Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Balada Sang Perawan

Jika bisa menghabiskan semalam dengan salah satu perempuan di cerita ini, siapakah yang suhu pilih?


  • Total voters
    569
  • Poll closed .
BALADA SANG PERAWAN (TAMAT)

Epilog: Empat Tahun Setelahnya



Perempuan


Decit kencang kereta yang berhenti membuyarkan lamunannya. Sepanjang perjalanan yang menghabiskan waktu 8 jam ia tak kunjung bisa tertidur. Hatinya terus merasa gugup dan tak tenang. Sesekali ia berusaha meredam dengan membaca beberapa halaman buku yang baru dibelinya saat perjalanan menuju ke stasiun semalam tadi. Namun sayang, hatinya terlalu gundah untuk bisa mencerna kata-kata yang muncul.

Bayangan-bayangan akan masa lalu sedari tadi bergantian muncul di benaknya. Wujud seorang lelaki tak henti menghiasi khayalan itu. Seorang lelaki berkacamata, bertubuh atletis, berwajah biasa saja. Entah apa daya tarik dari lelaki itu yang membuatnya tak bisa berpaling hingga saat ini.

"Kembali ke kota ini lagi," ujarnya pelan, yang hampir seperti gumaman.

----



Dio

Aku mengendarai mobil memasuki parkiran di rubanah hotel. Hotel mewah yang berada di kawasan bisnis yang sedang maju di kota nampak begitu sibuk siang ini. Belasan orang bergantian mondar mandir di area lobi dengan memasang wajah dingin satu sama lain. Namun aku tak begitu peduli. Aku mengambil duduk di salah satu sofa. Aku hanya ke sini untuk menunggu kehadiran seseorang.

Sudah setahun berlalu sejak aku merayakan kelulusan kuliah. Dengan nilai yang hampir sempurna dalam waktu kurang dari empat tahun, aku menjadi lulusan terbaik di angkatan. Masih ku ingat betapa bangganya wajah Mama saat namaku dipanggil untuk berpidato mewakili para wisudawan yang lain kala itu.

Setelah lulus aku tak mengambil jeda yang lama. Aku langsung meraih pekerjaan yang bagus di perusahaan yang berbasis di tengah kota. Dengan gaji yang lumayan untuk seorang lajang, aku mampu menabung dengan cukup baik. Memang tak cukup besar untuk sanggup membeli rumah, bahkan mobilnya pun hanya bisa diperoleh dengan cara mencicil. Namun sudah lebih cukup bagiku untuk mengambil keputusan untuk menikahi kekasihku.

Pernikahan akan dilangsungkan besok di hotel lain yang juga tak kalah besar dari tempat ia berada saat ini. Biaya pernikahan memang ditanggung oleh Om Salim... maksudku Papa yang bertekad kuat untuk mengurus pernikahan ini.

"Kamu kan kerja cari sendiri, biaya hidup juga selalu kamu tanggung sendiri, kalau bisa, untuk pernikahan nanti biarkan Papa yang membiayai," ujar Papa, empat bulan yang lalu.

"Iya Dio. Kami tahu kamu sudah mandiri dan berkecukupan, tapi kamu juga harus tahu bahwa harta yang diperoleh Papa dan Mama selama ini hanyalah untuk kamu, Nissa, dan Desy saja. Hanya kalian anak kamilah yang begitu kami pedulikan selama ini. Jadi tolong terima tawaran Papa ya..." ucap Mama, sambil mengiba. Ia sebenarnya tahu betul kalau aku memang berencana membiayai pernikahanku sendiri. Desakkan Mama itu membuatku mau tak mau harus setuju. Lagian tidak ada hal yang juga membuatku harus menolak bantuan uang dari Papa dan Mama.

Sejak pernikahan mereka tiga tahun lalu keadaan perekonomian kami memang semakin melejit. Om Salim yang setelah menikah dengan Mama kini ku panggil sebagai "Papa" meninggalkan bisnis gelapnya, dan mulai fokus membangun perusahaan investasi kala itu. Berkat jaringan luas dan nama besarnya, tak makan waktu yang lama bagi usaha itu untuk melejit.

Begitu juga dengan Mama. Setelah meninggalnya Pak Yono empat tahun yang lalu, tanpa diduga Mama ternyata ditunjuk untuk menggantikan posisinya sebagai wakil dekan. Berkat keuletan dan ketegasannya, karier Mama terus merangsek naik hingga akhirnya menjadi dekan di fakultas. Sebaliknya, kasus Pak Yono tak pernah terungkap. Terkubur dalam bersama tubuhnya yang kaku.

Entah mengapa termenung di lobi hotel seperti ini membuatku banyak melamun. Seluruh peristiwa-peristiwa yang lalu bermunculan di kepalaku bergantian. Tentu saja yang tak akan pernah aku lupa ialah tentang seluruh kehidupan liarku yang bermula pada empat tahun lalu. Kala diriku menjalin hubungan tak hanya dengan seorang perempuan, namun enam perempuan sekaligus. Nissa, Aurel, Mama, Elma, Desy, dan Kak Sasha. Perempuan dengan karakter dan rupa yang berbeda. Dan, hari ini, sehari sebelum pernikahanku. Aku akan bertemu dengan salah satu dari mereka di hotel ini.

Entah mengapa, sejak menikahnya Mama, aktivitas seksualku menjadi terbatas. Aku dan Mama bertekad untuk menjaga perasaan Papa dan sepakat untuk tak lagi melakukan hubungan badan. Desy yang kini menjadi adik angkatku juga mulai menjaga jarak. Nissa yang setelah lulus SMA langsung melanjutkan pendidikan seni ke ibu kota hanya sesekali saja berhubungan badan denganku. Elma yang kini telah bercerai mulai menata kembali hidupnya. Kami masih sering berhubungan badan sebelum akhirnya ia pindah ke kota lain selepas wisuda. Sedangkan Kak Sasha dan Aurel...

"Kak Dio!"

Suara yang muncul dari arah lift mengalihkan lamunanku. Seorang perempuan yang begitu rupawan datang menghampiriku. Seorang perempuan yang jauh-jauh datang dari ibu kota untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Dadanya terlihat semakin ranum di balik busananya yang tertutup. Nissa terlihat begitu cantik sekarang.

Nissa langsung memelukku erat. Ku rasakan payudara bulatnya menekan dadaku. Begitu lembut, nampaknya dia tak memakai bra sama sekali di balik kemejanya. Kehadirannya sontak membuatku lebih bergairah.

"Yuk, naik," ucapnya, sambil tersenyum nakal padaku.


Nissa

Ku rasakan kemaluan di balik celanaku sudah berdiri tegak sejak tadi. Sudah setahun lebih sejak aku bersenggama dengan adik kandungku ini. Dia memang jarang pulang ke rumah sejak memutuskan hidup merantau.

Kini kami telah duduk berdua di atas ranjang. Ku tatap wajah adikku sekali lagi. Rautnya masih sama kala kali pertama kami bersenggama. Wajah yang ceria, penuh nafsu, namun tetap menampakkan senyum kekanakan. Aku tak sabar membuat wajahnya memerah dan berkeringat kala vaginanya dimasuki penisku.

Ku raih tangannya yang dingin, ku tarik menuju ke tonjolan di atas celana kainku. Nissa membalasnya dengan menyerbu bibirku, membuatku terbaring di atas ranjang.

"Nissa kangen banget sama ini Kak."

Tangan Nissa mulai menarik turun retsletingku. Mengeluarkan penisku dari balik celana. Mengelusnya dengan halus sambil terus mencium bibirku.

"Nissa kangen dengan ukuran besarnya."

"Emang di kampus kamu ga ada yang segini ukurannya?"

Sambil menggeleng ia lalu mulai menjilati telingaku. "Aku gak suka sama kontol selain punya Kakak."

"Tapi besok Kakak udah jadi milik perempuan lain, Nis."

Lidahnya semakin liar menggeliat di telingaku. "Nissa bakal minta izin ke istri Kakak buat ngentot sama Kak Dio. Kalau perlu dia ikutan juga."

"Ahhh," sialan, ucapan nakal seperti itu selalu membuatku lemah. Kini penisku semakin mengeras.

Kali ini gantian ku balikkan tubuh Nissa. Dengan setengah berdiri, ku buka seluruh pakaianku. Membuat tubuhku telanjang bulat di hadapan Nissa yang masih berpakaian utuh lengkap dengan kerudungnya.

Nissa turut menarik turun celananya. Melepasnya dengan perlahan hingga menampilkan paha dan kaki rampingnya.

Sambil menggigit bibir bawahnya, Nissa menarik tanganku mendekat.

"Gesekkin kontol Kakak, ke sini," tubuhku tertarik ke arah Nissa. Penisku sontak saja langsung bertemu dengan celana dalam Nissa yang tipis. Gundukkan vagina Nissa sedikit menyembul menekan balik kemaluanku. Terasa basah dan hangat di dalam sana.

Penis yang sudah begitu keras ku tekan erat ke arah Nissa. Menggeseknya naik turun. Ku rasakan penisku mulai berdenyut. Ia mendesah pelan.

"Ku masukkin ya Nis."

"Tunggu Kak. Nissa masih punya satu kejutan lagi."

"Kejutan apa?" bisikku.

"Masih nakal aja ya kalian," seru suara dari belakangku. Suara yang sangat familiar bagi telingaku.

Dengan perasaan sedikit kaget, aku menoleh. Seorang perempuan paruh baya dengan tubuh kencang, berambut pendek, sedang bersandar di dinding di belakangku. Entah bagaimana dia bisa masuk ke sini, entah sejak kapan.


Mama

"Mama udah dari tadi di sini, kata Nissa sembunyi di toilet dulu buat kejutan kamu," ucap Mama, seakan membaca isi pikiranku.

"Nissa udah nyiapin semua kejutan ini, dan Mama setuju. Seenggaknya untuk malam ini saja."

Aku masih terpaku melihat Mama. Wajahnya begitu ayu dan tenang, namun juga nampak begitu nakal dan bergelora. Kehadiran Mama begitu mengintimidasiku dengan senyuman tipisnya yang rupawan. Mama hanya bersandar saja di dinding mengenakan kemeja putih yang tak terkancing. Ia tak mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Menampilkan garis-garis payudara, perut kencang, dan bulu-bulu di kemaluannya.

Mama kini menghampiriku sambil mengikat rambut pendeknya. Gerakan tangannya yang ke atas membuat kemejanya sedikit tersibak sehingga payudaranya semakin jelas terekspos. Sekilas nampak putingnya yang masih berwarna coklat mengintip. Sambil menatap ke arah penisku yang masih mengeras, Mama tak henti tersenyum, "Mama, juga kangen sama ini, Yo," ucap Mama sambil mengelus penisku.

"Aku juga kangen sama tubuh Mama," ucapku sambil mengangkat tubuh Mama yang begitu ramping, menaruhnya di atas pangkuanku. Kini ku rasakan vagina berbulu Mama yang basah bergerak pelan di atas batang penisku.

Nampak Mama begitu terangsang, wajahnya mulai merona, matanya sayu. Ku sibak kemeja Mama. Ku letakkan kedua tanganku di payudaranya yang mungil dan kencang. Kedua jari jempolku bergerilya memainkan puting susu yang keras.

"Ahhhh, mainin Yo," ucap Mama, sambil menggesekkan vaginanya dengan lebih kencang. "Ini kado pernikahan kamu dari Mama dan Nissa."

"Kadonya indah Ma, Aku suka," ucapku, sambil mencium payudara kiri Mama. Sesekali ku julurkan lidahku lalu menyedotnya pelan. Tubuh Mama bergerak tak karuan membuat penisku semakin nikmat ditindih olehnya.

"Kamu bisa minta apa aja malam ini Yo. Mama dan Nissa bakal ngasih kamu semuanya," ucap Mama sambil berpegangan erat di punggungku. Tangannya masih sama kencangnya dengan terakhir kali kami bercinta. Tubuh Mama sama sekali tak terlihat seperti wanita seusianya.

"Aku boleh minta apa aja Ma?" tanyaku, mengulangi ucapan Mama.

"Iya, Yo. Apa aja, asal Mama bisa ngerasain penis kamu sekarang."

Kini tatapanku balik ke arah Nissa. Ia masih mengenakan kemeja dan kerudungnya, namun tubuh bagian bawahnya sudah telanjang bulat. Dengan pelan ku ulangi pertanyaanku kepadanya, "Kakak boleh minta apa aja?"

Nissa mengangguk pelan. Ku lihat matanya juga sudah mulai sayu.

Ini adalah kado pernikahan terbaik, batinku. Dengan perlahan aku melepaskan tubuh Mama dari pangkuanku. Mama nampak sedikit tak rela sebelum sadar bahwa akulah yang memerintah hari ini.

Ku raih telinga Mama, lalu ku bisikkan. "Aku mau Mama isapin payudara Nissa. Semakin liar Mama isap, semakin liar juga aku muasin Mama."

Mama mengangguk pelan. Dengan menurut ia mulai mendorong tubuh Nissa hingga terbaring. Nissa yang bingung menatapku dengan tatapan penuh tanya. Namun aku hanya tersenyum sambil menyaksikan ibu dan anak itu beraksi.

Tanpa ku sangka, Mama memulainya dengan improvisasi. Ia meletakkan tangan kanannya ke telinga Nissa lalu mengelusnya pelan. Kini Mama menungging di atas Nissa, lalu mengecup bibirnya pelan. Sekali kecupan, dua kecupan, hingga pada kecupan ketiga Nissa seakan paham. Ia balas menyambar kecupan Mama dengan buas. Kali ini mereka saling berpagut, menukar lidah satu sama lain, dan berciuman mesra seakan lupa akan siapa mereka.

Mama lalu menarik kepalanya dari Nissa. Sambil tersenyum nakal padaku, ia lalu mulai meremas payudara Nissa dari balik kemeja. Ku dengar Nissa makin mendesah. Kedua kakinya terjepit menahan desakan nafsunya.

Mama mulai membuka kancing kemeja Nissa. Mulai dari kancing teratas. Baru satu kancing terbuka, sisi atas payudara Nissa sudah langsung menyembul banyak. Memang sangat besar payudara adikku ini. Pada kancing kedua, puting susu Nissa sudah terlihat. Warnanya yang kecoklatan yang begitu serasi dengan warna kulitnya. Mama memainkan jarinya di lingkaran areola Nissa. Lalu kembali membuka kancing kemeja Nissa hingga pakaiannya terlepas seluruhnya di ranjang.

Pikiranku tak menentu melihat ibu dan anak itu saling menindih. Payudara Nissa mengenai kemeja dan sebagian payudara Mama. Kulit Mama yang coklat bertemu dengan kulit sawo matang Nissa. Ku lihat keringat mulai membasahi dahi Nissa, seperti kerudung yang belum dilepas sedikit membuatnya kegerahan. Mata mereka menatap saling nafsu.

Mama lalu mulai mendekatkan lidahnya ke puting payudara Nissa. Menjilatinya secara pelan, seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali merasakan makanan yang tak dikenal. Sekali jilatan, dua jilatan, hingga akhirnya Mama mulai memutari puting Nissa dengan lidahnya. Membuat Nissa mendongak tak berdaya sambil memegang kepala Nissa.

Aku tak tinggal diam. Kali ini aku berdiri di belakang Mama. Ku lihat Mama menatap balik ke arahku, dengan senyum tipis penuh maknanya lalu kembali menjilati payudara Nissa.

Ku pegang vagina Mama yang semakin basah. Sepertinya penisku bisa langsung masuk ke dalam. Ku dorong pinggangku dan blesss...

"Ahhhhh," desah Mama kencang sambil memegang erat sprei.

Ku rasakan penisku sudah hampir masuk semua ke vagina Mama. Begitu basah di dalam sana. Jepitan dari vagina Mama selalu saja terasa sesak. Kebiasaan berolahraga, membuat vagina Mama tetap terasa kencang meski telah berusia lebih 40 tahun. Sambil menampar pantat Mama, aku mulai menarik penisku.

"Ahhhh ya entotin Mama," ucap Mama, nampak wajahnya sudah begitu terangsang. Keringat mulai berkumpul di dahinya.

"Ahhh iya Ma," ini benar-benar nikmat. Saking basahnya, dalam waktu sejenak saja penis besarku sudah bisa leluasa keluar masuk ke vagina Mama. Aku terus menampar pelan pantat Mama. Membuat desahan Mama semakin kencang. Jejak berwarna merah sudah tercetak di pantatnya.

"Isap payudara Nissa ahhh," ucapku, lalu menampar lagi pantat Mama.

"Iya ahhh, ini aku isap toket anakku ahhh," kali ini Mama benar-benar lupa diri. Ia menghisap payudara jumbo Nissa dengan begitu cepat dan kencang. Kedua tangannya menahan tangan Nissa di ranjang, membuat Nissa hanya bisa menggelepar menikmati pelayanan dari ibu kandungnya.

Goyangan pantatku semakin kencang. Kemeja Mama yang belum dilepas kini sudah mulai kusut dan menciut karena keringat. Cairan yang keluar dari tubuh Mama membuat kemeja itu jadi transparan. Menampilkan punggung rampingnya yang menawan.

"Dio, Mama udah mau nyampe Yo," ucap Mama kencang. Ia tak menahan suaranya sama sekali. Tak seperti kala kami bercinta di kamarku dahulu.

Namun aku tak rela jika Mama sudah harus orgasme. Tanpa memberi tahu, aku langsung menarik penisku keluar. Membuat Mama seketika langsung menoleh dengan tatapan penuh kecewa. Kali ini giliranku untuk tersenyum menggoda. Ku cium kening Mama.

"Aku mau nyoba Nissa dulu."

Meski merasa gantung, Mama langsung mengangguk. Kini ia meminggirkan tubuhnya ke samping tubuh Nissa. Mengambil posisi terbaik untuk melihat anaknya saling bercinta.

Ku cium bibir Nissa yang langsung membalasku juga. Sepertinya ia sudah tidak sabar merasakan penisku. Namun aku tak ingin mencumbunya dengan gaya misionaris. Aku lebih suka melihat payudara besarnya bergerak naik turun. Aku langsung terduduk bersandar ke dipan ranjang, dan tanpa diberi tahu pun Nissa langsung sadar dan mengambil posisi di atas pangkuanku.

Ku isap payudaranya dengan seksama. Merasakan rasa ludah Mama yang tadi menempel di sini. Sesekali aku memainkan klitoris Mama yang sedang duduk di samping kami.

"Ahhhh," desahku, ternyata Nissa sudah memasukkan penisku ke vaginanya.

"Ahhhh kontol Kak Dio terbaik, ahhh," ucapnya, sambil menggerakkan dirinya naik turun secara pelan. Belum bisa leluasa, meski Nissa sudah begitu basah namun vaginanya masih terasa begitu sempit. Sepertinya ia benar-benar tak pernah bercinta dengan orang lain di sana hingga dinding vaginanya bisa menjepit senikmat ini.

Ku tatap tubuh Nissa yang langsing atau mungkin kurus, apa pun itu ia terlihat begitu cantik di atas pangkuanku seperti ini. Payudaranya memantul seiring gerakannya yang semakin cepat. Keringat membasuh tubuhnya di ruangan yang dingin ini.

"Ahhhh, Kak Dio."

Ia memang cantik dengan kerudung seperti ini. Namun aku ingin sekali melihat rambut adikku saat ini. Aku pun langsung menyibak kerudung Nissa, membiarkan rambutnya menyambut udara dengan bebas. Ternyata sedikit di luar dugaan, rambut Nissa kini sudah tak lagi lurus dan panjang seperti terakhir kami bercinta. Rambutnya saat ini sedikit bergelombang dan diwarnai merah sebagiannya. Ia terlihat lebih segar dengan rambut barunya.

"Cantik sekali kamu, Nis," ucapku, refleks.

Ia hanya tersenyum sambil tetap menggenjot penisku.

"Jangan digoda adiknya, besok kamu udah nikah loh," ucap Mama dari samping. Aku menanggapinya dengan tertawa, namun ku raut wajah Nissa sedikit berubah. Pipinya lebih merona dari sebelumnya.

Puas dengan posisi ini. Kali ini aku mendorong tubuh Nissa terbaring di kasur. Baru saja aku hendak menidurinya lagi. Namun kali ini Mama menginterupsi.

"Kamu pilih Mama atau Nissa?" ucap Mama yang ternyata ikut berbaring telentang di atas Nissa. Kemejanya sudah dilepas, membuat kulit putih mulusnya terekspos bebas.

"Pilih Nissa, Kak. Nissa mau kontol kakak," ucap Nissa sambil menggenggam tanganku.

"Kalau kamu milih Mama, kamu bisa ngelihat Mama ngejilatin toket adikmu loh," ucap Mama, sambil menggigit bibir. Sial, dia terlihat begitu muda dengan pose ini.

"Nissa juga bakal jilatin memek Mama kalau kak Dio milih Nissa," ucapnya, ia tak melepas tanganku sejak tadi.

Sial, aku jadi bingung. Dua perempuan yang begitu jelita ini berebut ingin mencoba penisku terlebih dahulu. Namun tiba-tiba aku mendapatkan ide.

Aku langsung meraih kain kerudung Nissa yang berserak di atas ranjang. Ku lepas kacamataku, lalu ku ikatkan kerudung itu menutup kedua mataku. Sambil berbaring, aku berkata, "Kalian aja yang milih, senggama aku. Biar aku nutup mata," ucapku.

Dalam kegelapan itu aku berbaring. Tak melihat apa pun meski masih ada sebersit sinar yang menembus kerudung. "Ahhhhh," desahku, tanpa menunggu lama ku rasakan vagina menghujam penisku.

"Ahhhhh."

"Ahhhh."

Aku tak kunjung bisa menahan desahanku. Ternyata dicumbu sambil menutup mata seperti ini rasanya jauh lebih nikmat.

Sepertinya orang yang sedang bersenggama denganku berusaha sekuat tenaga untuk menahan desahannya. Aku tak tahu entah ini Mama atau Nissa yang ada di atasku. Sambil berusaha meraba, aku mencari payudara perempuan itu. Dengan menyentuh payudara akan sangat mudah untuk menerka siapa yang berada di atasku ini.

Namun belum sempat aku menyentuh payudara, tiba-tiba saja tanganku ditarik ke arah samping. Sialan, ternyata mereka kini mengikat tanganku. Membuatku benar-benar jadi bulan-bulanan di bawah tubuh mereka. Masa bodoh, ini sangat nikmat. Aku harus menikmatinya saja.

"Ahhhh, ahhhh."

Berkali-kali ku rasakan mereka saling berganti. Memompa penisku dengan cepat. Vagina yang begitu rapat, begitu basah, membuatku bagai terbang ke angkasa. Hingga akhirnya satu perempuan orgasme di atasku, dengan suara mengejan yang begitu kencang ia menyemburkan sedikit cairan dari vaginanya.

"Ahhhh, ini enak ahhhhh," itu suara Nissa. Pasti indah sekali bisa melihat adikku orgasme di atas tubuhku.

Kini Nissa melepaskan vaginanya yang masih berdenyut. Yang dengan cepat digantikan oleh Mama. Sambil menciumi dadaku, Mama lalu melepas penutup mataku. Terangnya cahaya lampu langsung menimpa wajahku.

"Udah ketauan ya, siapa yang di atasmu sekarang," ucap Mama sambil tersenyum nakal.

Sambil duduk di atasku Mama mulai memompa naik turun vaginanya. Ia terus bergerak kencang. Memang luar biasa fisik dan stamina Mamaku ini, tak sekalipun ku lihat gerakannya mengendor. Ku rasakan zakarku sudah semakin mengencang. Penisku sudah siap menyemburkan air mani.

"Ma, aku udah mau keluar Ma..."

"Ahhhh, sini tumpahin di rahim Mama sayang," ucapnya.

Ku lihat tubuh Mama sudah begitu basah. Bahkan rambutnya sekali pun sudah dipenuhi peluh. Payudara kecilnya bergoyang-goyang mengikuti gerakannya. Tak ada yang akan menyangka jika wanita anggun yang juga seorang dekan ini bisa begitu liarnya menikmati anak kandungnya sendiri.

"Ahhh iya Ma, terus hujam aku Ma."

Ku lihat ke arah Nissa yang sudah terbaring lemas di samping. Memang benar, wajahnya pasti terlihat begitu indah.

"Ma, Dio mau keluar Ma," aku benar-benar sudah tak tahan. Jepitan vagina Mama seakan menyedot penisku dengan erat. Siapa yang bisa tahan lama jika melihat wajah Mama yang terangsang sedemikian rupa?

"Keluarin Yo. Keluarin, ini enak banget ahhhh."

"Ahhh ahhh iya Ma..."

Tubuhku semakin mengencang. Kedua tanganku yang terikat membuatku tak berdaya. Seluruh tubuhku bagai mengirimkan stimulan. Aku berusaha menahan untuk tidak langsung orgasme, namun nampaknya gagal. Perasaan ini begitu nikmat. Ku rasakan air maniku sudah mulai naik. Menyemprot keluar menebarkan benih ke dalam rahim Mama.

"Ahhhhh, aku keluar Ma...."

Entah berapa semprotan yang keluar. Kepalaku bergerak ke kiri dan kanan. Nafasku memburu dengan cepat. Tubuhku melonjak kencang membuat ikatan di tanganku hampir terlepas. Mama lalu menghentikan gerakannya. Membiarkan aku menikmati orgasmeku terlebih dahulu.

Ku rasakan sprei di bawah tubuhku sudah sangat basah. Setelah orgasme, rasa dingin dari basah dan dingin AC mulai menyerbu tubuhku.

Mama lalu menunduk ke arahku, "Sana bersih-bersih dulu, setelah ini Mama yang mau diikat," ucapnya sambil mencium keningku.

"Akan aku buat Mama gak berdaya juga kayak aku tadi," ucapku tersenyum, meski lelah aku tahu kalau aku masih bisa melakukan ini berkali-kali lagi.



Malam itu kami lanjut bersenggama hingga entah berapa kali. Baik Mama dan Nissa telah memuaskanku dengan begitu hebatnya. Percintaan kami yang terakhir kalinya. Sebelum aku harus menjadi milik seorang perempuan lain. Sebelum aku memiliki keluargaku sendiri lagi.

Menjelang pagi, kami hanya berpelukan mesra saja. Tahu bahwa momen seperti ini tak akan kami lalui lagi. Apa pun itu aku hanya bisa berterima kasih pada mereka, karena telah memberiku kado pernikahan paling manis yang pernah ada.

---



Perempuan

Ia tak punya banyak waktu untuk beristirahat. Setelah perjalanan panjang di kereta yang dingin dan lengang, ia harus buru-buru mempersiapkan diri. Mengenakan kebaya dan riasan tipis untuk membuatnya terlihat cantik di pesta nanti.

Berulang kali ia memandang ke arah cermin. Bukan untuk mengetahui bahwa dirinya sudah terlihat rupawan, namun untuk memastikan bahwa ia masih bisa tersenyum nanti. Senyum yang sedari tadi ia terus latih, agar tidak terlihat terpaksa di hadapan orang-orang.

Kini ia sudah berdiri di depan hotel. Nampak dekorasi mewah dan tamu-tamu yang glamor berdiri di depan. Pernikahan megah yang tentu saja menyenangkan. Menyenangkan bagi siapa pun, kecuali baginya.

Seandainya saja empat tahun lalu ia mau berusaha lebih. Seandainya saja ia tidak terlalu pasif dan memilih pergi sebelum Dio mengucapkan jawabannya. Mungkin saja bukan dialah yang menjadi undangan di pernikahan ini. Ia tahu Dio lebih mencintainya saat itu, ia hanya tak ingin membiarkan perempuan lain menanggung sakit hati. Sedari dulu ia memang terbiasa mengalah.

"Kak Sasha," tegur suara dari belakang, Nissa berjalan mendekat.

"Halo Nissa, makin cantik saja sekarang," ia memeluk erat adik sepupunya itu. Ini adalah senyum palsu pertama yang ia harus keluarkan hari ini. Tiap detik berlalu, perasaan sakit di hatiku semakin bertambah perih.


Kak Sasha

---

Empat tahun lalu

"Kalau Dio milih tetap sama Kakak?"

"Berarti kamu harus mundur. Hargain hubungan kami berdua, aku yakin pasti gak akan sulit bagi kamu untuk nemu laki-laki yang cocok."

"Kakak nyepelein perasaan aku, ya?" kali ini Aurel mulai merasa sewot.

"Hei, hei, tolong bicarakan baik-baik saja," ucapku, berusaha menengahi.

"Ya kan gara-gara kamu!" ujar mereka bersamaan. "Seenaknya ngedekatin semua perempuan." Kali ini mata para pengunjung stasiun menoleh ke arah kami.

Aku tak bisa menyalahkan Kak Sasha karena memaksaku untuk memilih. Karena memang benar kata mereka, akulah yang patut disalahkan. Toh, aku memang sempat merasa patah hati karena Aurel. Aku memang memiliki perasaan kepada mereka berdua. Hanya saja kali ini aku tak bisa lagi merasa nyaman. Seseorang memang harus tersakiti.

Ku tatap ke arah Aurel. Kini ia tertunduk sambil mengepalkan tangan. Jika aku memilih Kak Sasha maka ia tentu akan mengambil kopernya dan kembali pulang ke rumah. Untuk apa dia mati-matian melawan orang tuanya demi lelaki yang bahkan tak memilihnya? Mungkin dia lebih memilih tinggal di sana dengan nasib yang ia anggap tidak membahagiakan daripada membiarkan dirinya berharap pada orang yang salah.

Ku lirik ke arah Kak Sasha. ia menatapku balik sambil mengangkat kedua bahunya. Ia juga sama bingungnya. Aku menunggu siapa tahu ia ingin berucap sesuatu, namun tak kunjung sepatah kata keluar dari mulutnya. Yang aku tahu, jika aku melepaskan Kak Sasha saat ini maka sama saja aku melepaskannya selamanya. Hati Kak Sasha yang selama ini tertutup telah dibuka hanya untukku saja. Bahkan lebih itu, ia juga hanya membukakan tubuhnya untukku juga. Mungkin akan sulit baginya untuk percaya pada cinta lagi jika aku mengkhianatinya saat ini.

Namun aku harus memilih. Kereta Kak Sasha akan berangkat tiga menit lagi. Aku harus menjawab penantian mereka.

"Aku pilih..." aku memang menyayangi Aurel. Perempuan kekanakan yang dipuja oleh banyak lelaki. Namun sesekali ia ceroboh dan kurang memperhatikan perasaan orang lain, sebuah sikap yang sering kali membuatnya terjebak dalam keadaan sulit. Ada sikap dalam diri Aurel yang membuatku merasa bertanggung jawab untuk membahagiakannya. Tapi Kak Sasha... dia adalah perempuan pujaanku sesungguhnya. Ia yang selalu membuatku nyaman. Ia yang suka menyendiri dan sulit ditebak. Aku sungguh-sungguh menya...

"Lupakan saja, Dio," ucap Kak Sasha tiba-tiba.

Aku menatapnya dengan perasaan terkejut. Tapi Kak Sasha langsung mengalihkan pandangannya.

"Keretaku sudah mau tiba. Aku pengen ke toilet dulu sebelum berangkat. Mending kalian pulang duluan," ucapnya sambil buru-buru berjalan menyeret kopernya.

Kepergian Kak Sasha membuatku diam terpaku. Ia meninggalkan rasa kosong yang dalam di hatiku. Aku baru saja akan memilihnya. Ia tahu itu, ia tahu bahwa aku pasti akan memilihnya. Aku tak mengerti mengapa ia langsung berubah pikiran. Aku pikir dia ingin mempertahanku tadi.

"Yuk, kita pulang," ucap Aurel, sambil meraih telapak tanganku. Ku rasakan tangannya yang halus di jemariku.

"Yuk," Ku remas kembali tangannya. Mungkin memang ialah perempuan yang seharusnya ku pilih.


Aurel
 
Terakhir diubah:
Terima kasih suhu-suhu atas antusiasmenya sama Cerbung pertama nubi.
Mohon maaf juga jika ada jarak 6 bulan antara Bab 20 dan epilog, yang disebabkan beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan Nubi sehingga tidak bisa terus konsisten menulis.
Meski statusnya sudah tamat, mohon threadnya jangan ditutup karena Nubi saat ini sedang mempersiapkan cerita baru, dengan tokoh dan latar kehidupan yang berbeda dari Balada sang Perawan. Jika sudah rilis akan diumumkan di thread ini.

Yuk tetap ramaikan thread ini.
 
Bagus bangettt ini suhu...
Penulisan dan tema nya keren, ane suka... Lanjutkan karya mu suhu

Dulu ane sempet baca semua, tapi Karena kelamaan jadi lupa... Kayanya mesti ulang lagi nih... Wkwkwk
:semangat::semangat:
 
Siap author, ditunggu cerita barunya
Semoga diberi kelancaran dalam menulis
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd