Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Challenge 2] 14 Days to Fall in Love

feeliz

Suka Semprot
Daftar
20 Oct 2014
Post
10
Like diterima
0
Bimabet



Ada yang butuh waktu 1 tahun untuk jatuh cinta

Ada yang butuh waktu 1 detik untuk jatuh cinta

Aku?

Aku butuh waktu 14 hari untuk jatuh cinta




a story by,

[size=+2]feeliz[/size]




[size=+5]14 Days to Fall in Love[/size]​
 
[size=+3]14 Days to Fall in Love[/size]








-Day 1-




"Selamat pagi, dokter Rina," sapaku sambil mengulurkan tangan. Saat ini aku berdiri di depan sebuah rumah sakit megah di kawasan Lembang. Tidak banyak yang mengetahui tentang rumah sakit ini, karena rumah sakit ini hanya menangani kasus spesial, yaitu gangguan mental.

"Selamat pagi dokter Nico. Selamat datang di Rumah Sakit Pelita Kasih," seorang wanita menjabat tanganku. Setelah berbasa-basi sebentar, ia mengajakku memasuki lorong utama rumah sakit tersebut. Wanita tersebut adalah dokter Rina, pimpinan sekaligus pendiri rumah sakit ini.

"Jadi, kau yakin untuk bekerja di sini? Tidak banyak dokter yang bersedia tinggal dan melayani di tempat terpencil seperti ini, apalagi harus berhadapan dengan orang yang depresi sepanjang hari," tanya dokter Rina sambil menatapku.

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Dia memang mengatakan kepadaku sebelumnya, untuk melayani kurang lebih 30 pasien, hanya ada 4 dokter yang bersedia tinggal di rumah sakit tersebut.

"Tentu saja aku yakin," balasku sambil tersenyum. Kami telah sampai di taman belakang. Sebuah taman yang cukup luas, tempat para pasien menghabiskan hari mereka. Aku mengernyit heran. Para pasien tampak tertawa, bersenda gurau satu sama lain, seakan tidak ada sesuatu yang salah dengan mereka.

"Mereka bukan orang gila, dokter Nico. Mereka hanya depresi, bahkan sebagian besar dari mereka hanya lepas kontrol oleh suatu hal yang spesifik. Kau lihat lelaki berkumis tebal itu," tanyanya sambil menunjuk seorang lelaki bertubuh tambun dengan kumis tebal memenuhi bagian atas bibirnya. Pandanganku pun melayang mengikuti arah yang ditunjukkan oleh dokter Rina sebelum mengangguk singkat.

"Jangan pernah membiarkan ia menyaksikan tayangan tentang pemilu atau ia akan mulai berorasi. Ia depresi setelah kalah dalam pemilukada dan menanggung hutang besar. Namun, selebihnya ia normal seperti anda dan saya," lanjut dokter Rina.

Aku kembali melayangkan pandanganku ke sekeliling taman, menyaksikan para pasien tersebut. Aku tersenyum getir, seandainya waktu itu ayahku dikirim ke tempat seperti ini, ia mungkin bisa menghadiri wisudaku.

Pandanganku pun terhenti kepada sesosok gadis di bawah pohon. Ia tampak sedang duduk menekuk lutut dan memikirkan sesuatu. Kepalaku langsung dipenuhi banyak pertanyaan. Bagaimana ia bisa berada di sini? Apa yang terjadi dengannya? Ia tampak masih muda sekali.

"Namanya Valentina Arlina, ia merupakan tugas pertamamu di sini," dokter Rina berkata sambil memandangku, "ayo ikut ke kantor dan akan kujelaskan."

Aku pun mengikutinya meninggalkan taman itu. Tugas pertamaku? Entah apa maksudnya, aku harap masalah gadis itu tidak terlalu sulit.



---​



-Day 3-




"Namanya bola-bola kesepian, aku selalu membuatnya saat aku sedang merasa sendiri ataupun sedih," aku berkata sambil mengambil satu kue dan memakannya.

"Harusnya didingankan terlebih dahulu agar lebih enak, hehehe," kataku kembali dengan mulut penuh, membuat apa yang aku katakan menjadi tidak jelas.

"Kalau mau, ambil saja loh, tidak usah malu-malu," aku menawarkan kue yang kubuat sendiri kepada gadis yang duduk di sebelahku.

Oh iya, perkenalkan, namaku Nico. Saat ini aku bekerja sebagai dokter baru di Rumah Sakit Pelita Kasih dan ini adalah hari ketigaku. Sebenarnya rumah sakit bukan kata yang tepat. Di luar negeri, tempat seperti ini lebih dikenal sebagai mental facility, sebuah tempat untuk merehabilitasi orang-orang yang mengalami gangguan mental seperti depresi atau stres.

"Uhuk-uhuk!" aku tersedak. Entah berapa lama aku terbatuk, tampaknya berbicara sambil makan itu memang bukan hal yang baik. Setelah selesai dari batukku, aku meliriknya. Ia tampak masih pada posisinya, seakan tidak peduli padaku sama sekali.

"Tampaknya sekalipun aku tersedak sampai mati, kau tidak peduli ya?" tanyaku sambil menatapnya, menatap gadis bernama Valentina Arlina.

Valentina Arlina, gadis yang menjadi pasien pertamaku di sini. Ia merupakan korban pemerkosaan di daerah Jakarta. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran dokter Rina, kepala rumah sakit, saat ia memintaku merawatnya.

I mean, gadis ini memiliki tingkat depresi yang sangat tinggi. Aku terkejut saat dokter Rina mengatakan bahwa ia tidak pernah berbicara sama sekali semenjak kejadian itu, itu berarti sudah lebih dari 1 tahun. Dan dokter Rina juga berkata bahwa mungkin aku satu-satunya orang yang bisa menyembuhkannya karena aku hampir seumuran dengannya. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang bisa diharapkan dari dokter baru sepertiku.

Huh!

Tampaknya hari ini pun masih tidak berhasil. Aku pun menutup toples berisikan cokelat tersebut dan berdiri, meninggalkannya yang masih terdiam di bawah pohon besar. Aku memutuskan untuk menyudahi usahaku dan kembali esok hari.



---​



-Day 4-




Ini hari keempatku berada di rumah sakit Pelita Kasih dan juga hari ketigaku duduk di sebelah gadis cantik yang menjadi tugas pertamaku. Kami berada di bawah pohon yang sama di siang hari, pohon besar yang berdiri kokoh di tengah halaman belakang. Langit tampak tak bersahabat hari ini. Angin bertiup kencang, tampaknya hujan akan segera turun.

"Kau tidak mau masuk ke dalam?" tanyaku sambil meliriknya.

Seperti biasa, ia masih duduk diam sambil menekuk lutut. Aku tidak habis pikir, bagaimana seseorang bisa tak berbicara sama sekali selama setahun. Bahkan orang kurang waras pun berbicara walau dengan dirinya sendiri.

"Hujan mulai turun," kataku pelan sambil berdiri.

Para pasien yang masih berada di halaman belakang berlari memasuki rumah sakit, namun tidak dengan gadis ini. Ia masih duduk diam seakan tidak terjadi apapun. Hujan turun semakin deras, membasahi rumput dan menimbulkan bau yang khas. Aku sangat membenci hujan. Aku tidak suka memakai baju yang basah. Namun, aku tidak mungkin meninggalkan gadis ini sendirian.

"Ayo," aku menjulurkan tanganku, berharap ia meraihnya sehingga kami dapat segera meninggalkan halaman ini.

Aku menatapnya kesal, "kau bisa sakit bila berada di sini terus! Setidaknya pedulilah pada kesehatanmu!" Tanpa sadar aku membentaknya. Tidak aku sangka, ia menengadahkan mukanya untuk menatapku dengan sangat perlahan. Aku tersentak kaget, walaupun dikaburkan oleh air hujan yang membasahi mukanya, aku yakin kalau ia mengeluarkan air mata.

"Huh," aku mendengus kesal. Sambil menatap serambi rumah sakit di ujung sana, aku menghela napas panjang. Aku pun kembali duduk di samping gadis itu dan menekuk lututku.

Aku terpaksa menghabiskan sisa hari ini di bawah guyuran hujan bersamanya, masih tanpa percakapan.



---​



-Day 5-




"Namaku Nico."

Pagi ini aku mencoba dengan cara yang berbeda. Aku akan bercerita tentang diriku terlebih dahulu, mencoba untuk memancingnya berbicara, aku harap ini berhasil.

"Hmm, aku tidak tahu nama panggilanmu. Boleh aku memanggilmu Valent?" aku bertanya sambil menatapnya.

"Diam berarti setuju. Aku minta maaf kalau kehadiranku mengganggumu, Valent. Aku hanya mencoba menjadi teman bicaramu, tapi nampaknya tak berhasil. Jadi bagaimana kalau kau saja yang mendengarkanku bercerita?" aku tersenyum kepadanya.

Valent masih diam tak bersuara. Aku pun menarik napas singkat. Aku memutuskan untuk membagikan kepadanya sebuah perasaanku yang terpendam, yang tidak pernah kuceritakan kepada siapa pun.

"Kamu tahu ga alasan aku mengambil pendidikan psikolog? Semua karena ayahku. Ayahku seorang pebisnis yang cukup sukses, ia sangat sibuk bekerja demi keluarganya sampai ia lupa menyediakan waktu untuk anak-anaknya. Akhirnya aku berubah menjadi anak yang nakal, bahkan aku sangat membenci ayahku."

Aku diam sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ceritaku sambil menatapnya, melihat apakah ia bereaksi terhadap ceritaku.

"Namun 5 tahun yang lalu semuanya berubah. Aku tidak tahu pasti, yang jelas ayahku bangkrut, dan itu membuatnya depresi. Ia mulai berbicara sendiri dan parahnya ia mulai melupakan keluarganya. Awalnya kejadian itu membuatku membencinya, setelah kurangnya perhatian yang ia beri, ia juga memberiku aib di hadapan teman-temanku. Tapi suatu hari pandanganku berubah."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku saat memoriku kembali ke hari itu. Hari di mana aku kehilangan ayahku.

"Saat itu hujan di malam hari. Kondisi jiwa ayahku sedang baik. Melihat kondisinya membaik, aku membuat sebuah keputusan yang aku sesali sampai hari ini. Aku mengatakan aku membencinya dan berharap ia tidak menjadi ayahku. Aku ingin ayahku tahu betapa aku kecewa dengannya. Aku ingin ia tahu kalau yang selama ini aku butuhkan adalah kehadirannya, bukan uangnya. Aku masih ingat bagaimana terkejutnya muka ayah saat aku membentaknya. Aku pergi meninggalkan rumah malam itu. Esoknya aku mendapat kabar kalau ayahku bunuh diri dengan mengiris urat nadinya."

Aku mulai terisak pelan. Keluar sudah hal yang aku simpan rapat-rapat. Keluar sudah air mata yang aku tahan selama 5 tahun ini.

"Aku membunuhnya, Valent. Aku membunuh ayahku sendiri," aku berkata lirih.

"Andai saja waktu itu aku mau menjadi teman bicara ayahku, bukannya malah membentaknya dan menyalahkannya, mungkin ia masih hidup sekarang. Mungkin ia bisa datang saat aku wisuda," aku kembali berkata. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipiku.

Aku tenggelam dalam tangisku. Aku tidak pernah menyangka akan mencurahkan seluruh isi hatiku kepada gadis yang harusnya menjadi pasienku. Bahkan aku menangis di hadapannya. Tampaknya aku memang tidak cocok dalam pekerjaan ini.

"Maaf aku membuatmu mendengarkan ceritaku, Valent," aku menghapus air mataku dan berdiri, "aku akan berhenti mengganggumu."

Aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan ini. Aku merasa sangat malu menunjukkan sisi rapuhku kepada seorang gadis. Seorang gadis yang harusnya aku tolong.

"Vina."

Aku menoleh ke arahnya.

"Panggil aku Vina. Dan temani aku sebentar lagi, aku kesepian di sini."

Senyumku pun merekah.



---​



-Day 10-




"Jadi kau lulus dengan peringkat cum laude? Wah kau hebat sekali!" Vina berkata sambil memandangku kagum.

Aku menganggukan kepala sebagai jawaban atas pertanyaannya. Sudah hampir lima hari ini kami saling berbicara, mencoba mencoba mengenal satu sama lain. Ternyata Vina merupakan gadis yang periang. Bahkan, keriangannya membuatku tertarik dengan dirinya.

"Oh iya, ulang tahunmu kapan, Vin? Tanggal 14 Februari ya?"

"Kok tahu?" ia menatapku heran.

"Soalnya nama kamu Valentina."

"Ooo, tapi bukan kok, aku ulang tahun tanggal 15 Februari, hehehe," ia menertawakanku yang salah menebak. Aku sangat menyukai tawa gadis ini, lembut sekali setiap nada yang keluar dari mulutnya.

"Dasar kamu. Kalau aku 6 Juni tahun 1989," aku memberitahukan tanggal lahirku.

"Aku ga nanya sih, hahaha," ia kembali tertawa sambil memegang perutnya. Tampak puas sekali menggodaku.

"Berarti kita beda 5 tahun ya, aku ga mau ah pacaran sama om-om," ia melirikku manja.

"Yee, memangnya siapa juga yang mau pacaran sama anak kecil," aku menjitaknya. Ia menjulurkan lidah membalas perlakuanku.

"Lalu, apakah kamu akan tinggal di sini terus?" ia kembali bertanya kepadaku.

"Sepertinya begitu, toh aku tidak punya tempat untuk kembali, tidak setelah apa yang aku lakukan kepada ayahku," kataku getir.

Vina membelai tanganku sambil tersenyum, "apa yang terjadi dengan ayahmu bukan kesalahanmu, Nico. Aku yakin ia sekarang sedang tersenyum memandangmu yang telah berhasil menjadi seorang psikolog."

Aku menyandarkan badanku di batang pohon yang berdiri kokoh ini. Mataku memandang jauh menerawang melihat langit. Dalam hati aku berharap semoga Vina benar, bahwa ayahku sedang tersenyum memandangku dari atas sana.

"Mengapa Vina?"

"Eh."

"Mengapa nama panggilanmu Vina? Bukan Valent, Tina, Arlin, atau Lina?"

"Hehehehe," ia terseyum manis.

"Ayolah, sudah lima hari kau menginterogasiku. Sekarang giliranku untuk mencari tahu tentang dirimu," aku membujuknya untuk bercerita.

"Sengaja aja. Biar cowok-cowok yang mau kenalan sama aku jadi ada bahan pembicaraan."

"Hah?" aku heran mendengar jawabannya.

"Iya, kan kasihan kalau mereka ga ada bahan pembicaraan buat deketin aku."

"Serius?" aku masih tidak percaya.

"Iya!"

Aku terdiam beberapa saat, sebelum tertawa lepas sampai berguling di atas tanah. Aku tidak menyangka gadis ini sangat aneh. Bukan, unik mungkin kata yang lebih tepat.

"Ih, kok diketawain sih? Aku kan serius, Nico," ia melipat tangannya, membuat payudaranya tampak membusung.

Aku bangkit dari posisiku dan mencubit hidungnya, "kamu lucu banget sih."

Ia menekuk bibirnya, membuatnya tampak semakin imut. Aku kembali tersenyum dan menyandarkan badanku di batang pohon. Ia mengikutiku dan bersandar. Tak lama kemudian ia merebahkan kepalanya di pundakku. Jantungku seakan berhenti untuk sesaat saat ia melakukannya.

"Terima kasih ya, Nico."

"Untuk apa?" aku meliriknya heran.

"Untuk jadi teman pertama aku, setelah selama 1 tahun ini. Terima kasih kamu sudah mau menemani aku yang kotor ini, aku yang sudah tercermar," perlahan Vina mulai terisak.

"Kamu ga kotor kok," aku berkata sambil mengalungkan tanganku di pundaknya.

"Aku kotor, Nico!" ia menjerit sambil mengarahkan badannya berhadapan denganku, membuatku tersentak kaget.

"Aku kotor! Kamu tahu apa yang dilakukan mereka? Aku diperkosa, Nico! Diperkosa! Mereka lihat badan aku! Mereka pegang tubuh aku! Apa namanya kalau aku ga kotor? Apa?"

Bulu kudukku berdiri mendengarnya berteriak. Aku merasakan kesedihan meluap dari diri Vina. Air matanya mengalir deras. Air mata yang mungkin tertahan selama satu tahun. Aku tahu rasanya memendam perasaan selama itu. Aku tahu benar bagaimana sakitnya. Aku terdiam, memberinya kesempatan untuk mengeluarkan semua air mata yang tertahan selama ini.

"Waktu itu malam hari," ia mulai bercerita saat tangisnya reda.

"Cukup Vina, cukup. Kau tidak perlu mengingat kembali kejadian itu," aku menggengam jemarinya erat dan menatapny tajam.

"Saat itu aku baru saja pulang mengerjakan tugas kelompok di kampusku," ia meneruskan ceritanya mengacuhkanku.

"Aku tidak memakai baju terbuka. Aku memakai jeans panjang dan kaos serta jaket untuk menahan dinginnya malam. Jarak kampus dan tempat kostku tidak begitu jauh dan aku terbiasa berjalan kaki pulang pergi. Tapi malam itu berbeda, keadaan sangat sepi padahal baru jam 8 malam. Mereka berada di ujung gang. Tiga orang itu berada di ujung gang. Tertawa dan tampak meneguk minuman keras."

Vina terdiam sebentar, mengatur napasnya yang tampak terengah-engah.

"Vin, please, cukup," aku berkata lirih, sadar bahwa ini tidak akan berakhir dengan baik.

"Aku sudah merasakannya, aku merasakan perasaan tidak enak saat melihat mereka. Tapi itu satu-satunya jalan ke tempat kostku. Aku memberanikan diriku, meyakinkan diriku bahwa itu hanya perasaanku saja. Aku pun berjalan dengan cepat ke arah mereka. Saat aku melewati mereka, hal itu terjadi. Salah seorang dari mereka mencolek pantatku. Aku tidak mengindahkan mereka dan terus berjalan. Namun mereka mengejarku, mereka menarik tanganku. Aku berusaha melawan, tetapi apalah dayaku melawan tiga orang pria. Hal terakhir yang aku ingat malam itu, mereka memukul leherku."

Vina tersenyum menatapku. Bukan, bukan senyum bahagia, senyum penuh kegetiranlah yang tampak di mukanya.

"Keesokan harinya aku terbangun di atas sebuah ranjang. Kedua tanganku terikat ke sudut ranjang, begitupun dengan kedua kakiku. Awalnya aku tidak menyadarinya, tapi hembusan dingin di kulitku membuatku sadar. Aku tidak mengenakan apapun. Aku telanjang, Nico. Terikat di ranjang tanpa sehelai baju pun! Aku kotor! Aku sampah!"

Ia berteriak sambil mengacak rambutnya. Matanya yang telah memerah kembali mengeluarkan air mata.

"Aku tidak pantas hidup, Nico! Aku tidak berguna lagi!" ia meraung sedih, membuatku merinding. Aku pun memeluknya, mencoba menenangkannya. Vina terisak keras di dadaku. Entah berapa lama waktu yang berlalu hingga tangisnya reda.

"Di tengah rontaanku untuk melepaskan diri, aku mendengar tawa itu. Aku tidak akan pernah melupakan tawa itu, suara itu," Vina kembali melanjutkan ceritanya. Matanya membelalak ngeri saat ia berusaha mengingat kejadian itu.

Hatiku terenyuh, "kau tidak perlu mengingatnya lagi, Vina. Tidak perlu."

Sambil menghapus air matanya, Vina kembali bercerita, "ketiga orang itu menghampiriku, mengelilingi ranjang yang mengikatku. Aku memohon kepada mereka, Nico. Aku memohon!" Suaranya meninggi, ia kembali menjambak rambutnya. Air mata kembali menggenangi pelupuk matanya.

"Aku meminta mereka untuk berhenti! Aku menawarkan semua harta yang aku punya! Uang! Perhiasan! Semuanya sudah aku lakukan, Nico! Tapi apa? Mereka memegang payudaraku sambil tertawa! Aku sudah mencoba mencegah mereka! Aku tidak menyerahkan tubuhku begitu saja! Aku bukan pelacur, Nico! Aku bukan pelacur!"

"Aku bukan pelacur, aku bukan pelacur, aku bukan pelacur," ia berkata lirih sambil membenturkan bagian belakang kepalanya ke batang pohon. Aku langsung beranjak dari dudukku dan kembali memeluknya, mencegahnya melukai dirinya.

"Tidak ada yang memanggilmu pelacur, Vina. Tidak ada," aku berusaha menenangkannya.

"Sambil terus memainkan payudaraku, aku melihat ketiga orang itu melepaskan pakaiannya. Aku melihat penis mereka mengacung tegang. Aku tahu saat itu aku akan kehilangan kehormatanku sebagai wanita," Vina kembali berkata setelah ia berhasil menenangkan dirinya.

"Cukup Vina, cukup," kataku tercekat. Aku tidak sanggup lagi mendengar ceritanya. Vina mendorong dadaku, melepaskan dirinya dari pelukanku. Matanya menatap kosong ke arahku.

"Salah seorang dari mereka memposisikan penisnya di depan vaginaku. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya bisa menangis, memohon agar mereka berhenti, tapi hanya tawa yang kudengar. Kemudian."

Vina terdiam, ia meneguk ludahnya sebelum kembali berkata, "kemudian, aku merasakan penis itu bergerak maju, memasuki vaginaku. Rasanya sakit sekali. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan sakit seperti itu. Aku hanya bisa menggigit bibirku, menahan sakit. Entah berapa jauh ia masuk, tapi aku merasakan penisnya membentur sesuatu di dalam sana, selaput daraku."

"Vina, aku mohon berhenti. Kau tidak perlu mengingatnya lagi," aku memegang kedua pundaknya dan menatapnya. Ia menggeleng singkat, menolak permintaanku.

"Aku kembali memohon, Nico. Kedua orang temannya besorak, menyemangatinya untuk merusak selaput daraku. Lelaki itu tersenyum ke arahku, ia menarik penisnya. Aku pikir hatinya tersentuh oleh tangis dan air mataku. Tapi, tiba-tiba ia menghujamkan penisnya sekuat tenaga, merobek, merobek selaput daraku," Vina berkata lirih. Ia menutupi muka dengan kedua tangannya. Aku mendengarnya menangis terisak.

"Kemudian salah satu di antara mereka menyodorkan penisnya ke mulutku, memintaku untuk mengulumnya. Ia mengancam agar tidak menggigitnya atau ia akan membunuhku. Aku pikir, mati akan lebih baik, tapi aku tidak punya keberanian untuk melakukannya. Lalu mereka melepaskan semua ikatanku, tapi aku tak memiliki tenaga lagi. Tenagaku habis untuk menangis dan menahan sakit. Entah berapa lama mereka memperkosaku, berapa posisi yang mereka lakukan. Mereka bahkan menyodomiku, Nico. Aku hancur, aku bukan lagi seorang wanita. Mereka memperlakukanku layaknya seonggok daging. Aku tidak lagi mempunyai harga diri, Nico," ia menatapku. Air mata mengalir deras dari kedua matanya.

"Ssst, kau berharga Vina, jangan menganggap dirimu seperti itu, okay?" aku tersenyum memberinya semangat.

"Esok harinya, mereka memasukan vibrator ke dalam vaginaku dan meninggalkanku terikat. Kau tahu rasanya, Nico? Kau tahu rasanya selama hampir 24 jam dirangsang oleh vibrator. Aku orgasme, Nico! Aku orgasme! Aku tidak menginginkannya! Tetapi tubuhku sendiri mengkhianatiku! Aku orgasme! Tidak hanya sekali atau dua kali! Berkali-kali, Nico! Berkali-kali! Kau sadar kan sekarang? Aku seorang pelacur. Aku pelacur, Nico!" Vina memukuli kepalanya. Aku terpaksa memegang kedua tangannya dengan erat.

"Keesokan harinya, mereka kembali datang. Kali ini 5 orang. Mereka menggilirku, Nico. Mereka memasukan penis menjijikan mereka ke dalam vaginaku, anusku, dan mulutku sekaligus. Kau tahu bagaimana hancurnya hatiku? Kau tahu bagaimana inginnya aku untuk mati saat itu juga? Aku rendah, Nico. Aku bahkan lebih rendah dari binatang."

Aku memegang pipinya, menghapus air mata yang mengalir di sana. Aku tidak sanggup lagi melihat Vina seperti ini. Hatiku tersayat melihatnya.

"Bunuh aku Nico, aku tidak pantas lagi hidup di dunia ini. Tidak ada yang peduli padaku. Aku mohon bunuh aku. Bunuh aku!" ia kembali berteriak sambil mencengkram bajuku, "bunuh aku! Aku tidak ingin hidup! Aku tidak pantas hidup!"

Hatiku mencelos memandang wajahnya yang terlihat sangat frustasi. Entah mengapa, tapi hatiku terasa sangat sakit mendengar gadis ini memilih untuk mati.

Dengan penuh perasaan, aku merengkuh tubuhnya. Tanpa sadar, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, aku menatap dalam ke matanya. Vina terdiam. Aku melirik singkat ke bawah, ke arah bibirnya yang terbuka kecil. Aku memejamkan kedua mataku. Aku menciumnya.

Waktu seakan berhenti. Semua suara seakan menghilang begitu saja.

"Aku peduli padamu, Vina. Jangan pernah berpikir bodoh seperti bunuh diri lagi. Aku tidak mau membuatmu menjadi pembunuh," aku menatapnya serius. Ia menatapku penuh tanda tanya.

"Karena aku akan ikut bersamamu ke neraka sekalipun," aku mengangguk mantap.

"Jangan bodoh, Nico! Jangan membohongiku! Kau bahkan hampir tidak mengenalku!" ia membentakku.

Aku memegang kedua pipinya dan kembali mengecupnya. Sebuah ciuman penuh perasaan.

"Sekarang, katakan lagi kalau aku membohongimu," aku berkata setelah melepaskan ciumanku.

Plaak!

Ia menampar kencang pipiku dan menatapku marah. Dengan napas terengah-engah, ia berdiri dan berlari meninggalkanku yang terdiam di bawah pohon.



---​



-Day 14-




"Happy Valentine, Vina," aku menyerahkan sebuah bingkisan kepadanya. Hari ini, tanggal 14 Februari, tanggal yang identik dengan hari kasih sayang. Seperti orang lain pada umumnya, aku pun ikut merayakan hari ini.

"Loh, kok tulang sih hadiahnya? Kan kalau hari valentine, biasanya coklat. Tulang buat apa?" ia mendelik kesal kepadaku.

"Kalau tukaran coklat kan sudah biasa. Sekarang kita tukaran tulang, aku jadi tulang punggung kamu, kamu jadi tulang rusuk aku," jelasku sambil tersenyum.

"Gombal!" ia melemparkan tulang tersebut ke arahku sambil merengut. Aku hanya bisa tertawa terkekeh melihat ekspresi kekesalannya. Ia pun membaringkan kepalanya di pahaku dan menatap ke atas.

Semenjak kejadian 4 hari yang lalu, kami menjadi semakin dekat. Perlahan Vina membuka pintu hatinya yang telah lama tertutup. Ternyata benar kalau cinta itu akan muncul karena terbiasa. Setelah selama 14 hari kami berkomunikasi sepanjang hari, membuka diri kami satu sama lain, benih cinta itu perlahan mulai tumbuh dalam hati kami berdua.

"Nico."

"Ya?"

"Pohon ini hebat ya. Entah sudah berapa ratus tahun umurnya, ia bisa berdiri kokoh, melawan terpaan angin kencang, teriknya sinar mentari, bahkan dinginnya hujan badai," Vina berkata sambil memandangi dedeaunan yang bergoyang oleh tiupan angin di atas sana.

"Kamu tahu apa yang membuatnya kuat seperti itu?" aku bertanya sambil ikut memandang ke atas.

Vina menggeleng kecil.

"Karena tanah di sini subur, memberikan sumber nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan pohon ini. Dan kamu tahu apa?" aku memandangnya serius.

Ia kembali menggeleng sambil tersenyum.

"Kamu pun bisa menjadi seperti pohon ini. Kuat dan tangguh. Dan aku akan menjadi tanah yang akan mendukungmu selamanya."

Ia bangkit dari tidurnya dan menatap kedua mataku. Sambil tersenyum manis, ia pun mendekatkan wajahnya, dan mencium bibirku mesra.

"Aku sayang kamu. Jangan pernah tinggalin aku ya, Nico," katanya sambil memegang kedua pipiku.

"Aku janji, Vina," aku menjawab sambil tersenyum. Kami pun kembali berciuman.



---​



-Day 15-




Waktu masih menunjukkan pukul 04.00, namun aku sudah berpakaian rapi dan berdiri di depan rumah sakit. Hari ini aku akan pergi ke kota untuk membeli sebuah cincin. Aku memutuskan berangkat dari pagi karena banyak yang harus aku persiapkan. Aku ingin membuat sebuah kejutan yang tidak akan pernah ia lupakan.

Ya, aku berencana melamar Vina hari ini, di hari ulang tahunnya. Mungkin ini terdengar gila. Baru 14 hari aku mengenalnya, namun sudah memutuskan untuk menjadikannya pendamping hidupku. Tapi, cinta bila tidak gila, bukan cinta namanya.

"Hati-hati di jalan, Nico," dokter Rina melambai kepadaku. Aku mengangguk singkat dan membuka pintu mobil. Dengan semangat tinggi, aku memacu kendaraanku, membelah jalanan desa menuju kota.

Hello Bandung! Setelah hampir 3 jam perjalanan, aku tiba juga di kota kembang. Aku memutuskan untuk menuju mall terdekat dan membeli apa yang aku perlukan kemudian kembali ke Lembang.


Mengejar dirimu
Takkan ada habismu
Membuat diriku menggila
Bila hati ini menjatuhkan pilihan
Apapun akan ku lewati

Hari ini sayang
Sangat penting bagiku
Kau jawaban yang aku cari
Kisah hari ini kan kubagi denganmu
Dengarlah sayang kali ini
Permintaanku padamu

Dan dengarlah sayangku
Aku mohon kau menikah denganku
Ya hiduplah denganku
Berbagi kisah hidup berdua

Cincin ini sayang terukirkan namamu
Begitu juga di hatiku
Hujan warna warni
Kata orang tak mungkin
Namun itu mungkin bagiku
Sebuah tanda cintaku


Sebuah lagu yang mewakili perasaan hatiku diputar di radio saat mobilku tertahan di lampu merah. Aku pun bersenandung pelan. Untuk pertama kalinya aku merasakan bahwa hidupku sempurna dan gadis bernama Valentina Arlina yang berhasil membuatnya utuh.

Aku melirik singkat ke arah lampu lalu lintas melalui kaca depanku, memastikannya sudah berwarna hijau sebelum kembali menjalankan mobilku pelan, menyeberangi perempatan jalan.

Tiiiiiiiiiiin!

Sebuah suarah klakson memekakan telinga menarik perhatianku. Aku pun menolehkan wajahku dan mendapati sebuah truk meluncur kencang ke arah mobilku. Aku dapat melihat bagaimana sang pengemudi menggerakan tangannya dengan panik, memintaku untuk segera melaju. Namun, belum sempat aku bereaksi, aku mendengar bunyi hantaman besi yang sangat keras dan semuanya menjadi gelap.



[size=+2]~end~[/size]​
 
Terakhir diubah:
(.....) Sad ending ni suhu? :hua:

Good luck suhu.
 
lahhhhh endingnya ???

:fiuh: :mati:
 
Coba endingnya ditambah reaksi vina ketika tahu kayaknya lebih mantap suhu....
 
Cerita yg bagus dengan Akhir yg menyedihkan

:hua:
 
Cerita yg bagus dengan Akhir yg menyedihkan

:hua:

Hehehe, makasih uda mampir...
Semoga bisa menikmati yaa...

Nice nice nice :jempol:

ide nya bagus brader, keren tulisan nya.

tadinya berpikiran kalo Nico dan Vina bakalan jadi, eh endingnya :hua:

Thanks brader, goodluck ... :ampun:

Makasi, semoga suka ya ma critaku, hehehe...

Coba endingnya ditambah reaksi vina ketika tahu kayaknya lebih mantap suhu....

Ga bisa kayanya, soalny aku pake pov 1 dr awal, takut jadi ga konsisten....
Biar pembaca aja deh berimajinasi, hehehe...
 
baguus ...rapi tulisannya :jempol:
 
Gombalan tulangnya ijin gw pake buat ssi ke gebetan yah, hehehe
 
kado tulangny boleh juga tuh. 4 bulan lagi coba dpraktekin pas ultah.
 
Maaf suhu, Nico itu dokter apa psikolog ya ?

Psikolog kok...
Cm karena di indonesia pada manggil psikolog pke sebutan dokter, jadi ikut2an deh...

kado tulangny boleh juga tuh. 4 bulan lagi coba dpraktekin pas ultah.

Silakaaan....awas di lempar pakai tulangnya...

Keren gan...
nice konsep.. :beer:

Nico cm pingsan.. :sendirian:

Hahaha, nico ny terserah deh mau pingsan atau mati, hehehe...

waduh..
Endingnya kok.,
:sedih:

Krng ngena ya feelnya...
Aku masih kurang bisa mainin katanya...
kalo nico mati ? berarti yg cerita ini siapa ?
hiiiiiiiiii

Hehehe...

Gombalan tulangnya ijin gw pake buat ssi ke gebetan yah, hehehe

Hehehe, silahkan....awas gebetannya kelepek2...
bisa jadi karya hebat nih kalo disambung jadi cerbung.Good job suhu

Hehehe, makasih...
Rencananya aku mau bikin cerbung kok, tapi bukanyang ini, mudah2an cepet selesa part awalnya..

baguus ...rapi tulisannya :jempol:

Aaaah...
Kakak apeel...
Makasi uda mampir...
Aku suka banget sama tulisan kakak...
:kk:
 
Bimabet
kirain bkal happy ending eh trnyta :galau:

Nice story gan ato sis feeliz:jempol:semangat brkarya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd