Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BULE: DUE DEATH

PeterPawker

Kakak Semprot
Daftar
30 Jan 2024
Post
188
Like diterima
588
Bimabet
Selamat malam, para Suhu. Setelah kejar tayang menyelesaikan dua cerita berbayar di lapak sebelah berinisial KK, saya butuh me time dengan cara membuat karya yang sedikit longgar dan free to read. Cerita ini terkesan santai karena PoV-nya orang pertama, si Bule. Gaya bahasanya sedikit tidak formal, karena ini proyek suka-suka. Ceritanya ringan saja sih, seputar kehidupan si Bule. Cerita ini tidak murni cerita esek-esek, jadi porsi adegan ena-enanya tidak bakalan memenuhi ekspektasi Suhu semua. Bahkan bisa dibilang cuma sekedar bumbu saja. Jadi bila para Suhu berharap cerita ini isinya gaspol esek-esek, ya mohon di-skip aja, karena pasti kecewa. O iya, saya malas mencari mulustrasi, jadi ya tidak ada mulustrasi. Para Suhu sekalian bebas membayangkan tokohnya seperti apa. Saya tidak mempermasalahkan. Cukup deh basa-basinya. Semoga para Suhu suka dan terhibur. Semoga ada hal positif yang bisa diambil dari cerita ini, meskipun isinya negatif semua. Happy reading and keep masturbate!

PS: Karena (sekali lagi) ini proyek suka-suka, saya gak nargetin kapan update, ya, para Suhu. Pokoknya suka-suka aja. Namanya suka-suka, kan?

***



BAGIAN 1

Menjadi orang kecil ternyata tidak selamanya buruk. Tentu ada syaratnya. Pada kasusku campuran dari banyak hal: sedikit keberuntungan; lebih banyak kecerdikan; jauh lebih banyak kenekatan; serta ini itu yang tidak mampu kusebutkan. Namun, tentu saja semua tidak semudah itu.

Namun, agar lebih mudah untuk diikuti, kumulai saja kisahku dari sebuah perkenalan yang layak. Aku dipanggil oleh majikanku dengan nama Bule. Tentu saja aku bukan ras Kaukasia andai nama itu terdengar janggal. Bahkan nama asliku pun bukan itu. Biarlah nanti asal usul nama itu terbuka dengan sendirinya.

Bicara tentang majikan, aku tidak melebih-lebihkan. Pekerjaanku adalah seorang supir pribadi plus-plus. Aku tidak bisa melarang bila kata plus-plus itu terkesan miring. Toh memang begitu adanya, meskipun tidak pernah kuharapkan. Proses menuju miringnya pun tidak sederhana dan tidak pula sebentar.

“Le! Panasin mobilnya! Mabelas menit lagi anter gue ke kantor Pak Haji Sidik di Depok.”

Perintah itu yang mengucapkan adalah majikanku, Edwin Tan, China lokal generasi keberapa entah. Usianya baru tiga puluh lima. Kaya dari beberapa usaha warisan orang tuanya yang dia sulap menjadi lebih besar.

“Udah, Koh. Tinggal berangkat aja,” jawabku sambil mengenakan baju dan celana kerjaku kembali setelah usapan terakhir kaneboku mengeringkan butiran air di kap Pajero Sport milik bossku itu.

“Bukan Pajero! Yang Ertiga! Gue perlu bawa pulang sampel barang baru ntar,” tukas Koh Edwin. Dia meringis menatapku dengan pandangan merasa bersalah.

“Udah juga,” jawabku santai. Empat mobil di rumah ini sudah kupanaskan semua. “Tapi belum sempat dicuci, Koh. Kemarin sih udah.”

“Gak apa,” kata boss-ku itu sambil kembali masuk rumahnya yang besar. Mungkin finishing sebelum berangkat. Kumasukkan kembali Pajero ke garasi setelah kukeluarkan Ertiga. Kuperhatikan masih bersih body-nya, jadi tidak perlu kumandikan.

“Le!”

“Siap, Ci!”

Segera saja kudatangi orang yang memanggilku, Leni Tan, istri Koh Edwin. Panlok cantik dan seksi itu seperti biasa menganggapku seperti laki tanpa napsu.

“Napa lu liatin gue kek gitu? Mesum lu!”

“Salah siapaaa?” tukasku kesal.

Istri boss-ku itu hanya tertawa saja menanggapiku. Ya, hanya tertawa. Tidak ada upaya menutupi tubuhnya yang hanya terbungkus oleh kaos putih ketat berlengan buntung yang seperti kekurangan bahan ketika bagian bawahnya hanya sanggup mencapai sedikit di bawah bongkahan teteknya. Celana pendeknya masih lumayanlah, menutupi setengah paha putih mulusnya.

“Papah! Si Bule sange liat Mamah nih!”

Mulai! Betina ini mulai lagi bermain api denganku. Satu … dua … tiga!

“Sikat, Le! Eh, kita mau berangkat ya?”

Begitulah! Kedua majikanku itu baik hati memang, tetapi terkadang orang baik hati bukannya tanpa cacat.

“Apaan, Ci?” sungutku sambil memalingkan wajah, menghindari guncangan tetek makmurnya yang terjadi akibat pemiliknya yang menertawakanku.

“Abis anter gue, lu pulang bawa sampel. Gak usah lu turunin. Gue mau diajak Pak Haji ke pabriknya. Ntar gue pulang dianter dia orang,” kata Koh Edwin setelah dia turut bergabung dengan kami.

“Abis itu gantian lu anter gue belanja,” sambung Ci Leni.

“No prob, Ci,” jawabku yang ditutup oleh toyoran panlok itu tepat di keningku.

“Lagulu no prob no prob,” ledek Ci Leni. Tawanya semakin menjadi melihatku yang merengut semakin kesal.

Terkesan akrab memang kami. Namun, seperti yang kubilang, tidak ada yang mudah di dalam hidupku termasuk menjadi akrab dengan kedua majikanku itu. Butuh sedikit keberuntungan yang wujud akhirnya adalah teronggoknya tubuhku di ranjang rumah sakit setelah tidak sadarkan diri selama tiga hari.

“Lu ga tertarik sama Leni?”

Mulai lagi. Di mana-mana sih normalnya seorang pria menyebut wanita yang telah dia nikahi dengan ‘istriku’ alih-alih namanya saja. Boss-ku tidak. Dari gaya bicaranya, istrinya itu tidak beda seperti cewek sembarangan yang kebetulan ditemuinya dan dijadikan sebuah bahan ghibah.

“Kagak, Koh! Udah ah! Ngomongin yang lain aja!” tukasku. Tidak perlu kukatakan bahwa ingatanku akan sosok istrinya itu tadi amat menyita fokus menyetirku.

“Sama sekali?” cecarnya mengabaikan keberatanku. “Dia dandan gitu buat lu orang, tau gak?”

“Koh! Dia bini-lu, Koh! Lu mau kapan tobat sih?” semburku. Ya maaf, dia sendiri yang meminta kalau kami cuma berdua, formalitas tidak dibutuhkan. Jarak usia lima tahun pun tidak dia permasalahkan.

“Ya gimana, Le? Dia ngerasa utang budi banget,” kata Koh Edwin.

“Itu lagi! Kalian tu udah balas dengan nerima saya jadi karyawan,” tukasku ogah-ogahan. Bahasan ini lagi. Sebuah pembahasan yang membosankan.

“Nyawa, Le! Balasan gue gak akan pernah cukup buat impasin jasa-lu orang sampai kapan pun!” jawab Koh Edwin. Terasa pengulangan karena memang setiap katanya persis sama dari pertama kali dia ucapkan.

“Tau, Koh. Tapi gak gitu juga.”

Hal yang membuatku tidak menyukai ucapan bossku itu adalah karena selalu membuat punggungku gatal dan nyeri. Bekas luka sabetan katana pendek di punggungku seperti merespon setiap kali ingatan pertemuan kami kembali muncul. Padahal kejadian itu sudah berselang hampir tiga tahun. *

“Hati-hati, ya!” kata Koh Edwin setelah sampel merchandise terakhir kumuat di mobil. Aku hanya mengangguk sebelum masuk mobil dan melajukan Ertiga itu menuju rumahnya.

Perjalanan pulang terasa lebih cepat. Mungkin karena lengangnya jalan di jam kantor itu. Tidak sampai satu jam, Ertiga itu sudah kuparkir di tempatnya.

“Istirahat dulu, Le. Ngopi, makan, apa solat dulu gih,” sambut Ci Leni. Panlok itu usianya dua tahun di atasku, jadi selisih tiga tahun dengan suaminya, lebih muda.

“Mandi bentar gak papa, Ci?” tanyaku. Panas Jakarta rasanya semakin tidak karuan meskipun di mobil AC sudah kunyalakan.

“Mau gue mandiin?” tanya Ci Leni mebuat kopi yang baru kusesap seperti tertolak dan sialnya salah memilih jalur balik hingga tersasar ke hidungku. Untung saja sebelum kopi itu menyembur, kedua tanganku berhasil mendahului membekap mulut dan hidungku sendiri.

“Ci! Rese lu, ah!”

Dua wanita tertawa. Tentu saja aku yang mereka tertawakan. Benar, dua. Satu Ci Leni dan satunya lagi Mbak Iis, asisten rumah tangga di rumah si panlok aduhai itu.

“Non! Kasian Mas Bule itu digodain terus,” kata Mbak Iis sambil mengepel tumpahan kopi di lantai.

Sekilas tentang Mbak Iis. Wanita Jawa sepantaran Koh Edwin itu berjilbab. Anaknya ada satu, dia titipkan kepada orang tuanya di Trenggalek. Di sini dia mengontrak bersama suaminya yang buruh bangunan.

“Makasih, Mbak Iis,” kataku sambil bertukar senyum. Mbak Iis cantik dan manis. Tubuhnya andai harus kugambarkan adalah sebuah ujian bagiku yang menganggapnya sebagai kakak.

“Cieee! Dibelain ayang. Uhuy!” goda Ci Leni. Mbak Iis kontan tersipu malu.

Panlok itu selalu saja mempunyai cara untuk membuatku salah tingkah. Bukan melulu dengan gaya berpakaiann atau kesupelannya saja, terkadang dia juga tidak sungkan menjadikan orang lain sebagai alat roasting-an.

Bukan tanpa sebab juga sebenarnya. Beberapa kali Ci Leni memergoki kami–aku dan Mbak Iis–mengobrol sampai sedikit kebablasan berujung curhat. Andai bablasnya cuma sampai di situ saja, mungkin Ci Leni tidak akan menjadikan hal itu sebagai bahan roasting-an. Sayangnya, entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja tangan kami telah saling menggenggam dan meremas.Tidak hanya itu. Pada kali terakhir kami berduaan, entah siapa yang memulai, bibir kami saling beradu. Padahal Ci Leni sudah sering mengingatkan kami dengan sindiran, “Awas, lo! Yang ketiga biasanya setan.”

Hujan lebat malam itu. Aku keluar dari kamarku yang letaknya di bangunan belakang rumah utama. Niatku hendak ke warung membeli kopi. Bangunan itu lebih mirip kos-kosan kalau menurutku, terdiri dari tiga tingkat, setinggi rumah utama. Setiap lantainya terdiri dari lima kamar berukuran empat kali empat meter. Untuk menuju bangunan itu, akses paling mudah adalah dari garasi atau gerbang bekakang. Kupilih kamar paling atas dan paling ujung. Tentu saja dengan pertimbangan tertentu. Sebagai informasi, tiap kamar memiliki kamar mandinya sendiri dan memiliki sambungan listrik prabayar sendiri. Entah mengapa, aku adalah satu-satunya penghuni di bangunan itu.

“Nginep, Mbak?” tanyaku ketika sampai di kamar paling bawah dan paling dekat dengan bangunan utama. Kutemui Mbak Iis sedang duduk di kursi teras kamar. Pada saat itu wajahnya kusut dan ada sembab di matanya.

Biasalah, kataku. Masalah rumah tangga yang klise dan klasik. Memiliki suami dengan pola kerja tidak menentu alias serabutan sebagai kuli bangunan bukanlah sebuah kondisi ideal bagi Mbak Iis. Apalagi semenjak Covid, semua pembangunan dihentikan tanpa kejelasan kapan proyek akan dilanjutkan.

“Padahal sudah kubilangin Pak Edwin mau nampung dia sebagai bagian kebersihan di kantor,” keluh Mbak Iis sambil manahan tangisnya.

Rencana membeli kopi kubatalkan. Kubiarkan Mbak Iis menyandarkan kepalanya di bahuku sambil tangannya memeluk tubuhku dari samping. Kemudian seperti bendungan bocor, air yang berbentuk curhatan memancur deras dari bibir tipisnya yang merah alami tanpa riasan. Dia mengoceh panjang lebar hingga pagutan bibir kami menghentikannya. Cukup lama sampai kemudian berkembang menjadi rentetan adegan vulgar.

“Mas Bule … kita ngapain …?” desahnya ketika bibir kami terpisah. Napasnya memburu mengejar kekosongan oksigen akibat panasnya peraduan bibir dan lidah kami.

“Udahan, Mbak Is?” tanyaku. Tentu saja pertanyaanku hanya basa-basi. Perasaan sayangku kepada Mbak Iis sebaga kakak dengan cepat berganti dengan birahi. Tanganku bergerak tanpa menunggu jawabannya, meremasi kedua teteknya yang masih terlindungi kemeja dan beha.

“Aaah! Jangan!” lenguhnya. Entah apa yang dilarangnya, perbuatan nakal tanganku di teteknya atau menyudahi kekhilafan kami. Jelas aku tidak mau mengambil pusing karena wanita itu malah kembali menjilati bibirku sebelum mengajakku berciuman panas lagi.

Seiring semakin panas pergulatan lidah kami, tangannya bergerak lembut mengusap kontolku, membuatnya berkembang besar di dalam celana. Ketika tonjolan itu semakin membesar, Mbak Iis menarik bibirnya. Matanya mendelik melihat ukuran tenda yang dihasilkan kontolku.

“Besarnyaaa …,” puji Mbak Iis. Dengan cepat dan tangkas, dibukanya resleting dan kancing celanaku lalu dia tarik celana dalamku.

“Nuwun sewu, Mas,” kata Mbak Iis sambil menatapku sebelum memberikan kontolku sebuah pelayanan paripurna.

Dimulai dari bibirnya yang mengecup lubang pipisku, lidahnya menyusul beraksi melumasi setiap centi kulit kontol dan kantong menyanku. Benar-benar sebuah usaha yang berbasiskan niat ketika kuarasakan seluruh pori-pori kulit kontol dan kantong menyanku terselubung liur.

“Apek,” celetuk Mbak Iis seusai membenamkan hidung di rimbunnya jembutku dan menarik napas dalam-dalam. Wajahnya terlihat begitu sakau, berbading terbalik dengan apa yang dia ucapkan. Terbukti dengan dibenamkannya sekali lagi hidungnya di jembutku.

Klise sekali memang. Seorang supir bermain cinta dengan seorang pembantu. Ya mau bagaimana lagi? Segala sesuatunya amat mendukung kala itu. Aku suka, Mbak Iis tidak menolak. Klop, bukan?

“Ehem!”

Sebuah deheman bernada tegas mengagetkan kami. Entah sejak kapan Ci Leni telah berdiri di hadapan kami.

“Eh, Non!”

Mbak Iis menarik bibirnya dari kontolku. Tangan kanannya sibuk membereskan kancing kemejanya yang kupreteli untuk meremasi tetek 34E miliknya yang masih terbungkus beha krem. Sedangkan aku, saking tertegunnya hanya mampu melepaskan remasan di tetek Mbak Iis, tetapi membiarkan kontolku menjadi santapan mata Ci Leni. Untungnya Mbak Iis dengan sigap memasukkan kembali apa yang tadi dia keluarkan, meskipun terasa asal sekali.

“Seleralu lokal ya, Le?” tanya Ci Leni lagi ketika dia menangkapku basah sedang memperhatikan tetek Mbak Iis gondal gandul ketika sedang mengepel tumpahan kopi.

“Hafa seh, Ci?” tukasku seperti maling jemuran yang tertangkap basah sedang mencuri beha.

“Mbak Iis!” panggil Ci Leni kepada Mbak Iis sekaligus mengabaikanku. Sialan betul panlok itu. Pasti dia akan me-roasting kami lagi.

“Iya, Non?” kata Mbak Iis sambil menghentikan pekerjaannya. Dia mengelap peluh di dahinya. Sepanas itu memang Jakarta.

“Kontol si Bule enak, ya?”

Kan? Panlok yang masih berkostum seksi itu berhasil menerapkan peribahasa ‘membunuh dua burung dengan satu batu’ dengan sempurna. Sengaja kupilih peribahasa itu karena banyak sekali persamaan konteks terutama dengan istilah burung.

Sekali lagi aku tersedak. Mbak Iis lain lagi. Wanita cantik itu melongo mendengar ucapan vulgar majikannya untuk kemudian memerah karena malu. Kami jelas teringat kepada hal yang sama. Andai Ci Leni tidak menegur kami, seratus persen kami akan berakhir di ranjang menghabiskan dinginnya malam dengan ngentot tanpa henti.

Tentu pilihan langsung pergi ke kamarku adalah pilihan paling logis. Tidak perlu rasanya aku harus mengikuti permainan majikanku itu. Bukan masalah apa, aku hanya tidak tega harus melihat Mbak Iis salah tingkah. *

“Berangkat, Ci?” tanyaku selepas mandi dan solat. Majikan panlok-ku itu duduk manis di sofa ruang tamu. Kostumnya sudah berganti, lebih tertutup. Maklumlah, sifat eksib-nya masih kalah dengan traumanya akibat peristiwa itu.

Ci Leni hanya suka memamerkan tubuh, bukan kekayaan. Kendaraan yang dia pilih untuknya hanyalah mobil sekelas Daihatsu Sirion edisi 2016. Warnanya biru dan kilometernya rendah. Jarang dipakai dan bila dipakai pun hanya sesekali dan jarak dekat.

“Lu rasis ya, Le?”

Haiya! Apa-apaan pula Ci Leni ini. Baru saja kami keluar gerbang yang dijaga oleh Pak Ikin, majikan panlok-ku itu langsung bertingkah lagi. Sebagian besar memori hape-ku berisi dengan unduhan video porno Jepang dan itu adalah bukti aku bukan rasis.

“Atau lu sukanya yang jilbaban?”

Astaga! Memang benar sih, aku punya fetish terhadap wanita berjilbab. Semakin lebar jilbabnya, semakin membuatku bernapsu. Bagaimana dia bisa menebak seyakin itu hanya dengan modal satu kali memergokiku?

“Ci! Ini kita mau ke mall mana?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Ke Kokas, Le. Ntar lu ikut turun, ya,” jawabnya. Tidak perlu dia minta pun aku pasti akan menemaninya. Sudah perjanjianku dengan Koh Edwin, plus-plus tugasku juga ternasuk menjadi pengawal istrinya. *

“Lu suka yang mana, Le?”

Andai panlok aduhai itu bertanya tentang makanan, maka jawabannya mudah. Tinggal kusebutkan ‘tidak pedas, ada nasi, dan ada krupuk’. Beres! Sayangnya yang ada di hadapanku bukanlah makanan, melainkan jajaran pakaian dalam wanita. Tidak hanya itu, ada seorang pramuniaga yang mendampingi kami.

“Suami atau pacar, Bu?” tanya si pramuniaga kepada Ci Leni.

“Minggu depan kami mau kawin. Makanya biar dia yang milih,” jawab Ci Leni sambil cekikikan.

“Oooh! Selamat, Bu! Serasi banget!” seru si pramugari sambil menatapku lekat.

Bahkan ketika mataku masih berkunang-kunang melihat deretan pakaian dalam itu, telingaku pun dipaksa mendengar percakapan bullshit kedua wanita itu. Pertama jelas Ci Leni berbohong tentang perkawinan kami. Nikah saja tidak, apalagi kawin. Kedua, jelas si pramuniaga hanya berbasa-basi saja. Aku dan Ci Leni sama sekali tidak sepantar, apalagi serasi.

Dengan ogah-ogahan agar selekas mungkin dapat pergi dari toko itu, kutunjuk saja asal-asalan tiga pasang lingerie sesuai dengan jumlah yang dikatakan Ci Leni. Yah, meskipun harus kuakui, ogah-ogahan pun telunjukku tetap saja menunjuk lingerie yang menurutku teramat seksi. Bodo amat bila mahal.

Setelah dijeda dengan acara berbelanja kebutuhan rumah dan makan, sekali lagi majikan panlok-ku itu sukses sekali lagi membuatku mati berdiri. Dia membawaku ke toko yang menjual jilbab. Ya! Jilbab! Bagaimana mungkin otakku tidak membua sebuah simulasi kotor yang melibatkan lingerie tadi dengan jilbab yang ada di toko itu berpadu padan melilit tubuh indah Ci Leni? Sialan! Bahkan hanya dengan berimajinasi seperti itu saja kontolku dengan tidak tahu malunya langsung bergolak membentuk tenda di celana.

“Lu sukanya yang lebar atau kecil, Le?” tanya Ci Leni sambil cekikikan melihat ulah kontolku.

Alamak jaaang!

“Modelan Mbak Iis ya, Le?” cecarnya lagi seperti hendak menyiksaku dengan cara memaksaku untuk mengingat kekhilafanku dan Mbak Iis. “Oke! Lu tunggu aja di sini. Bisa gawat kalau yang punya toko liat tenda-lu.” *

Setelah majikan panlok-ku selesai dengan ‘entah apa yang dia lakukan’ di toko pakaian muslimah itu, kami pulang. Tidak seperti pada saat berangkat, dia duduk di belakang. Tidak ada masalah buatku, toh dia adalah majikanku. Mau dia duduk di atap mobil pun silakan saja. Orang kaya, mah, bebas.

“Le!” panggilnya ketika kami berhenti di lampu merah.

“Iya, Ci?” jawabku. Apa lagi yang akan dilakukan majikan panlok-ku itu? Perasaanku tidak enak.

“Lu suka sama Mbak Iis?”

“Ya sukalah! Mbak Iis baik banget. Udah saya anggap seperti kakak sendiri,” jawabku. Itu sebuah kejujuran terlepas kekhilafan kami. Namanya tergoda, siapa punbisa khilaf, kan?

“Kalo sama gue?”

Kan? Entah apa yang ada di kepala majikan panlok-ku itu, karena semenjak dia memergokiku dan Mbak Iis, rasanya semakin gencar dia meminta jatah.

“Saya hormat sama Ci Leni dan Koh Edwin,” jawabku diplomatis. Tentu saja diplomatis. Buat apa kukatakan aku menyukai dia? Tidak ada pengaruhnya, apalagi manfaatnya. Aku karyawan, dia majikan. Jelas rasa hormat adalah hal yang patut ada ketimbang lainnya.

“Gak adil banget lu! Lu beda-bedain gue sama Iis! Lu suka Iis sebagai kakak aja, tetep aja dia lu embat! Harusnya kalo lu hormat ama gue, lu kabulin dong permintaan gue!”

Nah lo! Kok tiba-tiba majikan panlok-ku itu nge-gas? Lagipula, suka-suka akulah mau ngentot sama siapa juga. Apa urusannya sama dia sih sampai merasa bisa mengatur?

Lagipula, sebetulnya ada apa sih dengan pembicaraan ngalor ngidul tentang balas jasa yang menurutku sudah kadaluarsa itu? Untuk perantauan Tegal yang cuma lulusan SMK jurusan teknik kendaraan ringan semacam diriku, apa yang mereka berikan sudah lebih dari impas. Pekerjaan, tempat tinggal, sampai perlakuan seperti kerabat bukanlah hal-hal yang mudah didapat pada masa kritis seperti sekarang ini. Jadi wajar bila yang ada pada diriku hanyalah rasa hormat. Lagipula hal itu sesuai dengan prinsipku, jangan aji mumpung.

“Atau lu benci gue? Benci ras gue?” cecarnya tidak sudi kuberikan hening sebagai jawaban.

“Sadar, Ci! Ci Leni itu majikan saya. Jangan merendahkan diri sampai seperti itu, Ci!” jawabku bertahan tidak terseret drama yang dia mainkan.

“Ngaku aja lu benci China! Ya kan?” cecarnya lagi seperti yakin kepada ucapannya sendiri.

Tahu rasanya kesal, tetapi terbentur sungkan? Bayangkan bila rasa sungkan itu runtuh akibat kesal yang membuncah. Sepanjang jalan hingga sampai di rumah kesabaranku tergerus perlahan oleh racauannya yang tidak lagi kutanggapi. Niatku sebetulnya langsung ke kamar, tetapi majikan panlok-ku itu sepertinya masih ingin mencecarku.

“Bawain semua ke kamar gue, Le!” perintahnya dengan nada ketus. Sempat kutatap matanya yang sedikit berair dan mengandung kemarahan sebelum dia berlalu meninggalkanku.

No problem! Kuangakut semua tas belanjaannya dalam sekali jalan lalu kuletakkan di depan pintu kamarnya yang tertutup tanpa memberi tahunya. Langkahku selanjutnya mengarah ke dapur. Sepertinya segelas kopi tanpa gula sebagai teman merokok akan bisa meredakan kekesalanku.

“Sudah pulang, Mas Bule?” sapa Mbak Iis yang berkutat dengan wajan dan sutilnya. Masakannya seperti biasa, belum jadi pun sudah menebar aroma nikmat.

“Baru aja, Mbak Is. Wangi banget!” jawabku sambil mengendus aroma masakannya yang seperti betah berada di dapur.

“Apanya, Mas?” tanya Mbak Iis yang tetap berfokus kepada pekerjaannya.

Akibat masih kesal, normal sepertinya bila otakku menanggapi pertanyaan Mbak Iis yang sebetulnya biasa saja menjadi tidak biasa. Keringat yang berkumpul di punggung Mbak Iis membasahi pakaiannya, mencetak segaris bahan penyangga teteknya. Hitamnya tercetak jelas di kain kemeja putih yang dia kenakan.

“Mbak Is yang wangi,” jawabku sambil memeluknya dari belakang.

“Mas Bule! Apaan sih? Kaget tau!” seru Mbak Iis berjengit. Namun, tidak ada penolakan nyata darinya, hanya tubuhnya yang bergoyang-goyang kegelian ketika kedua tanganku perlahan merayap naik dari perut menuju tetek makmurnya.

“Nginep lagi, Mbak,” bisikku sambil menjilat telinganya yang masih terbungkus jilbab. Rasanya Mbak Iis tidak akan menolak kujadikan pelampiasan untuk meredakan efek kelakuan majikan panlok kami. Bayangan Ci Leni berbalut jilbab dan lingerie benar-benar sulit kuhapuskan. Belum lagi rasa kesal cenderung gemas akibat kelakuan manjanya.

“Ih! Takut ketauan Non Leni lagi, Mas! Lagian mau bilang apa buat izin sama suamiku, la wong Non Leni ndak ngasih tugas?” jawab Mbak Iis dengan napas yang perlahan menderu seiring kelincahan tanganku yang sukses menyelinap ke balik kemejanya setelah mempreteli beberapa buah kancing.

“Nginep aja di kamarku, Mbak, gak usah bilang Ci Leni. Kalau izin suami, bilang aja disuruh jagain rumah karena pada pergi ke luar kota,” kataku asal. Tentu saja kukatakan asal karena ide itu timbul bukan karena pikiran matang, melainkan karena pikiran si Otong.

“Emang mau ngapain sih, Mas? Aku udah tua, lo. Mas kalo mau gituan kan bisa sama yang mudaan. Banyak itu temenku yang naksir Mas Bule,” ucap Mbak Iis lirih. Pantatnya tanpa sadar telah menungging, menyambut sodokan kontolku yang masih terbungkus celana.

“Mbak Is bawel banget!” tukasku sambil menjambak rambutnya yang masih terbungkus jilbab lalu mengarahkan bibirnya ke arah bibirku. Tidak ada penolakan dari mulutnya, yang ada hanya rintihan dan desahan penanda birahi. Terbukti dari tangannya yang pasrah meraba kontolku yang berhenti menumbuki pantat sekalnya.

Puas bertukar liur dan beradu bibir juga lidah, bahu Mbak Iis kutekan sehingga membuatnya berlutut. Tanpa harus diberitahu, tangannya dengan lincah melepas sabuk dan kancing celanaku. Kemudia dia loloskan celanaku hingga menyangkut di lutut. Sedetik setelah menatapku malu-malu, bibirnya membuka dan membiarkan kontol yang kusodorkan masuk. Kemudian setelah kurasakan bibirnya mengatup erat di kulit kontolku, kutarik perlahan untuk kudorong lagi. Begitu kulakukan berulang-ulang, tidak memberinya kesempatan bergerak.

Tentu saja aku tidak ingin berlama-lama menikmati pelayanan Mbak Iis. Potensi ‘kentang’ dengan adanya Ci Leni amat besar terjadi. Andai itu terjadi, bisa kupastikan oleng-ku pasti akan semakin besar. Bisa-bisa kuperkosa juga majikan panlok-ku itu. Bahaya kan, meskipun kuyakini dia tidak akan keberatan bila sampai kuperkosa.

Suara dari mulut Mbak Iis akibat genjotan kontolku semakin membahana seiring ritme kecepatan yang bertambah. Kuabaikan tatapan memelasnya yang memberitahu bahwa dia telah kewalahan akibat semakin dalamnya kontolku menjarah mulutnya. Justru tatapan itu seperti sebuah candu yang membuatku semakin kuat mengentoti mulutnya. Remasan dan cubitan tangannya di bongkahan pantatku pun sama saja seperti sebuah penyemangat. Lagipula bibirnya masih bekerja dengan semestinya, menyedot vakum kontolku dengan pelayanan maksimal lidahnya di dalam mulut.

Lima menit lebih sedikit, kutarik kontolku. Kedua tanganku berbagi tugas. Tangan kiriku mengocok kontolku dengan brutal, sedangkan tangan kananku menjambak rambut di balik jilbab Mbak Iis, membuat wajahnya menengadah siap menjadi landasan pejuku. Sambil menunggu waktu muncrat, kupukul-pukulkan kontolku di wajah ayu Mbak Iis. Sesekali kuselingi dengan mengusap bibirnya dengan ujung kontolku. Mbak Ayu megap-megap tidak sabar menanti pejuku. Sesekali lidahnya menyapu kontolku.

“Mbaaak … aaah!”

Rasanya lapang sekali ketika semprotan pertama keluar, kental meluncur dan mendarat dengan sukses di kening Mbak Iis. Semprotan berikutnya terasa merampas kekuatan kakiku, mendarat di hidung dan di antara kedua mata Mbak Iis. Semprotan selanjutnya yang semakin lemah kuarahkan tepat masuk di rongga mulutnya.

“Maaas … glok … glok …,” rengek Mbak Iis sambil menelan pejuku. Entah terpaksa atau sukarela. Tidak ada bedanya buatku. Sebagai penutup, kumasukkan kembali kontolku ke mulutnya dan disambut Mbak Iis dengan sapuan lidahnya, membersihkan sisa-sisa peju yang menempel di kulit kontolku.

Entah apa yang Mbak Iis pikirkan tentangku kini. Matanya kosong menatap entah apa. Tarikan napasnya terengah-engah. Ketika kutarik kontolku karena rasanya sudah bersih, Mbak Iis terduduk di lantai seperti lemas. Padahal aku yang sampai.

“Bangun, Mbak!” kataku sambil membantunya berdiri. Mbak Iis menuruti papahanku. Melihat wajahnya yang terselubung peju, membuatku merasa bersalah. Segera saja kuraih lap dan membersihkan ceceran cairanku itu di waiahnya. Setelah itu kusuruh dia kumur-kumur.

“Maafin aku, ya Mbak Is,” kataku lirih sambil memeluknya. Rasanya jahat sekali menjadikan Mbak Iis sebagai pelampiasan.

“Ya udah kalau Mas Bule udah puas. Mandi dulu gih! Aku siapin makan dulu,” jawabnya sambil melepaskan diri dari pelukanku. Dirapikannya kemeja yang dia kenakan. Aku pun memasukkan kembali kontolku ke dalam celana.

“Belum puas, Mbak,” kataku sambil mengecup ringan bibir Mbak Iis. Persetanlah dia tidak memberikan maaf. Bukankah yang penting sudah minta maaf?

Sebuah cubitan ringan mendarat di perutku. Ditambah semu merah di wajah ayunya yang dihiasi senyum manis, jelas Mbak Iis tidak marah kepadaku. Kalau tidak marah, artinya masih ada kesempatan dia memenuhi permintaanku. Mungkin hanya perlu sedikit paksaan saja agar dia mau.

“Nginep … jadi?” tanyaku sambil menahan tangannya yang masih mencubiti perutku.

“Hmmm … auk ah! Liat aja nanti. Dasar brondong, ndak ada puasnya,” rutuk Mbak Iis. Aku tertawa saja mendengarnya, lalu berbalik meninggalkannya. Sepertinya dia benar, aku tidak akan pernah puas akan kehangatan ‘kakak-ku’ itu. Halah! Ngaku adek, tetapi kakaknya dipakai juga. *

~Bersambung~
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd