Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Cappa'e : a little_crot's story

Wah ketinggalan...
Mantab bener...
Unsur kedaerahannya sangat kental..

Ikutan nyimak...

Terima kasih, suhu...
Tunggu update-nya yaa...


Apa or siapa lagi ini yaa??
lawannya sejenis hantu apa manusia yg menyamar, tapi punya kanuragan tinggi..

Hihi...
Terima kasih sudah membaca, suhu.
Semoga masih setia hingga saatnya misteri dibuka.

Sudah mulai menulis lagi cappo'.


Semangat :semangat:

Iye' cappo,
Mulai belajar-belajar ini kesyan...
Terima kasih mau singgah baca-baca, cappo'...
 
Numpang nangkring dulu trit si croot

As always diksi lo crot.. Kapan yaak gw bisa kaya lo dalam pemilihan diksi kaya gini?

Hadeuhh...
Diksi n penulisan lu ga kalah kok, ler...
Aku mah hanya tepian roti tawar dibanding author-nya CKC&K...

But thanks, eniewei...
:D

Wuihh suhu little_croot emang master. Awalnya santai pas di ujung pembaca jadi tersedot gak bisa beralih pandangannya waktu momen pertempuran lawan oppo...ehh poppo:jempol:

Saya suka...saya sukaaa....

Ditunggu lanjutannya ya suhu:semangat:

Siaaap...
Terima kasih, suhu, semoga update berikutnya gak mengecewakan....



Setuju ama agan Absolute_Zero. Keren pas scene tempur lawan si oppo. Mencekam.

Walau awal yg alus n keliatan datar tapi alur yg alus ampe adegan klimaks bener2 bikin reader penasaran ama si oppo. Penguasaan bela diri yg cukup mendalam.

Apdet keren otomatis next apdet semacam ada tuntutan tidak tertulis untuk bikin cerita yg lebih wow lagi.

Hihi, efek kuburan-band.

Eh eh, betewe itu yang draft kmaren kapan rilis???
:pandaketawa:


Mantap jiwa huu apdet nya. Seru dah.

Makasih, suhu...
:ampun:
 
OSTOGOO

TS bangkit !!! kaya ngecrot di siang bolong
pasti dahsyat ini updatenya
 
Sayang ya, padahal saya suka semua cerita suhu little_crot

:ampun:

karyanya super hu.

Terima kasih, suhu...
Nubi upayakan untuk tidak menggantungkan update pada banyaknya respon, sama halnya dengan trit2 sebelumnya.
Lambatnya ini semata-mata karena dua hal : lupa dan kesibukan.
Semoga selanjutnya lancar.
Doain ya, suhu...
:D


Berkelas nih ceritanya.. ada unsur budaya yang real bukan sekedar pemanis cerita.
Base on true events ini ya.

Hihi...
Karakter dan plot-nya sama sekali fiksi kok ini, suhu...
Yang aseli hanya pada detil2 kuliner, istilah, gelar dan budaya.

Terima kasih sudah membaca...
:)


Sumpah ini keren, harus dilanjutkan. Saya sudah nunggu2 cerita yg ada silat2nya... Tulisannya enak dibaca Jangan sampai berhenti ditengah jalan

Siap, suhu...

Update sedang dalam proses penyuntingan...
Ditunggu ya...
:)
 
Update 02

***


“Tentu saja boleh,” jawab Etta-ku lugas.



“Kau lelaki. Kau bebas memutuskan jalan masa depan yang kau hendak lakoni. Saoraja tidak pernah mengikat kita, keluarga pabbicara, untuk menetap dan berkarya padanya,” lanjutnya sejurus kemudian.



“Tapi, bukankah kita punya tanggung jawab ke-Bugis-an, Etta?” Aku bertanya ragu-ragu.



“Iya, tetap dan akan selalu begitu. Namun tanggung jawab kita adalah pada kebijaksanaan turiolo, bukan pada tahta. Itu dapat kita emban di manapun kita berada. Jadi, sekali lagi kukatakan, kau boleh pergi ke negeri manapun kau mau. Kau mendapat restuku….”



Aku tahu, di belakang nada ini akan selalu ada ‘tetapi’ yang mengikuti.



“…tetapi terlebih dahulu, ada yang harus kau miliki.”



Dari meja kayunya yang besar, ditariknya sebuah laci. Sebentuk benda diangkatnya dengan hati-hati, lalu diangsurkannya kepadaku, dari sela-sela tumpukan buku yang memenuhi meja itu.



“Ini senjata sakti wasiat keluarga, Etta?”



Bapakku tertawa keras sekali.



“Kau dan pikiranmu yang dramatis. Tidak ada senjata macam itu di sini. Yang wajib keluarga kita miliki hanyalah ilmu.”



Kuangkat benda itu. Sebuah pisau dengan gagang melengkung dalam warangka kayu.



“Dalam rumpun budaya Melayu, di hampir setiap suku, para lelaki selalu dibekali dengan senjata semacam ini. Kujang, golok, keris, rencong sampai tombak dan lembing. Sebuah gambaran mengenai perpanjangan tubuh manusia. Ujung ketiga.”



“Ujung ketiga?”



“Ya, cappa’ matellue. Terdapat tiga ujung pada tubuh setiap lelaki dewasa. Semua lelaki mungkin memiliki ketiganya, namun tidak semua memahami cara menggunakannya.”



“Di Makassar, bentuknya sedikit berbeda, lebih pendek dan bilahnya lebih lebar. Di sana disebut badik. Di ujung selatan Sulawesi, bentuknya lain lagi, namanya tobok. Yang sedang kau pegang itu namanya kawali. Beda bentuk, beda tempat, beda nama.“



“Pergilah ke manapun kau mau, menetaplah di mana saja yang kau inginkan. Namun terlebih dulu, kuasailah tiga ujung yang ada pada dirimu, dan mulailah dengan ujung senjata. Pelajarilah ilmu kawali.”



“Baik, Etta. Saya akan berusaha menguasainya. Saya siap menerima arahan, Etta.” Aku berujar takzim.



Bapakku tersenyum lama sebelum berkata,



“Bukan padaku, dan bukan ‘menguasai’.”



Oh iya, tentu saja. Bapakku adalah pecandu buku dan penggila ilmu. Tentu pengetahuan akan penguasaan senjata seperti ini tidak akan kudapatkan darinya.



Bapakku mengangsurkan sebentuk kartu dengan alamat yang tertera.



“Berangkatlah. Di sana kau akan melihat ilmu kawali….”



***



Kawali.



Terakhir kali aku melihatnya adalah pada hari Bapakku mengirimku ke tempat ini. Dan sekarang benda yang bentuknya mirip - persis, hanya berbeda ukuran - sedang kupegang dan kuamati.



Berkas kecokelatan menodai ujungnya hingga pertengahan, bekas darah Daeng Upa’ yang mengering. Gagangnya melengkung, berbahan kayu yang cukup ringan. Senjata tajam dengan bentuk dan bobot yang tidak seimbang ini sangat tidak ideal untuk digunakan sebagai alat lontar.



Kenyataan bahwa senjata ini telah melukai Daeng Upa’ memperkuat keyakinanku bahwa para Poppo’ semalam adalah manusia, dan mereka sangat terlatih.



Kabar tentang penyerangan ini sudah sampai di telinga Karaeng, yang kepulangannya tertunda sehari - mungkin dua hari - oleh suatu urusan penting. Karaeng berpesan agar insiden ini dibiarkan tertutup agar dapat diselidikinya sendiri. “Di lingkungan kerajaan, kejadian seperti ini memiliki motif tertentu yang tidak akan dipahami oleh polisi,” katanya.



Dengan secarik kain, kubungkus benda itu hati-hati. Karaeng akan memeriksanya sepulang dari perjalanannya nanti.



***



Daeng Upa’ hanya beristirahat sehari, lalu keesokan harinya sudah mulai bekerja kembali. Sepertinya benar kata Daeng Unjung, tidak ada racun dalam senjata yang melukai sang anrong lolo. Meski begitu, dia belum benar-benar pulih untuk bisa memberi latihan sore seperti biasa.



Kuhabiskan waktuku yang senggang dengan berjalan-jelan di pedesaan dan membaca. Balla’ Lompoa Bontokalumanyang memiliki sebuah perpustakaan yang terkenal di seluruh wilayah Gowa-Tallo. Bukan karena besarnya, atau karena jumlah koleksi bukunya, melainkan karena buku dan naskah-naskah yang tersimpan di dalamnya - walaupun tidak terlalu banyak - tergolong langka.



Buku-buku ini tersimpan rapi di sebuah bangunan terpisah di bagian depan area kerajaan, dengan papan nama bertuliskan Balla’ Singarak di atas ambang pintu.



Dari naskah-naskah lontarak di Balla’ Singarak, kupahami bahwa aksara kuno Bugis dan Makassar hanya memiliki sedikit perbedaan. Dalam aksara Bugis terdapat simbol berbeda untuk “e pepet” - seperti pada kata ‘bentuk’ - dan “e taling,” - seperti pada kata ‘bebek’ - sedangkan aksara Makassar menyatakannya dalam satu simbol yang sama. Perbedaan lainnya adalah, terdapat empat simbol dalam aksara Bugis yang tidak termuat dalam lontarak Makassar (ngka, mpa,nta, nca).



Kutemukan juga sebuah literatur yang menjelaskan keterkaitan yang erat antara bangsawan dua suku; Bugis dan Makassar. Bahwa salah tujuan utama pemberian gelar kedua suku - Daeng di Makassar dan Andi di Bugis - jika digali sedikit saja, adalah untuk merekatkan kembali.



Di daerah manapun di Sulawesi Selatan, secara literal, Daeng berarti kakak, sedangkan Andi berarti adik. Dengan demikian, pemberian gelar tidak semata menunjukkan pengkotak-kotakan suku dan strata, namun justru menjadi indikasi persaudaraan dua budaya, sekaligus menunjukkan kebiasaan bermusyawarah sejak lama. I mean, “adik” dan ”kakak” tidak mungkin disepakati di dua tempat terpisah hanya secara kebetulan, bukan?



Mempelajari hal-hal semacam ini mungkin membosankan bagi sebagian orang, namun bagiku rasanya begitu menggairahkan. Ada semacam kepuasan ketika aku tahu bahwa hal baru yang kupahami, adalah hal yang tidak mudah didapatkan oleh orang-orang lain sepantaranku.



Dan hal itu menyadarkanku, bahwa lebih dari yang kutahu, aku memang putra Bapakku.



***



Malam sudah sangat larut ketika aku meninggalkan Balla Singarak. Aku selalu lupa pada waktu ketika menekuni sebuah buku. Gairah yang sama kurasakan pada seni olah tubuh. Namun untuk yang satu itu, aku harus bersabar menunggu Daeng Upa’ pulih sepenuhnya.



Aku merasa geli sendiri ketika menyadari bahwa rasa kantuk baru menyerangku ketika aku sudah terpisah dinding dari buku. Pada malam-malam sebelumnya, aku jatuh tertidur di awal malam, karena rasa lelah akibat latihanku yang menguras tenaga. Kenikmatan yang berbeda.



Angin kering menyapu dinding Balla’ Lompoa, membuatku menggigil. Jalan menuju kamarku di bangunan utama adalah koridor panjang yang tidak berdinding, sehingga aku memilih jalan memutar di sepanjang sisi bangunan, agar tidak teriris angin.



Kulewati petak berpasir tempat kejadian penyerangan dua malam yang lalu. Sedikit bergidik ketika menyadari aku sedang menyentuh aliri tempat salah satu poppo’ itu “bersembunyi.” Di sisi seberang adalah kamar Daeng Unjung, berada satu bangunan dengan kamar Daeng Upa’, namun saling berseberangan ujung.



Dari salah satu jendela, berkas cahaya menerobos kisi-kisi. Kamar Karaeng, tepat di tengah-tengah Balla’ Lompoa.



Posisi kamar tidur raja selalu berada di perpotongan diagonal area kerajaan. Ini merupakan ketentuan umum yang berhubungan dengan sistem penjagaan keamanan. Dalam pertahanan - jika diperlukan - keselamatan pemimpin adalah yang utama.



Sesaat sebelum melintasi jendela, kudengar suara bergumam. Karaeng ternyata sudah pulang. Masih ada belasan meter menuju kamarku, jadi pelan-pelan kulanjutkan langkah, agar tidak membangunkan tidurnya.



“Ugh… Iya, di situ…,”



Apa itu?



Suara lirih Kak Lipa menahan langkahku. Karaeng dan istri sepertinya sedang melepas rindu.



“Ougghh…. Teruss, teruss… Jangan berhenti…hhh….”



Sial. Desahan Kak Lipa membuat kakiku terkunci. Kuamati sekelilingku, memandang semua jendela satu-persatu. Pengaturan posisi kamar Karaeng membuatnya berada pada posisi paling aman, baik terhadap potensi serangan, maupun dari pengintaian. Ini tentu sebuah keuntungan bagi seorang pemuda yang tengah penasaran.



Tidak, ini bukan penasaran. Aku urung berjalan karena takut menimbulkan suara yang menggangu istirahat Karaeng dan sang Ratu.



Tatakrama ke-Bugis-an mengalir dalam darahku. Aku penerus kebijaksanaan Saoraja, dibesarkan dalam adat kesopanan yang jauh melebihi masyarakat pada umumnya. Aku dididik keras untuk memahami batas-batas dan aturan. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak mengalihkan pikiranku dari ilmu yang seharusnya kupelajari. Keturunan Pabbicara selalu mendahulukan ilmu di atas segalanya.



Tapi keindahan tubuh Kak Lipa juga sebentuk ilmu.



Maka di sinilah aku, beringsut perlahan menuju ambang jendela, menyerah pada kebodohanku yang muda….



Hal pertama yang kulihat dari posisiku di sudut jendela adalah dagu Kak Lipa yang mencuat, menengadah menatap langit-langit kamar. Rambutnya terurai, sebagian membelit lehernya yang putih, sebagian lagi menjuntai ke belakang, menyentuh meja rias yang sedang didudukinya.



Tubuh bagian depannya terbuka sepenuhnya, tidak tertutupi oleh piyama hijau muda yang terbuka kancing-kancingnya. Sebelah tangannya meremasi sebelah buah dadanya, memilin-milin puting susunya, sementara tangan lainnya menjambak rambut Karaeng, yang sedang membenamkan wajah di sebelah - lain - payudaranya.



“Ugh….”



Sebentuk udara terlepas dari Kak Lipa. Suatu desahan dengan nada mendesak dan meronakan wajah yang mendengarnya. Aku.



Apakah sentuhan lidah di payudara memang sedemikian nikmatnya?



Karaeng mengangkat wajah, menciumi dagu dan pipi Kak Lipa. Punggungnya menghadapku sepenuhnya, melindungiku dari pandangan mereka. Bibir keduanya lalu berkecipak dalam tautan yang erat, saling lumat dengan hebat. Tangan Karaeng merambah turun, membelai payudara lalu turun memutar, meremasi bulat pantat Kak Lipa.



Kak Lipa mengangkat pinggul, memberi ruang pada tangan Karaeng yang kini menarik lepas celana Kak Lipa, hingga tubuh bawah sang Ratu polos sepenuhnya. Celana Kak Lipa teronggok di bawah meja, menyusul kemudian piyamanya.



Sekilas mereka saling tatap sejenak, sebelum jari-jari Kak Lipa mengapit wajah Karaeng, menariknya turun, membenamkan wajah itu di selangkangannya.



“Ouugghhhh….” Kak Lipa melenguh panjang ketika Karaeng melakukan sesuatu, entah apa, di bawah sana.



“Ini terasa?” Suara Karaeng teredam jepitan paha Kak Lipa di kedua belah pipinya.



“Ahhh…. Iyaaa…. Teraasaa….” Kak Lipa menjawab bagai tersiksa.



Terdengar gumaman Karaeng, seperti tiruan geraman binatang terluka, yang ditingkahi dengan jeritan dari bibir Kak Lipa.



“Dan ini? Terasa juga? Seperti apa rasanya?”



“Ooooouughhh….”



“Katakan rasanya seperti apa….”



“Rasanya hangat…. Agak perih…. Tapi…hhh… Jangan berhentii….”



“Aww….”



“Ups, maaf, hihi….” Kak Lipa terkikik meminta maaf.



Mereka jeda sesaat, sepertinya paha Kak Lipa menjepit terlalu kuat.



Karaeng berdiri, melumati kembali bibir Kak Lipa yang membalasnya tak kalah panasnya. Tangan Karaeng memutar, meremasi buah pantat Kak Lipa sebagai pegangan. Aku beringsut menyembunyikan diri, ketika Kak Lipa berdiri, turun dari meja riasnya.



Terdengar suara tubuh yang terjatuh ke tempat tidur ketika mereka berdua - pasti - melompat ke atasnya. Lalu tawa terkikik singkat.



“Hush, nanti didengar Andi Makka’….”



“Biasanya sudah tidur lelap jam segini, hihi….” Suara Kak Lipa menjawab.



Aku belum berani bergerak lagi, bisa saja dari posisi mereka saat ini jendela terlihat sepenuhnya. Aku seharusnya kembali ke kamar. Tapi ada satu masalah. Aku tak ingin.



“Lagi mikir apa?”



“Lagi mikirin nikmatnya cumbuan tadi….” Kak Lipa menjawab. Aku tahu, mereka sedang saling membelai mesra.



“Ayolah, tidak perlu bermanis kata begitu. Kita sama-sama tahu, yang tadi belum apa-apa….”



“Mmmmmmhhhh….”



Ciuman. Pasti.



“Owwaaahhh….”



Erangan Karaeng, mungkin ekspresi sakit yang berpadu kenikmatan. Sesuatu kembali mengusikku; sebuah siksaan keingintahuan.



“Jangan tutup mata, lihat ke sini….” Suara Kak Lipa.



“Ugghhhh….”



“Kubilang jangan, tatap aku….” Suara Kak Lipa terdengar sedikit serak dan berat.



Perlahan-lahan, kudekatkan kembali wajahku menuju sudut jendela, berharap kehadiranku tertutupi oleh keasyikan mereka berdua. Dan terperangahlah aku melihat pemandangan di dalam sana….



Karaeng tengah berbaring terlentang, menutupi wajahnya dengan bantal, membenamkan suaranya yang - mungkin - sulit tertahan, oleh perlakuan Kak Lipa di selangkangannya. Kak Lipa mengusapkan telapak tangannya di sepanjang garis batang berurat itu, sambil sesekali mengecupi ujungnya.



Karaeng menggelinjang, meneriakkan betapa nikmatnya perlakuan itu dalam erangan-erangan tak berbentuk, ketika Kak Lipa dengan tiba-tiba menundukkan wajah, mengulum-hilang setengah panjangnya!



Kak Lipa mengeluarkan semacam erangan dari tenggorokan, memutar-mutar lidah dari pangkal ke ujung penis yang tadi dikulumnya, sambil terus berbisik, “Lihat aku….”



Aku tidak kuasa menyaksikan kelanjutannya. Tanpa suara aku - seharusnya melakukan ini sejak mula - berlari ke kamarku.



***



Gerak menghindari serangan adalah naluriah. Menghindar didasarkan pada reaksi cepat dengan sedikit berpikir. Namun hindaran yang efektif memiliki cara, sehingga - walaupun sedikit - berpikir ketika mengelak adalah hal yang niscaya. Menggabungkan kecepatan naluri dengan ketepatan cara hanya dapat dilakukan dengan berlatih. Dan karena kondisi Daeng Upa’, saat ini berlatih harus kulakukan sendiri.



Culekale adalah satu metode latihan tunggal, dilakukan dengan bertarung melawan musuh imajiner, dengan membayangkannya melakukan hindaran, serangan balik dan tangkisan. Latihan ini memaksa tubuh bergerak tanpa henti selama durasi yang ditentukan pelatih. Dan subuh tadi, Daeng Upa’ memintaku macculekale selama dua puluh lima menit.



“Cukup.” Suara Daeng Upa’



Kutarikan bunga penutup. Semacam gerak pendinginan untuk menghindarkan kemungkinan kejang, lalu melangkah menghampiri Daeng Upa’ di tepi petak berpasir. Tadi dia beranjak masuk tepat ketika aku memulai, dan kembali dengan pakaian dinas-nya yang sudah dikenakan rapi. Dia sudah siap berangkat kerja.



“Berhenti di tempatmu berdiri!” Daeng Upa’ berkata tegas, membuatku tertegun sekilas.



“Mulai hari ini, setiap memulai dan menutup latihan, melangkahlah dalam kaidah, lakukan seperti ini….”



“Angkat dagumu. Perlihatkan wajahmu sepenuhnya pada lawan maupun kawanmu,” lanjutnya dengan wajah terangkat, memperlihatkan bekas jahitan pada luka di lehernya.



Lengan kiri Daeng Upa’ bersilang di depan dada, dengan posisi seperti menyembah. Tangan kanannya terulur lurus ke bawah, di depan selangkangan dengan telapak membuka ke samping. Daeng Upa’ berjalan beberapa langkah, memberi contoh padaku yang dengan segera menirukannya.



“Namun melangkahlah dengan santun. Beri gerak penghormatan pada siapapun yang kau temui ketika berjalan. Kau tahu mengapa?”



“Mohon dijelaskan, Daeng,” jawabku.



“Kau ingat dua hal yang harus dimiliki seorang bangsawan Bugis dan pendekar Makassar?” Daeng Upa’ memulai penjelasannya dengan tanya.



“Iya, Daeng. Bangsawan Bugis harus memiliki asugireng, dan pendekar Makassar diwajibkan membawa ase’gereng.” Aku menjawab, mengingat wejangan yang diberikan Karaeng pada awal masa belajarku di sini.



“Kau ingat maknanya?” Daeng Upa’ bertanya lagi.



Asugireng berarti kekayaan. Kaya akan ilmu. Sedangkan ase’gereng berarti keberanian. Dan saya wajib memiliki keduanya.”



“Benar. Kedua kata itu memiliki makna superior. Kaya ilmu dan pemberani. Dua hal yang menempatkanmu pada posisi yang selalu tinggi,” lanjut Daeng Upa’ sambil berjalan mengelilingiku, yang menirukan gerakan tangannya dari tempat berdiriku.



“Akan tetapi kedua kata itu bermula dari satu kata yang sama, yaitu asgar. Sebuah kata dalam bahasa arab, yang berarti ‘kecil’.”



Lintasan langkah Daeng Upa’ menyempit, mengecilkan jarak di antara kami.



“Segala kebijaksanaan yang memulyakanmu, dan semua bentuk kedigdayaan yang membuatmu kuat, tidak boleh membuatmu lupa akan hakikatmu sebagai makhluk Tuhan yang kecil. Bahwa, pun seandainya Dia tidak menciptakanmu dari tanah, kau tidak lebih dari sekedar debu dalam semesta.”



Daeng Upa’ berhenti berjalan, lalu berdiri rapat di sampingku, memandang puncak atap Balla’ Lompoa yang sedang tersiram kuningnya sinar pagi.



“Kekuatan selalu menarik datangnya tanggung jawab. Kedigdayaan seorang pendekar seharusnya menciptakan rasa aman untuk sekitarnya. Semakin kuat dia, maka semakin besar lingkaran rasa aman yang ditimbulkannya. Dia menjadi ukuran kebaikan hati, ketinggian pekerti dan kemulyaan perilaku.”



“Karena wibawa seorang pendekar ditentukan oleh seberapa besar dia mampu menahan kekuatan yang melanggar norma dan merusak kehormatan orang-orang di sekitarnya. Semakin kau kuat dan cendekia, maka semakin besar kewajibanmu untuk menjadi hamba.”



Daeng Upa’ melangkah ke depanku, memberi gerak menghormat, lalu berjalan mundur dan berbalik pergi.



Pada hari itu, kekagumanku pada Daeng Upa’ meninggi, menjadi semacam rasa memuja. Bahwa sang panglima muda bukan hanya digdaya dan cendekia, namun juga memiliki pemahaman yang tinggi akan pekerti yang mulya.



***


Semoga terhibur, suhu sekalian....
 
  1. Saoraja (Bugis) memiliki arti yang sama dengan Balla’ Lompoa (Makassar).
  2. Pabbicara secara makna berarti juru bicara atau penasihat. Namun di beberapa kerajaan Bugis (misalnya Barru) pabbicara justru merupakan pemimpin kerajaan. Keluarga Pabbicara diyakini sebagai pemegang kebijaksanaan dan ilmu, yang menjadikan mereka pemimpin dari generasi ke generasi. Sumber literatur tentang ini dapat ditemui dalam hikayat Meongpalo dan Sangiangseri.
  3. Turiolo : masyarakat kuno.
  4. Cappa’ matellue berarti ujung ketiga. Cappa’ : ujung. Tellu : tiga.
  5. Balla’ berarti rumah. Singarak berarti terang atau bercahaya.
  6. Culekale secara harafiah berarti bermain sendiri.
 
skedar saran om. klo bisa arti bhasa daerahny dtarok dbawah paragraf nya om. klo dtarok diakhir. sya mst bolak balik liat arti ny biar bisa lbh memahami.
dan satu lagi. klo bisa td pas dkasi senjata ad ilustrasi senjata nya biar lbh masuk.. tp updatetanny keren om. jngan smpai macet lagi. trus terang sya suka critany... maaf kli ad salah kata.
 
yg lama ditunggu akhirnya datang

mantap updatenya suhu ,
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
Lanjut juga trit ini.. Makasih updatenya suhu

Tapi entahlah, yang langsung saya ingat dari cerita ini adalah
KAK LIPA
:ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd