Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG APA ITU SETIA?

CHAPTER 4



Bagas Pov

Di depan pintu kamar ini, aku mendengar suara tawa dari dalam sana. Ketika aku sedang berfikir apa yang harus aku lakukan, aku menghitung dua suara berbeda. Satu orang pria dan satu orang wanita. Aku mendengar suara dari dalam itu sangat ramai, sepertinya mereka sedang bersuka cita. Namun suka cita mereka menjadi sembilu yang begitu menyakitkan. Luka di hatiku terasa semakin bertambah perih, aku memeluk diri sendiri berusaha menguatkan diri.

“Tok ... Tok ... Tok ...!” Aku ketuk pintu itu dengan sisa kepercayaan diriku yang hampir hilang.

Suara suka cita itu tiba-tiba hilang. Ketukan pintuku serta merta menjadikan kata-kata mereka bersembunyi dan entah lenyap ke mana. Aku tunggu beberapa saat sampai akhirnya knop pintu bergerak dan pintu pun terbuka. Hera bersembunyi di balik pintu, hanya kepalanya yang tampak dengan mimik muka sangat tidak bersahabat.

“Apakah aku mengganggu kalian?” Tanyaku sambil melirik ke dalam kamar sepanjang yang bisa aku lihat. Tak terlihat teman kencannya di dalam sana.

“Ya ... Dan lebih baik lo pergi dari sini ... Gue lagi ada pacar ...” Katanya sengit.

“Pacar???” Pekikku agak ditahan.

“Ya ... Emangnya kenapa? Lo keberatan?” Kata Hera lagi kasar.

“Oh ... Jadi ...” Kata-kataku belum tuntas keburu pintu tertutup sangat keras hingga anginnya menerpa wajahku.

Hanya semesta yang tahu betapa remuknya hati ini. Gelisah berbaur perih tiada terperi. Tak mampu mengelak apa yang terjadi. Lara yang datang bertubi-tubi, membuatku seakan mati berdiri. Kepastian sudah diberikan, namun pengkhianatan menjadi jawaban. Aku menangis tanpa air mata, teriak tanpa suara. Hanya merasakan sakitnya yang sudah merasuk sampai sanubari.

Kini yang tersisa hanya langkah gontai yang siap rubuh apabila ditiup angin. Ternyata aku ini benar-benar kasihan. Kakiku melangkah lemas keluar dari gedung kost ini. Sejenak aku terduduk di atas motorku, terdiam dalam kesepian meresapi hati yang terluka, semakin terpuruk jiwa ini tak sanggup menahan luka. Lukaku begitu dalam, perihku begitu dasyat, bahkan nyawaku nyaris teriris.

Kupejamkan mata, menarik nafas dalam, berusaha menata hati yang kelam. Tinggal aku sendiri. Percintaan ini amat memilukan. Perpisahan ini sungguh menyakitkan. Namun apa daya, terpaksa aku telan. Sekali lagi aku menarik nafas dalam-dalam karena yang aku tahu menarik nafas dalam-dalam adalah cara terbaik untuk membuat seseorang menyegarkan kembali pikiran dari stress dan depresi. Setelah perasaan sedikit tenang barulah aku berani melajukan motor.

Aku melaju dengan kecepatan sangat lamban walau jalanan tidak begitu padat. Sepanjang jalan aku terus berusaha menguatkan hati. Kini aku tengah membenahi hati yang berantakan dari remah-remah masa lalu yang telah beranjak pergi dengan dunianya sendiri dari kekacauan masa lalu yang menghimpit tanpa kendali. Mungkin memang ini jalanku yang harus aku hadapi sendiri, pasti akan terasa sulit dan berat tetapi aku harus kuat dan tangguh. Seberat apapun masalah yang aku alami, aku harus tetap tegar. Lebih baik aku nikmati saja perjalanan hidup ini.

Setelah hampir satu jam, aku sampai di rumah. Keadaan rumah sudah gelap hanya tersisa lampu depan rumah yang masih menyala. “Pasti mama sudah tidur,” pikirku. Dengan begitu pelan kubuka pintu kamar mama. Setelah memastikan mama sudah tidur, segera aku bergegas ke kamarku. Kurebahkan tubuhku di kasur yang tak lagi terasa empuk, sejenak terpejam mengatur pikiranku yang terlalu lelah, aku tak ingin mengeluh meski kenyataannya terkadang aku melanggarnya. Aku sungguh-sungguh tak berharap mengeluh kenapa hidupku seperti ini.

Kembali malam menggantungkan kerlip di ujung tertinggi kuasanya. Begitu menenangkan insan yang sudah berkelana jauh di alam bawah sadarnya. Sulit sekali menenangkan hati dalam kondisi seperti saat ini, yang selalu teringat dalam hati hanya sakitnya hati yang terkhianati. Namun untungnya rasa kantuk mulai mendera dan aku terlelap dengan sendirinya, berharap esok akan kembali memberinya nafas penuh syukur.

----- ooo -----​

Mentari bersinar dengan gagah, di atas cakrawala ia berkuasa. Teriknya tajam menembus kalbu, membuat angin tak jadi bertamu. Aku duduk di taman belakang kampus. Entah kenapa, kalau perasaanku sedang seperti ini pasti aku ke taman belakang kampus. Di seberang sana, terdapat danau buatan yang dihiasi bebatuan dan ikan-ikan berwarna-warni. Di sinilah aku bisa merasa begitu intim dengan kedamaian dan ketenangan.

“Gas ...!” Sebuah teriakan yang benar-benar mengganggu ketenanganku. Suara itu milik Tantri. Bagaimana mungkin aku pura-pura tidak mendengar sementara volume suaranya benar-benar membuat gendang telingaku bergetar.

“Ada apa sih teriak-teriak ...?” Protesku sesaat Tantri sudah duduk di sebelahku.

“Gas ... Maafin ya cowok gue kemaren ...” Ucapnya kini dengan nada sendu.

“Iya ...” Jawabku agak ketus.

“Kok, seperti yang gak rela ...” Ujar Tantri.

“Yang harus minta maaf itu cowok lo, bukannya elo ...” Jelasku.

“Kan gue jadi wakilnya ...” Katanya lagi sedikit memelas.

“Terserah!” Ketusku lagi.

“Ya udah!” Nada kesal Tantri pun keluar dari mulutnya.

Aku yang sedang enggan bicara menjadi teman bicara yang buruk bagi Tantri. Teman perempuanku itu pun pergi dengan mulut yang bersungut-sungut. Sungguh, aku tidak peduli. Aku terus memandang ke arah danau buatan untuk melampiaskan segala emosiku. Tapi, hatiku belum terasa tenang juga. Permainan rasa sungguh tak bisa ditebak, yang dulu begitu dicintai, kini menjadi sakit yang mendalam, yang mulanya dikira istimewa pada kenyataanya malah menjadi kecewa. Semua tak disangka-sangka.

“Sorry ... Ganggu ...” Tiba-tiba seseorang duduk di sebelahku. Sontak saja menoleh ke arah orang yang baru datang.

“De ...” Gumamku pelan tak bersemangat. Ade langsung menawarkan rokok padaku. Aku ambil sebatang dan Ade menyalakan korek api lalu membakar rokokku yang sudah terselip di bibir.

“Lo jangan sedih gitu ... Si Hera memang kurang ajar ... Saran gue, tinggalin dia ...” Tiba-tiba Ade bicara begitu, tentu aku jadi terkejut sekaligus penasaran.

“Kayaknya lo tau banyak tentang dia ...” Kataku ingin mengetahui sejauh mana Ade mengenal Hera.

“Banyak banget, Gas ... Dan rasanya elo gak akan kuat dengerinnya ...” Sambung Ade yang mulai membakar rokok.

“Hhhmm ... Bener ... Lebih baik gue lupain aja ...” Ucapku sambil tersenyum yang sangat dipaksakan.

“Sorry, Gas ...” Tiba-tiba Ade berucap dengan nada yang sarat dengan penyesalan.

“Sorry buat apa?” Tanyaku.

“Pokoknya gue minta maaf ...” Ujarnya lagi dengan nada yang sama.

“Udahlah ... Lupain ...! Ngomong-ngomong, lo punya stok cewek gak ... He he he ...” Aku mencandai Ade. Aku bercanda tentang ‘anak asuh’ temanku ini yang berprofesi ‘germo’.

“Sejak kapan lo doyan perek?” Tanya Ade dengan mimik heran.

“He he he ... Baru ini aja ...” Jawabku sekenanya.

“Tunggu ... Siapa tau lo tertarik ...” Sahut Ade sembari mengeluarkan smartphone-nya.

Aku sebenarnya hanya ingin tahu siapa-siapa saja wanita penghibur yang berada di bawah asuhannya. Ade pun kemudian memperlihatkan foto-foto wanita padaku yang rata-rata berstatus mahasiswi yang barang tentu berparas cantik dan seksi. Suatu ketika, Ade melewatkan sebuah foto, dia langsung ke foto berikutnya. Mataku menangkap sesuatu yang familiar dari foto yang ia lewat tadi.

“De ... Tadi foto siapa?” Tanyaku sambil menahan laju jari Ade.

“Yang mana?” Ucap Ade balik bertanya.

“Coba lo mundur lagi ...” Pintaku dan Ade pun melakukan pintaku, ia mencari foto yang dilewatinya.

“Nah ... Ini ...!” Kataku sambil menahan tangannya.

“Lo suka?” Tanya Ade.

“Gue kok seperti kenal ...” Kataku teringat pada teman sekolahku saat di sekolah dasar dulu.

“Namanya Ayu ... Dia janda anak satu ... Kenapa?” Ucap Ade yang sukses membuatku terkejut hebat.

“Ayu ...?” Gumamku.

“Lo kenal?” Tanya Ade lagi.

“Kayaknya gue kenal deh ...” Kataku dengan perasaan yang penasaran. “Gue pengen yang ini aja, deh ...” Lanjutku saking penasaran.

“Ini nomernya ... satu jam 750 k, dua jam 1.000 k, kalau mau semaleman 2.500 k ... Bayarnya sebelum masuk hotel ... Dan biaya hotel, lo yang tanggung ...” Jelas Ade.

“Oke ...” Kataku sambil mencatat nomor kontak wanita itu.

“Sekarang lo harus bayar ke gue 500 k ...” Ucap Ade sambil membuka telapak tangannya. Aku pun segera mengambil dompet dari saku celana belakang. Aku ambil uang merah lima lembar dan kuserahkan pada Ade. “Tempat dan waktu ketemuan, nanti gue telpon ke elo ... Biasanya dia minta malem ... Karena dia harus kerja dulu ...” Lanjutnya sambil tersenyum.

“Siap ...” Jawabku.

Sejenak aku dan Ade ngobrol sebelum akhirnya kami beranjak dari taman belakang kampus. Entah kenapa aku sangat penasaran dengan Ayu yang kini berstatus sebagai wanita penghibur. Aku sangat yakin kalau dia adalah teman sekolah dasarku. Bahkan dia adalah juara kelasnya. Rasa penasaranku kali ini disebabkan oleh aku pernah menyukainya. Dia adalah perempuan pertama yang aku sukai. Dan aku merasa bahwa perasaan yang aku miliki padanya saat itu adalah cinta monyet, karena usiaku baru dua belas tahun.

Aku berjalan menyusuri koridor kampus menuju tempat parkiran motor. Sesampainya di sana aku naiki sepeda motor antikku kemudian aku lajukan secepatnya ke arah rumahku. Setelah sejam di jalanan, aku pun sampai di rumah. Segera saja aku masuk ke dalam rumah yang kosong kemudian ke kamarku. Kulihat jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul 15.20 sore, masih ada waktu untuk meluruskan pinggang di kasur.

Sambil berbaring aku mencoba bersantai dan merasakan sesuatu yang lain di hati. Entah kenapa, pikiran kusut yang aku rasakan seperti teralihkan kepada rasa penasaranku pada Ayu dan rasanya sangat nyaman. Pikiranku terbebas dari emosi dan kejenuhan hati tergantikan oleh ketenangan dan ketentraman. Dan entah dari mana, tiba-tiba saja perasaan senang muncul dalam diri, meluap mengisi hatiku.

Ketika baru beberapa menit memejamkan mata, smartphone-ku berdering. Dengan mudah aku melihat siapa yang menelponku, tertera dengan jelas nama ‘Ade’. Segera saja kuangkat telepon itu.

“Ya De ...” Sapaku.

Cewek lo pengen ketemuan jam lima, di Hotel Mawar Jalan Kemanggisan! Cewek lo ngenalin lo, Gas ...” Kata Ade di sana.

“Oh gitu ... Oke, gue siap meluncur ...” Jawabku lalu sambungan telepon terputus.

Masih ada waktu satu setengah jam, aku masih sempat mandi dan berdandan seperlunya. Aku merapikan kemeja dan kembali mematut di depan cermin, khawatir ada yang tidak pas pada penampilanku. Setelah itu, aku keluar rumah dan berjalan ke depan kompleks di mana taksi akan sangat mudah aku temukan di sana. Hanya sepuluh menit kemudian, aku pun sudah berada di dalam taksi. Taksi pun berjalan menuju suatu tempat atas perintahku.

Aku tidak tahu seperti apakah sukacita yang sejati itu, tetapi saat ini aku tahu bahwa aku sedang merasakannya. Aku percaya bahwa Semesta memiliki cerita yang unik untuk setiap orang. Dia memberikan yang terbaik untuk hidupku dan mengubah rasa sakit yang aku alami menjadi sebuah kebaikan yang jauh lebih indah daripada yang dapat aku bayangkan. Hidup adalah sebuah pemberian, dan kisah hidupku, tak peduli seperti apapun kisahnya adalah gambaran dari kuasa-Nya.

Singkat cerita, aku sampai di Hotel Mawar tempat di mana Ayu akan menunggu. Seharusnya dia telah menunggu karena jam di tanganku telah menunjukkan pukul 17.10 sore. Setelah membayar ongkos taksi, kakiku melangkah ke arah lobby hotel. Saat aku masuk, tiba-tiba aku menangkap pergerakan mata seorang wanita cantik dan bibirnya yang menyungging senyuman. Wanita itu duduk di sofa yang letaknya di ujung barat lobby hotel. Sambil tersenyum, pandangan matanya tajam menembus tepat di mataku. Kecantikan yang sungguh luar biasa sampai-sampai aku harus menahan nafas akibat aura kecantikannya. Mataku tidak bisa dibohongi kalau dia begitu cantik dengan kecantikan yang tidak dapat dideskripsikan lagi.

Aku melangkah pelan mendekatinya, berhenti sejenak selangkah di depannya. Kupandangi lekat wanita yang pernah aku sukai itu. Jantungku berdebar-debar sangat kuat, tak percaya melihat ciptaan tuhan seindah ini di depanku.

“Bagas ...” Sapanya. Mataku memicing, memastikan apa yang kulihat tidaklah salah. Wanita itu tersenyum manis sambil berdiri dan kemudian mengulurkan tangannya yang putih mulus ke arahku.

“Ayu... Ayu kah?” Tanyaku ragu tapi aku sambut uluran tangannya.

“Syukurlah ... Kamu masih ingat ... Hi hi hi ...” Wanita di hadapanku tertawa lirih, memperlihatkan deretan gigi putihnya. Wajahnya begitu ceria seakan-akan kebahagiaan hanya miliknya.

“Aih ... Maaf aku pangling ... Udah lama sekali gak ketemu ...” Kataku dengan masih berjabat tangan. Ayu adalah teman bermainku waktu kami masih duduk di sekolah dasar. Kami berpisah ketika kami lulus sekolah dasar karena memilih sekolah lanjutan yang berbeda.

“Hampir sepuluh tahun ya, Gas ...” Ucapnya masih dengan senyumannya.

“Iya ... Dan kamu ...” Ucapanku tak tuntas karena masih terkagum-kagum pada keadaannya sekarang.

“Aku kenapa?” Tanya Ayu dengan mengulum senyum.

“Kamu cantik sekali ...” Jujurku yang membuat aku mendapatkan tatapan mesra darinya.

“Ah kamu ini bisa aja ...” Ayu berkilah. “Oh iya ... Kamu pesen dulu kamarnya ...” Lanjut Ayu agak pelan.

Aku pun menyewa kamar hotel kelas tertinggi. Aku rela mengeluarkan uang banyak untuk berduaan dengan wanita secantik Ayu. Setelah membayar sewa kamar hotel, kami langsung menuju kamar hotel di lantai delapan sambil berbincang-bincang menanyakan kabar masing-masing. Tak lama, kami sampai di kamar hotel yang aku pesan. Kamar hotel begitu terasa nyaman, bersih, rapi, wangi, dan hangat. Ayu langsung saja mandi sementara aku berdiri di balkon hotel.

Setelah hampir sepuluh tahun berlalu, kini Ayu telah berubah menjadi perempuan dewasa yang sangat cantik. Dulu pun, aku sempat menyukainya. Dulu aku pernah merasakan cinta padanya, mungkin bagi orang itu adalah cinta monyet mengingat umurku yang masih dua belas tahun waktu itu. Kami sering bersama, kami berteman baik. Tetapi dia tidak pernah tahu kalau aku menyayanginya lebih dari sahabat. Dia hanya tahu aku baik sebagai teman atau saudara.

“Ngelamun aja ...” Tiba-tiba aku harus terperanjat. Ucapan Ayu membuatku terkejut.

“Eh ... Kaget aku ...” Kataku sambil menatapnya. Ayu pun berdiri di samping kiriku yang masih mengenakan bathrobe.

“Lagi ngelamunin apa sih?” Tanya Ayu sembari menyalakan rokok yang sudah berada di bibirnya.

“Nggak ... Aku gak sedang ngelamun ... Aku cuma lagi inget aja waktu kita sekolah dulu ...” Kataku agak berkilah.

“Hi hi hi ... Masa kita belum punya beban untuk memikirkan iuran kredit, yang kita pikirkan hanya PR Matematika ...” Sahutnya santai sambil terkekeh dan mengingat masa silam.

“Hhhhmm ... Hidup tanpa beban, bebas dari segala macam rutinitas, dan tidak ada masalah.” Sahutku.

“Hi hi hi ... Mana ada yang kayak gitu sekarang, Gas ...” Respon Ayu sambil menyenggolkan sikutnya ke lenganku lalu menghembuskan asap rokok lewat mulutnya.

Kami pun ngobrol santai ke sana ke mari, tak ada pembicaraan serius. Kami saling tanya dan menjawab tentang kehidupan masing-masing. Hal yang menarik dari pertemuan kami saat ini adalah ketika ia curhat tentang kehidupannya. Lucunya, ia lebih banyak mengeluh tentang kehidupannya. Dan dari pembicaraan itu aku tahu bahwa Ayu baru saja bercerai dengan suaminya karena lagi-lagi masalah ekonomi. Himpitan ekonomi membuat pernikahannya harus kandas. Dia harus berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan siapa pun.

“Hi hi hi ... Kok aku jadi ngelantur gini ...” Tiba-tiba Ayu menghentikan bicaranya sambil menunduk malu, sementara tangannya melempar rokoknya yang habis ke udara.

“Aku pendengar setia kok ...” Hiburku sambil merangkul bahunya.

“Hi hi hi ... Sekarang aku nikmati saja hidup ini ... Dan berharap ada orang kaya yang mau ngajak kawin sama aku ...” Ucapnya bercanda, kemudian tangan kirinya melingkar di pinggangku.

“Amin ...” Sambutku sambil tersenyum.

“Kamu gimana, Gas? Udah punya calon kah?” Tanya Ayu sambil menghadapkan wajahnya padaku.

“Suram ... Diambil orang ...!” Ucapku nyeplos begitu saja dari mulutku.

“Eh ... Maksud kamu ... Pacar kamu direbut orang, gitu?” Kata Ayu terperangah.

“Ya, begitulah ...” Ucapku dengan helaan nafas berat.

“Hhhhmm ... Pantesan dari tadi muka kamu kurang enak dilihat ... Hi hi hi ...” Katanya dan aku melirik ke wajah Ayu yang aku lihat sejak tadi tetap ceria.

“Emangnya mukaku kenapa?” Tanyaku.

“Ya ... Aku sih udah nyangka kalau kamu lagi sedih aja ...” Jawab Ayu.

“Gitu ya ...?” Gumamku agak pelan.

“Orang sepertimu kayaknya gak layak sedih ama masalah sepele seperti ini ...” Tiba-tiba Ayu mengeluarkan statement yang cukup mengejutkan.

“Gak layak? Masalah sepele? Ngaco kamu ...!” Protesku.

“Ya .. Iyalah ... Orang seperti kamu mah gampang nyari cewek ... Tampang ada, uang punya ... Tinggal tunjuk aja ... Jadi deh ... Hi hi hi ...” Selorohnya semakin ngawur.

“Ah ... Semakin ngaco aja ...!” Aku menggeleng-gelengkan kepala.

“Bukannya aku mau menggurui ya, Gas ... Tapi, galau ama masalah seperti itu mah sepele banget ... Makanya aku bilang gak layak ... Gas, hidup ini jangan dibuat jadi susah ... Kalo jadi susah nanti akan berat untuk melangkah ke depannya ... So, jangan pernah takut untuk senang-senang ...” Jelas Ayu dengan suara yang agak serius. Walaupun kata-kata Ayu singkat tetapi sangat mengena dan bermakna yang dalam.

Tanpa aku suruh, Ayu pun mengeluarkan pendapatnya tentang masalahku ini. Rasanya aku beruntung bertemu dengan Ayu saat ini, wanita yang dengan caranya sendiri bisa membuatku menjadi tenang. Di mataku, Ayu adalah sosok yang pandai memberikan motivasi, terutama untuk masalah hati. Kebingungan, keresahan, dan kegundahan yang aku rasakan dalam sekejap, rasa itu itu hilang, seakan sirna entah kemana. Bagaikan balon udara, hatiku terasa ringan, tenang dan merenggang.

“Gak perlu sakit hati apalagi dendam, karena dendam hanya akan membuat perasaanmu terus-terusan gelisah tidak menentu ... Biarkan saja orang lain memberimu luka, kamu tetaplah menjadi baik untuk dirimu dan bahagiamu ...” Ayu mengakhiri kata-katanya.

“Makasih ya Hen ... Jujur, aku sekarang enakan ... Aku merasa bebas ... Makasih ya ...” Ucapku sambil mempererat pelukan di bahunya.

“Sama-sama, Gas ... Hi hi hi ...” Ayu membalas dengan mempererat pelukannya di pinggangku.

Kami terdiam sejenak, membiarkan udara sore menyapu kami. Hangat tubuhnya dapat dirasakan sehingga menimbulkan efek nafsu birahi dan gelenyar hasrat mulai memanggil. Aku urai pelukanku dan membalikkan badan Ayu sehingga posisi tubuh kami jadi berhadapan dan kini mata kami saling bertatapan, cukup lama kami saling bertatapan hingga entah ada dorongan dari mana kini tangan kami saling remas seperti saling memberikan isyarat kalau kami memang saling menginginkan. Tak lama berselang, Ayu pun tersenyum sambil menganggukan kepala. Dan akhirnya kami masuk kembali ke dalam kamar hotel.

Setelah di dalam kami saling berhadapan kembali, tetapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar. Hanya mata kami yang saling menatap dan memberikan isyarat. Di mataku terlihat jelas wajah putihnya yang mulai merona. Entah apa yang sedang terjadi, perlahan-lahan wajah kami saling mendekat. Deru nafas kami pun mulai terasa satu sama lain. Dan akhirnya, bibirku dan bibirnya bertemu menjadikan suatu ciuman yang lembut sekaligus penuh hasrat.

Di tengah ciuman yang semakin panas disertai deru nafas yang beradu, kami saling menelanjangi diri, pakaian pun berceceran di sekitar kami. Tubuhku dan tubuh Ayu sama-sama bugil, sama-sama bergairah dan sama-sama dalam birahi yang sudah di puncak ubun-ubun. Kami saling merapat. Saling menghangatkan dan saling bergesekan, hingga menciptakan kesyahduan. Kami berpelukan dan membiarkan bibirnya kulumat, beberapa kali ia mengeluh nikmat. Terasa tubuhnya bergetar ketika aku mulai merengkuhnya. Kemudian aku pun mulai menyusuri seluruh lekuk dan liku tubuh wanitaku ini. Semakin lama tubuh itu terasa panas, setiap gumpalan dan tonjolan dagingnya terasa begitu membara dipenuhi gairah terpendam.

Beberapa saat kemudian, aku membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, sementara kedua tangannya terus melingkar di leherku. Nafasnya terdengar agak memburu, Ayu sudah mulai terangsang. Kuperiksa bagian kemaluannya dengan jemariku. Ternyata belum cukup basah, masih terasa agak kering. Kucumbu dia terus supaya gairahnya lebih menggelora.

Entah berapa lama kami saling mencium, saling menyusup dan merangsang. Aku paling suka buah dadanya. Sangat kenyal, besarnya pun sedang saja, tapi puting susunya lumayan besar, berwarna cokelat gelap kehitaman. Terasa sekali puting itu sudah mengeras. Ketika kuremas-remas buah dadanya, wajah Ayu menengadah, matanya terpejam rapat, bibir agak terbuka. Setiap remasan adalah rangsangan bagi tubuh segar ini. Semakin intensif aku meremas, semakin intens juga dia menikmatinya. Ketika kuraba kemaluannya, lendir pelicin yang kental sudah mulai keluar. Perlahan aku mengusap-usap jembut halus yang tumbuh di sana. Sesekali agak kutekan agar menyentuh bagian kelentitnya. Tubuhnya menggelinjang karena geli.

Perlahan tapi pasti cairan pelicin itu mulai keluar, merembes ke permukaan dan mengakibatkan jembut-jembut halus itu terasa mulai kuyup. Rupanya Ayu sudah siap untuk dimasuki. Sambil memegang pangkal kemaluanku aku pun memasukkannya. Terasa licin dan rapat. Batang kemaluanku seperti menembus lipatan daging hangat yang basah oleh lendir.

“Blessss….!” Masuklah aku ke tubuh Ayu. Wanita itu melepas nafas panjang, merasakan nikmatnya gesekan di kemaluannya. Entah kenapa aku sangat-sangat terangsang dengan wanita ini, mungkin ini bukan yang pertama baginya, tapi dia melakukannya seperti baru untuk pertama.

Aku mulai mengayun-ayun pelan dan mulai kurasakan ujung kamaluanku menyentuh liang rahimnya. Sepuluh menit pertama kami mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan rutin. Sementara Ayu pasrah saja sambil memelukku dan membenamkan wajahnya di leherku. Nafasnya semakin lama semakin memburu, tubuhnya semakin panas. Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluhnya semakin membanjir. Tubuhku pun berkeringat, tetapi kami tak peduli, kami terus berpelukan menikmati pergumulan itu. Kami masih bergumul ketika akhirnya memasuki tahap kedua. Kukeluar-masukkan penisku secara berirama di liang kemaluannya yang pasrah itu. Ayu memelukku lebih kuat. Tak peduli dengan tubuh yang bersimbah peluh.

“Crekecrekecrek…!” Sudah lima belas menit lamanya aku menggesek-gesek kemaluan Ayu dengan kemaluanku. Terasa punyaku semakin menegang keras. Kemudian aku menekan kuat-kuat. Ayu membalas dengan mengempot ke atas. Menggerakkan pinggulnya berputar-putar, ganas sekali putarannya. Aku naik turunkan lagi pantatku beberapa kali, kemudian kutekan dalam-dalam ...

“Aaahhhh…” Ayu mendesah nikmat. Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil menggoyang pantatnya ke kiri dan ke kanan. Lipatan kemaluannya yang hangat terasa semakin kenyal dan licin.

“Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ...” Ayu terus mendesah-desah kenikmatan menerima setiap hujamanku.

Aku pun semakin aktif mengocok dan menekan vagina Ayu. Tulang kemaluan kami beradu, bibir kemaluanya yang tebal menahan tekanan itu dengan nafsu, terasa hangat dan sangat basah karena lendir mani Ayu sudah melimpah sedari tadi. Dengan refleknya Ayu mengimbangi setiap sodokan dan goyanganku. Kalau aku cepat, dia pun mempercepat. Kalau aku melambat, dia pun begitu. Sambil menggoyang, kulumat bibirnya, kusedot dan kugigit-gigit kecil buah dadanya.

Di atas kasur dua tubuh telanjang ini bergelimpangan memporak-porandakan sprei, saling memberikan rangsangan kenikmatan untuk meraih ujung syurga duniawi. Kami saling mencumbu dan saling memberi kenikmatan, hingga kami sama-sama bergidik menikmati sensasi demi sensasi. Erangan dan desahan dari mulut kami juga menambah keharmonisan dalam kegiatan penyatuan kelamin ini. Kami terus berpacu dalam kidung-kidung syahwati yang dapat membawa tubuh polos kami terbang bersama angin kemesraan menuju nirwana yang menjanjikan kebahagiaan batiniah. Tak peduli keringat membasahi tubuh, tak peduli nafas terdengar memburu. Aku dan Ayu berlomba untuk mencapai garis finish yang kami harapkan.

Entah berapa lama kami beradu kelamin, tiba-tiba saja Ayu melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat. “Ooooohhhhh…!!!” Jerit nikmat yang dibarengi tubuhnya yang mengejang-ngejang, menggelepar dengan hebatnya. Terasa cairan hangat saat penisku dibanjur oleh cairan vaginanya. Dan aku pun membantunya dengan menekan semakin dalam. Ayu membenamkan tubuhnya ke kasur, menahan tindihanku sambil melepas nikmat, seiring dengan mengalirnya air mani perempuan itu dengan lebih deras. Merembes dari lipatan-lipatan kemaluannya.

“Aaaaahhhh…eigh oh… ennaaakk!” Desah Ayu.

Tak seberapa lama, aku pun mencapai puncak. Kemaluanku terasa berkedut seiring dengan menyemburnya air maniku di liang senggama wanita itu. Tiga atau empat kali batang kejantananku memuntahkan sperma di liang nikmatnya. Sementara liang senggama Ayu pun menggepit-gepit tak terkendali karena tak kuasa menahan nikmat yang luar biasa.

Kami masih berpelukan ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Ayu diam dalam pelukanku, tubuhnya sangat basah oleh peluh. Hawa panas pun terasa menyergap. Berangsur kami saling melepas pelukan dan aku pun turun dari atas tubuhnya. Perlahan Ayu bangkit dari posisi terlentangnya. Wanita itu meletakkan kepalanya di dadaku. Gurat-gurat kepuasan terpancar di wajahnya yang cantik. Sekilas kulihat vagina Ayu yang masih merah dan bibirnya tampak membengkak, cairan-cairan lendir masih menetes dari sela kemaluannya.

“Boleh aku tau ... Siapa wanita yang menyakitimu?” Tanya Ayu pelan.

“Kamu gak perlu tau siapa dia ...” Jawabku sambil membelai rambutnya.

“Aku sih heran saja ... Betapa bodohnya wanita itu ...” Ucap Ayu yang masih dengan suara pelan.

“Kok bodoh?” Tanyaku tidak mengerti maksud ucapan Ayu.

“Ya bodoh lah ... Bahkan dungu ... Apa dia gak tau kalau kamu adalah anak pak Haryono?” Suara Ayu mulai meninggi dan kepalanya terangkat memandangi wajahku.

“Mungkin ...” Gumamku pelan dan aku tidak mau melanjutkan pembicaraan itu. Tentu saja, ucapan Ayu tadi menjadikan aku teringat pada seseorang.

Malam itu kami habiskan waktu dengan bercinta hingga tenaga kami terkuras habis. Sampai akhirnya kami berbaring bersama saling berpelukan. Rambutnya yang ikal dan panjang itu kubelai. Ia bergerak, menyusupkan tangannya di leherku, kemudian memintaku terlentang, dia ingin tidur di dadaku, katanya. Beberapa saat kemudian Ayu pun jatuh tertidur, tak menyadari air liurnya yang menitik dari sudut bibir. Aku pun segera terbang ke alam mimpi.

----- ooo ----​

Siang itu mentari malu-malu untuk keluar. Titik-titik air hujan masih terus turun. Bau tanah basah merasuk hingga ke paru. Hampir dua jam di dalam pesawat aku masih merasakan jet lag yang lumayan membuatku agak pusing. Kakiku sekarang sedang menginjak tanah kelahiranku. Ya, Pulau Bali adalah tempat kelahiranku, tempatku tumbuh dewasa, tempatku belajar bersosialisasi, dan tempatku bermain.

Kini aku berdiri di depan gerbang gedung pencakar langit dengan pakaian sedikit basah dan lusuh. Gedung utama Hastina Holding Company berdiri kokoh dikelilingi tembok dan pagar tinggi. Sistem keamanan ketat dengan kamera pengawas super canggih sudah cukup memberikan tanda bahwa gedung ini bukanlah gedung perusahaan biasa. Sampai sekarang, aku tidak mengerti mengapa orang-orang seolah berlomba-lomba untuk bisa bekerja di perusahaan ini. Tapi jika menebak-nebak, aku pikir perusahaan ini bisa memberi gaji lebih yang bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari para pegawainya.

“Tanda pengenal ...!!!” Petugas keamanan yang berjaga di pos gerbang utama langsung meminta tepat saat aku masuk melangkah. Mataku melirik senjata api yang terletak di bagian pinggang si petugas.

“Oh, Tuan muda Haryono ...” Wajah sangar petugas itu sedikit melunak, binar hormat juga terlihat meski samar. Aku memalingkan muka. Aku tidak menginginkan perhatian ataupun penghormatan seperti itu.

“Anda boleh masuk ... Tuan ...!” Ujar petugas itu lagi sebelum menyerahkan tanda pengenalku kembali.

Tanpa bicara, aku melangkah lebih ke dalam area perusahaan ini. Halamannya cukup luas dengan berbagai ornamen, air mancur dan tanaman menghias di tempat yang tepat. Dilihat secara kasar, orang yang melihatnya pasti tak meragukan bahwa ini adalah perusahaan multinasional.

Aku tak menginginkan perhatian dan berada di tempat ini artinya mau tak mau aku akan menghadapi banyak orang dan pertanyaan mereka. Aku muak dengan tingkah mereka yang terus saja mencari muka di hadapanku, hanya karena aku adalah anak dari pemilik perusahaan ini.

“Tuan muda ...” Suara seorang pria langsung menyapaku begitu aku memasuki gedung utama. “Selamat datang Tuan Muda ... Saya Martin, sekertaris ayah Anda.” Lanjutnya. Aku menatapnya sejenak hanya untuk memberi tanda bahwa aku mendengarkan apa yang pria itu katakan.

“Ke arah sini ...! Tuan Besar telah menunggu. Dan ini,” pria itu menyodorkan sebuah kartu. “Tanpa kartu ini Anda tidak akan bisa mengakses fasilitas apapun di gedung ini.” Lanjutnya.

“Terima kasih ...” Gumamku kemudian mengikuti langkah Martin menuju lift.

Lift yang kami naiki seakan bergerak begitu lamban, setiap detiknya terasa begitu mendebarkan untukku. Aku tidak pernah mendengar kabar tentang papa beberapa bulan belakangan ini. Pada lantai dua puluh satu lift berhenti, pintunya terbuka. Kami kembali berjalan hingga sampai di depan sebuah pintu dengan dua petugas berseragam berdiri tegap di depannya.

“Identitas ...!” Ujar salah satu dari petugas, Martin memperlihatkan kartu identitas yang menggantung di depan dadanya kemudian menginformasikan tentang identitasku. Kami melewati beberapa pintu lagi sebelum akhirnya sampai di ruangan ayahku.

“Tuan Besar ...” Ujar Martin setelah membuka pintu, aku masih berdiri di balik pintu. “Tuan Muda sudah di sini ...” Lanjutnya.

“Biarkan dia masuk ...!!” Mendengar suara papa entah mengapa membuat perutku menegang. Konyol memang, bagaimana aku merasa seperti seorang murid bermasalah yang diperintahkan masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Diam-diam aku meneguk saliva sendiri sebelum menghadap papa yang duduk di balik meja kebesarannya.

Papa terlihat elegant dengan setelan jas hitam yang rapih. Dengan penampilan seperti itu rasanya tak heran jika orang-orang tak mempercayai tentang usianya yang telah menembus kepala enam. Garis wajahnya lembut namun tegas di tulang pipi, menambah kesan tajam mengintimidasi.

“Pah ...” Aku berusaha untuk terdengar tenang, aku sedikit menundukkan kepala saat papa berdiri dari kursi.

“Keterlambatanmu bukanlah sesuatu yang aku favoritkan, Bagas ...” Ucapan papa sedikit keras dan sampai di telingaku.

“Maaf, pah ...” Kataku pelan sambil mengambil tangannya. Papa menghembuskan nafas panjang yang terdengar berat.

“Duduklah!” Perintah papa. Aku melakukan apa yang diperintahkan papa setelah mencium buku tangannya. Aku sungguh tidak berani menatap matanya lama-lama. Bibirnya memang mengulum senyum, tetapi sorot matanya tajam dan dingin.

“Mulai besok ... Kamu pimpin perusahaan papa di Jakarta ... Sudah saatnya kamu menjadi pengganti papa ... Papa sudah lelah dan ingin istirahat ...” Ucap papa yang sukses membuatku terhenyak hebat. Aku angkat kepala dan memberanikan diri menantang matanya.

“Aku belum bisa kalau papa dan mama belum berdamai ...” Ucapku yang lagi-lagi harus kubuat setenang mungkin.

“Ini tidak ada hubungannya dengan mamamu ... Ini antara kita ...” Tegas papa sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

“Aku akan dipecat jadi anaknya, pa ... Kalau aku berani menerima perintah papa ...” Ungkapku.

“Sudah saatnya kamu abaikan keegoisan mamamu ... Sekarang, kamu tempati dulu posisimu sebagai pemilik perusahaan ... Nanti papa yang akan bicara dengan mamamu ...” Jelas papa yang membuatku terlonjak dari dudukku.

“Seriuskah?” Pekikku sangat gembira. Bagaimana tidak, akhirnya papa mau juga ‘mendatangi’ mama setelah sekian tahun berpisah.

“Ya ... papa harus mengalah ...” Ucap papa walau terdengar berat namun sangat membahagiakan.

Tiada ada kebahagiaan yang dapat aku rasakan selain mendengar keinginan papa untuk datang menemui mama. Jalan telah terbuka untuk kami bersatu kembali menjadi keluarga bahagia. Selama ini papa dan mama bersikeras untuk tidak saling bertemu dan saling memaafkan. Kini keadaan sepertinya sudah melunak, salah satu pihak sudah terbuka hati untuk mengalah. Anugerah inilah yang selalu aku tunggu. Ya, sebuah anugerah yang tak ternilai harganya.

Bersambung ...
 
Damn, ga nyangka bagas putra mahkota, hehe

Dengar kata Ayu gas, 'masalah lo itu sepele...jangan lupa bahagia' wakaka, move on bro...

Mudah mudahan ga berubah jadi bajingan lo gas, tunjukan apa arti kata 'menyesal' kepada dunia, bukan arti 'balas dendam' :Peace: be a better man bro!!

Thanks author for the update... :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd