Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Cinderella From Hell (Vol.1 and 2)

Frontieres

Semprot Baru
Daftar
22 Jun 2016
Post
41
Like diterima
25
Bimabet
“kau lihat itu…”

“kau tahu, sesuatu apa yang membuat bintang-gemintang tampak oleh mata kita?”

Ia menggeleng, sepasang matanya tak lepas memandang takjub ribuan bintang yang tumpah di langit. Malam itu.

“Cahaya-lah yang membuat bintang-bintang di sana tampak dan terlihat.”

Lelaki muda itu mengangguk paham. Kata-kata yang terucap dari bibir Jeanice bagai air yang mengaliri hingga celah terdalam palung hatinya.

“Raihlah cahaya.. Dapatkanlah cahaya. Dengan cahaya, kau akan bersinar dan terlihat tanpa harus menampakan diri. ”



++++


Ibrahiem tersudut di bangku taman, air matanya kembali mengalir dan jatuh, menitik menjadi serpihan terkecil di atas biola, di atas pangkuannya. Ia mencoba untuk memainkannya lagi, alunan sendu tembang perpisahan itu. Perih.. Pilu... Setiap melodinya adalah duka, lara yang menetes. Sore itu, sang surya seperti enggan menampakan dirinya, remuk dan redam dalam kemarahan dan kesedihan yang berkecamuk dalam dada yang mungil. Angin-angin mengirimkan bau basah, berhembus dalam hening-hening duka, menjatuhkan beberapa dedaun kering. Burung-burung tak lagi ceria, tak ada semarak untuk hari ini, berduyun mereka kembali ke sarang, menyimpan kicauan di balik sayap-sayap. Tak ada semarak untuk hari ini dan beberapa hari kedepan.

Lebih dari seorang kakak, Jeanice adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki Ibra, kedua orang tua mereka turut menjadi korban tewas jatuhnya pesawat. Bersama Jeanice ia tumbuh, bersama Jeanice ia banyak belajar. Lebih dari seorang kakak, Jeanice adalah kawan berbagi cita-cita dan harapan.

:::

Jari jarinya yang kecil tampak gemetar memunguti manik-manik yang berserakan di lorong yang gelap. Tiga dari sepuluh biji manik-manik telah hilang. Manik-manik itu milik Jeanice, gadis periang yang baru saja direnggut kehidupannya. Kini Jeanice terbujur kaku sebagai korban pemerkosaan disertai pembunuhan oleh sekelompok pemuda. Jasadnya ditemukan dalam plastic sampah di pojok tempat pembuangan apartment mewah. Sebuah pahat masih tertancap di dagu dan dada sebelah kiri di antara puluhan luka dan memar lainnya. Bagian anal dan vagina hingga rahimnya sudah rusak, meninggalkan luka menganga yang mengerikan. Bekas-bekas ikatan dan jeratan tali temali masih terlihat jelas di beberapa bagian tubuhnya, terutama pada pergelangan tangan juga kaki. Kedua putting dan clitorisnya telah hilang digunting. Kulitnya yang cerah tampak kotor dan menghitam oleh bercak darah yang mengering dari sayatan luka. “Oh Tuhan, di air mata yang mana lagi aku harus bersembunyi” pekik Ibra dalam hati. Hati kecilnya remuk dan redam. Sungguh tak terperi apa yang dirasakan Jeanice malam itu. Pukul 21.00, seharusnya Jeanice sudah sampai di asrama, tapi tidak di malam itu, malam yang pekat itu telah membawanya pergi jauh, membawanya pergi tanpa pernah mengantarkannya kembali.

“Aku telah menjemputnya, Sayang. Jeanice-mu kini sudah tenang, ia tak perlu lagi merasakan kejamnya dunia. Tuhan telah menentukan tempat terbaik bagi insan-insan terbaik,” bisik seseorang di telinga Ibra. Suaranya berat dan parau, sosok tak berwajah dalam jubbah tersebut datang dalam mimpi dengan Jeanice berdiri di sampingnya. Wajah cantik gadis tersebut memendar dihujani cahaya, dari balik tangannya, ia mengeluarkan sebilah pisau dan meletakannya di atas sebuah altar. “Balaskan untukku”. Pintanya seraya berlalu.

Meski pada akhirnya kinerja prima pihak kepolisian berhasil meringkus pelaku dalam waktu yang relative singkat, tak lantas hal itu membuat hati Ibra merasa impas, ada hutang yang mesti dibalas. Hatinya justru bertambah panas, melihat para pelaku masih sempat melempar senyum di hadapan kamera dengan tak pantas. Dorongan dendam kian mengganas, apa yang ada di balik dada rasanya telah habis terkuras. Bermodalkan informasi mengenai keluarga maupun orang-orang terdekat para pelaku, Ibra bangkit dan menyambar jaket hoodie milik Jeanice yang masih tergantung di kapstok belakang pintu. Malam itu juga, ia kayuh sekuat tenaga BMX pemberian sang kakak menuju suatu tempat. Menerobos hujan, menerjang pekatnya malam. Menuju rekahan bumi terdalam, menyeret ribuan iblis untuk datang merasuki diri.
[This story is dedicated to all victims of rape and sexual violence]

Cinderella from Hell (Vol. 1)

Original story by : Frontieres


Satu bulan berlalu pasca tragedi mengerikan yang menimpa Jeanice. Kini public dikejutkan dengan penemuan tiga potongan kepala manusia di atas makam gadis itu. Tiga potong kepala tanpa wajah yang saling terhubung dengan seutas kawat bersama 7 butir manik-manik warna-warni. Sementara itu di tempat berbeda, satu koper besar berisi potongan tubuh manusia korban mutilasi baru saja ditemukan tak jauh dari tepi dermaga. Pihak kepolisian segera meluncur dan mensterilkan lokasi, garis-garis polisi segera dibentangkan guna olah TKP. Awak media segera menyerbu, di dua lokasi berbeda. Massa menyemut, semua element-element terkait sigap berkoordinasi. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, kasus tersebut sontak memenuhi wajah-wajah media pemberitaan. Koran, majalah, televise, radio hingga media-media pemberitaan daring seakan berlomba mendapatkan informasi yang ter-update. Teraktual.

“KEPALA MANUSIA TAK BERWAJAH, DITEMUKAN DI LOKASI PEMAKAMAN KORBAN PEMERKOSAAN!!!”

“3 JAM MENGAPUNG, KOPOR MERAH DI DERMAGA TERNYATA BERISI POTONGAN TUBUH MANUSIA”

“KASUS PEMBUNUHAN DISERTAI MUTILASI KEMBALI MENCUAT,”

“apakah pembunuhan ini ada kaitannya dengan hilangnya tiga mahasiswi seminggu yang lalu, Pak?”

“Kami masih menunggu hasil dari tim forensic, pihak kepolisian akan terus mendalaminya. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan ada tidaknya keterkaitan antara penemuan hari ini dengan hilangnya ketiga mahasiswi minggu lalu.”

“Pihak kami masih melakukan penyisiran di sekitar TKP, karena potongan tubuh dalam koper tidak lah lengkap”

“Bisa bapak gambarkan sedikit kondisi-kondisi mayat dalam kopor tersebut, Pak?”

“Ada terdapat bagian dada hingga pangkal paha, berjumlah tiga potong yang bisa kami simpulkan bahwa korban berjumlah 3 orang. Lalu kemudian, 2 pasang kaki, 3 kanan dan 1 kiri. Kemudian, 3 potong lengan yang kesemuanya…. Maksud saya dari tiga lengan tersebut, 2 kanan dan 1 kiri. Semuanya dalam kondisi menghitam, busuk, dipenuhi luka bakar. Banyak kulit-kulitnya yang mengelupas.”

“Lalu, apakah kepala-kepala yang ditemukan di tempat pemakaman merupakan bagian dari potongan tubuh dalam kopor ini? ”

“Kamipun beranggapan kesana, tapi untuk itu tim forensic masih akan menyelidikinya secara intensif.”

“…dan kami juga sudah mengundang keluarga dari ketiga mahasiswi yang dinyatakan hilang tersebut.”

“Jenis kelamin mayat dalam kopor itu, Pak?”

“kesemuanya berjenis kelamin perempuan.”

::::

Di meja dingin autopsy telah berserakan potongan-potongan tubuh manusia, dikawal anggota kepolisian, team forensic sendiri tengah menyocokan antara kepala dengan tubuh-tubuh malang tersebut.

“Ini pasti ada hubungannya dengan laporan hilangnya tiga mahasiswi seminggu lalu,” seorang anggota forensic mencoba berpendapat.

“Ya, akupun berfikir demikian, tapi potongan potongan tubuh ini tak lengkap, Pak!’’

“Lihat.. ia justru berbeda. Pelaku sengaja membakarnya..”

“Ya, ia membakar hangus jari-jemari korban untuk menghilangkan sidik jari..”

“ia bermaksud menghalangi proses identifikasi…”

“Entah sengaja atau tak sengaja, yang pasti ia sudah memberitahu kita tentang siapa dirinya.” Salah seorang penyidik berujar.

“Tiga nama mahasiswi yang hilang seminggu lalu itu tak lain merupakan istri dan pacar dari ketiga pelaku pemerkosaan Jeanice.”

“Tapi tak sesedehana itu, Bung”

“Masih ada banyak kemungkinan”

“Jadi, siapa nama yang kini terlintas di benakmu?” Tanyanya.

“Tapi Ibra punya alibi yang kuat, 3 bulan terakhir ia mengisi penuh absensi di asrama. Ia tak pernah keluar asrama lebih dari satu jam. Memang, sejak tragedi yang menimpa Janice, para pegawai dan staff di asrama mengetatkan penjagaannya terhadap Ibra.”

“Yang pasti, kita harus memulainya dari orang-orang terdekat di sekeliling Jeanice.”

“…juga keluarga ketiga mahasiswi yang hilang. Coba bawakan aku berkas laporannya…”

Knock! Knock! Knock!

“Yeap, masuk!!”

“Seorang warga baru saja menemukan tiga kulit yang diidentifikasi adalah wajah manusia dan…”

“dan apa?”

“Dan sebuah handy cam di kantung kertas.”

“Kantung kertas?”​

20 hours ago.

Dengan seutas kawat yang baru saja ia temukan, Ibra bergegas menghubungkan antara kepala satu dan lainnya melalui lubang hidung, hingga kepala wanita-wanita malang tersebut terikat menjadi satu. Ketiga kepala tersebut akan menggantikan posisi tiga biji manik-manik milik Janice yang hilang. Ujung-ujung kawat tersebut kemudian ia kaitkan pada swing arm sepeda, lantas memacunya pelan demi pelan, ia ingin menikmati setiap bebunyian dari kepala-kepala tanpa wajah itu saling berbenturan dan terseret di atas permukaan aspal. Hingga sampai di tempat bersemayamnya jenazah Jeanice.

“Hai Kak?! Apa kabar?”

“Aku telah mendapatkan pengganti biji manik-manikmu yang hilang,” ujarnya seraya melemparkan ketiga kepala tersebut di atas makam sang kakak, tak jauh dari nisan.

Untuk sesaat ia terduduk dan membisu, pandangannya kosong melompong, menjadi tubuh tanpa jiwa. Tak lama ia meringsut dan memeluk batu nisan bertuliskan nama seseorang yang sangat dicintainya, dipeluknya erat-erat. Air mata kembali mengalir. “sekalipun ku bunuh seluruh manusia yang berada di bumi ini, tak’an pernah membuatmu kembali, Kak”

“Ayo kak, kapan kita ke pantai lagi????” isakannya begitu lirih.

“Ayooo kaaakkk… aku ga punya siapa-siapa lagi di sini. Aku sendirian.”

“Aku ga punya siapaa-siaapaa….” Di makam sang kakak, bocah lelaki itu menangis tersedu. Ingin sekali rasanya mengadu.

Dari kejauhan, Merry tak kuasa menahan air matanya. Ia belum menuju dermaga, ia masih menyempatkan diri untuk mengekor Ibra hingga ke pemakaman. Sekedar memastikan tak terjadi sesuatu dengan bocah malang tersebut. Sementara kopor merah, kantung kertas dan handy cam miliknya telah berada di balik bagasi. Merry atau Merridith sendiri adalah putri seorang miliarder yang diam-diam menjalin cintanya dengan Jeanice. Kecuali Ibra, tak ada satu pun orang di kota ini yang mengetahui jika si pewaris kerajaan bisnis Saint.Corp itu menjalin hubungan terlarang dengan penghuni asrama yatim piatu. Hubungan cinta sesama jenis dan tingkat kasta yang berbeda jauh, jelas bukan sebuah jalan menuju cinta yang bisa terima oleh nalar dunia. Jeanice dan Merry hanyalah sepenggal risalah tentang kasih yang tak pernah sampai.

::::

1 years ago

“Hai!” Sapanya ramah.

Tapi aku tak lekas menjawab, ada sesuatu dalam senyumnya yang seolah menahanku. Ia manis sekali. Cantik. Lewat senyumnya, ia memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih dan rapi, di antara garis bibir yang manis berpulas warna merah kemayu. Hidungnya mancung meruncing, pipinya tirus merona bercahaya, rambutnya panjang berkilau keemasan diterpa sinar matahari yang menembus dari jendela kelas. Betapa beruntungnya aku, betapa beruntungnya bisa duduk di dekat orang secantikmu. Wangimu harum, membuatku ingin tenggelam dan karam di dalamnya.

Ya, bisa bertemu dan duduk satu kelas dengannya adalah keberutungan awal saat aku pindah ke sekolah baru ini.

“Hai juga!” Akhirnya aku bisa membalas. Huft…

“Merry, Merridith…” aku menyodorkan tanganku padanya di sela-sela repotnya mengeluarkan pena dan buku di hari pertama masuk sekolah.

Ia pun menoleh dan menyebutkan namanya, “Jeanice.”

Ah, senyum itu lagi.

Beberapa saat kami saling memandang, cukup dalam dan lekat, sebelum kusadari bahwa pena-ku terjatuh dan guru tua Bangka di kelas kami membentur-benturkan ujung penggaris pada blackboard. Tapi dari sepersekian detik aku memandang biru matanya itu sudah berarti banyak bagiku. Tatapannya bukan sekedar pandangan, aku berharap, apa yang bergema dalam hatiku sama dengan apa yang tengah bergaung dalam hatinya. Sesingkat itukah? Ya, aku baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama… padamu… Jeanice.

Setelah hari pertama itu, tak perlu waktu lama untuk kami menjadi teman yang begiiiiitu akrab. Disamping tempat duduk kami yang saling berdekatan, keberuntungan lainnya yang ku miliki untuk terus bisa berdekatan dengan Jeanice adalah, kami juga memiliki banyak hobi dan kesamaan. Kami sama-sama hobi membaca, itu sudah tentu. Sama-sama menyukai film berbau horror, psychology dan dokumenter, sepulang sekolah biasanya aku sering mengajaknya main ke rumah untuk menonton bersama. Tapi Jeanice, kerap kali menolak, apalagi jika ia telah berjanji pada adiknya untuk pulang cepat. Biasanya mereka akan membuat gelang manik-manik yang nantinya akan mereka jajakan di sepanjang pantai. Kalau sudah begitu, biasanya aku akan ikut mereka, menjajakan hasil karya kerajinan tangan anak-anak asrama pada para pengunjung pantai.

Dari hari ke hari, waktu yang terlewati, persahabatan kami makin akrab dan ku akui, aku banyak belajar dari sosoknya, Jeanice, bagiku ia mempunyai jalan pemikiran yang lebih dewasa dari umurnya sendiri. Sosok pengayom, dia sosok yang luar biasa, namun saat itu aku belum memiliki cukup keberanian untuk mengutarakan apa yang kurasakan selama ini padanya. Saat ia berlari, aku melihat cahaya itu berjatuhan dari rambutnya. Cahaya-cahaya keperakan yang kemudian jatuh menjelma menjadi aneka ragam bunga di atas kemilau pasir-pasir putih. Ternyata Tuhan tak hanya menganugerahkan kecantikan fisik baginya, ada inner beauty yang selalu terpancar, yang dari sudut manapun kau memandang, kau hanya akan menemukan sosok yang humble, asyik dan bersahabat dalam lekuk mahakarya jelita bernama Jeanice. Laksana Everest, ia putih; menjulang, indah sekaligus kokoh di waktu bersamaan.

Dan tentang satu moment yang tak mungkin hilang dari ingatanku adalah, tatkala ia membiarkan telunjukku menyentuh halus kedua pipinya, mengelus lembut dagunya dan garis bibir yang selalu tampak basah. Saat itu, aku bahkan tak menyadari apa yang telah kukatakan padanya. Tapi sejak itu, ia seakan tak pernah ragu lagi untuk membenamkan kepalanya dalam dadaku. Keningnya adalah bagian favourite untuk ku ciumi.

Sialnya, ibu tiriku dan anak lelakinya, tak menyukai kedatangan Jeanice. Wajah mereka selalu kecut dan muram melihat aku membawa Jeanice ke rumah. Kurang ajarnya lagi, mereka berdua menghasut ayahku sehingga ia turut membenci Jeanice, mereka punya ribuan alasan agar aku tak berkawan dengan gadis miskin seperti Jeanice.

“Kamu orang berada! Carilah kawan yang setingkat dengan kasta kita. Mulai besok ayah ga mau denger kabar kamu bawa-bawa Jeanice ke sini. Kalo aku masih mendengarnya, ayah kan kirim kamu tinggal bersama bibimu di Bali!”

You see that? Ingin sekali-kali rasanya menusukan garpu ke pucuk ubun-ubun wanita gila itu dan melemparkan otaknya ke tempat sampah. Ibu tiri sialan! Anak lelakinya bahkan tak lebih bodoh darinya, fatboy, pendek, sosok yang mengingatkanku pada tokoh psikopat dalam film human centipede.

Wait!! Human Centipede? Itu termasuk salah satu film kontroversi dan dilarang penayangannya di banyak Negara. Hmm..

Sore itu, tanpa menghiraukan siapa pun bahkan ayahku sekalipun, aku kembali mengajak Jeanice menonton di kamar. Kami, memang menyukai film-film aneh, bukan drama, romance, atau teenlite atau apapun. Kami menonton human centipede, sebuah film body-horror yang tak kusadari akan menginspirasiku kelak. Membuat sebuah creature langka dari tubuh manusia. Di bawah cahaya lampu yang redup dan pendar sinar televise, wajah manis Jeanice tampak timbul tenggelam diterpa sinar.

Usai menontonnya, kami berdua memparodikan film tersebut dengan keadaan sama-sama membugil. Jeanice berada di depan sementara aku menempelkan mulut dan lidahku tepat pada anusnya. Lantas ia mulai berjalan pelan-pelan sambil tertawa.

“ga boleh lepas yaa!!” ujar jeanice sembari terus merangkak pelan-pelan.

Hingga di belakang pintu ia terhenti karena rasa kegelian, dan aku merasakan juga permukaan anusnya yang berkedut sejak tadi. Jadi, ku “santap” saja sekalian hingga lubang vagina dan klitoris. Si cantik makin tak berdaya. Ia membalik badannya, lantas membuka pahanya lebar-lebar. Vaginanya bersih, menggemaskan tanpa bulu pubik. Semakin aku kuaskan lidah ku, semakin menyembul pula biji kelentitnya yang mungil tersebut dari kerudungnya.​

to be continue
 
Vol. 2


“ssscchhhh… merry… you wanna kill me baby?” Jeanice mulai menceracau. Kedua matanya sayu dengan wajah yang mulai memerah. Wajahnya yang putih itu persis udang panggang.

“yes I will kill you” Ia pun tak berdiam diri. Ia telah menempelkan jarinya yang lentik dan kecil-kecil itu di payudaraku, dan meremasnya pelan-pelan. Sesekali, dipilinnya putingku dengan ujung-ujung jarinya.

Sekarang, aku sedikit mengangkat pinggulnya dan membuka lebar-lebar selangkangannya hingga bisa ku lihat jelas dua lubang menggemaskan tersebut. Ku mainkan lidahku di sana sebelum akhirnya, ku oleskan dengan gel pelicin berwarna bening yang kucuri dari laci kamar ibu tiriku. Gel tersebut juga ku oleskan pada vaginaku. Setelah vagina kami sama-sama ready to use, aku menyambar satu dari beberapa sex toys berbahan elastis dan memasukan setengahnya ke dalam vagina Jeanice. Setengahnya lagi, untukku. Lantas aku terduduk dan merangkul tubuh mungil Jeanice ke dalam pelukanku. “sini, honey.”

Aku memulai gerakan awal, wajah-wajah kami saling berhadapan. Ia menempelkan hidungnya di hidungku. Dikalungkan kedua lengannya pada tengkuk-ku, aku sendiri melingkarkan lengan-lenganku di perutnya. Ku hirup wangi yang menguar dari tengkuk dan lehernya, tersesat dalam helai-helai rambut keemasannya. Seiring waktu, gerakan-gerakan kami semakin intens.

“Ouffttttt meerryy… ssscchhhh…” jeanice makin mengeratkan rangkulannya di dadaku, begitu pun denganku manakala kami saling mempertemukan itil-itil kami.

Sejurus kemudian, aku melihat sebuah mini shake tak jauh dari tepi ranjang. Ku raih dan mengolesinya dengan gel, untuk kemudian ku masukan ke dalam dubur Jeanice. Seraya ku pandangi lekat-lekat sepasang matanya, aku pun menekan switch on. Oops, mini shake itu pasti mulai bergetar di dalam rectumnya, aku melihat raut wajah Jeanice yang kegelian. Selanjutnya, kami kembali mengayuh bahtera kami. Menggesek-gesekan itil kami diiringi goyangan-goyangan pinggul yang makin intens. Tak ada yang bisa menjelaskan perasaan dan gelora yang tengah membakar kami kecuali desis dan desah. Sesekali juga Jeanice menggigiti-ku. Rambut panjangnya terurai, berayun seiring gerakan-gerakan erotisnya.

“ssschhh… jeennyy.. I wanna cum…” bisikku tak keruan di telinganya.

“wait, waaiiitt… wait…..” balas Jeanice, sementara pinggulnya bergerak trengginas naik-turun memompa benda elastis yang menghubungkan vagina kami. Menciptakan suara gaduh dari tubuh-tubuh kami yang berbenturan. Namun aku sudah tak bisa menahannya lagi, “I cummmmiinggg babbyyy…”

“ouuhfftt…. Shit!!” jeanice menyusul. Tubuhnya melengkung di atas tubuhku, keringat-keringat kami bermunculan, membuat kami lengket dan mengkilap. “Hahahaha… I love u, Honey.” Ujarku seraya bangkit setelah beberapa saat aku meleleh dalam kehangatan tubuhnya. Aku melepaskan benda pada vagina kami, lalu mengangkat pinggul dan membuka lebar paha Jeanice, mini shake itu masih menyala dan terpendam di dalam.

“Push, Baby” aku memintanya mendorong keluar mini shake dalam duburnya. Jeanice lantas melakukannya. Sembari membuka lebar lubang anal dengan jari-jemarinya yang lentik dan mungil, Jeanice mengejan mengeluarkan mini shake yang tersesat dalam duburnya. Ku dekatkan wajahku dan menangkap benda berwarna purple tersebut dengan mulut. Setelahnya, ku masukan lagi, masih dengan menggunakan mulutku. Kami melakukannya berulang-ulang sembari menikmati efek-efek psikotropika yang menguasai otak-otak kami. Tak hanya ke dalam anus, aku juga memasukan mini shake ke dalam liang peranakannya.

Malam itu adalah segalanya, aku makin mencintainya dan melakukan apapun agar ayah tak mengirimku ke luar kota atau luar negeri, termasuk semua hal yang bisa memisahkan aku dari yang terkasih, Jeanice. Tak ada yang bisa memisahkan kami. Hingga tragedi itu merebut kehidupan kekasihku secara biadab.

::::

Jurnal Pribadi :

30th Sept. Dua hari setelah kepolisian berhasil meringkus tersangka di tiga tempat berbeda. Aku berhasil mendapatkan identitas para pelaku. Untuk kemudian ku pinta pada salah seorang teman di kampus untuk meretas semua account milik keluarga dan orang-orang terdekat tersangka.

3rd Oct. Kami mulai menentukan target. Nama-nama target kami samarkan :

1. Jasmine. Wanita pertama adalah Jasmine, merupakan mahasiswi, kekasih dari salah satu pemerkosa Jeanice. Berambut brunette panjang sepertengahan pinggang, umur 21 tahun, berdiri di sisi paling kiri. Memiliki tattoo tribal kupu-kupu di atas perut.

2. Rose, seorang mahasiswi dan juga kekasih dari salah satu pemerkosa Jeanice. Usia 22 tahun. Tingginya lebih mungil dari wanita pertama, rambut blonde, dengan ukuran payudara dan pinggul yang besar.

3. Orchid mengaku sebagai seorang selebriti dan model, tak kuliah, tak bekerja, mungkin melacur dan dalam kondisi hamil 6 bulan. Istri dari salah seorang tersangka pemerkosa Jeanice. Umur 25 tahun. Tinggi semampai, ukuran dada dan pinggul yang membesar. Bibir tebal, rambut hitam legam lurus dan panjang.



5th Oct. Kami mengisi list semua property yang kami butuhkan. Dan berkat bantuan Mell, aku mendapatkan informasi tentang gudang kosong yang di sewakan. Sebuah gudang di area peternakan, lebih menyerupai hanggar pesawat. Namun yang terpenting adalah, lokasinya cukup jauh untuk dijangkau.

6th Oct. Aku masuk ke dark-net, merekrut beberapa orang untuk melakukan penculikan terhadap target. Mereka adalah sebuah team professional, bekerja dengan mekanisme, prosedur dan skill yang terlatih. Transaksi harga telah disepakati. Seminggu aku menyerahkan mereka.

13th Oct. Aku menemui seorang Jhon Doe, di sebuah kedai kopi. Disana ia memberikanku kunci sebuah van, beberapa gram coke (kokain), dan heroin dan pembayaran telah kuselesaikan. Sebuah Van biru yang terparkir tak jauh dari kedai itu menjadi miliku. Di van tersebut, terdapat 3 orang wanita yang merupakan target kami, mereka dalam keadaan tak sadarkan diri. Mulut tersumpal, tangan dan kaki terikat. Malam itu juga, aku segera mengirim mereka ke gudang.

14th Oct. Keesokan harinya aku memesan beberapa gram lagi pada George, seorang dealer yang ku kenal, dengan imbalan mereka dan anggota gang mereka kuperbolehkan memperkosa ketiga tawanan kami. Ya, kami sedikit mengambil keuntungan dari situasi. Dan setiap hasil rekaman, aku menjualnya ke dark-net. Aku juga memperkosa mereka Jeanice. Selama 4 hari berturut-turut tawanan kami mendapatkan pemerkosaan yang sadis dan brutal.

19th Oct. Aku melakukan pembedahan pada Jasmine, dengan memutus jalur kolon descenden dan membuat lubang pembuangan lain pada perut sebelah kiri. Dengan kata lain aku membuatkan satu anus lagi di tubuhnya dan fesses yang keluar tak perlu melewati rectum lagi. Jeanice, seandainya kau melihat bagaimana expresi kesakitan, saat ia mencoba mengeluarkan fesses dari anus barunya itu. Ia menangis dan teriak sejadi-jadinya. Kami juga sempat meriasnya terlebih dahulu, dengan bedak, foundation, blush on dan tentu saja, lipstick merah menyala. Gadis dengan pipi yang tirus ini tampak begitu cantik, tak kalah dengan Nicole, selebritis yang kau idam-idamkan di sana. Sementara aku terus memberikannya obat pencahar. Dan sekarang sudah 5 ons fesses yang berhasil ia keluarkan. Tapi mungkin hidupnya tak lama lagi, karena setelah itu ia mengalami infeksi darah.

::::

“Can you see this?!!” Pekik Ibra sembari terus merekam ekspresi dan jerit kesakitan itu, Ibra memang tak pernah lepas dari Handy cam, honey.

“Tak akan ku biarkan mereka hidup, Jeanice. Akan ku buat mereka menyesali perbuatannya.” Ibra menendang berkali-kali kepala itu sekuat tenaga ke arah para tawanan sambil menceracau entah kemana. Sementara dua tahanan kami lainnya sedang meringkuk, menggigil dan telanjang dalam kerangkeng atau tepatnya sebuah kandang anjing yang telah kami persiapkan, kandang anjing dengan tinggi tak lebih dari satu meter.

Aku kembali ke kamar memandangi wajahku dari balik cermin. Menunggu efek dari psikotropika yang mulai merambat pelan menuju ubun-ubun. Aku melihat seraut wajahmu lagi Jeanice, wajah melankolis berkerudung cahaya di balik gerimis dan rintik hujan. Damaikah kau di sana Jeanice? Jeanice… Sayangku.. Aku sudah membugil, tanpa bra, tanpa sehelai benang pun. Hanya mengenakan penutup wajah seperti seorang samurai yang kau idolakan, lengkap dengan tanduk serta taring dan sebilah pedang katana yang mengkilap saat ku hunus dan mempertemukannya dengan cahaya. “Mari sayang, mereka harus membayar apa yang telah mereka lakukan. Mereka harus menuai apa yang sudah mereka tabur.” Ku perhatikan wajah-wajah mereka satu persatu. Wajah-wajah penuh ketakutan dan putus asa. Wajah ketakutan yang dulu pernah hinggap pada wajah kekasihku, Jeanice. Ia pasti sangat ketakutan malam itu. Helpless, tanpa ada yang menolong. Pukulan dan benda-benda tajam diarahkan pada tubuhnya yang lemah dan tak berdaya. “Biadab macam apa kalian??!!”

Hal yang pertama kali terlintas dalam benakku adalah, anestesi epidural pada Orchid. Istri salah seorang pelaku yang tengah hamil 6 bulan. Kami menyeret dan meletakannya di lantai begitu saja. Tak perlu peralatan medis yang steril dan lengkap, kami hanya kan menggunakan gunting, sarung tangan karet dan kain sekedarnya untuk mengeluarkan baby di dalam dari perut istri seorang pembunuh. Bingung harus memulainya dari mana, aku tusukan ujung runcing guntingku dari area perut bawah beberapa milimeter dari vagina. Darah pun mengucur deras, seperti mata air. Mengalir tanpa henti dan menggenangi tempat kami dengan seketika. Aku terus membuat guntingan di sepanjang perutnya, membukanya dan mengeluarkan bayi yang masih pre-mature tersebut. Tentu, ku memutuskan dulu tali pusarnya lalu meninggalkan si ibu yang akan mati kehabisan darah. The ocean of blood, begitu kami menyebutnya. Tapi, melihat sebuah gunting rumput besar tergantung di balik pintu, aku berubah fikiran.

Ku raih gunting besar tersebut dan menghampiri si ibu yang tengah sekarat. Dengan satu mata pisau pada gunting tersebut, aku meminta pada Jhon menggoroknya. Jhon, sang dealer, mau tak mau, berani tak berani, aku memaksa ia melakukannya. Dengan tangan kiri memegangi wajah korban dan tangan kanan menggenggam gunting, Jhon pun melakukannya. Sekuat tenaga ia menggorok batang leher si ibu, tubuh malang wanita tersebut mengejang seketika. Tangan dan kakinya menggelepar di atas kubangan darahnya sendiri sebelum akhirnya tak bergerak sama sekali.

“Putusin lehernya sekalian,” pinta ku pada Jhon dan bayi dalam gendonganku ini sengaja. Dengan ukuran gunting rumput yang besar, hanya perlu sekali guntingan saja dan kepala dengan rambut panjangnya itu terpisah seketika.

“And next?” tanya Jhon kemudian, dengan pakaian dan celana yang berlumuran darah dimana-mana.

“aku butuh keranjang dan gergaji”.

Selagi menunggu John mencari keranjang, aku mengeluarkan vibratorku dari dalam tas. Vibrator berdiameter besar dengan bentuk yang sangat menyerupai penis manusia. Aku mainkan alat tersebut, tapi bukan pada vaginaku, melainkan pada lubang kerongkongan yang menganga di leher si ibu. Tentu, Ibra masih terus merekamnya. Aku mainkan alat ini dengan gerakan keluar masuk atau sedikit memutar.

“Merridith”, Jhon datang dengan sebuah keranjang bamboo dan dua gergaji besar.

Jhon dan aku, kami berdua segera memutilasi mayat malang tersebut dengan gergaji dan melemparkannya ke dalam keranjang. Tapi tidak kepalanya, kami akan memasukannya ke dalam wadah berisi air mendidih agar mudah dikelupas.

::::

Keranjang pertama telah terisi penuh dan kami segera melakukan “ritual” selanjutnya. Kami beralih pada Rose, wanita muda cantik dengan rambut blonde-nya yang indah.

“Jangan… jangan…. Pleasseeee…” Rose terus meronta dan memelas, wajahnya sudah amat pucat. Jari jemarinya yang lentik dan mungil terus berusaha melepaskan genggamanku dan Jhon yang mencengkram tubuh indahnya. Hingga akhirnya kami membius perempuan berpayudara padat ini. Payudara yang bagus, sangat terawatt, dengan putting kemerahan dan aerola cerah. Lantas kami meletakannya begitu saja dilantai begitu ia tak sadarkan diri. Dari tawanan yang lainnya, hanya Rose-lah yang kerap berontak dan mencoba melepaskan diri, jadi kami memutilasi lengan dan kakinya.

Beberapa menit berselang, si cantik Rose tak lagi memiliki lengan kecuali hanya siku dan kaki yang tersisa hanya sebatas lutut. Menunggu luka pada tubuh Rose mengering, kami beralih pada Jasmine, si cantik dengan anus yang baru. Lihat Jeanice, si gila Jhon memperkosanya lagi. Ia menggerak-gerakan penis mininya pada lubang senggama Jasmin. Di sela-sela pemerkosaannya itu, aku menghampiri mereka dan menyuap paksa Jasmin agar menelan fesses-fessesnya dan system pencernaannya terus bekerja, karna suplai makanan dan obat pencahar kami sudah habis.

“Come on baby, eat your fuckin shit… shittilicious right??”

Berkali-kali Jasmin menolak dan memuntahkannya, hingga akhirnya berujung pada tendangan dan hantaman mendarat di wajah dan matanya.

Lagi-lagi bayangan luka dan memar pada tubuh Jeanice membayangi benakku, hal yang kemudian membuatku semakin brutal menghujani wajah Jasmine dangan aneka pukulan dan hantaman benda tumpul. Tak cukup dengan itu semua, ku keluarkan sebilah pisau cutter dari kantung perkakas dan membuat pola pada sisi-sisi wajahnya. Aku mengelupas wajah itu Jeanice. Kumulai dari area di bawah dagu.

“Oh my God! You are fuckin insane.” Jhon memekik melihat perbuatanku. Jasmine berteriak dan menjerit kesakitan manakala pelan demi pelan aku pisahkan wajah cantiknya dengan tengkoraknya. Cukup sulit ternyata, karena korban yang terus memberontak. Tapi tetap kulakukan. Darah membanjir bagai air bah, mengalir ke semua penjuru. Tangan dan kakinya tak berdaya terikat rantai yang terkunci. Kini aku sudah sampai kelopak mata. Terus dan terus ku tarik kulit tersebut, namun ternyata korban cukup kuat karena hingga sejauh ini masih sadarkan diri. Karena kesulitan pada bagian kelopak mata, aku membuat sayatan lagi pada bagian teratas keningnya. And now, I’ve got her pretty face. Sehelai kulit manusia, persis masker wajah yang tiap malam kau pakai Jeanice.

“Kamu ingin tau seperti apa cantiknya kamu sekarang?” ujarku pada si malang yang sekarat ini dan lantas Ibra menyodorkan sepotong cermin ke hadapan Jasmine. Tak tega juga aku melihat penderitaannya, jadi ku suntikan ia dengan … entah cairan apa ini, yang pasti, bila aku tak salah baca, pada labelnya tertulis, Poison. Tak lama berselang setelah ku injeksikan cairan tersebut, tubuh Jasmin tiba-tiba mengejang hebat beberapa saat, hingga akhirnya mereda diikuti busa yang keluar dari mulutnya perlahan-lahan juga banyaknya fesses disertai darah yang keluar dari anus barunya tersebut.

“And next?” tanya Jhon padaku, sembari menggenggam gergaji.

“Yes, seperti yang sudah-sudah”.

Tawanan kedua sudah selesai, kini kami masih menunggu Rose yang masih tak sadarkan diri hingga saat ini. Dua dari tiga keranjang yang kami persiapkan telah terisi, dan Rose masih punya satu keranjang lagi.

::::

Jeanice, kau tahu betapa shock-nya Rose begitu sadarkan diri. Ia menjerit dan meronta, lalu berusaha merangkak seperti anjing menggunakan anggota tubuhnya yang tersisa menuju gerbang. Yang satu ini memang agresif, so kamipun memasang rantai pada lehernya untuk meredam agresifitas-nya. “Laddies and Gentlement, proud to present… Mrs. Rose the Women-dog”. Semula ia tak mau berjalan seperti yang kami perintahkan, tapi setelah kami jejalkan kawat pada anusnya, ia selalu menurut. Sebab, dengan sekali kami menekan tombol, kawat tersebut akan mengaliri listrik. Kini ia menurut melakukan segala yang kami perintahkan. Ia juga tak segan-segan, ketika tubuh mulusnya (untuk kesekian kalinya) digagahi Jhon. Kami juga melakukan fasting padanya. Anal Fasting dan streching, menggunakan lengan dan kaki milik Rose sendiri yang telah termutilasi sebelumnya. Sungguh fantasi yang liar bukan. Aku juga meng-upload video-nya ke forum untuk menjualnya Rose the Women-doggy. Auction off!! (and rent).

“kamu beruntung, kami tak perlu repot-repot mencincangmu dan mengisi keranjang terakhir kami karena seseorang psikopat, baru saja memenangkan lelang atas kepemilikanmu.”

“Oh ya, siapa?” Tiba-tiba Jhon muncul di belakangku dengan sekaleng beer dingin.

“salah satu pendiri forum kami, Jiem. Pak Jiem.’’

“Elite Hunting Club?” Jhon menunjukan sebuah tattoo keanggotaannya padaku.

Aku mengangguk. “Tapi kau belum segila aku!”

“Ya, wanita mana yang bisa menandingi kegilaanmu, menguliti wajah seseorang dengan begitu sadis tanpa memperlihatkan iba sekali pun, You are insane!! You are my favourite motherfucker!!” Jhon terus menceracau.

Di hadapan rose kami bercumbu, ya.. sekedar celebrating semua keindahan ini. Bau amis dari darah yang membanjir, tumpukan dari potongan tubuh manusia juga bau hangus beberapa diantaranya yang terpanggang. Tak lupa juga kami mengajak Rose untuk threesome, the women-dog, sebuah creature langka. Tapi, sayang, Rose harus sekarat akibat infeksi, dan kami segera mengeksekusinya. Perjanjian dengan Pak Jiem terpaksa dibatalkan. Tapi, untuk kali ini, aku meminta Ibra sebagai mutilatornya, menggunakan gergaji, pahat dan palu. Dan sepertinya ia tak mendapat halangan berarti saat membuat tubuh molek tersebut menjadi potongan-potongan kecil. Ia jutru menikmatinya, dendam dan rasa kehilangan yang begitu mendalam menjadi energinya, lihat caranya memutilasi Rose, aku tak melihat sosok manusia dalam tubuh adikmu Jeanice. Ia telah berubah menjadi iblis tanpa secuil rasa takut. Ia bahkan lebih “powerfull, metode flaying-nya lebih sadis dengan membakar telebih dahulu kepala Rose, sebelum mengelupasnya. Kepala tersebut benar-benar menjadi tengkorak seutuhnya. Isi kepalanya dikuras habis tak menyisakan apapun.

Dengan seutas kawat yang baru saja ia temukan, Ibra bergegas menghubungkan antara kepala satu dan lainnya melalui lubang hidung, hingga kepala wanita-wanita malang tersebut terikat menjadi satu. Ketiga kepala tersebut akan menggantikan posisi tiga biji manik-manik milik Janice yang hilang. Ujung-ujung kawat tersebut kemudian ia kaitkan pada swing arm sepeda, lantas memacunya pelan demi pelan, ia ingin menikmati setiap bebunyian dari kepala-kepala itu saling berbenturan dan terseret di atas permukaan aspal. Hingga sampai di tempat bersemayamnya jenazah Jeanice.

“Hai Kak?! Apa kabar?”

“Aku telah mendapatkan pengganti biji manik-manikmu yang hilang,” ujarnya seraya melemparkan ketiga kepala tersebut di atas makam sang kakak, tak jauh dari nisan.

Untuk sesaat ia terduduk dan membisu, pandangannya kosong melompong, menjadi tubuh tanpa jiwa. Hingga beberapa saat, lelaki kecil itu meringsut dan memeluk batu nisan bertuliskan nama seseorang yang sangat kami cintai, dipeluknya erat-erat. Air mata kembali mengalir.

“sekalipun ku bunuh seluruh manusia yang berada di bumi ini, tak’an pernah membuatmu kembali, Kak”

“Ayo kak, kapan kita ke pantai lagi?? Menjual manik-manik dan mencari kerang? Kapan kak?” isakannya begitu lirih. Membuat hatiku kembali tersayat

“Ayooo kaaakkk… aku ga punya siapa-siapa lagi di sini. Aku sendirian.”

“Aku ga punya siapaa-siaapaa….” Di makam sang kakak, bocah lelaki itu menangis tersedu. Ingin sekali rasanya mengadu.

Dari kejauhan, aku tak kuasa menahan air mataku. Aku belum menuju dermaga, masih menyempatkan diri untuk mengekor Ibra hingga ke pemakaman. Sekedar memastikan tak terjadi sesuatu dengan bocah malang tersebut. Sementara kopor merah, kantung kertas dan handy cam telah ku simpan di balik bagasi.

The End
 
Kalo digambarin waktu jeanice diperkosa bertiga atau waktu 3 pacar/istri pelaku diperkosa waktu diculik pasti lebih seru
 
Madafaka ini cerita yg luar binasa gan, coba agak di panjangin lagi..
 
Cerita yg bagus.
Ane sukak dg cerita tema MISTERI.
Ayo berkarya lagi gan ...
 
Gilaaaa.!!!
Yang nulis emang bener bener gila..
Bener bener detil dan

Huh
Ga bisa ngomong..
Berasa nonton film film yang katanya di deep n dark net...

Untung hanya sebuah cerita... kalo ini sebuah film.. bisa di jamin ga bakal mampu makan dalam beberapa hari...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd