Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Cerita Sebuah Perjalanan

Bimabet
tak sebinal enny arrow namun
senada dengan fredy s

selamat, anda membuat karya tulis indah pak, eh mas ivan.
terimakasih atas ceritanya

Terima kasih atas apresiasinya mas.
Karya saya masih jauh kualitasnya dibanding senior2 di sini, msh perlu banyak belajar dan sumbangan sarannya. 🙏
 
Kalau boleh ana katakan ini cerita sex yg halus.
Penulisan sex scene nya halus, lembut namun tidak mengurangi syahwat dan sensualitas dari pelakunya.
Penggambaran tokoh yang dituliskan secara sederhana menggiring pembaca setia berlari dan menari dengan imajinasi masing masing. Tokoh pak Umar, Anida maupun Ivan.

Salut suhu. :tepuktangan:

Maaf, ana baru baca jadi terlambat.
Tapi tiada kata terlambat untuk sebuah karya yang indah ini.
:Peace:
 
Kalau boleh ana katakan ini cerita sex yg halus.
Penulisan sex scene nya halus, lembut namun tidak mengurangi syahwat dan sensualitas dari pelakunya.
Penggambaran tokoh yang dituliskan secara sederhana menggiring pembaca setia berlari dan menari dengan imajinasi masing masing. Tokoh pak Umar, Anida maupun Ivan.

Salut suhu. :tepuktangan:

Maaf, ana baru baca jadi terlambat.
Tapi tiada kata terlambat untuk sebuah karya yang indah ini.
:Peace:

Maaf typo harusnya pak Rahmat.. :beer:
 
Andai saja cerita yg beginian ada kelanjutannya, pasti seru hu, cerita yg sederhana , tapi enak dibaca, alur,gaya bahasa, dan cara penulisannya lembut banget,...
 
Lanjut...

***



Tok...Tok....Tok....

Tok...Tok....Tok....


Ketukan di pintu kamar mengejutkan ku, membangunkanku, membuatku terkesiap bangkit dari tempat tidur.

"Siapa.....?" tanyaku.

"Assalamualaikum, Ini saya Rahmat pak." Jawab si pengetuk pintu.


"Rahmat.....Siapa Rahmat.....aku tidak kenal dengan orang bernama Rahmat, tapi suaranya seperti suami Nida." aku membatin.

"SUAMI NIDA !!!"

Aku terkesiap dan segera loncat dari tempat tidur.

"Waalaikumussalam. Ssee...sseebentaaar pak." Jawabku sedikit tergagap.

Dengan tergesa-gesa, aku segera memakai celana dan kaos yang masih berserakan di lantai. Kulihat sekilas jam pada layar Iphone ku, sudah pukul 11.30 Wib.

Ada apa gerangan suami Nida ke kamarku?

Aku yang biasanya selalu bisa tenang dalam menghadapi situasi sesulit apapun, jujur aku merasa agak panik, jantung berdegup kencang, dan bulir keringat membasahi kening.

Selagi aku mengenakan pakaianku,

"Lho ini APA?"

Celana dalam Nida yang berwarna coklat berenda, tergeletak di lantai. Tertinggal.

Jadi tadi pagi, Nida gak pakai celana dalam?

Sedikit panik ku sembunyikan celana dalam Nida, kumasukkan ke laci nakas, meja kecil di sisi ranjang. Aman pikirku.

Aku segera beranjak ke pintu dan dengan gugup membuka kuncinya.
Jantungku sudah tidak karuan degupannya.

"Apakah aku ketahuan meniduri istrinya?"

Satu tarikan dan hembusan nafas panjang kulakukan untuk meredakan rasa panikku. Sebelum pintu terbuka segera kupasang wajah lempeng dengan akting masih sedikit mengantuk. Jangan gugup-jangan gugup!

Kubuka pintu kamar dan segera menutupnya, jangan sampai ia melihat kondisi tempat tidur yang berantakan sisa-sisa pergumulanku dengan istrinya.

Rahmat sudah duduk di bangku teras hotel.

Selamat pagi pak Rahmat," aku menyapanya seramah mungkin, menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku.

"Ivan."

"Ada apa pak?" Tanyaku dengan nada setenang mungkin.

Secara formal kami memang belum sempat berkenalan mengingat situasinya yang tidak memungkinkan kemarin.

"Eh....maaf pak kalo saya menganggu waktu tidur bapak." Pak Rahmat seperti merasa bersalah sudah mengganggu tidurku.

"Oh gak apa-apa Pak Rahmat, saya juga sudah mau bangun tadi."

"Begini pak Ivan, ada yang mau saya bicarakan..."

Deggh...

Ucapannya terhenti begitu juga dengan nafasku, aku menahan nafas, kira-kira pak Rahmat mau ngomong apa ya.

Sekilas kulihat ke arah pintu kamar keluarga Pak Rahmat, terlihat Nida tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke traveling bag, kulihat ia berhenti sejenak dan menoleh ke arahku, ekspresi wajahnya penuh rasa kekhawatiran.

"Oh iya saya mau bicara soal mobil pak."

"Oh soal mobil, gimana mobilnya pak?"

Belum selesai pak Rahmat berbicara, aku sudah memotongnya. Ada sedikit kelegaan di batinku ia tidak membicarakan kejadian dini hari tadi.

"Iya tadi pagi saya tanya sama orang hotel tentang bengkel mobil dekat sini, ternyata orang hotel ada yang tahu, bahkan mengantarkan saya ke sana pake motor pak."

"Lho mobilnya gak dibawa sekalian pak?"

"Tidak pak, setelah saya ceritakan kronologisnya, orang bengkelnya paham dan langsung membawa spare part pengganti ke hotel dan langsung di ganti onderdil yang rusak."

"Sekarang sudah bisa hidup mobilnya pak." Sambungnya lagi.

"Oh, syukurlah pak kalo mobilnya sudah sehat kembali."

Jujur selama percakapan ini aku tidak berani menatap langsung wajahnya, ada sedikit rasa bersalah terhadap bapak yang sepertinya polos banget ini.

"Maafkan saya ya pak, sudah meniduri istri bapak." Ucapku dalam hati.

"Alhamdulillah sudah beres mobilnya pak." Ujarku lagi.

"Jadi saya ke sini mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sama Pak Ivan karena sudah menolong dan membantu saya dan keluarga. Kalo gak ada pak Ivan, waduh....." Pak Rahmat memutus kalimatnya.

"Sekaligus saya ke sini, saya mau pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang pak."

Aku terdiam, agak kaget juga dengan apa yang disampaikannya. Jujur aku ingin sedikit lebih lama bertemu Nida, mengulang kembali pergumulan kita.

"Pak....Pak Ivan!"
Pak Rahmat mengejutkan lamunanku.

"Sekalian ini saya ingin mengembalikan biaya penginapan yang sudah bapak bayar kemarin. Kebetulan adik saya tadi transfer." Pak Rahmat berkata, sambil menyorongkan beberapa lembar uang pecahan ratusan ribu.

Serta merta aku menolaknya dan mendorong tangannya kembali.

"Gak usah pak, saya ikhlas membantu. Lebih baik uang ini digunakan untuk ongkos perjalanan bapak atau jajan anak-anak selama perjalanan."

"Tapi pak...."belum selesai ia berkata

"Sudah gak apa-apa Pak Rahmat."

Kemudian ia berkata lagi, "Terima kasih banyak pak, ternyata di dunia ini masih ada orang yang sangat baik seperti pak Ivan."

Aku tercenung mendengar kalimatnya yang terakhir.

Maaf pak, saya tidak sebaik yang bapak pikirkan. Andai saja bapak tahu apa yang sudah saya lakukan dengan istri bapak, semaput bapak di depan saya sekarang.

"Sama-sama pak Rahmat," jawabku singkat.

"Ya sudah saya pamit dulu pak mau beres-beres." Pak Rahmat meminta ijin untuk kembali ke kamarnya.

"Baik pak. Tapi jangan pergi dulu pak, tunggu saya. Saya mau mandi dulu nanti saya temui bapak kembali."

"Baik pak. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Pak Rahmat lalu kembali ke kamarnya dan aku pun masuk ke kamar untuk mandi.

Setelah mandi dan membereskan pakaian, karena aku juga berencana check out siang ini, aku lalu keluar kamar dan menuju ke kamar keluarga Pak Rahmat.

Setibanya di depan kamar, kulihat Nida di dalam kamar seorang diri, sedang menata baju dan perlengkapan anak-anaknya. Ia mengenakan gamis berwarna hitam polos dan hijab dengan warna yang sama. Aku agak sedikit heran dengan pilihan warna pakaiannya.

Di ambang pintu akupun mengucapkan salam, "Assalamualaikum."

Nida sedikit terkejut dengan kehadiranku, "Waalaikumussalam." Jawabnya.

Memandangku sekilas, Nida lalu menunduk dan melanjutkan kegiatannya, tanpa mempersilahkan aku masuk atau duduk.

Aku sempat tercenung melihat reaksinya, datar. Seperti orang asing saja, padahal.....

"Suami dan anak-anak kemana Nid?" Aku bertanya padanya.

"Di mobil lagi mengatur tas mas." jawabnya singkat.

Aku makin penasaran dengan sikapnya yang jauh berbeda dengan sikapnya dini hari tadi di kamarku. Apakah ini cara dia agar tidak ada orang lain yang tahu bahwa pernah terjadi sesuatu diantara kita. Tapi kan di sini tidak ada orang.

Kuberanikan diri masuk ke kamar, mendekat padanya yang sedang membungkuk, memasukkan semua baju ke dalam tas, ia tak memperdulikanku yang berdiri di dekatnya.

"Bagaimana tadi pagi Nid,"

Dengan lembut aku bertanya, mencoba mencaritahu alasan apa yang dikatakannya pada sang suami ketika kembali ke Kamar.

Sedikit melirik kepadaku, ia menjawab,

"Gak apa apa mas,Sudah jangan di bahas lagi." Ucapnya tegas.

"Tapi nid...."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ia sudah mengangkat tasnya.

"Permisi mas, aku mau bawa ini dulu ke mobil."

Ia meminta ijin padaku yang sedikit menghalangi jalannya.

Aku sedikit memiringkan tubuhku memberinya jalan. Ia lewat di hadapanku, tanpa ada satupun kata yang terucap. Dingin.

Ada apa ini? Kenapa dengan Nida batinku bertanya.

Sepeninggalnya, Aku keluar dari kamarnya dan duduk di bangku teras, menunggu ia datang kembali.

Tak lama Nida kembali, masih seorang diri. Ia lewat di depanku begitu saja, melirikpun tidak, seolah aku tidak ada di sana.

Aku segera menyusulnya ke dalam kamar, Kupegang pergelangan tangannya, kutahan langkahnya.

"Ada apa ini, Nid?"

Ia sedikit meronta ingin melepaskan cengkeramanku.

"Sudah mas, lepasin tangan aku!"

"Tidak, sebelum kamu cerita ada apa, aku gak akan ngelepasin tangan kamu!" Aku berkata tidak kalah tegasnya sambil memegang tangannya yang lain.

Nida menatap tajam wajahku, cukup lama, tiba-tiba ia menunduk dan mulai terisak, menangis.

"Hik...hiksss...."

"Aku sudah melakukan dosa besar mas."
Ia berkata sambil terisak.

Aku tercenung mendengar kata-katanya. Biar bagaimanapun kegundahan hatinya, disebabkan karena perilakuku.

Kudekap tubuhnya. Tangannya menekuk di depan dadanya, ia memukul-mukul dadaku dengan kedua tangannya.

"Aku wanita kotor mas, aku telah tega mengkhianati suamiku. Hiks....hiks..."

Air matanya berderai, membasahi t-shirt yang kukenakan.

Aku terdiam sesaat, lalu berkata lirih, "Maafkan aku Nid, Aku yang salah, Aku yang sudah menjerumuskan kamu."

Nida menggeleng perlahan, "Enggak mas, bukan kamu aja yang bersalah, aku juga, aku yang tidak bisa menahan diriku."

"Iya mas aku memang wanita yang jarang disentuh, jarang dibelai, sudah dua tahun aku tidak mendapatkan nafkah batin semenjak penyakit yang diderita suamiku. Ia sudah tak mampu lagi mas." Ujarnya lirih

"Aku juga wanita normal mas, masih ingin disentuh, masih ingin disayang, masih ingin......"

Nida tak menyelesaikan kalimatnya, tapi dari kata-katanya, aku memahami penderitaan batinnya.

"Aku gak mungkin meninggalkannya mas, ada anak-anak. Pak Rahmat sudah terlalu baik buat aku dan keluarga ku. Aku malah yang jahat padanya."

"Sudah sudah...." Aku mencoba menenangkannya. Akupun sudah kehabisan kata-kata, tak tahu harus bicara apa lagi.

Kami terdiam sesaat sebelum Nida melanjutkan perkataannya

"Terima kasih Mas sudah bikin aku bahagia, bikin aku merasa disayangi, dibelai. Diperhatikan."
"Mudah-mudahan ini yang terakhir aku begini mas."
"Terima kasih mas."

Aku mencium kepalanya yang tertutup hijabnya, Nida mendongak, kukecup lagi keningnya dengan lembut. Nida diam saja.

Lalu, sekilas kudengar langkah lari anak-anak, kulepaskan segera dekapanku, Nida pun segera mengusap dan mengeringkan airmatanya. Aku segera beranjak keluar kamar, duduk di teras.

Tak lama anak-anak Nida datang menghampiri dan segera masuk kamar menemui Umi-nya, tak lama pak Rahmat menyusul di belakangnya.

"Eh ada pak Ivan, sudah lama pak?"

"Enggak Pak Rahmat, baru aja." Jawabku berbohong.

"Sudah kelar beres-beresnya pak? Aku bertanya padanya.

"Sudah pak, makanya ini kita mau langsung mau pamit."

Tak lama Nida dan anak-anaknya keluar kamar.

Pak Rahmat melihat ke arah istrinya, "Lho mi, koq matanya merah?"

"Eh......iya bi, tadi kemasukan debu pas beres-beres di kamar." Jawabnya berbohong.

"Oh, ya udah, jangan di kucek mi."

Aku tercenung mendengar percakapan singkat sepasang suami istri ini, begitu perhatian. Aku malah mencoba merusak kebahagiaan mereka.

"Ya sudah, ayo Panji, Putri salim sama om Ivan, kita pamit." Pak Rahmat menginstruksikan pada kedua anaknya untuk berpamitan denganku.

Kedua anak itu pun bergantian menyalimi tanganku dengan takzim.

"Oh iya Pak Ivan, boleh saya minta nomor WA-nya, untuk menyambung silaturahmi."
"Barangkali Pak Ivan sedang berkunjung ke Lombok, mampirlah ke ke gubuk kami."

"Oh iya pak Rahmat, kalo saya ke Lombok, nanti saya mampir."

Aku lalu mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetku dan menyerahkannya ke Pak Rahmat. Dibacanya kartu namaku sebentar, Nida juga sempat ikut membacanya, lalu Pak Rahmat memasukkannya ke dalam dompet dengan hati-hati, layaknya itu barang berharga.

"Ya sudah, kami pamit dulu ya pak, sekali lagi saya dan keluarga mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan pak Ivan."

"Sama-sama Pak." Jawabku.

Selama aku dan suaminya bercakap cakap, Nida tidak berkata sedikitpun, hanya memandangiku saja. Ia lebih banyak menunduk.

Pak Rahmat lalu menjabat tanganku, sedang Nida hanya menakupkan tangan di depan dadanya. Tidak bersalaman.

Aku lalu mengiringi keluarga kecil ini berjalan ke parkiran.

Mereka semua lalu masuk ke mobil, sebelum mobil berjalan, Pak Rahmat sempat berkata,
"Pak Ivan, sempatkan ya main ke lombok dan berkunjung ke rumah kami. Rumah kami selaku terbuka untuk pak Ivan."

Aku tersenyum dan menjawabnya singkat." Baik pak."

Assalamualaikum," Ia mengucapkan salam perpisahan.

"Waalaikumussalam. Hati hati di jalan pak."

Pak Rahmat lalu melajukan mobilnya, Ia dan anak-anaknya melambaikan tangan kepadaku.

Kulihat Nida duduk di bagian belakang bersama anak-anaknya, ia memandangku sekilas lalu dialihkannya pandangannya ke arah lain. Pandangannya tampak kosong, entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Ia melambaikan tangan perlahan.
Mobil keluarga Rahmat perlahan meninggalkan hotel.

Entah apa yang terjadi dengan diriku. Aku bingung dengan perasaanku. Terasa hampa, kosong dan getir sepeninggal keluarga ini. Atau mungkin lebih tepatnya sepeninggal Nida.

Tak kusangka perpisahan bisa memberikan rasa sesakit ini.

"Tuhan kadang memang hanya mempertemukan, tapi tidak mempersatukan."


***

Suatu siang suhu udara kota Denpasar terasa begitu panas. Aku sedang berada di dalam ruang kantorku yang sejuk. Sebulan semenjak kepulanganku dari Banyuwangi.

Komang, asistenku baru saja menyerahkan beberapa laporan keuangan yang segera ku baca.

Triiinggg....

Sebuah notifikasi whatsapp dari Iphoneku berbunyi, pertanda ada satu pesan yang masuk.

Aku mengabaikannya, aku tetap membaca laporan keuanganku hingga selesai dan menandatangani beberapa surat penting lainnya.

Setelah selesai, kuraih Iphone yang kuletakkan di atas meja. Kubuka icon aplikasi pesan berwarna hijau dan terlihat nomor salah satu operator selular yang tidak terdaftar dalam contact list-ku.

Kubuka, ada sebuah foto yang terkirim masuk.

"Apa ini?"

Sebuah foto yang aneh, memperlihatkan gambar sebuah alat penguji kehamilan, test pack bergambar dua garis merah sejajar.

"Siapa sih iseng kirim gambar beginian?" Tanyaku dalam hati.

Lalu aku cek photo profile si pengirim. Terlihat foto seorang wanita berkulit putih mengenakan busana muslimah berwarna 'peach', lengkap dengan niqab-nya. Hanya bagian mata yang terlihat, aku terus memperhatikan bagian tersebut. Sepasang mata yang Indah, jernih dengan kornea berwarna kecoklatan.

"Koq aku sepertinya tidak asing ya dengan mata ini?"

Aku terkesiap, nafasku tertahan, Aku tahu pemilik mata indah ini, Sepasang mata ini milik......ANIDA !!!


- Tamat -
Keren sekali cerita ini...sy yg baca ikut larut dlm cerita...coba kalo di bikin FTV pasti keren...tp banyak sensornya pastinya 😀😀...sy suka sekali....thanks sdh bikin pagi ini bergairah...ditunggu karya2 selanjutnya....good job
 
Sebenarnya penulis masih bisa mengeksplorasi :

Bagaimana bentuk tanggung jawab Ivan setelah mengetahui bahwa Nida benar benar hamil dari benihnya....

Apakah dengan menjenguknya ke NTB setelah lahir ?
Apakah dengan cara transfer per bulannya utk biaya si baby ?
Apakah Ivan bertemu 4 mata dengan Pak Rohmat utk meminta maaf dan membahas kelanjutan si baby ?

Tetapi karena penulis sdh membuat tamat maka imajinasi selanjutnya diserahkan kepada pembaca sekalian.
 
Sebenarnya penulis masih bisa mengeksplorasi :

Bagaimana bentuk tanggung jawab Ivan setelah mengetahui bahwa Nida benar benar hamil dari benihnya....

Apakah dengan menjenguknya ke NTB setelah lahir ?
Apakah dengan cara transfer per bulannya utk biaya si baby ?
Apakah Ivan bertemu 4 mata dengan Pak Rohmat utk meminta maaf dan membahas kelanjutan si baby ?

Tetapi karena penulis sdh membuat tamat maka imajinasi selanjutnya diserahkan kepada pembaca sekalian.

Bisa jadi om TS menamatkan cerpen ini krn sdh punya gambaran sekuelnya.
Bagaimana reaksi Ivan yg mengetahui kehamilan Nida krn benihnya ?
Bagaiman pula reaksi Pak Rochmat yg bertanya tanya dgn kehamilan Nida, bagaimana bisa hamil jika dia sdh tdk mampu ereksi bahkan tdk pernah menjima' Nida ?
 
Cerita Sebuah Perjalanan

Seandainya saja pagi atau sore hari aku melewati jalan ini, tentu keindahan pantai Pasir Putih di Jalur Pantura Jawa Timur bisa sedikit kunikmati untuk menyegarkan mata yang sudah mulai terasa mengantuk.

Pantai yang terletak di antara Kota Probolinggo dan Situbondo ini telah menjadi salah satu tujuan wisata di Provinsi Jawa Timur.

Banyaknya rumah makan dan toko cindera mata di sepanjang jalan dapat menjadi alternatif tempat beristirahat bagi para pelintas dari Jawa yang menuju ke Pulau Bali ataupun sebaliknya.

Deru mesin diesel Pajero hitamku menggeram perlahan menembus sunyinya malam. Kujaga kecepatan dengan konstan.

Samar di lautan, pendar lampu perahu nelayan terlihat seperti kunang-kunang. Selalu ada doa dan harap yang memancar dari setiap perahu agar penguasa laut berbaik hati memberikan berkahnya malam ini. Tangkapan ikan atau udang yang berlimpah tentu menjadi harapan setiap nelayan yang melaut.

Mengemudi seorang diri tanpa kawan yang menemani selain menimbulkan sepi, rasa kantuk pun kerap menghampiri. Untuk menangkalnya aku mengambil sebatang rokok mild kegemaranku dan menyalakannya. AC mobil sengaja kumatikan, Jendela serta sunroof mobil kubuka. Seketika semilir angin malam yang dingin menyergap kabin mobil, diimbuhi aroma laut yang khas langsung menggelitik indera penciuman. Segar rasanya.

Kepulan asap rokok yang kuhembuskan, berpadu sempurna dengan irama deburan ombak yang berkejaran membelai pasir pantai. Sebuah kombinasi simfoni yang menentramkan jiwa.

Sekilas kulirik Jam digital di dashboard mobil, sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Hampir 5 jam aku berkendara dari kota Malang seusai bertemu dengan beberapa suplier langgananku. Perut mulai terasa keroncongan. Baru teringat, ternyata sejak siang tadi, belum ada sedikitpun asupan makanan yang menghampiri sistem pencernaanku.

Mata langsung menelisik ke kiri dan kanan jalan, mencari sekiranya masih ada warung atau rumah makan yang masih buka.

Tak berapa lama, tak jauh di depan kudapati sebuah warung makan yang masih terang benderang. Tidak terlalu besar tapi mudah-mudahan makanan yang disajikan nanti bisa meredakan penghuni perutku yang sudah mulai protes, sekaligus beristirahat sejenak meluruskan pinggang yang terasa pegal.

Kutepikan mobilku dan parkir di halaman rumah makan. Area parkirnya tidak luas mungkin hanya bisa menampung sekitar tiga mobil berjajar.

Di depanku ada sebuah mobil sejenis Carry yang sedang parkir. Kulihat pengemudinya membuka jok depan, sepertinya sedang memperbaiki sesuatu di bagian mesin.

Aku pun beranjak masuk ke dalam warung. Seorang bapak tua berusia sekitar lima puluh tahunan menyapaku ramah.

"Selamat datang pak, silahkan silahkan."

Aku tersenyum dan mengangguk takjim menanggapi sapaan bapak tua itu. Aku lantas memilih meja di bagian dalam, dan duduk menghadap ke arah jalan.

"Mau pesan apa pak?"

Bapak tua yang sepertinya pemilik warung menanyakan makanan apa yang ingin ku pesan sembari memberikan daftar menu sederhana yang dipegangnya.

Aku pun sejenak membaca daftar menu tersebut.

"Saya pesan nasi goreng spesial, telurnya didadar dan minumnya teh manis hangat saja pak."

"Baik pak, ada lagi kira-kira?"

"Enggak pak, itu saja."

"Baik. Silakan ditunggu nggih."

Bapak itu kemudian berlalu ke arah dapur dan segera memyiapkan pesananku.

Mataku berkeliling menelusuri suasana warung. Selang tiga meja dari tempatku berada, agak lebih ke depan dekat jendela, Kulihat seorang ibu muda dengan kedua orang anak yang masih kecil tengah tertidur tertelungkup di atas meja. Wajah wanita itu terlihat lelah, matanya sedikit terpejam.

"Pasti wanita dan anak-anak itu keluarga dari bapak yang sedang membetulkan mobil di depan," batinku.

Di bawah penerangan cahaya lampu neon, kuperhatikan wanita itu dengan seksama. Wajahnya ternyata cukup menarik, kulitnya putih dan hidungnya lumayan bangir. Usianya kuperkirakan sekitar awal tigapuluhan. Wanita itu mengenakan baju gamis berwarna off white polos serta jilbab lebar berwarna putih bermotif kembang-kembang. Paduan yang senada.

Selagi asyik memperhatikan ke-ayu-an wajahnya, wanita itu tampaknya sadar sedang kuperhatikan, Ia menoleh kepadaku. Pandangan mata kami beradu beberapa saat, namun bukan aku namanya jika lantas gugup dan mati gaya saat terpergok memandangi seorang wanita, Aku sedikit menganggukkan kepalaku dan tersenyum. Walau tampak kikuk, Wanita itu pun melakukan hal yang sama, mengangguk dan tersenyum manis. Sebentuk lesung pipit tercipta ketika ia tersenyum, menghiasi kedua pipinya, menambah kecantikan alami wajahnya.

Tak berapa lama, bapak pemilik warung membawakan pesanan teh hangatku dan sapaannya membuyarkan aktifitasku yang tengah mengaggumi indahnya ciptaan Tuhan Sang Maha Pencipta

"Ini teh hangatnya dulu pak, nasi gorengnya masih menunggu," ujarnya.

"Iya pak, terima kasih," jawabku.

Aku pun menyeruput teh manis hangat tadi. Sedikit mengobati dahagaku.

Aku teringat handphone dan dompetku ternyata masih tertinggal di dalam mobil, akupun segera beranjak menuju mobil untuk mengambilnya.

Setelahnya, aku tidak segera kembali masuk ke dalam warung. Kunyalakan sebatang rokok sambil menuju tempat bapak yang sedang membetulkan mobilnya. Kulihat bapak itu sedang berdiri dan menyeka keringat di dahi dengan punggung tangannya.

Aku pun menyapanya, "Assalamualaikum, Mobilnya kenapa pak?"

"Waalaikumussalam, Oh ini pak, saya gak ngerti tapi tadi sempat mati-mati mesinnya di jalan. Didiamkan sebentar lalu bisa nyala lagi."

"Saya gak ngerti mesin jadi saya bingung memperbaikinya," Lanjut bapak itu.

"Sebelum mesin mati, tanda-tandanya seperti apa pak?" Aku lanjut bertanya lagi.

Walau aku bukan mekanik, tapi sedikit banyak aku paham soal mesin. Siapa tahu pengetahuan otomotifku yang alakadarnya bisa sedikit membantu kesulitan bapak ini dan keluarganya.

Bapak itu lalu menerangkan kejadian yang ia ingat sebelum mobilnya mogok.

"Oh sepertinya itu kena alternator atau dinamo staternya pak, jadi suplai listriknya gak sempurna, berpengaruh ke pengapian dan pasokan bahan bakarnya."
Aku sedikit menyimpulkan problem yang terjadi pada mesin mobilnya.

"Oh begitu ya pak. Saya juga kurang paham, ini mobil saya pinjam dari pakde saya."

"Bapak dari mana dan mau ke mana," aku kembali bertanya padanya.

"Saya dari Nganjuk menuju Lombok pak."

"Wah masih jauh," ujarku.

"Iya, saya tinggal di Lombok, ini habis dari Nganjuk menengok ibu saya yang sedang sakit." Ia menerangkan perihal perjalanannya.

"Kalau bapak menuju ke mana?" Ia balik bertanya kepadaku.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan bapak tadi, kulihat istrinya, wanita yang tadi sempat kukagumi parasnya yang elok, keluar dari dalam warung dan menghampiri kami yang tengah berdiri.

"Assalamualaikum." ia mengucapkan salam dengan takzim.

Suaranya begitu merdu terdengar di telingaku, kombinasi yang sempurna, bersanding dengan parasnya.

"Waalaikumussalam." aku dan bapak tadi menjawab salamnya bersamaan.

"Bagaimana Abi, mobilnya sudah bisa nyala lagi?" tanya wanita itu pada suaminya.

"Belum tau Umi, belum Abi coba."

"Ya sudah dicoba dulu Abi, ini sudah malam, perjalanan kita masih jauh."

Suaminya segera menuju sisi pengemudi dan mencoba menstater mobilnya.

Walau agak tersendat tapi akhirnya mobil itu dapat menyala kembali.

"Apa tidak dilanjutkan besok pagi saja bapak dan ibu perjalanannya, Sambil mencoba mencari bengkel dan memastikan kondisi mobilnya aman digunakan." Aku mencoba memberikan saran.

Istrinya tampak mengangguk dan sepertinya menyetujui saranku sebelum suaminya memotong.

"Perjalanan kita masih jauh pak takut telat sampai Lombok karena lusa anak-anak sudah harus masuk sekolah lagi." Suaminya menolak saranku.

"Oh ya sudah, mudah-mudahan mobilnya aman sampai Lombok ya pak."

Amiinn," keduanya menjawab kompak.

Doa yang tampaknya tidak terkabul nantinya.

Wanita yang dipanggil Umi itu pun masuk kembali ke warung dan membangunkan anak-anaknya untuk memulai perjalanan kembali.

Pasangan suami istri itu pun menyempatkan diri untuk berpamitan kepadaku sebelum melanjutkan perjalanannya.

"Kami duluan jalan ya pak," ujar bapak itu sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Assalammualaikum."

"Waalaikumussalam, hati-hati ya bapak ibu."

Mereka pun kemudian berlalu.

Sambil mulai menyantap pesanan nasi goreng spesialku yang tertunda, kulihat mobil keluarga itu mulai melaju perlahan menembus gelapnya jalur pantura Jawa Timur.

Dengan lahap aku menikmati nasi goreng pesananku yang ternyata sangat enak Entah karena perutku yang memang sedang lapar atau memang nasi goreng ini beneran nikmat.

Sambil terus menyuap sesendok demi sesendok, aku pun membatin.

Bapak tadi kutaksir usianya di atasku hampir lima puluh tahunan, perawakannya kecil, berkacamata dan berjanggut tipis. Penampilannya agak kuno dengan baju koko dan peci bersanding di kepalanya. Kalo dari penampilannya aku sedikit bisa menerka bahwa profesi bapak itu seorang Ustadz atau minimal guru agama. Berbanding terbalik dengan istrinya yang di panggil Umi, istrinya begitu muda dan cantik. Bahkan posturnya sedikit lebih tinggi dibanding bapak itu. Ah..***k terima rasanya aku melihat pemandangan tersebut.

"What a lucky bastard you Old man," gugat batinku sambil tertawa dalam hati

Eh.. gimana ya simbol ketawa dalam hati? Hehehe atau wkwkw.

Teringat aku akan istriku, walau tidak kalah cantik, tetapi jiwa Don Juan-ku memang selalu bergolak ketika melihat jidat licin seperti wanita tadi. Apalagi sudah hampir seminggu ini aku belum kesampaian untuk "ngetap olie" (baca : bersetubuh) dengan wanita manapun, baik dengan istriku maupun wanita-wanita lain koleksiku.

Penasaran juga jadinya aku dengan wanita tadi, apalagi setelah beberapa kali kupergoki wanita tersebut memandangi dan memperhatikanku secara diam-diam.

Walau usiaku yang hampir mendekati kepala empat, namun penampilanku masih terbilang cukup baik. Dari segi tampang, banyak yang bilang aku mirip Donny Damara artis film dan sinetron yang terkenal di era tahun 90 an. Postur tubuh walau tidak besar seperti binaragawan, tapi cukup kekar dan tegap. Diimbangi cukuran rambut cepak, banyak yang mengira aku seorang angkatan. Entah angkatan 45 atau Balai Pustaka. Hehe. Tuwir donk.

Dengan kombinasi fisikku yang baik dan materi yang tidak kekurangan sebagai pengusaha kecil-kecilan, tidak heran banyak wanita yang rela menjadi sugar baby maupun teman tidur ketika aku membutuhkannya.

Tak terasa si Kodir panggilan sayang bagi penisku, terbangun dan mengeras membayangkan dapat menikmati tubuh indah Umi, panggilan ibu muda tadi. Lekuk tubuhnya dan senyum manisnya mampu membangkitkan hormon kelelakianku malam itu.

"Sabar ya dir, mudah2an kita bertemu dengan Umi itu lagi." Aku melakukan monolog dengan penisku. Hehe

Tak terasa hampir satu jam aku berada di warung makan tersebut dan tidak ada tamu lain yang datang setelah kepergian keluarga kecil tadi. Sedari tadi aku ditemani ngobrol oleh pasangan suami istri pemilik warung yang melayaniku dengan ramah.

Setelah merasa badanku fit kembali, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah membayar, aku pun melajukan kembali Pajero Sport Dakar hitamku membelah pekatnya malam menuju Denpasar, kota tempat tinggalku saat ini.


Bersambung
==========



INDEX :
Part 1 : Page 1
Part 2 : Page 2
Part 3 : Page 4
Part 4 : Page 8
Part 5 : Page 11
Part 6 :
Page 16 (Tamat)

Cakep ceritanya neeh, hu....
Btw, kontinya namanya Kodir, ya...

Kl ane, Jagur, hu...

😆
 
wah Nida sampai hamil....subur amat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd