Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT CERITA MASA LALU ISTRI

Sesuatu yang Tak Terduga

Masa kami KKN sudah tinggal seminggu, Mas. Tidak terasa kami sudah akan meninggalkan desa dan kembali ke kehidupan kampus. Tidak terasa pula aku sudah makin dekat dengan Niko. Aku makin sayang kepadanya, Mas. Kami merasa semakin dekat.

H-2 sebelum kami pulang, kami mengadakan acara malam perpisahan. Sore harinya kami semua sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Aku kebagian mengurusi dekorasi. Sedangkan Niko di bagian membersihkan halaman. Acara sendiri dilaksanakan di halaman kantor desa.

Tanpa sengaja aku melupakan banner yang akan dipasang di panggung nanti, Mas. Aku pun mengambilnya di kontrakan. Aku kembali ke kontrakan seorang diri. Sampai di sana, tanpa sengaja aku menumpahkan air minum ke baju dan celanaku. Pakaianku jadi lumayan basah. Aku pun memutuskan untuk ganti baju saja.

Entah kenapa saat itu aku memilih mengganti baju di kamar mandi belakang. Pikirku saat itu sekalian buang air kecil juga, Mas. Aku juga tak khawatir ada orang karena pada sibuk di kantor desa. Saat akan menuju kamar mandi, tiba-tiba aku melihat baju sedang dicantolkan di dinding kamar mandi. Siapakah yang sedang mandi? Bukankah semua teman-teman ada di kantor desa? Lalu siapa? Harusnya yang boleh mandi di sana cuma anak KKN karena rumah ini sudah dikontrak kami.

Karena penasaran aku mendekat, Mas. Pelan-pelan aku mendekat ke arah kamar mandi. Setelah kuamati lagi ternyata baju itu milik Pak Karim, pemilik kontrakan. Kenapa dia mandi di sini?

Tiba-tiba pikiran nakal menghampiri otakku, Mas. Entah kenapa. Pikiran itu mengajakku untuk mengintipnya. Dalihku apa benar dia Pak Karim. Setelah mendekat dengan pelan aku mulai mengintip lewat celah-celah. Dan ternyata memang benar.

Pak Karim sudah telanjang tanpa sehelai benang pun. Aku langsung terpanah dengan pemandangan itu. Ada apa dengan diriku saat itu, Mas? Apalagi yang kulihat Pak Karim sedang mengocok batang kemaluannya sendiri. Aku tak bisa melihat jelas bagaimana ukuran penisnya. Tapi jika mengamati dari badan Pak Karim yang kekar, karena dirinya sebagai petani, sepertinya penisnya besar.

Yang paling membuatku terkejut yaitu saat dirinya menyebut namaku di tengah aksinya mengocok.

“Dek, Ajeng. Ah...ah...ah...”

Ia terus saja menggumamkan namaku sambil terus mengocok penisnya. Aku menyaksikan bagaimana tangan Pak Karim terus bergerak maju mundur di penisnya. Sampai akhirnya aku melakukan kesalahan fatal, Mas. Aku menjatuhkan botol kosong di dekatku karena tanpa sengaja kusenggol. Pak Karim pun tampak terkejut, Mas. Aku pun langsung berlari ke dalam rumah. Sialnya aku lupa tak mengunci pintu belakang. Aku hanya langsung lari ke dalam kamar, Mas. Kukira Pak Karim tak akan mengejar. Ternyata tak lama setelah itu pintu kamar diketuk oleh dia.

Aku jadi was-was, Mas. Apakah aku akan membukanya?

“Siapa di dalam?” tanya Pak Karim.

Aku bingung. Aku ingin menghubungi Niko tapi lupa membawa handphone.

“Tolong dibuka. Saya tidak akan macam-macam kok.”

Karena kurasa tak ada pilihan lain maka aku memberanikan diri untuk membukanya, Mas. Langsung kulihat Pak Karim berdiri di depan pintu.

“Eh, Mbak Ajeng.”

“Iya, Pak.” Jawabku.

“Maaf nih, Mbak. Tadi yang dibelakang rumah yang menjatuhkan barang itu Mbak Ajeng ya?”

“Eh...iya, Pak. Maaf. Saya tadi mau ngecek saja siapakah yang sedang mandi.”

“Oh, begitu. Iya, mbak. Soalnya tadi buru-buru. Kamar mandi di rumah sementara saya dipakai anak saya. Ya terpaksa saya menumpang. Mau bilang tapi anak-anak KKN di kantor desa semua.”

Lalu kami terdiam. Tiba-tiba Pak Karim bertanya, “Mohon maaf, Mbak. Apa Mbak Ajeng sempat melihat dan mendengar apa yang saya lakukan di dalam kamar mandi?”

“Eh...” Aku jadi bingung akan menjawab apa.

“Mbak Ajeng melihat ya?”

Aku tetap tak menjawab.

“Ya, sepertinya Mbak Ajeng melihat,” putus Pak Karim. “Maaf ya, Mbak. Bukannya saya lancang pada Mbak Ajeng. Tapi saya melakukannya karena saya benar-benar mengagumi Mbak Ajeng.”

Aku melihat ke Pak Karim, Mas. Tiba-tiba saja Pak Karim meraih tanganku dan membawanya ke selangkangannya. Aku kaget. Apa maksud Pak Karim? Ternyata penisnya sudah mengeras. Anehnya aku diam saja mendapat perlakuan seperti itu.

Karena melihatku hanya diam saja, Pak Karim kini membawaku ke dalam kamar dan langsung menutup pintunya, Mas.

“Pak, mau ngapain? Tolong jangan lakukan sesuatu yang bukan-bukan, Pak.” Kataku sembari memohon.

“Tenang, mbak.” Katanya. “Saya cuma minta kocokin aja, mbak. Menuntaskan apa yang sudah saya mulai di kamar mandi.”

Mendengar hal itu aku sedikit terkejut namun sekaligus lega. Sebab Pak Karim tidak minta yang lain. Tanpa kusadari kini Pak Karim sudah melepaskan celananya dan tampaklah penisnya yang sudah tegak dan keras. Dia langsung memintaku untuk mengocoknya.

“Jangan, Pak. Kita bukan muhrim.”

“Ayolah, mbak. Sebentar saja. Nanggung nih.”

“Tidak, Pak, saya tidak bisa.”

“Atau kalau tidak mau, saya ingin melihat Mbak Ajeng telanjang saja. Saya mohon, mbak.”

Astaga. Permintaannya juga berat, Mas. Mana yang mesti aku pilih? Tetapi akhirnya aku memilih mengocoknya saja daripada dia melihat tubuh telanjangku. Namun aku salah duga, Mas. Itu rupanya hanya taktik saja. Setelah aku mengocok penis Pak Karim, ia juga tak kunjung orgasme sampai tanganku lelah.

“Mbak, biar cepet buka saja kaosnya biar saya makin puas melihatnya.”

Awalnya aku menolak, Mas. Tapi lagi-lagi Pak Karim memaksa dan membukakan kaos yang kukenakan berikut BH-nya. Aku hanya diam saja melihat hal itu terjadi. Kini bagian atas tubuhku sudah tak terhalang apapun. Pak Karim kini bebas melihatnya. Matanya langsung terbelalak melihat buah dadaku.

Tangan Pak Karim kini bergerak ke arah celanaku, Mas. Ia mulai membuka resletingnya. Aku mencoba mencegah tapi gagal. Dengan sekejap ia kembali berhasil melucuti pakaian bawahku. Anehnya aku menurut saja saat ia memintaku melepaskan celana yang tersangkut kakiku.

Yang tertinggal di badanku hanya CD berwarna pink. Pak Karim pun tak langsung tinggal diam. Tangannya langsung meraba selangkanganku, Mas. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku hanya bisa berharap ia tidak memperkosaku.
Tanganku terus saja mengocok penisnya yang juga belum mau orgasme. Tanpa terasa aku mulai mendesah menikmati rabaan tangan Pak Karim di selangkanganku. Saat desahanku makin sering, Pak Karim memberanikan diri untuk menarik CD-ku ke bawah, Mas. Ya, dia mulai membukanya. Tak butuh waktu lama untuk membuat diriku telanjang seutuhnya.

Aku mencoba menutup vaginaku dengan tangan kiriku. Namun Pak Karim mencegahnya. Justru tangannya yang bermain-main di vaginaku. Jari jemarinya naik turun di bibir vaginaku. Aku mendesah menahan nikmatnya, Mas.

“Ah...ah...ah...” Aku dibuat merem melek dengan permainan jari Pak Karim.

Entah sejak kapan, Pak Karim tiba-tiba sudah telanjang bulat di depanku. Badannya benar-benar tegap, Mas. Dadanya masih cukup bidang. Jarak kami berdua pun semakin dekat. Payudaraku juga jadi sasarannya.

Pak Karim lalu membaringkan diriku di tempat tidur. Kini aku sudah tak bisa berpikir lagi, Mas. Entah apa yang akan terjadi. Barang kali Pak Karim akan memerawaniku. Lalu kenapa aku tak melawan? Aku tak bisa. Kenikmatan sudah terlanjur aku rasakan. Lagipula apa yang bisa kulakukan untuk melawan kekuatannya?

Maka jadilah aku berbaring di tempat tidur dengan pasrah. Pak Karim kemudian membuka kakiku dan ia sendiri berjongkok di hadapan selangkanganku. Tak lama berselang, sesuatu yang basah menyentuh vaginaku. Aku tahu itu lidah Pak Karim. Ya, dia mulai menjilati vaginaku.
Ini kali pertama aku merasakannya. Sungguh nikmat. Aku makin tak kuat untuk mendesah. Lidahnya lihai bermain di sela-sela vaginaku. Bergerak naik, turun, memutar, dan menusuk-nusuk. Aku makin hanyut dalam kenikmatan surgawi. Rasanya vaginaku sudah basah sekali. Aku agak malu pada Pak Karim. Ini adalah pemerkosaan yang tidak aku lawan.

Setelah puas dengan jilatan di vaginaku, Pak Karim lalu mulai mengangkangi diriku, Mas.

“Pak, mau apa?” kataku. Terkejut dan langsung menutup pahaku yang terbuka.

“Tenang, Sayang.” Katanya. Tanpa memanggil mbak lagi.

“Saya mohon, Pak. Jangan. Kecuali yang satu ini.” Kataku memelas padanya.

Namun Pak Karim sudah termakan oleh birahinya, Mas. Ia tak memedulikan permintaanku. Ia terus membuka pahaku lebar-lebar dan mulai mengarahkan penisnya ke vaginaku.

Kurasakan ujung penisnya sudah menyentuh vaginaku. Pak Karim memainkannya dulu. Menggosok-gosokkannya. Ah, begini saja sudah nikmat, ucapku dalam hati. Setelah agak lama, Pak Karim pun mulai menekannya ke dalam.

Tetapi, tiba-tiba sesuatu terjadi, Mas. Ada orang yang datang dan memanggilku.

“Ajeng. Ajeng.” Itu Niko.

Kami langsung beringsut. Bingung. Aku menyuruh Pak Karim bersembunyi di bawah kolong tempat tidur dan tak lupa membawa bajunya. Aku sendiri segera mengambil pakaianku yang baru.

“Jeng.” Niko memanggil sambil mengetuk pintu.

“Iya?” jawabku.

“Kamu kenapa?”

“Gapapa, Nik. Lagi ganti baju. Barusan kena tumpahan air.”

“Kenapa lama sekali?”

“Eh...iya...aku juga sekalian buang air. Jadinya lama.”

“Oh, ya sudah. Kamu ditunggu yang lainnya.”

“Iya sebentar.”

Sebelum aku keluar, aku memberikan isyarat pada Pak Karim jangan keluar dulu sebelum Niko dan aku pergi. Setelah itu aku dan Niko pun kembali ke kantor desa.

Ah, entah kedatangan Niko itu sebuah keajaiban atau bukan. Mungkin jika tidak ada dia, aku sudah diperawani oleh Pak Karim. Untung saja. Tapi, Pak Karimlah laki-laki pertama yang menyaksikan tubuh telanjangku. Dan menyentuhkan kejantanannya ke vaginaku.

Tapi setelah itu, CD pink yang kupakai tadi hilang, Mas. Aku menduga Pak Karim sudah membawanya. Namun tak masalah daripada perawanku hilang di tangannya. Mending CD-ku saja yang hilang.

***

Suatu malam di sebelum besoknya kami pulang. Kami semua mengadakan diskusi. Diskusi itu banyak diisi ucapan permintaan maaf satu sama lain. Setelah diskusi itu teman-teman satu per satu pun pergi beristirahat.

Aku dan Niko duduk di teras depan. Udara dingin sekali.

“Nik, kamu jangan tinggalin aku ya setelah ini?” ucapku.

“Lho, kamu kok ngomong gitu?”

“Ya aku takut aja.”

“Ngga kok, Sayang.” Jawabnya sambil memelukku. Aku pun juga memeluknya.

Sebenarnya aku ingin menceritakan soal kejadian Pak Karim. Tapi aku tak enak dengan Niko. Tiba-tiba saja saat aku berpikir. Niko mencium bibirku.

“Nik...”

“Kenapa?”

“Ada orang.”

“Ngga ada kok.”

“Iya. Nanti takutnya ada yang lewat.”

Niko terus saja mencoba menciumku tapi aku menolaknya. Tangannya juga berusaha meraih payudaraku. Bukan aku menolaknya, Mas. Tapi situasi tak memungkinkan. Andai saja situasi saat itu mendukung, pasti aku sudah tak bisa berkutik menghadapi aksi Niko padaku.

Besok harinya kami pun pulang, Mas. Kami pamit ke kepala desa, tetangga-tetangga di sana, dan Pak Karim. Saat dengan Pak Karim aku tak banyak bicara. Pak Karim juga hanya tersenyum padaku.

Setelah KKN hubunganku dengan Niko terus berjalan. Bahkan kami semakin dekat. Aku merasa semakin sayang pada Niko, Mas. Bahkan ketika Niko mengajak menginap di kosnya. Aku mengiyakannya. Dan tentu saja kami melakukan lebih dari apa yang aku lakukan di tempat KKN, Mas.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd