ada di sini ... Gembel ...” Kata terakhir diucapkannya pelan tapi cukup terdengar di telingaku yang masih normal ini.

“Lo ... Apa-apan sih, Mike ...!” Pekik tertahan Tantri memarahi laki-laki itu.

“Bener kata dia ... Gembel gak pantes ada di sini ... Gue cabut ...!” Kataku kemudian berbalik arah dan berjalan keluar rumah megah ini dari pintu belakang.

Sejujurnya, aku tidak peduli dengan ucapan laki-laki yang bernama Mike tadi. Aku hanya peduli terhadap Siska dengan laki-laki tampan di sampingnya. Laki-laki yang pernah mengambil Siska dari tanganku setahun yang lalu. Seorang pengusaha muda yang sukses di bidang ekspor impor. Aku seperti sedang bermimpi, mimpi yang sangat buruk. Darahku serasa menguap melihat wanita yang aku sayangi bersama pria itu lagi. Sebenarnya apa yang sedang terjadi. Aku masih belum mengerti. Dan entah kenapa aku merasakan bahwa ternyata selama ini kuhidup dalam ilusi yang diciptakan oleh harapan yang dia buat.

Kupacu kendaraanku keluar dari rumah itu dan bergerak cepat menuju suatu tujuan. Kepalaku dipenuhi banyak tanda tanya, perasaanku kacau balau. Saat ini juga, aku merasa ditipu oleh mimpiku sendiri. Aku sangat yakin kalau selama ini dia bersandiwara, tapi apa maksudnya dia tega berbuat itu padaku. Setetes air mataku meluncur tanpa permisi, disusul tetesan lainnya. Ternyata hatiku terluka. Sakitnya melampaui batas indraku. Aku bahkan tak bisa mengingat kapan hal ini bermula.

Setelah satu jam lebih aku sampai di gedung kost Hera. Setelah aku parkir motorku, langsung saja aku berjalan cepat menuju kamarnya. Aku meniti anak tangga hingga sampai di lantai dua. Pintu kamar kost-nya berada di paling ujung. Sambil berjalan, aku tarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Susah payah aku berjibaku menentramkan hatiku yang tengah huru-hara.

Aku pun sampai di depan pintu kamarnya. Namun saat hendak mengetuk, telingaku mendengar suara tawa dari dalam sana. Ketika aku sedang berfikir apa yang harus aku lakukan, aku menghitung dua suara berbeda. Satu orang pria dan satu orang wanita. Aku mendengar suara dari dalam itu sangat ramai, sepertinya mereka sedang bersuka cita. Namun suka cita mereka menjadi sembilu yang begitu menyakitkan. Luka di hatiku terasa semakin bertambah perih, aku memeluk diri sendiri berusaha menguatkan diri.

“Tok ... Tok ... Tok ...!” Aku ketuk pintu itu dengan sisa kepercayaan diriku yang hampir hilang.

Bersambung ...
 
Terakhir diubah:
Wow..ceritanya bagus..
Hera selingkuh ama dibyo, gandi tapi cinta ma bagas..
Dan bagas status pacar hera, tapi clbk lagi ama dinda..
Dan dinda udah punya pacar, baclstreet ama bagas, tapi jiga selingkuh..
Wlwkwk..seru dan pusing habis, tapi ada benang merahnya, semua menuju ke harta+cinta..

Mantap nih..makasih updatenya suhu
:jempol:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd