Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Cappa'e : a little_crot's story

ceritanya bagus
cerita tentang sejarah suatu masyarakat tp lengkap dengan berbagai macam pesan tersirat..
semoga kedepan, update'nya bisa lebih sering dan sampai tamat...
makasih om
 
Introduksi


***


“Daeng Upa’, bisa kita coba lagi? Saya sudah paham,” ujarku di ambang pintu.


Pemuda semampai yang kusebut namanya menoleh, menampakkan senyumnya yang sederhana.


“Kau sudah paham,” jawabnya sambil mengerutkan alis. Jawaban yang lebih mirip sebuah pertanyaan.


Aku tetap berdiri di tempat, tekadku sudah bulat. Hari ini takkan kubiarkan berakhir sebelum beradu kelahi lagi dengannya. Sudah lama sekali rasanya aku di sini tanpa membuat kemajuan yang berarti. Senyumnya mengembang lagi,


“Baik. Tunggu sebentar,” katanya sambil membuka peci dan melepas sarung. Smartphone-nya yang lebar diletakkan di atas sarungnya yang kini terlipat rapi di rak surau.


Aku berjalan mendahuluinya ke pelataran surau. Sebuah area berpasir kasar di bagian belakang Balla’ Lompoa.


“Kau sudah melakukan yang kuminta tadi pagi?” tanyanya, masih tersenyum. Kami berdiri berhadapan di petak berpasir itu.


“Iya, Daeng. Hampir seharian ini saya duduk mengamati ladang jagung Karaeng. Saya sudah paham,”


“Ha!”


Aku jengkel setengah mati. Sekalipun dia lebih tua dariku, tawa tergelak barusan sangat menyinggung perasaanku. Belum lagi senyumnya yang terlalu simpul. Juga wajahnya yang terlalu rupawan dan halus untuk ukuran anrong guru.


Kurendahkan badan dalam posisi terbuka. Kedua lenganku bersilangan, siap menahan serangan.


“Daeng boleh menyerang saya sekarang,” kataku pada akhirnya.


Daeng Upa’ nyaris tidak mampu menahan tawa - hal yang membuatku juga nyaris tidak mampu menahan amarah - ketika berkata,


Bunga dan kalimat pembuka itu tidak akan perlu dalam pertarungan sungguhan. Tapi baiklah,” katanya dengan geli, sebelum tubuhnya melayang ringan ke arahku, begitu tiba-tiba,


Wusshhh!!


Kepalan tangannya terayun menghantam udara, ketika tubuhku mengelak menghindar. Kening penyerangku terlihat sedikit berkerut, membuatku puas.


Wusshhh!! Wusshhh!!



Kombinasi jab, uppercut dan sapuan bawah yang dilontarkannya ke arahku, hanya menyapu udara. Gerak egos yang kulakukan dengan sempurna - paling tidak menurutku - menghindarkanku dari swing dan hook yang terus mengalir dari penyerangku, nyaris tanpa jeda.


Bulir keringat mulai bermunculan di wajahku. Kutarik napas dalam-dalam, menghirup udara perlindungan. Seni mengatur pernapasan adalah hal mendasar yang pertama kali kupelajari di sini. Kemampuan mengendalikan ritme pernapasan saat bertarung akan mengurangi dampak jika serangan musuh berhasil masuk, di samping meluweskan gerakan. Kalian pembaca cerita silat menyebutnya ilmu meringankan tubuh.



Bukk!!!


Terdengar suara teredam ketika tendangan memutar Daeng Upa’ membentur tameng lenganku. Tercipta jeda sepersekian detik, yang dimanfaatkan penyerangku dengan sempurna untuk meliuk ke belakang, keluar dari jangkauan serang tanganku, namun - ternyata - masih dalam jangkauan kakinya!


Krak!!!


Rahangku berderak, ketika punggung kakinya menghantam daguku dari bawah.


“Uhuk…” aku terhuyung ke belakang. Kubiarkan sejenak tubuhku menyerah pada momentum, agar jatuhku tidak menyakitkan. Sebuah follow through untuk memanfaatkan kekuatan benturan. Kuda-kuda! Kembali pasang kuda-kuda!



Tetapi terlambat.


Bugg!!!


Napasku terhenti, ketika kepalan tangan Daeng Upa’ menyodok tubuhku, tepat di ulu hati.


***


Ahmad Zulfa berasal dari kampung di pesisir Bantaeng; suatu Kabupaten di bagian selatan Sulawesi. Sebagian besar warga kampungnya bekerja sebagai awak kapal bayaran, atau nelayan pencari ikan. Ayah Zulfa sangat jarang berada di rumah, karena menghidupi keluarga dengan mengerjakan keduanya.


Kabupaten Bantaeng adalah kota administratif dengan indeks pembangunan yang sangat tinggi. Potensi wilayahnya besar, sebab merupakan salah satu dari sedikit kota di Indonesia yang memiliki wilayah pegunungan, juga sekaligus wilayah laut. Asam dan garam dalam satu periuk.


Pembangunan yang pesat mengundang masuknya gelombang tenaga kerja tidak hanya dari kota lain, tetapi juga dari mancanegara. Arsitek dan tenaga ahli berbasis proyek berseliweran di penjuru kota. Mereka menghuni kamar-kamar murah yang disewakan masyarakat pribumi, terutama di daerah pesisir. Tidak terkecuali pasangan suami istri orangtua Zulfa. Seorang pria tampan asal Belanda menyewa kamar di lantai atas rumah mereka.


Ibu Zulfa adalah wanita yang berusia jauh lebih muda dari sang suami. Untuk ukuran wanita pribumi, wajahnya cukup menarik. Tubuhnya langsing, dengan sikap manja dan senang mengatur, bertolak belakang dengan suaminya yang berbadan besar namun berhati lembut.


Kelembutan hati sang ayah ditunjukkan dengan kasih sayangnya yang melimpah kepada Zulfa, yang lahir setahun kemudian (setelah sang arsitek asal Belanda mulai menyewa kamar di rumah mereka). Kasih sayangnya tidak berubah, walaupun tetangga dan keluarganya terus bergunjing, tentang rupa fisik sang anak yang jauh berbeda dari ayahnya.


Ahmad Zulfa terlahir dengan kulit putih bersih dan hidung mancung. Sekalipun berambut hitam, matanya cokelat dengan aksen turquoise.

Bahkan ketika ibunya menghilang, beberapa hari setelah si arsitek Belanda mengakhiri masa sewanya, sikap ayahnya sama sekali tidak berubah. Sang ayah terus menutup mata dan telinga dari gunjingan warga.


Dalam asuhan ayahnya, Zulfa tumbuh menjadi pemuda yang tampan, berbadan ramping dan bertubuh kuat. Kekuatan fisiknya ditempa selayaknya anak nelayan pada umumnya. Namun berbeda dengan teman-teman seusianya, Zulfa sangat cepat menguasai hal-hal baru hanya dengan membaca buku. Kosakata dalam bahasa asing, elektronika teoritis, statistika dan matematika praktis.


Hingga suatu hari, sang ayah harus mengakui, Ahmad Zulfa terlalu cerdas untuk terus tinggal di kampung itu. Maka sang ayah memanggilnya,


“Bapak sudah menghubungi Karaeng Bontokalumanyang. Beliau adalah seorang Raja di Gowa. Bukan raja tertinggi, tetapi dialah yang paling cendekia di antara Raja-raja di sana. Beliau bersedia menjadikanmu bala raja di Balla Lompoa, sambil bersekolah di SMA di sana,”


Zulfa tidak membantah. Walaupun tahu pria ini tidak terkait dengannya secara biologis, Zulfa telah bersumpah tanpa kata, bahwa untuk selamanya, tidak ada ayah lain baginya.


Zulfa hanya pulang sekali, ketika ayahnya meninggal bertahun-tahun setelahnya. Saat ini, Zulfa telah dinobatkan sebagai satu dari beberapa anrong guru kerajaan Bontokalumanyang. Yang termuda dalam sejarah Bontokalumanyang, bergelar anrong lolo Daeng Upa’.


Atas perintah Karaeng, kepadanyalah aku berguru saat ini.


***


“Awww…, perih, Karaeng….” Aku merintih.


Alih-alih berhenti, Karaeng Ngagi' - istri Karaeng Bontokalumanyang - justru menekan kapas obat lebih keras ke bibirku yang terluka.


“Awww…, itu untuk apa, Karaeng?”


“Itu untuk terus memanggilku begitu. Sudah kubilang, aku tidak suka sebutan itu!” katanya cemberut.


“Ahihi…. Iya, iya baik, Kak Karaeng…. Awww!!!” jeritku pelan sambil tertawa, ketika dahiku didorongnya ke belakang.


Posisi duduknya yang begitu dekat membuatku menyadari wangi aroma keringat lembut menguar dari leher Kak Lipa yang bersih. Usianya belum lagi tiga puluh, tetapi sudah menjadi ratu di Bontokalumanyang; sebuah kerajaan kecil dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo.


“Minggu depan, wajahmu mungkin sudah tidak berbentuk lagi kalau terus latihan keras begini,” ujarnya pelan, masih menyeka bekas darah di sudut bibir dan daguku.


Rahangku sedikit bergeser, tetapi bukan cedera serius. Luka yang cukup besar terletak di dinding mulutku sebelah dalam, akibat benturan dengan geligiku ketika punggung kaki Daeng Upa’ menghantam daguku beberapa saat yang lalu.


“Apa sih yang kalian ingin buktikan dengan semua pertarungan ini?” tanyanya serius, entah kepada siapa.


Badannya yang lebih tinggi membuatnya sedikit membungkuk untuk menyeka wajahku. Membuat kerah bajunya sedikit terbuka. Sebuah lembah.


“Ini cuma latihan, Kak Lipa….”


Agak sulit mengolah jawaban ketika ada distraksi semacam ini di depan mata.


“Iya, cuma latihan. Tetapi untuk menghadapi apa? Ini bukan lagi jaman pendudukan koloni penjajah. Ini masa yang damai. Tidak masuk akal!” sergahnya sambil berdiri.


“Kak…. Kak Lipa kan tahu, secara pribadi saya menjalani ini karena perin-“


“Iya, perintah Etta-mu. Aku tahu. Tapi yang dimintanya bukan latihan berkelahi begini, kan? Kau tidak lupa, kan, apa yang diminta beliau untuk kau pelajari di sini?”


“Iya, Kak. Saya terus ingat. Etta meminta saya ke sini, menemui Karaeng untuk belajar ilmu Kawali. Satu dari tiga ilmu yang wajib saya pelajari,” kataku sambil memijat-mijat lengan sendiri.


“Tetapi Karaeng memintaku untuk menemui Daeng Upa’ dan belajar darinya. Jadi, apapun yang diajarkannya kemudian, haruslah saya terima.”


Kak Lipa menghela napas. Dia sangat paham, bahwa ketaatan tanpa bertanya adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam segi kehidupan Bugis (keluargaku) dan Makassar (keluarganya).


“Sudah. Sana mandi. Kau bau keringat dan matahari.” Perintahnya sambil membenahi mangkuk obat dan botol air hangat yang digunakannya membersihkan lukaku.


“Kok masih duduk? Mandi sana!” Katanya lagi ketika melihatku tidak kunjung bergerak.


Mandi.


“Iya, ini mau mandi. Tapi Kak Lipa keluar dulu dong…. Atau mau mandikan saya?” jawabku bercanda, memintanya segera keluar dari kamarku.


Padahal jika harus jujur, aku lebih suka Kak Lipa tetap di kamarku saja. Bagaimanapun, dia adalah salah satu hal yang membuatku betah di tempat ini.


Kak Lipa tersenyum lalu berdiri dan melangkah keluar, nyaris bertabrakan dengan Daeng Upa’ yang muncul di ambang pintu kamarku.


Mereka saling memberi jalan dengan canggung. Daeng Upa’ menepi dengan patuh, memberi gerak tubuh menghormat. Penghormatan seorang panglima muda kepada ratu.


“Bagaimana lukamu?” Daeng Upa’ bertanya dengan ringan.


“Saya bisa bertahan, Daeng,” kataku cengengesan.


“Aku tahu,” katanya sambil lalu.


“Malam ini temani aku ke Barembeng. Karaeng meminta kita menggantikannya duduk-duduk.”


“Baik, Daeng. Siapa yang menikah?” tanyaku sambil membuka baju, bersiap untuk mandi setelah ini.


“Anaknya kepala sekolah di sana. Aku lupa namanya,” katanya sambil memutar badan, hendak meninggalkan kamar ketika aku bertanya lagi.


“Ohya, Daeng, tentang yang Daeng suruhkan tadi pagi….”


“Iya, mengawasi ladang jagung. Ada apa dengan itu?”


“Saya sudah paham maksud Daeng.”


Daeng Upa’ tersenyum, lalu melipat lengannya di dada.


“Bisa kau jelaskan?” tanyanya.


“Begini Daeng. Saya memang mengalami kesulitan dalam mempelajari gerak egos. Cara saya menghindar terlalu kaku. Tetapi setelah mengamati ladang jagung tadi pagi, saya jadi paham apa yang kurang dari penguasaan teknik saya….”


Daeng Upa’ masih tersenyum simpul. Senyum yang terlalu sederhana untuk ditebak maknanya. Ini persisnya senyum yang kubenci darinya.


“Teruskan,” katanya.


“Seharian di ladang itu saya mengamati bagaimana liukan pohon-pohon jagung ketika angin bertiup, Daeng. Mereka mengikuti geraknya dengan luwes, tidak melawan, untuk kemudian melakukan liukan yang meloloskannya dengan cepat dari arus angin itu. Berdiri tegak dan mengulanginya kembali.”


“Itulah masalah saya selama ini, Daeng. Saya masih kurang luwes, sehingga gerak hindaran saya masih belum egos. Masih mudah tertebak.”


“Bagus sekali. Kau bisa memahami seperti itu.” Daeng Upa’ - dengan menjengkelkannya - terus tersenyum.


“Lalu mengapa Daeng masih pasang muka begitu? Apakah seharusnya masih ada hal lain di balik itu untuk saya pahami? Karena hanya itu yang bisa saya simpulkan, Daeng.”


“Kau punya daya terawang yang baik. Tetapi terlalu jauh…” kata Daeng Upa’ pada akhirnya.


“Semalam aku bilang padamu tentang gerak egos-mu yang masih jauh dari baik. Lalu pagi tadi kuminta kau mengawasi ladang jagung. Pikiranmu membuat penautan atas dua hal yang sama sekali tidak ada kaitannya.”


“Maksud Daeng?”


“Aku memintamu mengawasi ladang jagung, karena Pak Heru sedang sakit. Belakangan ini babi hutan juga sering terlihat di ladang pada siang hari. Itu saja.”


Daeng Upa’ pergi dengan bahu bergetar karena tertawa geli.


Ingin rasanya mengumpat, tapi tidak bisa. Tata krama di dalam lingkungan Balla Lompoa mengatur nyaris segalanya. Seseorang bisa dihukum tidur di kandang kuda kalau terdengar berbicara dengan kata-kata yang tidak pantas. Apalagi aku, putra Petta Pabbicara; penasihat kedatuan Bugis yang merupakan sahabat kental Karaeng Bontokalumanyang. Putra dari seorang bangsawan bugis yang terkenal akan kebijaksanaan dan suri tauladan.


Mungkin rasa jengkelku akan luntur kalau aku mandi. Lagipula, ada Kak Lipa….


***


Terdapat empat kamar mandi di sayap kanan Balla Lompoa, menyatu dengan bangunan utama yang paling luas. Kami menyebutnya kamar mandi luar. Dua kamar mandi lainnya terletak di bangunan sebelah dalam, bersebelahan dan digunakan hanya oleh keluarga kerajaan.


Belakangan ini aku selalu menunggu sampai kamar mandi luar penuh terpakai oleh para pemuda karang taruna yang berlatih tari - bangunan utama juga berfungsi sebagai kantor, sanggar budaya dan galeri - agar aku punya alasan yang cukup untuk menggunakan kamar mandi di bangunan dalam ini.


Kumasuki pintu kamar mandi terdekat; kamar mandi satunya lagi sedanh terpakai, seperti biasanya. Kusampirkan handuk dan kunyalakan keran air. Ritual mandi soreku selalu sama, mencuci muka, menggosok gigi, sambil menunggu bak air menjadi penuh dan air mengalir tertumpah.


Kemudian kutempatkan wadah sabun sedemikian rupa, hingga suara air yang tertumpah ke lantai menjadi terdengar lebih nyaring. Sangat penting bagiku agar orang-orang - jika ada yang lewat - tetap mengira ada aktivitas mandi di dalam sini. Mengapa? Untuk menutupi apa yang akan kulakukan selanjutnya….


Perlahan aku memanjat naik ke tepian bak mandi. Aku harus sedikit membungkuk agar kepalaku tidak membentur langit-langit yang tidak terlalu tinggi. Dari posisiku yang setengah berdiri, kucabut sebuah paku yang mencuat longgar dari dinding bagian atas, menampakkan sebuah celah menuju kamar mandi sebelah. Di kamar mandi sebelah, celah ini terletak tepat di bawah lampu yang menempel di dinding. Bisa saja tertangkap pandangan, tetapi siapa juga yang akan mandi sambil menatap ke arah lampu?


Lubang ini kutemukan beberapa hari yang lalu, ketika diminta Karaeng mengganti bola lampu di kamar mandi sebelah, karena Daeng Upa’ sedang tidak ada.


Kudekatkan wajahku perlahan, mengintip Kak Lipa yang sedang membersihkan badan....


Entah sudah berapa kali aku mengintip Kak Lipa mandi. Tetapi efek yang kurasakan belum juga berkurang. Selalu saja sama menegangkannya dengan pertama kali.


Aku selalu menikmati pemandangan tubuh Kak Lipa pelan-pelan, inci demi inci. Kumulai dengan mengamati rambutnya yang disanggul ke atas, tertahan oleh jepit rambut berwarna hijau muda. Turun ke dahi, hidung dan matanya yang tampak tekun membersihkan tubuh. Wajahnya yang basah, berhias beberapa kerut tawa di sudut mata.


Jika diukur dariku, Kak Lipa memang jauh lebih tua. Tetapi kenyataan bahwa dia menikah dengan seorang raja yang juga jauh lebih tua darinya membuat tautan usia kami terasa tidak sedemikian jauhnya. Wajahnya cantik. Dan itu bukan mengada-ada karena kebutuhan cerita. Dia ratu, dan kalian tentu tahu selera para raja.


Sesekali lengannya terayun naik, menyentuh leher dan tengkuk, mengusapkan busa sabun yang merayap turun menuju dadanya yang membulat indah.


Kurasakan kedut kecil di sela pahaku, ketika aku mulai mengalami ereksi.


Payudara Kak Lipa tidak terlalu besar, tetapi membulat nyaris sempurna. Putingnya membulat mungil, berwarna kecokelatan dengan semu jingga. Atau mungkin merah muda. Entahlah, pemandangan tubuh Kak Lipa yang kulihat selama ini selalu disinari cahaya lampu kamar mandi yang kekuningan.


Dan kemudian tibalah hal yang selalu kunantikan setiap kali mengintip Kak Lipa mandi; prosesi memijat payudara. Setelah menyabuni seluruh tubuhnya, Kak Lipa mulai memijat kedua belah buah susunya bergantian. Selalu dimulai dari sebelah kiri. Pijatan-pijatan ringan ke arah atas, seperti gerak menyangga. Kedua belah telapak tangan Kak Lipa kemudian bergerak memutar, menekan sisi buah dadanya ke tengah, disertai remasan yang - sepertinya - semakin keras.


Sebelah tangannya lalu memutar-mutar puting susunya bergantian, sambil sesekali menarik-nariknya dengan lembut. Sebelah tangannya bergerak turun ke bawah perutnya, tidak terlihat karena terhalang oleh tepian bak mandi yang tingginya sepinggang. Tetapi aku yakin, Kak Lipa sedang mengusap-usap pusat kosmik tubuhnya.


Duh, Puang-ku marajae ri botillangi….


Secara naluriah - seperti biasanya - tanganku juga bergerak turun, menggenggam batang kejantananku yang kini menegang maksimal.


Yang membuatku nyaris tidak tahan adalah ekspresi Kak Lipa ketika sedang melakukan ini. Wajahnya tertekuk, bibirnya setengah terbuka. Aku hampir yakin, ada desahan-desahan yang terdengar jika saja tidak tertutupi oleh suara kucuran air yang tertumpah, di sini dan di sana. Kemudian dadanya bergerak semakin cepat oleh napasnya yang - terlihat - semakin memburu. Gerak lengannya di bawah perut semakin cepat, kepalanya tersentak ke belakang, mengejang beberapa kali, kemudian berhenti.


Aku bukan pemuda yang terlalu polos untuk mengerti, bahwa Kak Lipa; Musdalifah Karaeng Ngagi', selalu bermasturbasi ketika mandi.


Kak Lipa lalu menyiramkan air ke sekujur tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya bergetar, mungkin menggigil akibat after-effect dari orgasme-nya baru saja.


Aku kentang, seperti biasanya.


Dengan hati-hati aku turun dari tempatku berdiri dan mulai mandi. Kali ini benar-benar mandi.


***


“Kau tidak boleh lupa posisimu di sini,” kata Daeng Upa’ tiba-tiba.


Kami masih duduk di dalam mobil, baru saja berhenti di area parkir di depan rumah Pak Kepala Sekolah yang sedang melaksanakan resepsi.


“Maksudnya, Daeng?” tanyaku.


“Kudengar tadi kau memanggil Karaeng Ngagi’ dengan namanya. Itu tidak pantas.”


“Tapi beliau sendir-,”


“Itu tidak pantas,” potongnya. Nada suaranya santai, bibirnya tetap setengah tersenyum seperti biasa, tetapi tatapan matanya begitu tajam.


“Baik, Daeng,” jawabku patuh.


Kami melangkah keluar dari mobil, memasuki gerbang walasuji; gerbang kayu wangi berhiaskan anyaman bambu kuning yang sengaja dibangun pada setiap resepsi. Kami berbasa-basi sejenak di ambang walasuji.


"Oh, ini putra Petta Pabbicara dari Saoraja Bugis. Sedang belajar pada Karaeng, dan saya yang diminta mendampingi selama di sini," kata Daeng Upa', menjawab pertanyaan sopan seseorang yang menanyakan siapa aku.


I rate ki’ katte Daeng….” Para penyambut tamu di resepsi itu menyilakan kami berdua - aku dan Daeng Upa’ - naik melalui tangga ke rumah panggung, meninggalkan tamu-tamu lainnya tetap di bawah, di naungan tenda resepsi.


Gadis-gadis penjemput tamu ber-baju bodo saling siku dan bertukar bisikan sambil memandangi kami - tepatnya memandangi Daeng Upa', sang panglima muda yang rupawan - menaiki anak tangga.


Adab Bugis dan Makassar mutual dalam hal menjamu tamu undangan. Tamu yang berasal dari keluarga kerajaan dijamu secara khusus di lantai atas rumah panggung. Diterima sebagai lingkaran keluarga terdalam. Sejak kecil, aku menjadi terbiasa berada di antara orang-orang berusia lanjut, ketika harus menghadiri perjamuan serupa ini.


Hal yang tidak luput dari pengamatanku sejak dulu, adalah lumrah dalam keluarga Bugis dan Makassar untuk menyediakan dua macam hidangan dalam setiap resepsi.


Di lantai atas akan tersedia menu masakan yang tidak tersedia di prasmanan bawah; kari daging kuda, salonde, opor pokko dan tumis kalope’.


Kudapan di atas juga berbeda. Bosara’ di sini diisi dengan barongko, bolu peca’, sikaporo’ dan cucuru’ bayao. Sedangkan di bawah akan disajikan puding, cake dan jajanan yang lazim ditemui di toko-toko kue.



Barongko





Bolu peca’




Sikaporo’




Cucuru’ bayao



Tetapi favoritku adalah katirisala. Sejenis penganan dari nasi ketan hitam (nasi ketan di sini disebut songkolo’) yang permukaannya dilapisi dengan puding santan dan gula aren.



Katirisala




Daeng Upa’ pernah menjelaskan, bahwa masing-masing penganan ini memiliki makna filosofi dan harapan. Ketan pada katirisala adalah simbol persatuan. Beras ketan ketika dimasak, memiliki daya rekat yang kuat. Santan dan gula merah adalah perlambang kesejahteraan dan manisnya kehidupan. Katirisala adalah miniatur kehidupan yang manis dan nikmat, yang tercapai ketika semua elemen masyarakat menyatu dengan erat.


Seorang bapak dari tuan rumah dengan sopan menanyakan, mengapa Karaeng Bontokalumanyang dan istri tidak bisa hadir, dijawab oleh Daeng Upa’ dalam bahasa Makassar yang fasih,


“Beliau menyampaikan penyesalan, karena pada saat yang sama harus mewakili bapak-bapak dan ibu-ibu semua untuk hajatan kemasyarakatan.”


Semua yang mendengarkan lalu menggumamkan ucapan syukur dan kelegaan. Semacam protokol untuk menunjukkan kemakluman dan penghormatan kepada sang Karaeng.


Pada kenyataannya Karaeng dan istrinya tidak sedang menghadiri hajatan apa-apa. Mereka sedang bersantai menonton sinetron kesayangannya. Tetapi jawaban yang diberikan Daeng Upa' terdengar sangat meyakinkan sekaligus menyenangkan hati mereka yang mendengarnya.


Kusadari bahwa Daeng Upa’ menggunakan kata “penyesalan” bukan “permintaan maaf” untuk menegaskan dan mengingatkan bahwa posisi Karaeng tetap lebih tinggi, bukan dalam posisi yang perlu meminta maaf. Pada saat yang sama, Daeng Upa' juga mengingatkan mereka, bahwa Karaeng saat ini tetaplah dalam posisinya untuk diagungkan, mengingat bahwa dalam beberapa hal kemasyarakatan, ada sisi kehidupan yang tidak dapat diwakilkan kepada pemerintahan administratif. Sebuah pengingat yang perlu, mengingat trah kerajaan pada masa kini memang sudah bergeser karena adanya hirarki pemerintahan yang sah.


Mengamati Daeng Upa’ membuatku merasa benar-benar berada dalam himpitan emosi; kekaguman dan iri. Terjepit dalam rasa hormat dan dengki. Bagaimana mungkin seorang pria yang begitu muda sepertinya, bisa menjadi staff ahli IT di Pemda Kabupaten Gowa, sekaligus anrong guru di kerajaan ini? Bagaimana mungkin pria yang penampilan dan pengetahuannya tentang teknologi begitu terkini, punya wawasan budaya dan tradisi yang begitu dalam?


Keresahanku beralasan, tidak berlebihan. Karaeng Bontokalumanyang menyuruhku berguru padanya, dengan pesan yang sangat jelas,


Paccera’ dia, maka kau akan melihat ilmu Kawali...”


Secara harafiah, maccera’ berarti berdarah. Secara tradisi, maccera’ adalah kalah dalam duel.


Demi pemenuhan janjiku kepada Etta-ku, aku harus membuat maccera’ Ahmad Zulfa atau Daeng Upa’; panglima termuda kerajaan Bontokalumanyang, sekaligus yang termuda di antara semua panglima di gugus kerajaan Gowa-Tallo. Salah satu pelatih silat terkemuka di Ikatan Pencak Silat Indonesia, tingkat provinsi.


Kalian bisa membayangkan keresahanku?


***


Segini dulu yah, suhu sekalian…


Semoga terhibur…

:)
Keren.... Suhu.. Sudah lama sekali kisah dari timur tayang di forum 😇👍
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd