Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Cara Memotivasi Anak

Bimabet
Kelanjutannya :

Diana memencet klakson saat melihat anaknya.



"Hei, tumben kamu agak telat."



Dana melemparkan tas ke jok belakang lalu duduk di samping mamanya.



"Hari ini mau ngapain nak?"



"Paling ngerjain pr mah di rumah temen."

"Ntar mama sendirian dong."



Mobil pun memasuki garasi lalu mereka pun masuk ke rumah.





"Mama lepas pakaian dulu, abis itu masak."

"Tunggu mah. Mama tau kan Dana terangsang berat?"

Diana tertawa, "gimana tidak, matamu jelajatan terus kan."



"Mama telanjang di rumah kan hadiah bagi Dana."

"Ya."



Diana kembali merasakan rasa mulas di perutnya mendengar pembicaraan anaknya.



"Boleh gak Dana lihat mama membuka pakaian?" kata Dana sambil menunduk.



Ternyata itu yang dikatakan anaknya. Diana pun merasa lega.



"Kamu mau mama melepas pakaian sambil menggodamu, kayak di film – film barat?"

"Bukan mah. Buka aja biasa, hanya sambil Dana lihat."

"Menarik. Memang tak melanggar perjanjian sih. Baiklah. Ayo ikut mama."



Diana lalu memegang tangan anaknya dan membimbingnya ke kamarnya.



"Kamu duduk aja di kasur, mama ke kamar mandi dulu."



Dana duduk sambil melihat foto – foto di kamar. Ada foto dirinya sedari kecil, foto papa dan lainnya. Beberapa saat kemudian Diana keluar dari kamar mandi sambil memegang rambutnya.



"Baiklah, mama akan mulai pertunjukannya untuk anak mama seorang."



"Kenapa mama gak cari pacar lagi setelah papa berpulang?" kata Dana sambil melihat foto keluarga yang ada di meja rias.

"Mama ingin kerja dulu sambil besarin kamu. Jadinya mama gak punya waktu luang deh," kata Diana sambil duduk di sebelah anaknya.



"Apa mama nanti akan nikah lagi?"

"Entahlah nak. Mama masih muda, mama akui, telanjang di hadapanmu membangkitkan sesuatu dalam diri mama yang telah lama terkubur, entah apa lagi nanti yang akan bangkit lagi. Menurutmu gimana, apa kamu kecewa selama delapan tahun ini hidup berdua hanya dengan mama?"

"Mama udah jadi mama terbaik menurut Dana. Kemarin Dana memang sempet gak fokus, tapi kini Dana fokus lagi mah."

"By the way bus way, mama kok langgar perjanjian sih? Mama buka dulu ah pakaiannya. Mama lapar nih."



Tanpa bangkit, Diana membuka kancing blus lalu melepasnya. Diana menatap payudaranya yang terbungkus bh merah muda, lalu menatap anaknya melepas kaitan bh.



"Kamu pernah ngintip mama pas lagi hanya pake cd gak?"



"Pernah, tapi liat dari belakang doang," kata Dana sambil tersipu malu.

"Kayaknya mama udah gak punya privasi lagi sedari dulu ya," kata Diana sambil meninju tangan anaknya, dengan pelan tentu, lalu melepas bh nya. "Capek gak berusaha lihat ini?" kata Diana sambil memegang payudaranya.



"Apaan, Dana belum ngintip lagi kok," kata Dana sambil menatap payudara mamanya.

"Dasar nakal."



"Mah, Dana boleh nanya sesuatu gak?"

"Tentu saja sayang."

"Setahu Dana, puting kan warnanya coklat, kok yang mama enggak sih?" kata Dana sambil menunjuk puting kiri mamanya.

"Hahaha... papamu dulu juga nanya gitu. Tapi mama suka kok, puting mama jadinya spesial, beda dari yang lain."



Tanpa disadari jemari Diana mengelus putingnya sambil sesekali menariknya. Karena mata Diana menatap payudaranya sendiri, Diana tak menyadari gundukan di celana anaknya yang tiba – tiba muncul dan mata anaknya yang terus menatap jemarinya.



Diana lalu tersadar, "Kapan makannya kita?"



Diana lalu melepas rok lalu cdnya sendiri. Setelah telanjang, Diana kembali duduk sambil menekan kedua tangannya di belakan tubuh ke kasur.



"Mama lapar nih!"



Mata Dana terpaku ke jembut mamanya.



"Apa mama pernah mencukurnya sampai gundul?"



Diana lalu menatap jembutnya, "Tidak pernah. Selalu begini saja. Emang udah berapa kali liat wanita yang jembutnya gundul?"





"Wanita telanjang yang Dana liat cuma mama aja."

"Serius? Kamu belum pernah ngapa – ngapain?"

"Tentu saja mah."

"Terus kamu pernah ngapain aja?"



"Kok jadi Dana yang ditanyain sih. Siapa yang telanjangnya sih?"

"Mama jadi penasaran sih."

"Hanya pernah ngeraba susu sama ciuman mah. Terus kalau mamah, kapan mama mulai nakal."

"Mulai nakal? Sebelum sama papamu, mama dua kali pacaran."



Diana lalu berbaring menjadikan tangannya sebagai bantal. Satu kakinya di tekuk dan kaki lainnya ditumpu ke kaki itu. Tanpa disadarinya Diana perlahan merangsang anaknya.



"Dana boleh tanya yang lain lagi gak?"



"Tanya aja. Udah terlanjur gini kok."

"Katanya ada bagian tubuh yang kalau disentuh bisa membuat orgasme sambil menjerit. Benar gak tuh?"



Pertanyaan anaknya membuat Diana memikirkan vaginanya dan secara reflek melebarkan paha membuat anaknya dapat melihat vaginanya dengan jelas. Suara anaknya menelan ludah menyadarkan Diana.





"Mama gak tau kalau soal menjerit. Tapi yang pasti memang ada beberapa titik yang sangat sensitif. Ingat aturan main kita, boleh lihat sepuasnya tapi tidak boleh sentuh."

"Tenang mah, Dana takkan melanggar aturannya. "



Diana lalu menyentuh selangkangannya. Diana melebarkan paha dan menyelipkan jemari ke vaginanya.



"Mama tunjukan ini karena kamu nurut sama mama."



Diana lalu melebarkan vagina dengan jemarinya lalu jari tengah menyentuh daging kecil. Nafasnya memberat saat jari itu menekan. Dana mendekatkan kepala ke selangkangan yang terpampang di depannya.



"Ini yang disebut klitoris. Sangat sensitif. Nah, di dalamnya terdapa g-spot yang apabila tersentuh bisa membuat wanita orgasme. Tapi jangan berharap jeritan karena jarang yang sampai menjerit."



Nafas Diana kembali memberat menyadari apa yang dilakukannya di hadapan anaknya sendiri. Tubuhnya sedikit kejang. Diana menggigit bibir mencoba menangan erangan. Diana juga menegangkan otot pahanya. Setelah tak lagi kejang, Diana melepas jemari dari selangkangannya.



"Udah ah pelajaran biologinya. Makan yuk."

"Makasih mah. Mama bener – bener baik deh."



Dana membungkuk lalu mencium bibir mamanya sekilas. Tak sengaja dada Dana menekan payudara mamanya. Sentuhan ini adalah sentuhan pertama sejak diberlakukannya aturan, namun Diana membiarkannya. Dana lalu bangkit berbalik dan keluar kamar. Dana merasa seperti anak yang paling beruntung.





Diana masih berbaring. Linglung. Perutnya kembali seperti mules. Diana masih terkesima. Lalu Diana teringat sebuah dildo hadiah dari suaminya yang di simpan di laci. Diana lalu bangkit ingin segera makan agar anaknya cepat keluar. Dana ingin orgasme lagi seperti tahun – tahun dulu, lepas tanpa ditahan - tahan.
 
kalo memang copas napa ga update sekalian semua. Bgi linkny dong.
 
kalo memang copas napa ga update sekalian semua. Bgi linkny dong. :haha:
 
Diana masih tak percaya dia orgasme di depan mata anaknya sendiri. Lupakan tujuh tahun tak terjamah, tahun ini mesti beda. Diana senang anaknya akan keluar main. Tak mengejutkan, semenjak Diana tak lagi berpakaian, anaknya selalu di dekatnya. Kini Diana lega anaknya akan keluar hingga bisa membuat Diana menghabiskan waktu sendiri.



Saat sedang mencuci piring, Diana mendengar suara pintu ditutup. Diana tak tahu kapan anaknya pulang maka dari itu Diana memutuskan untuk mengefektifkan waktu. Langsung Diana menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas ke kamarnya.



Setelah menutup pintu kamar Diana mengambil dildo di laci. Dulu Diana beberapa kali memakainya saat bersama suaminya. Namun semenjak kematian suaminya, gairah seksualnya seolah ikut mati.



Diana merebahkan diri sambil memegang vibrator. Jempolnya pun menekan tombol saklar, namun tiada yang terjadi. Pasti batrenya mati, pikir Diana. Untungnya Diana selalu beli batre buat anaknya.



Diana mencoba membuka penutup batre sambil berjalan ke kamar anaknya. Diana pun memutar gagang pintu hingga pintu kamar anaknya terbuka.



Diana pun melangkah masuk mendapati anaknya sedang berbaring, celana ada di lututnya dan tangan ada di penisnya yang tegang.



Diana meminta maaf, berbalik lalu keluar dan menutup pintu kamar anaknya. Diana kembali ke kamarnya sendiri dengan jantung yang berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang. Diana tak bisa menyingkirkan penis anaknya dari pikirannya.



Kira – kira seperempat jam kemudian setelah hatinya tenang, Diana kembali kembali mengetuk kamar anaknya. Setelah suara anaknya berkata masuk, Diana pun masuk. Diana melihat anaknya sedang duduk di depan monitor. Diana pun duduk di kasur bersebelahan dengan kursi yang diduduki anaknya.





"Maafkan mama nak. Mama kira kamu keluar main."

"Gak jadi mah. Tadi temen bilang ada urusan."

"Mama gak tahu sih."



"Iya. Lagian mama ada perlu apa sih?"

"Mama butuh batre."



"Mama lagi megang apaan tadi?"

Diana merasa malu, "mainan dewasa yang kehabisan batre."



Akhrinya Dana berbalik. Meski masih merasa malu namun Dana tersenyum jua.



"Mama bercanda ah."

"Gak juga. Mama buru – buru, karena, ingin cepet selesai, sebelum kamu pulang," Diana bisa merasakan wajahnya memerah.



"Jadi mama mau ngelakuin, ehm, yang mama liat Dana lakuin?"

"Kira – kira."



Ibu dan anak itu pun saling tatap, lalu keduanya tertawa.





"Maafin mama ya nak," kata Diana sambil menyeka matanya.

"Iya mah, lagian mama gak salah kok."

"Mama boleh nanya gak?"

"Ya."

"Apa kamu sering ngelakuin itu?"



Diana merasa malu melihat anaknya yang terlihat malu.



"Sekarang sih jadi sering setelah mama telanjang terus."



"Serius dong. Mama tau mama gak jelek – jelek amat tapi, mama kan udah tua. Terus mama juga ibumu."

"Dana serius kok mah, mama masih cantik."

"Gombal. Tiap lelaki pasti ngomongnya gitu. Tapi mama seneng masih bisa meng'inspirasi' anak muda kayak kamu."



Gambaran Dana memegang kemaluannya muncul lagi di kepala Diana.



Diana pun bangkit, "sekali lagi maafin mama yah." Setelah itu Diana berbalik menuju pintu.

"Tunggu mah!"



Diana kembali berbalik melihat anaknya membuka laci meja.

"Mama butuh batre apa?"

"Dua batre remot."



Dana pun menyerahkan batre ke mamanya.



"Mama jangan marah ya, tapi apa boleh kapan – kapan Dana nonton mama?"



Diana menatap anaknya sambil memainkan batre di tangannya. Diana mulai sedikit khawatir akan hal ini.



"Gak tahu. Mama mesti pikirkan dulu, tapi tenang saja mama gak marah kok. Asal kamu jujur dan terbuka sama mama."



Diana menghampiri anaknya lalu mencium pipi anaknya. Setelah itu Diana keluar kamar namun saat akan menutup pintu anaknya bilang agar biarkan saja terbuka.



Diana melangkah ke kamarnya lalu masuk dan membiarkan pintu terbuka. Diana pun duduk di kasur lalu memasang batre dildo.





Kini, rasanya masturbasi membuat Diana gugup. Padahal ini bukanlah kali yang pertama. Diana juga merasa bangga bisa menahan diri untuk tidak masturbasi hingga sekarang padahal cukup lama dia telanjang di depan lelaki. Mungkin jika dia dan anaknya menahan diri untuk tak masturbasi keadaan akan baik – baik saja.





Namun, tanpa mereka sadari, kejadian ini merupakan awal dari kaburnya batas – batasan yang telah disepakati. Entah sampai kapan hingga salah satunya mulai tak bisa menahan diri.

Sejauh ini tak ada kejadian yang menkhawatirkan. Bahkan kebiasaan buruk Dana mulai menghilang, Dana mulai belajar bertanggung – jawab.



Diana mulai menyalakan vibrator dan melihatnya sebentar. Setelah itu Diana mematikan vibrator dan meletakkan di pangkuannya. Diana tiba – tiba teringat permintaan anaknya.



"Dana, sini nak!" suara Diana agak keras.

Dana memasuki kamar mamanya, "ada apa mah?"

"Gini aja. Tadi mama gak sengaja liat kamu, biar adil mama izinin sekarang kamu liat mama." Diana mengangkat vibratornya lalu menunjukkannya ke anaknya, "tapi ingat, jangan sentuh apa – apa."

"Kok mama punya yang gituan sih?"



"Oh, dulu saat mama lagi liat film sama papamu, ada adegan satu wanita main dengan dua pria. Mama iseng bilang ingin nyobain kayak gitu, eh esoknya papamu kasih mama hadian ini."

"Kayaknya mama dan papa harmonis bener yah?"

"Udahlah nak, jangan bicarain papamu lagi. Sekarang mending kamu duduk aja."



Dana pun duduk di sisi kasur sedang mamanya berbaring di tengah.



"Papamu beberapa kali nonton mama gini kayak kamu, dulu."



Diana menatap anaknya yang sedang membasahi bibir dengan lidahnya. Diana menarik nafas dalam – dalam, santai lalu melebarkan kakinya. Diana mendekatkan dildo ke mulutnya. Anaknya mengamati dengan seksama.



"Jangan pernah gunain ini jika masih kering, harus dibasahi dulu."



Dana mengangguk saat melihat mamanya menempatkan dildo di mulutnya. Dana merasakan kedutan di celananya.



Diana mulai mengulum dildo di mulutnya dengan pelan. Setelah dirasa agak basah, Diana melepas dan mulai menyalakan vibrator. Dana dapat mendengar dengungannya. Diana mulai menyentuhkan vibrator melingkari payudaranya hingga puting. Sedangkan tangan satunya lagi mengelus selangkangannya sendiri.



Erangan Diana mulai terdengar disertai turunnya vibrator dari payudara ke perut, lalu ke sekitar jembutnya. Sementara tangan yang satunya sibuk keluar masuk di selangkangannya. Diana lalu mencabut jemarinya yang kini basah dan menghisap dengan mulutnya.



Diana menoleh melihat anaknya yang menatap dildo. Diana tetap melihat anaknya saat tangannya yang satu mulai memainkan payudaranya. Kini Diana berusaha memasukan dildo ke memeknya yang makin basah. Nafasnya mulai terengah – engah.



Diana mengangkat dadanya dan melepaskan tangan dari payudaranya. Kini tangan yang bebas mulai menyentuh pinggulnya dari belakang. Kini jempol Diana menekan anusnya sendiri. Rupanya jempol itu berusaha memasuki anus. Erangan Diana makin terdengar keras.



Diana berusaha menekan dildonya sedalam mungkin seiring dengan usaha jempol di anusnya.



"Oh, nak....!"



Diana pun mengejang membuat kasurnya gemetas untuk sesaat. Perlahan, Diana kembali bergerak lalu mengeluarkan dildo dan jempol dari selangkangannya. Diana pun berbaring sambil terengah – engah. Anaknya melihat tubuhnya yang penuh peluh.



Diana menyeka dahi dengan tangannya. Rambutnya penuh keringat hingga lengket. Sementara dildo lepas dari tangnnya meski masih bergetar.



"Oh tuhan," Diana tersenyum sambil menatap anaknya. "Bagaimana?"



"Luar biasa mah!"

"Itu yang kamu inginkan kan?"

"Ya, tapi kayaknya mama ingin pantat mama juga dijamah yah?"



Diana memerah memikirkan apa yang baru saja anaknya saksikan.



"Harus dilakukan dengan benar nak, karena sangat sensitif. Papamu kadang melakukannya, tapi dia bisa berhati – hati."



Diana lalu berbaring menghadap anaknya.





"Udah impas kan?"

"Iya. Tapi tetep Dana ingin mama ketuk dulu kalau mau masuk kamar."



Dana mulai tak nyaman dengan rasa sesak di celananya. Dana lalu bangkit.



"Kalau kamu mau, mama bisa sangat menginspirasi. Tinggal ngomong saja sama mama."





Diana tersenyum mendengar erangan anaknya sambil menutup pintu kamarnya. Diana lalu melangkah ke kamar mandi sambil melihat vibrator basah menggeliat di kasurnya. Diana berpikir dia harus mulai menyetok batre di kamarnya sendiri. Tapi mungkin lebih baik mengambilnya dari kamar anaknya saja.





"Apa kabarnya anak mama yang selalu terangsang ini?"



Diana muncul lalu menempelkan tubuh ke punggung anaknya karena mau mengambil makanan di lemari. Putingnya serasa menggelitiki punggung.





"Ya makin terangsang karena mama nih."



Diana menatap payudaranya yang menekan punggung anaknya.



"Maaf, abisnya mau ambil makanan sih."



Diana mundur membuat tubuhnya tak lagi menempel. Dana berbalik dan matanya menatap puting mamanya yang keras.





"Masih pagi gini kok udah keras sih mah?"

"Abis pake handuk sih, jadi gini nih," kata Diana sambil mengelus puting dengan telapak tangannya.

"Ceria bener pagi ini mah."



"Iya dong. Kan biar semangat."

"Mau ngapain aja mah hari ini?"



"Gak tau. Kamu maunya mama ngapain aja?" tanya Diana sambil menggoyangkan bahunya. Otomatis payudaranya pun ikut bergoyang.

"Gimana bisa mikir kalau perut kosong mah."

"Ya udah. Mama bikin panekuk aja ah. Biar bikinnya sambil goyang."

Dana duduk lalu tertawa, "goyang sambil bugil."



Diana lalu membungkuk untuk mengambil wajan dari bawah lemari sambil menggoyangkan pantatnya, "goyang wajan nih."



Bebepara saat kemudian setelah panekuk matang, keduanya pun sarapan.



"Apa anak perkasa ini mau menolong mamanya yang udah tua dan telanjang?"

"Siap. Mama kan tau caranya memotivasi tanpa busana."



Dana tersenyum melihat mamanya tertawa.



"Apa mama juga suka telanjang di depan papa?"

"Gak juga. Tapi sehabis ngelakuin sesuatu, kayak ngebikin kamu, kadang mama telanjang sampai sore atau malam."

"Mama dan papa aneh juga ya?"

"Mama saling mencintai. Jadi mama dan papa hanya bersenang – senang saja. Lagian meski tua, namun tak mesti berpikiran kolot."

"Jadi menurut mama, anal seks, masturbasi dan bicarain trisom, normal gitu?"

Diana menunjuk ke anaknya, "Hei, trisom hanyalah fantasi. Lagian bukan salah mama kalau papamu suka pantat. Urusan ranjang mama juga gak perlu jadi urusanmu. Wew," Diana lalu menjulurkan lidah ke anaknya.

Dana mengangkat alis mendengar pengakuan baru mamanya.



"Dana tahu cara ngabisin waktu hari ini mah."



"Oh ya, ngapain tuh."

"Tapi, mama jangan marah ya..."

Diana memotong ucapan anaknya, "akhir – akhir ini kamu doyan bener bener bilang gitu?"

"Abisnya, mama telanjang sih. Bukan salah Dana kalau terangsang."



"Iya. Jadi apa yang mau kamu katakan?"

"Yah. Pokoknya gak kan melewati batas kok."

"Baik. Kalau gak ngelanggar aturan sih mama gak keberatan kok.

"Janji ya mama takkan marah. Meski Dana selalu terangsang, tapi Dana selalu nurut. Hanya saja kini Dana makin penasaran."

"Terus."



"Dana," mata Dana kini menatap meja, "ingin lihat seperti apa sih anal seks itu."

"Apa? Kamu ingin mama bawa pulang pria lalu memberi pantat mama cuma – cuma demi memenuhi rasa ingin tahu kamu?"

"Bukan begitu mah. Tapi pake mainan mama."

"Pake itu? Sambil ditonton kamu? Kenapa gak cari tahu di internet saja?"

"Internet? Itu sih palsu mah."



"Mama tak percaya kamu ingin nonton mama pake dildo di pantat mama sendiri."

"Juga sambil Dana fotoin yah mah."



Diana terkejut mendengarnya.



"Mama kan udah pernah sama papa. Lagian Dana gak bakal pegang – pegang kok, jadi jangan marahi Dana dong."



Diana menggeleng, "Mama kayaknya ngelahirin maniak. Biar mama pikirkan dulu. Memang itu tak melanggar aturan kita, namun kayaknya terlalu jauh melangkah. Kalau mama menolak apa kamu jadi gak mau bantuin mama?"



Dana memutuskan saatnya untuk pergi dari dapur. "Tentu tidak mah. Meski mama menolak Dana tetap akan membantu kok. Panggil saja kalau ada yang harus dikerjain mah. Cuma tadinya Dana takut mama marah."



Dana pun bangkit lalu menuju ke kamarnya untuk main komputer.



Di dapur, Diana beres – beres. Lagi, perutnya kembali dilanda mules. Setelah beres, Diana ke kamarnya lalu duduk di kasur sambil berpikir. Memainkan dildo ke pantat tak bisa disebut normal jika dilakukan di depan anak sendiri. Apalagi sambil di foto. Diana tak terlalu mengkhawatirkan hasil fotonya. Setelah melihat betapa anaknya menjadi termotivasi dan penurut membuat Diana percaya padanya. Permintaan anaknya sangatlah liar meski tanpa sentuhan.



Diana tak ingin membuat anaknya marah. Jadi sepertinya tak berbahaya asal masih dalam aturan. Apalagi dia telah masturbasi dua kali. Bahkan menyentuhkan jemari di anus. Tak heran anaknya jadi penasaran soal anal seks. Diana kembali teringat saat mengambil wajan sambil menggoyangkan pantat. Diana berpikir mungkin anaknya seperti suaminya.



Diana teringat per – anal – an dengan suaminya. Diana juga ingat betapa nikmatnya orgasme yang dirasakan saat masturbasi sambil ditonton anaknya. Diana jadi merasa bersalah menyebut anaknya saat orgasme, bukan menyebut suaminya.



Tak pernah terpikirkan oleh Diana untuk menggantikan suaminya dengan anaknya. Namun, Diana akui ketegangan seksual di rumahnya makin meningkat setelah Diana memutuskan telanjang. Diana kembali memikirkan saat – saat bahagia dengan suaminya. Begitu indah, liar dan nikmat. Kini, semuanya telah hilang.



Suaminya kurang suka diajak belanja. Jadi, untuk memotivasi suaminya, Diana membuat sebuah permainan kecil. Jika sedang belanja, suaminya menantang dia untuk melakukan lima hal, jika ada satu yang tak dipenuhi maka Diana kalah. Pun sebaliknya. Hadiahnya, ya seks.



"Dingin bener nih kulkasnya. Biar agak angetan dikit, taruh bh mama di kulkas," suaminya menyeringai sambil menunjuk kulkas yang ada di supermarket. Diana pun melepas kaitan bh, menarik tali dari lubang lengan bajunya hingga lepas. Kemudian menaruh bhnya ke kulkas.



"Papa hutang bh baru," Diana pun berbalik dan melangkah.

"Di bagian roti kok gerah bener yah. Buka aja cdnya di sini mah."



Diana berhenti lalu menoleh ke suaminya, "Itu ngomong doang atau tantangan pah?"

"Kamu takut ada yang liat? Itu tantangan mah."



Diana menatap suaminya sambil menyeringai. Diana melangkah ke sudut bagian roti, mengangkat roknya, menggoyangkan pantat, menurunkan cd lalu mengangkat kaki untuk melepasnya.



David menoleh mendengar suara wanita tua yang menggerutu kepada pria tua yang menatap Diana. David ingin Diana menyadari kehadiran pasangan tua itu, maka David menunjuknya. Diana tertawa menyadari apa yang David tunjuk.



Diana tersenyum sambil mengelus seprai. Delapan tahun tanpa belaian lelaki membuatnya gila. Diana tak pernah menyadari perubahan yang terjadi sepeninggal suaminya.



Meski menyukai pantat, namun David bisa dibilang wajar; munkin anaknya pun demikian. Kematian suami membuatnya sadar betapa kita tak tahu kapan kehidupan ini akan berakhir. Pikiran erotis itu membuat Diana sadar sekaligus menggelengkan kepala.



Diana pun melangkah mengambil hand body, kamera saku digital dan dildonya. Setelah terkumpul Diana pun duduk.





"Sini nak!" teriak Diana lantang.

"Tunggu mah," jawab Dana sambil bergegas ke kamar mamanya.



Diana merasakan jantungnya berdetak lebih kencang mendengar suara anaknya mendekat.



"Mau ngapain dulu kita mah?"

"Nih," Diana melemparkan kamera ke anaknya.



"Kamu ingin mama ngapain dulu?" Diana menunjukan bodylotion dan dildo ke anaknya.

"Maksudnya apa mah?"

"Misalnya berbaring dulu, terlentang atau berlutut."

"Maksud mama ada banyak cara?"

"Duh, kayaknya bakal jadi masalah kalau mama kasih tahu semua yang mama tahu. Mau telungkup," Diana lalu telungkup, melebarkan pahanya. "Atau sambil berlutut," Diana berguling lalu bangkit berlutut. Diana menoleh ke anaknya.



"Gitu bagus mah." Dana menatap kamera di tangannya. Merasa sangat beruntung. "Setelah selesai boleh dipindahin ke komputer kan mah?"

Diana menatap anaknya sambil memuntahkan hand body ke tangannya. "Apa mama perlu menambah aturan soal foto juga?"



"Tenang mah. Tak akan ada yang tahu kok."



Dildonya kini dilumasi hand body. "Ingat, yang kayak gini mesti dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai. Wanita bukanlah daging yang bisa diolah seenaknya untuk kesenanganmu sendiri. Wanita juga punya perasaan dan emosi. Hormatilah selalu itu!"



"Gini aja mah. Kalau mama memang tak nyaman, mending gak usah diteruskan deh. Lagian Dana juga gak kan marah kok."

"Makasih nak. Tapi mama rasa gak apa – apa kok. Kamu memang kayak papamu."



Dana bisa melihat wajah mamanya yang penuh semangat.





"Biasanya pria membantu melumasi. Namun dalam kasus kita tentu tidak. Jadi mama memakai jari sendiri untuk melumasi pantat mama."

"Makasih mah."



Diana mendengus tertawa kecil.



Dana melihat jemari mamanya perlahan masuk ke anus. Lalu tangan yang lain menyemprotkan hand body ke anus. Setelah itu jemari lainnya mencoba masuk. Kini telunjuk dan jari tengahnya sedang berusaha memasuki anus mamanya. Kedua jemari itu bergerak berputar di dalam anus. Hand body kembali disemprotkan dan kini tiga jari yang menari. Kembali dilumasi, empat jari pun keluar masuk membuat suara yang terdengar erotis di telinganya.



Diana melepas jemarinya lalu meraih dildo. Jempolnya berada di tombol.

Dana melihat lubang anus mamanya membuka lebar.





Diana menyentuhkan ujung dildo ke anus. Diana menatap anaknya yang berdiri menganga, "Halo nak, mama udah siap nih!"

"Apa mah?"

"Pake kameranya dong!"



Setelah kamera itu berada di depan wajah Dana, Diana mulai memasukan dildonya.



"Uh... Kalau kamu ngelakuin ini sama cewek, mesti pelan – pelan karena awalnya sangat tak nyaman," kata Diana sambil menggerakan bibirnya. "Jangan pernah lakuin tanpa pelumas!"



Diana berhenti sejenak saat setengah dildo sudah masuk. Dia bisa mendengar suara tombol kamera ditekan. Setelah itu Diana melanjutkan aksinya.



"Kita biarkan dulu sejenak."



Diana menggoyangkan pantatnya sambil mengawasi anaknya yang sibuk memakai kamera.

Akhirnya, tangan Diana mulai menarik kemudian mendorong lagi dildo itu. Dana mulai semakin sibuk dengan kameranya.





"Kamu menikmati pertunjukannya? Dasar anak sesat!"

"Bercanda terus ah mah."

"Dulu papamu bahkan memakai video, bukan kamera kecil kayak gitu." Tangan Diana mulai bergerak cepat.

"Apa? Di film mah?"



Diana tertawa melihat anaknya sibuk mengutak – atik kamera. Diana menunduk dan mulai mendorong dildo di anusnya lagi. Nafasnya mulai memburu.



"Oh, oh, oh." Diana menjerit lalu lunglai jatuh ke kasur saat tubuhnya gemetar. Tangannya kini berada di sisi kepalanya. Saat berbaring otot anusnya membuat dildo itu perlahan keluar dan jatuh ke kasur.



Dana melihat anus mamanya membuka – tutup berulang – ulang.



"Keren," kata Dana sambil memainkan zoomnya.



Diana mendengar jelas kata – kata anaknya. Tapi kesenangannya membuat Diana mengangkat pantat dan melebarkan paha ke arah anaknya.



"Goyang pinggul goyang pinggul oh asiknya," suara Diana terdengar serak.



Setelah bergoyang Diana pun lemas dan tergolai di kasurnya. Wajahnya penuh keringat.





"Kamu mesti bantu – bantu mama abis ini."

"Iya mah, abis mindahin ke komputer."



Dana bangkit lalu menghilang keluar. Diana meraih dildo di sampingnya lalu menatapnya. Memang tak sama seperti saat bersama suaminya dulu. Tapi untuk sekarang rasanya cukup. Tiba – tiba Diana tersenyum lalu memasukan dildo itu ke mulutnya. Diana tetap mengulum dildo sambil melangkah ke kamar mandi. Sayang anaknya tak melihat ini, batin Diana.
 
"Oh Tuhan, menjijikkan" Diana terhenti menatap ke kamar anaknya.



Di monitor terlihat film Diana sedang mendorong dildo ke pantatnya. Diana lalu masuk dan duduk di kasur anaknya.



"Sampe diperbesar gitu? Tunggu, mama punya tanda di sana?" Diana lalu berputar menatap pantatnya sendiri.



Ibu dan anak itu menonton video dalam diam. Hingga dildo keluar dan sang ibu menjatuhkan diri di kasur.



"Menjijikan yah," kata Diana sambil menutup wajah dengan tangan, namun matanya mengintip dari sela – sela jemari.



Dana tertawa, "Hahaha, kalau liat film horror juga mama bilang takut, tapi sambil ngintip."

"Orang – orang mestinya jangan liat orang lain terbunuh; apalagi melihat mama mainin anus mama pake dildo," kata Diana sambil melempar bantal ke anaknya. "Pokoknya, kalau sampai ada yang melihat rekaman ini, mama bersumpah akan membunuhmu."

"Baiklah Nona Cerewet. Akan saya matikan," kata Dana lalu menutup media playernya.

"Ya tuhan, gambar mama lagi telanjang kok dijadiin latar belakang sih? Gimana kalau temanmu melihat? Udahlah, gak akan ada yang lihat rekaman mama karena sekarang kamu akan mama bunuh."

"Tenang mah. Kan ada dua akun. Yang pertama kalau yang log innya Dana. Sedangkan kalau temen pake akun umum."





Diana melihat pantatnya memenuhi hampir seluruh layar dengan dildo menancap dan

Diana sembur. Dia melihat gambar pantatnya mengisi sebagian besar layar dengan setengah penis karet mencuat dari anusnya dengan kepala hanya terlihat di bahu di latar belakang.





"Kok pake gambar yang itu sih? Pantat mama jadi terlihat super besar."

"Kan gambarnya juga cuma sedikit mah. Tapi Dana siap fotoin lagi kok."

"Tidak. Yang terakhir aja bisa jadi masalah."

"Tapi mah, hasil kamera ini adalah hasil terindah yang pernah Dana lihat."

"Bercanda aja. Mama sih lihatnya kayak lihat film porno tua. Hanya saja tanpa musik latar."

"Kalau mama mau Dana bisa tambahin musik kok mah."

"Bukan gitu maksud mama," Diana menatap monitor lagi lalu bergidik. "Jorok bener gambarnya, kamu kok bisa tahan melihatnya sih?"



"Mah, Dana tahu mama sudah empat puluh tahun lebih, tapi mama masih cantik. Ditambah susu dan pantat mama yang montok."

"Dasar kamu aneh," Diana tertawa, "pokoknya gambar itu mesti dihapus!"

Dana melambaikan tangan tanda tidak sambil menyeringai pada webcam.





"Tidak, tidak, tidak. Kamu udah bikin mama gak pake baju. Kamu udah liat mama sepuasnya, bahkan kamu udah jadiin mama bintang film porno..."

"Kamera kan ide mama."

"Jangan ngeles."

"Iya. Kayaknya nyonya terlalu banyak protes."

"Pokoknya hapus."



"Enggak"

"Dana dapet apa kalau ngehapus ini?"

"Apa? Kamu mau sesuatu? Dasar mesum!"

"Bukankah mama yang pertama ngajarin tawar – menawar!"

"Mama sungguh tak percaya ini. Baiklah, kamu mau apa?"

"Foto lain lagi."

"Iya, tapi sedikit."

"Tapi Dana suka gambar latar ini mah. Banyak dong."

"Gak adil itu. Masa satu gambar ditukar banyak gambar," Diana memainkan suaranya agar terdengar seperti lebih simpati.

"Suaranya gak usah dibuat – buat mah."



"Oke, terus mama dapet apa dong?"

"Hah?"



"Kok malah bengong sih? Kamu kan pintar negosiasi."

"Emang apa yang bisa Dana kasih?"



Diana ingat saat memergoki anaknya yang sedang memegang kelaminnya. Diana lalu menyeringai ke anaknya.





"Wajah mama kok aneh gitu sih?"

"Inilah mamamu, hehehe..."



Dana menyeringai, namun Diana menunjukkan telunjuk ke wajah anaknya.



"Kamu ingin ngambil banyak foto mama demi menghapus foto yang gak mama suka dan ..."



Diana menghentikan sebentar suaranya, Dana menatap cemas.





"... kamu masturbasi hingga keluar sambil diliat mama."

"Apa?!? Tidak mungkin!"

"Bener nih gak setuju?"

"Tapi, Dana ambil banyak foto mama dan juga film baru."

"Film apa?"

"Seperti yang pertama, cuma kali ini sambil nungging."

"Kamu memang aneh. Doyan bener sama pantat."

"Kan gara – gara mama juga. Siapa suruh liatin pantat montok mama."

"Dasar aneh."



"Jadi, Dana masturbasi di depan mama, terus mama yang nentuin latar belakang monitor. Mama beri Dana film baru dan foto baru yang banyak."

"Maksud banyak?"

"Sampai Dana bosan."

"Emangnya kamu bisa bosan?"

"Dana kan masih muda mah."

"Baiklah. Mama akan obok – obok pantat mama sementara kamu filmkan dan fotoin. Tapi sebelumnya kamu masturbasi dulu, telanjang tentunya."

"Tapi Dana pasti butuh rangsangan dulu dong mah. Mama bikin film aja dulu lalu Dana mulai lepas pakaian."

"Baik, bikin film dulu tapi harus telanjang."



"Baik. Tapi kalau libur kita pergi liburan mah."

"Apa? Banyak bener keinginanmu. Kenapa gak kamu pikirkan dulu sebelum mama mulai melepas pakaian mama?"

"Kan mama yang bilang 'lihat pantat mama agar Dana bisa berubah."

"Ya, tapi kini pantat mama yang terus dilihat, malah diobok – obok."



Dana mulai menghitung memakai jemari, "Ayo kita hitung, telanjang, masturbasi, gambar latar, film anal baru, banyak foto, liburan dan bersedia difilm lagi nanti."

"Kamu pasti cocok kalau kerja jadi politisi."

"Enggak deh. Jadi gimana, Telanjang, masturbasi, gambar latar, film, foto, liburan, setidaknya dua film lagi."

"Menyebalkan."

"Bener gak mau?"

"Mama muak sama per – pantat – an."



Dana lalu memutar kepalanya dari yang tadinya menghadap monitor menjadi menghadap mamanya.

Diana melihat lagi gambar pantatnya yang dijadikan gambar latar, lalu bergidik.



"Baiklah, setuju."



Ibu dan anak itu saling tatap. Dana mengangkat alisnya, Diana menggeleng. Keduanya lalu berdiri. Dana melingkarkan tangan ke bahu mamanya sambil berjalan ke luar.



"Lebih baik bikin filmnya di ruang tv aja. Biar pencahayaannya lebih jelas dan latarnya sofa hitam."

"Maksudnya?"

"Biar Dana lebih mudah beresin sofanya mah."



"Mama benci kamu," kata Diana sambil memukul lengan anaknya.

"Bukankah anak – anak kebanyakan dibenci mamamnya. Dana kan cuma kasih kesempatan mama main film berkualitas."



Diana menghentikan langkahnya lalu menatap anaknya.





"Apalagi?"

"Berkualitas?"



"Mama masih punya handycam kan?"

"Handycam? Jangan!"

"Jadi mama mau film mama terlihat seperti film porno jadul? Sekalian aja tambah musik latar murahan."

"Mama makin benci kamu."

"Terserah mama, mau terlihat kuno atau cantik?"

"Sekalian aja mama pake make-up, minyak zaitun dan high heel."

"Ide bagus tuh mah!"



"Ya, tapi mama hanya bercanda. Dasar anak aneh."

"Gak bosan mah bilang gitu?"



"Anak aneh!" kata Diana sambil menunjukkan telunjuk ke dada anaknya.

"Mama makin galak sih? Lagian, kalau pake make-up, minyak zaitun dan high heel kan Dana jadi bisa nyeting kameranya dulu. Ntar jadinya pasti bagus mah. Kalau tidak, mungkin gambar latarnya takkan berubah mah."

"Baik, make-up, minyak zaitun dan highheel. Biar sekalian filmnya menang kontes film."



Diana pun melangkah menuju kamarnya sementara Dana diam berpikir kapan terakhir kali memakai handycam.



"Hei nak."



Dana melihat arah suara yang ternyata di pintu. Mamanya sedang berdiri membelakangi, lalu rukuk dan menggoyangkan pantatnya sambil berkata goyang pinggul, goyang pinggul. Setelah itu mamanya tertawa lalu menutup pintu.



"Malah mama yang bilang Dana aneh."



Dana tersenyum. Pasti akan menyenangkan nanti, batinnya.



####



Setelah mandi, Diana duduk di kasur sambil mengeringkan rambut. Diana merasa senang dengan apa yang akan terjadi namun Diana juga merasa tak senang akan sikap anaknya yang mulai arogan. Diana merasa sudah waktunya mengajarkan anaknya bahwa kalau bermain api bisa berakibat kebakaran.



++++



Setengah jam kemudian Dana hampir selesai menyiapkan tempat. Di sisi sofa telah dipasangi lampu yang mirip di studio foto hingga membuat pencahayaan pada sofa sangat terang. Sedang hampir satu meter di depan sofa terdapat tripod yang dipasangi handycam. Saat mengecek handycam, Dana mendengar langkah mamanya datang.



"Cantiknya!"



Rambut Diana masih basah. Wajahnya memakai make-up yang bahkan belum pernah terlihat secantik ini oleh Dana. Tubuhnya berkilau dan mengeluarkan aroma baby oil. Tangan kanan Diana memegang dildo. Tak lupa kakinya memakai highheel.



Diana melihat ruangan yang telah disiapkan anaknya dengan takjub, "Kamu siapkan ini sendiri?"



Untuk kali pertama Diana melihat betapa anaknya sangat terpesona hingga tak bisa berkata – kata. Diana berjalan sambil mengelus dadanya, lalu elusannya turun ke pantat hingga pantat itu duduk menyentuh sofa hitam.



Pantat Diana yang berminyak kini duduk di sofa. Satu kaki dibuka lebar hingga tumitnya mengenai sisi sofa. Sedangkan kaki satunya dipanjangkan ke bawah.



Nafas Dana tercekat melihat memek mamanya yang telah bersih tiada rambut sehelai pun. Jelas terlihat lipatan memeknya. Apalagi dengan olesan baby oil membuatnya memantulkan cahaya.



Melihat anaknya terpesona, Diana mengambil dildo dan memposisikan di vaginanya, namun tanpa melakukan penetrasi.



"Jangan salahkan mama kalau kamu sampai lupa ngerekamnya. Serangan di Pantat Tua Mama jilid Dua."



Begitu Diana selesai berbicara maka dildo itu langsung berusaha memasuki pantat Diana. Beberapa bagian sofa kini telah dipenuhi minyak yang menetes dari tubuh Diana.



Dana langsung memainkan kameranya sambil terus membasahi bibir dengan lidahnya. Tangannya begitu sibuk memainkan tombol yang ada di handycam.



Diana mencoba tersenyum di sela – sela erangan yang terus keluar dari mulutnya.



"Kamu tuh jangan cepat – cepat matiin kameranya terus pergi. Siapa tahu kali ini bisa ngerekam saat mama bersihin dildo pake mulut mama seperti yang terakhir."



Mulut Dana ternganga mendapati adegan yang dilewatinya.



Diana perlahan menarik dildo dari pantat lalu mendekatkan ke wajahnya.



"Kayak gini nih."





Diana lalu memasukan dildo ke mulut dan memainkannya. Tak lupa juga menjilatinya.

Dana merasa penisnya makin keras dan cairan pelumasnya pun keluar membasahi celananya.



"Aduh," kata dana sambil mengelus celananya.



Diana melepas dildo di mulutnya lalu tertawa. Dildo itu kembali ditempatkan di pantatnya. Diana terus memainkan dildo sambil berbicara.



"Dasar anak muda."



Setelah beberapa menit, Diana mengangkat lututnya hingga mendekati dada membuat pantatnya makin terlihat jelas. Kini kedua tangan Diana sibuk memainkan dildo di anusnya.



"Unh, unh, unh, unh AHHHHHHH."



Diana menjerit sambil berusaha memasukan dildo sampai mentok. Kakinya bergoyang, tubuhnya kejang hingga beberapa detik kemudian tubuh Diana pun berhenti gemetaran. Kakinya terjatung lunglai ke bawah.



Setelah beberapa detik, Diana mencabut dildo dari pantat lalu mendekatkannya ke wajah. Dildo itu dijilati Diana lalu dimasukan ke mulutnya. Beberapa saat kemudian Diana asik memainkan dildo di mulut hingga merasa cukup.





"Jadi berantakan gini yah."

"Iya, mama sih nakal."

Diana tertawa, "yang penting tugasmu tuh ntar bersihin ini."



Diana melihat keadaanya lalu bangkit berjalan mendekati anaknya.



"Nah, anak aneh, perjanjian pertama kita telah mama laksanakan."



Dana langsung mengangguk.



"Sayang sekali. Padahal mama udah siap ronde berikutnya. Nih deh mama kasih sedikit inspirasi buat kamu."



Diana lalu memeluk anaknya membuat pakaian anaknya kini basah oleh baby oil. Paha Diana juga diangkat untuk membasahi sekitar pinggang dan celananya.



"Kayaknya bajumu perlu dicuci tuh."



Dana mengerang. Diana menepukkan tangannya.



"Baiklah pejantan muda. Mama beri kamu sepuluh menit untuk siap – siap menghibur mama."



Dana pun melangkah menjauh menuju kamarnya. Namun saat baru setengah jalan, terdengar suara mamanya.



"Mama taruh baby oil di lemarimu nak."



Diana menyeringai. Pasti malam ini bakalan seru, pikirnya.



Dana duduk di kasur dengan hanya memakai celana pendek sambil gemetaran. Dana memang jadi terbiasa melihat mamanya telanjang, namun Dana merasa tak nyaman jika harus ikutan telanjang juga. Dana menyadari memang tak adil jika dirinya tetap berpakaian, namun toh bukan salahnya. Dana tak pernah melihat mamanya seliar ini, senakal ini. Terus terang saja kini Dana merasa takut. Dana menduga dia telah mendorong sisi gelap mamanya keluar dan mulai merubah mamanya.



Dana merasa hubungannya dengan mama tak pernah sedekat ini. Dana memang mencintai mamanya, sebagai anak, juga menghirmatinya. Dana sungguh merasa beruntung dengan perjanjian ini, tapi kebenaran yang disampaikan sendiri oleh mama merupakan hadiah tersendiri. Telah terlalu jauh sejak kali pertama Dana melihat mamanya telanjang di dapur.



Dana tersenyum sendiri saat berdiri lalu melepas pakaian terakhirnya, celana pendek. Setelah itu Dana meraih baby oil yang ada di lemarinya.

Diana duduk di sofa menunggu. Keheningan yang ia rasakan sedari tadi membuatnya sampai pada kesimpulan bahwa anaknya mungkin merasa takut dan atau tidak berani. Satu kosong untuk mama, pikirnya. Tiba – tiba terdengar dentuman suara musik yang kemungkinan berasal dari kamar anaknya. Cahaya tiba – tiba menghilang menjadikan kegelapan yang muncul menyelimuti. Diana menyeringai. Ya tuhan, dia benar – benar akan melakukannya, batin Diana.



Tiba – tiba ada sinar. Setelah ditelisik oleh mata Diana, sinar itu mengarah ke kepala kontol. Ternyata anaknya memegang dua senter yang kini diarahkan ke kontolnya sambil berjalan mendekat. Dana pun sampai di depan sofa yang diduduki mamanya lalu menggoyangkan pinggulnya. Puas bergoyang, tangan kanannya melempar senter lalu memegang kontolnya.



"Mah, kok Dana jadi gini sih?"



"Jangan berhenti nak. Lagian gak apa – apa kok jadi gini juga."

"Ini dia mah. Siap membuat mama terangsang."

"Whoo hoo, goyang nak!" Diana tertawa.



Dana memaju mundurkan pinggul sambil tangannya mengocok kontol. Mata Diana berbinar melihat anaknya mengocok kontolnya sendiri. Tak butuh waktu lama Dana pun mengejang seiring dengan menyemburnya sperma yang mendarat di kaki Diana, sofa dan di lantai. Setelah orgasme tubuh Dana berhenti mengejang namun saat akan bergerak kakinya tersandung membuat Dana jatuh terduduk di sofa di sebelah mamanya. Kakinya menyentuh kaki mamanya. Keringat bercucuran di dahi Dana. Nafas Dana terengah – engah.



Diana bertepuk "Hebat, luar dari pada biasa!"

Dana melambaikan tangannya, "santai mah."



Diana dan Dana saling memangang, lalu keduanya menyeringai.





"Mah, maafin Dana yah udah ngedorong mama terlalu jauh hingga jadi gini. Dana bener – bener menyesal mah."

"Ya, kamu memang nakal. Tapi mama seneng kamu berani mengakuinya. Lagian mama juga tak terlalu suka per – anal – an."

"Ya gak apa – apa kok mah asal perjanjian kita yang lain tetap berjalan Dana gak keberatan kok."

"Mama gak keberatan dengan hal baru, asal tak menyakitkan bagi kita."



Diana melingkarkan tangan ke bahu anaknya lalu memeluknya dari samping membuat tubuh ibu dan anak itu menempel ketat.



"Sial mah, Dana menyentuh mama." Dana terlihat panik.

"Ini sih sikap ibu dan anak yang saling mencintai, meski tanpa pakaian."



Mereka pun menatap tubuh mereka yang penuh baby oil.





"Kok jembut mama dibabat habis sih?"

"Mama hanya ingin memberikan yang terbaik bagi kamu. Lagian kamu tuh bener – bener maksa mama sih."



Diana dan Dana menatap selangkangan Diana. Seperti berjanji, keduanya sama – sama berbicara "kayaknya jelek deh." Menyadari kesamaan kata yang terucap, keduanya saling pandang lalu tertawa.



"Untungnya ntar tumbuh lagi. Sekarang kamu tahu kan mama juga bisa mencoba hal – hal baru. Kalau kamu gimana? Mau mulai telanjang di rumah gak?"

"Gak tahu mah. Kayaknya aneh deh."



Diana memegang payudara lalu mengangkat susunya.

"Mama tak bisa mengatakan bagaimana rasanya hidup dengan selalu menunjukan ini padamu. Mama juga senang kalau kamu gak mau ikut – ikutan. Tapi mama tak akan keberatan kok kalau kamu berubah pikiran."



Diana dan Dana menatap kontol Dana. Mereka berdua melihat betapa kontol itu kini mulai kembali mengembang.



Begitu muda begitu jantan, pikir Diana.



Diana lalu mendorong anaknya bangkit.



"Kamu bersih – bersihnya ntar mama bantu deh."

"Setuju," seringai Dana.
 
Suasana di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan terbilang ramai. Meskipun tidak ber-suasanaseger, namun banyaknya abg yang berlalu – lalang membuat mata serasa segar bagi yang memandangnya.



"Woi, Diana, sini!"



Diana melangkah diantara deretan meja mencoba mencari sumber bunyi tersebut. Di arah kiri depannya ada sebuah meja yang ditempati tiga orang perempuan yang tidak berkalung sorban, usianya kira – kira setengah baya. Salah – seorang dari ketiga wanita itu melambaikan tangannya ke arah Diana. Diana pun bergegas mendekati meja lalu duduk di kursi yang telah disediakan.



"Gimana kabarnya?"

"Iya nih sombong bener."

"Kok lu keliatan seger sih?"



Tiga suara yang keluar dari tiga mulut yang berbeda langsung menyambut begitu Diana duduk. Diana pun tersenyum sebelum menjawabnya.



"Lah kayak gak tau aja lu lu pada juga kan sibuk – sibuk." Diana mengambil gehu yang ada di meja lalu makan sambil meneruskan pembicaraan. "Gila lu ya, di tempat kayak gini malah beli gehu."

"Kan dari tadi kita mau pesen juga nungguin lu dulu. Dari pada bengong yang pesen gehu dulu. Lagian lu juga doyan kan."

"Kok lu keliatan beda sih?"

"Iya, gw mau ajak anak liburan entar. Biar gak jenuh."

"Kok badanlu agak beda sih."

"Iya dong. Gw sering diajakin maen wii sama anak sih."

"Apaan tuh wii?"

"Itu gim yang pake remot, terus kita maininnya sambil gerak – gerak."

"O ya. Anak lu kan tukang maen gim."

"Terus, lu keliatan lebih semangat, gak kayak dulu murung terus sih?"

"Iya dong. Gw kan kini jadi lebih deket sama anak. Apalagi kini tuh anak mau nerusin kuliah."



Ketiga teman Diana saling pandang mendengar penjelasannya.



"Lah, kayak kita bloon aja."

"Eh, sumpah deh, gw lagi gak deket sama siapa – siapa."

"Lu liburan gak mau ngajak kita nih?"

"Enggaklah. Kan sama anak gw. Sebelum lu pade nanya, gw gak seranjang ntar sama anak."

"Iya lah. Siapa tahu ntar ada laki biar lu bisa bebas."

"Gak gitu juga kali."

"Lu beli apaan tuh?"

"Biasa, buat ntar di pantai."

"Pake aja trus tunjukin ke anaklu biar dia seneng."

"Apaan sih? Yang ada juga dia malah lari ketakutan," kata Diana sambil mengambil belanjaannya lalu bangkit.

"Eh, lu mau ikut gak ntar malam sabtu. Biasa kumpul di tempatnya Dewi."

"Iya. Ntar gw cek dulu kalau anak gw gak keberatan sih," kata Diana sambil melangkah pergi menjauh.





$$$$$



Diana merenung di rumahnya sambil memikirkan ide yang didapat dari percakapan dengan temannya tadi. Diana jadi ingin mencoba menjadi model pakaian di depan anaknya sendiri. Saat sedang asik merenung, tiba – tiba terdengar suara seperti pintu yang diketuk. Diana pun meraih daster, memakainya lalu membuka pintu.





"Eh, elu Wi, masuk."



Diana mundur agar temannya, Dewi, bisa masuk. Dewi masuk, melihat Diana yang hanya memakai daster lalu mengelus tangannya.



"Lu pake ginian doang?"

"Iya, kan nyobain yang baru."

"Gimana kalau anaklu ngeliat?"

"Kan ntar juga pasti ngeliat kalau jadi liburan."

"Bagus."

"Mau minum apa? Bikin aja sendiri."



Diana dan Dewi pun melangkah menuju dapur. Dewi memilih membuat kopi. Dapur pun langsung dipenuhi aroma biji kopi pilihan.



"Gimana Dana di tempatlu?"

"Biasa aja. Maen sama anak gue."

"Gw udah lama kenal lu sama david. Tapi gw perhatiin sekarang kayaknya lu sama anaklu berubah deh. Padahal dah lama David meninggal. Ada apa sih?"

"Lho, emangnya kenapa?"

"Udahlah, gak usah bohong."

"Iya deh. Kan sebentar lagi ada rencana mau liburan."

"Dari dulu anak gw males kalo disuruh belajar. Cuma akhir – akhir ini semenjak anaklu sering ngajarin anak gw, kayaknya anak gw jadi agak pintar dah. Lu apain tuh anaklu?"

"Ya biasa. Gw ingetin mau jadi apa ntar kalau males terus."

"Bohong lu. Gw aja bilang kayak gitu malah gak ngefek."

"Ya mau bagaimana lagi. Mungkin apa gw juga gak tau."

"Ya elah, malah maen rahasia – rahasiaan. Tapi terserah dah, yang penting gw seneng liat lu kembali ceria kayak gini. Semenjak laki lu meninggal, kayaknya lu ikutan meninggal. Tapi kini, lu kembali lagi gila seperti dulu. Kok bisa gitu sih setelah sekian lama?"

"Gila lu ya. Ya gw kagak ikut suami gw lah. Gw cuma fokusin jadi emak yang baik bagi anak gw."

"Bener nih. Dulu lu berubah jadi pendiam."

"Ya mungkin waktulah yang ngerubah gw. Ntar deh liat aja jumat nanti."

"Mah!" suara Dana menggelegar.

"Di sini nak. Lagi sama mamanya Dewo," teriak Diana.

"Mah, ntar liburannya yang lama yah. Eh, Bu Dewi."

"Eh Dana."

"Sekalian aja pindah kerja dan kuliah di sana," canda Diana.

"Siap mah. Ntar Dana cari infonya di internet," Dana terdengar serius.

"Mama bercanda sayang."



Dana tak menjawab namun malah bergegas ke kamarnya. Diana melihat wajah Dewi yang menunjukan ekspresi aneh.



"Apa lu?"

"Kalau gw pake baju kayak lu, pasti anak gw melototin terus. Tapi si Dana malah gak tertarik tuh. Lu apain dia?"

"Biasa aja lah. Lagian cuma baju gini kok. Ntar juga kalo jadi liburan mungkin liat lebih dari ini."

"Apa lu mau telanjang?"

"Gak gitunya juga kali."

"Lu kembali gila. Pasti ada yang lu tutupin dari gw."

"Lah, lu malah curiga sih?"



Beberapa saat kemudian Dewi berusaha menanyakan kepenasarannya. Namun yang Dewi dapat hanya kekecewaan. Akhirnya Dewi memutuskan untuk pulang.



#####



Dana muncul tepat saat telepon berbunyi.

"Bu Dewi ngapain mah?"

"Biasa," kata Diana lalu mengangkat telepon. "Halo."

"Na, ini Yanti. Seneng liat kamu kembali ceria."

"Ya, kayak dulu lagi." Diana menyadari anaknya sedang menatap dirinya dari atas ke bawah sambil mengangkat alisnya. Diana lalu menjepit telepon dengan bahu, lalu mulai melepas pakaiannya. Pakaian itu lalu dilemparkan ke sofa.

"Gini, gw seneng lu mau ikut ngumpul ntar. Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Si Chip jadi ngamuk nih denger anaklu mau liburan. Jadi kalau lu gak keberatan, tolong ajak anak gue dong. Kalau lu setuju, ntar gue bayarin akomodasinya."



Diana melihat Dana meninggalkan ruangan.



"Gue sih gak keberatan, tapi mesti tanya si Dana dulu. Ntar gw kabarin lagi keputusannya."

"Oke, makasih ya Na."



Diana menutup telepon berbarengan dengan munculnya Dana sambil membawa kamera digital dan kemeja putihnya.



"Mau diapain tuh baju?"

"Mah, makannya mau pesan gak, sekalian mama jadi model kamera Dana?"

"Iya deh terserah kamu. Tapi mau apain tuh baju?"

"Jadi ntar pas tukang makanannya datang, mama ambilnya sambil pake ini saja."

"Apa?"

"Iya mah. Sekarang kan lagi dingin. Kasian tuh tukang anter makanan. Biar jadi anget dikit. Biar hot gitu loh."

"Kenapa kamu dulu gak negosiasikan tentang nilai? Biar mama gak kena masalah kayak gini."

"Lho, kan mama yang pertama mulai. Dana hanya belajar dari yang terbaik dong mah."

"Gak usah muji deh."

"Lah mama. Jadi gimana mah?"

"Tapi dikancingin ya, setuju?"

"Hanya tiga kancing dari paling bawah, setuju."

Diana menatap kemeja, "Mama tinggal membungkuk lalu orang – orang pada ngedeketin dah."

"Jangan membungkuk dong mah."

"Iya deh. Tapi kalau yang nganternya cewek, yang bayarnya kamu. Tapi hanya pake celana pendek."

"Kalau gitu, Dana setuju asal mama cuma kancingin dua kancing saja."

"Baiklah. Dua kancing, tapi kalau yang ngirimnya cewek, kamu yang mesti ngambil sambil goyangin pantat kamu."

"Kalau gitu sih, mama jangan kancingin baju mama ntar kalau cewek Dana yang ambil sambil goyang."

"Baiklah. Asal adik kecilmu mesti keliatan... Plus kamu ajak mama ntar main keluar."

"Setuju."

"Gak usah banyak senyum. Dulu juga papamu pernah bikin mama kayak gini, sampai handuk mama lepas saat bayar."



Diana lalu memikirkan menu yang akan dipesannya. Setelah yakin Diana menyambar kemejanya.



"Kamu punya niat busuk apa lagi sama mama?"

"Gak ada niat busuk, cuma apa mama gak kepanasan pake kemeja di dapur?"

"Dasar kamu. Mama mandi dulu ah... biar nanti seger pas liat kamu show."



Diana mandi namun tak berlama – lama. Diana menuju kamar anaknya lalu mendorong pintu dengan kakinya hingga terbuka. Terpampanglah Diana yang sedang berdiri, memakai kemeja namun tiada satupun yang dikancingkannya.



Dana langsung menyambar kamera lantas memotret.



"Mama makin hari makin cantik aja."

"Ngegombal aja kamu nak." Namun Diana malah terlihat berseri – seri. Diana lalu memutar tubuhnya membuat kemeja itu seolah melayang.

"Apa wanita diajari cara khusus agar bikin pria gila mah?"

"Tentu tidak sayang. Mungkin memang sudah insting," kata Diana sambil berbalik membelakangi anaknya. Diana lantas menarik ujung kemejanya ke atas hingga memperlihatkan pantat, lalu menggoyangkannya. Diana menyeringai saat mendengar bunyi klik. Diana malah berharap agar pengantar makanan adalah pria.



Setelah beberapa menit berlalu ibu dan anak itu pun ke dapur.



"Nah, tukang foto, kamu mau mama gimana?"

"Coba mama duduk dikursi sambil menyilangkan kaki. Terus tangan mama taruh di lutut."



Diana menuruti. Klik.



"Sekarang coba mama rebahan di meja sambil tangan mama ke depanin."



Diana menuruti. Klik. Saat Diana bangkit, satu payudaranya terbuka membuat Dana menyesal tak mengambil gambar pas momen itu.



"Sekarang coba mama berdiri dekat kompor, tarik baju mama ke bawah dan tatap kamera."



Diana menuruti. Klik.



"Sekarang ..." suara Dana terpotong oleh ketukan di pintu.



Diana berbalik memperlihatkan seluruh tubuh bagian depan karena kemejanya hanya tergantung di lengan. Dana menyadari putting mamanya agak mengeras. Dana dan mamanya pun saling tatap. Dana lalu mengabadikan momen itu sebelum ketukan berbunyi lagi. Mereka lalu bergegas ke ruang depan. Dana mengintip sementara Diana menunggu.



"Yes. Yang nganternya cowok mah."



Diana menyeringai, membetulkan kemeja dan mengancingin dua kancing terbawah.



"Dasar kamu hoki. Siapin uangnya!"



Dana mundur lalu mengeluarkan uang dari dompetnya sambil melihat mamanya mendekati pintu. Sebagian susu mamanya terlihat namun tetap tak menunjukan areolanya.



"Maaf ya tante baru aja keluar dari kamar mandi."

"Ng... Ng... Man... Tat... eh... Nggggaakkk apa... tanttte."



Pintu lalu dibuka dan makanannya langsung disambar oleh Diana. Saat Dana mendengar suara orang terkesiap, Dana tahu pasti ada yang terlihat. Diana lalu mundur dan menyerahkan makanan ke anaknya. Entah kenapa Dana malah melihat wajah mamanya seperti senang. Dana menyerahkan uang ke mamanya yang langsung diraihnya sambil berseringai. Tangan kanan Diana meraih uang sementara tangan kirinya menarik paksa dua kancing hingga terlepas dan berjatuhan yang tentu saja terlihat oleh pengantar makanan betapa ada kancing yang jatuh.



"Ntar mama benerin," bisik Diana ke anaknya. "Sekarang waktunya kamu pergi. Sembunyi!"



Diana melangkah mundur lalu berbalik sambil mencoba menutup kemeja dengan tangannya. "Makasih ya. Nih uangnya," kata Diana yang langsung diambil oleh pengantar makanan. Pintu pun ditutup. Diana lalu berbalik dan bersandar ke pintu. Kemejanya naik turun seirama dengan dadanya yang naik turun. Lalu Diana menatap anaknya.



"Mama jadi bening."

"Huh?"

"Udahlah, ikutin mama."



Diana melangkahkan kakinya ke dapur. Lalu Diana mengambil panci kecil untuk merebus mie yang memiliki pegangan, menduduki meja terus melebarkan pahanya. Panci itu lalu diposisikan agar menutupi selangkangannya.



"Mama tegang bener.."



Panci itu menyentuh sebagian kecil lipatan daging antara dua kakinya membuat seluruh tubuh Diana menegang. Panci itu pun terlepas dan jatuh ke lantai. Satu tangan Diana meraih dan menyentuh rambutnya mengiringi getaran tubuhnya.



"Ooooooooooooohhhh."



Diana terus bergetar hingga beberapa saat. Kemudian diam. Perlahan – lahan Diana turun dari meja dan berdiri. Diana menatap anaknya. Seluruh tubuh Diana dipenuhi keringat. Diana lalu mendekati anaknya, melebarkan tangan dan memeluknya. Tiadanya kancing yang terpasang membuat payudara Diana menekan dada anaknya. Diana lalu menyandarkan kepala ke bahu anaknya.



"Nikmat sekali orgasme mama barusan. Kamu gak lupa memilmkannya kan?|

"Oh iya. Aduh sial."



Diana tertawa tanpa melepas pelukannya. "Udahlah, besok kita pesen apa lagi?"
 
"Yes, yang nganternya cewek" kata Diana sambil berjingkrak.



Dana melepas baju dan melemparkannya ke sofa. Dana lalu melepas ikat pinggang sambil melihat mamanya berjoget.



"Kamu kayak gak semangat gitu sih?"

"Lho, kan awalnya cuma nebak laki atau bukan."

"Ingat, sampai tiga kali ya."

"Iya. Yang kemarin Dana sampai telanjang."

"Kan handuk itu idenya kamu."



Kini Dana berdiri di hadapan mamanya dengan hanya mengenakan celana pendek. Dana menatap celana pendek anaknya.



"Temen kecil mama mana?"

"Gak usah ditambahin kata 'kecil'!"

"Sini, mama bantu."



Diana mengangkat ujung belakang kemeja sehingga pantatnya telanjang. Setelah itu Diana berbalik membelakangi anaknya dan mundur hingga pantat itu menyentuh celana anaknya. Setelah menyentuh, Diana lalu menggesek – gesekkan pantatnya hingga terdapat benjolan yang dirasa cukup besar oleh Diana.



"Ayo goyang duyu..."

"Mama kok kejam gitu sih?"

"Biar kejam, tapi efektif kan."



Setelah benjolan itu tak lagi membesar, Diana menghentikan aksinya. Diana kembali berbalik lalu menepuk pelan benjolan yang tiba – tiba muncul di celana anaknya. Setelah itu Diana memegang bahu anaknya dan memutar tubuh anaknya lalu mendorongnya.



"Ayo cepet buka, kasian udah nunggu tuh."



Dana membuka pintu.



"Pak ini pesanannya," kata pengantar makanan sambil melihat tubuh Dana, dari atas hingga ke bawah.

"Oh ya, jadi berapa?"

"Jadi sekian."



Dana mengambil makanan yang lalu tangannya menerima uang yang diserahkan oleh mamanya yang sedang sembunyi di belakang pintu. Setelah uang itu diterima oleh Dana, tangan mamanya cepat langsung menarik ujung celana Dana hingga melorot sampai ke bawah. Dana langsung memberikan uang ke pengantar makanan sambil meminta maaf. Setelah itu Dana langsung menutup pintunya.



Terdengar suara tertawa dari luar rumah.



Saat akan melangkah, Dana terjatuh dengan celananya masih melorot.



"Sini mah, Dana mau bunuh mama!"



Diana pura – pura menjerit takut sambil tertawa. Lalu Diana melesat ke dapur yang tentu saja sambil dikejar Dana.



"Kalau mama mati, kita gakkan liburan dong."



Dana kini ada di sisi meja sedangkan Diana di sisi sebrangnya. Mereka saling melotot. Saat Dana berjalan ke arah kanannya, Diana pun melangkah ke kanannya sehingga posisi mereka tetap sama bersebrangan.



"Ayo, tangkap mama. Pasti kamu bingung setelah tangkap mama!"

"Enggak dong, pemburu selalu punya rencana."

"Tuh liat, temen kecil mama melambaikan tangan!"



Dana menunduk menatap kontolnya yang terlihat jelas. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Diana untuk berlari ke kamarnya lalu mengunci pintunya.



"Kuat berapa lama di dalam mah?"

"Sampai ada kesepakatan."

"Kesepakatan apa lagi?"

"Kesepakatan yang bakal menjauhkan masalah dari mama."

"Oh ya semoga beruntung."

"Lho, mama juga kan udah tiga kali ngasih pertunjukan ke pengantar makanan. Jadi adil dong"

"Iya. Mama pasti keliatan seksi. Nah Dana, pasti kelihatan bodoh."

"Mama yakin cewek barusan gak setuju sama kata - katamu."

"Kenapa mama gak keluar dan tanyakan aja sendiri?"

"Keluar sementara ada pembunuh liar berkeliaran di rumah? Tentu tidak."

"Meski gak ada makanan?"

"Mama emang berencana diet kok. Ayolah, akui saja kamu juga menikmati aksimu. Temen kecil mama yang bilang kok."

"Sekarang siapa yang ngawur? Ingat, nyonya sedang terpuruk dalam lubang."

"Udahlah, ngaku aja kamu juga menikmatinya kan. Bahkan mama yakin kamu masih keras."

"Terus kenapa?"



Percakapan mendadak berhenti. Kedua pihak seakan sepakat untuk berdiam diri sejenak.



"Mama bakal buat semuanya terserah kamu aja."

"Caranya?"

"Percaya saja."

"Enggak ah."

"Serius nih. Mama nawarin gencatan senjata."

"Jangan main – main lagi."



Terdengar suara kunci dibuka. Pintu lalu terbuka perlahan hingga terbuka seutuhnya. Diana menatap anaknya yang masih berdiri.



"Tuh kan, kamu masih keras."

"Jangan ganti topik, gimana ide mama tadi?"

"Sabar, kamu duduk dulu tuh di kasur"



Dana melangkahkan kakinya ke kasur sambil menatap curiga mamanya yang mendekati meja rias.



"Ingat gak aturannya?" kata Diana sambil mengeluarkan celana dalam hijau dan memakainya. celana dalam itu terlihat sangat pas sehingga lekukaknya sempurna.



Dana terlihat bingung melihat mamanya mendekat. Setelah dekat, Diana berbalik hingga membelakangi anaknya lalu seolah duduk di pangkuan anaknya, namun bukan untuk duduk melaikan untuk menggesek – gesekkan pantatnya. Tangan Diana meraih tangan Dana dan meletakkannya di pahanya.



"Kamu hanya boleh sentuh paha," kata Dana sambil mencoba menekankan pantatnya lebih dalam.

"Oh tuhan," kata Dana sambil menarik nafas.



Diana bisa merasakan kontol anaknya yang makin tegang. Diana meletakan tangan di lututnya sambil bergoyang. Mendengar nafas anaknya yang makin tak teratur, Diana bangkit berdiri, menurunkan celana dalam hingga pantatnya kembali telanjang lalu kembali menekan kontol anaknya sambil bergoyang.



"Oh..."



Tubuh Diana tersentak dan tersentak saat kontol anaknya menyemburkan lahar panas ke pantat mulusnya. Setelah lahar itu tak lagi menyembur, kepala Diana berbalik menatap anaknya.



"Nah ingat yang barusan takkan terulang lagi."



Dana hanya bisa mengangguk menikmati sisa – sisa sensasinya.



"Mama udah lapar nih."



Diana lalu bangkit berdiri yang segera disusul anaknya. Dari selangkangan keduanya menetes caiar putih kental membasahi lantai. celana dalam Diana pun dilepas.



"Kamu mandi sana. Biar mama bersihin ini. Ntar kita makan di luar aja yuk."
 
Diana dan anaknya sedang duduk di meja menunggu pelayan.



"Selamat datang, mau pesan apa?"



Suara pelayan terdengar familiar di telinga Dana. Dana menoleh untuk melihatnya, saat kedua pasang mata itu bertatapan, keduanya terkejut. Ternyata pelayan itu adalah pengantar makanan yang tadi. Namun, tak seperti pelayan dan anaknya, Diana malah tertawa – tawa."



"Eh, masih lapar ya? Memang lebih enak makan di sini."

"IYa, kami bosan makan di rumah."

"Mau pesan apa?" kata pelayan sambil menyerahkan daftar menu.

"Kami pesan teh manis dulu, dua. Iya kan?"



Dana hanya mengangguk tanpa berkata. Dana malu, celakanya wajahnya menunjukan itu.



"Segera."



Setelah pelayan itu pergi, Diana menatap anaknya. "Apa pun yang terjadi, kamu jangan panggil mama. Panggil aja Diana. Jangan ada yang tau aku mamamu, Paham!"

"Dari semua tempat makan di kota ini, kenapa malah dilayani dia sih?"

"Itulah yang disebut takdir. Meski sebelum pergi kita bisa memutuskan untuk makan di restoran manapun tanpa ada yang memaksa harus ke mana, namun pertemuan ini sepertinya tidak bisa dihindari. Mama ke toilet dulu. Tunggu di sini."



Diana berjalan menuju toilet, di tengah jalan, Diana berpapasan dengan pelayan tadi. Diana hanya tersenyum namun Dana terlihat semakin gugup dan atau malu.



Diana kembali ke meja. Di meja telah tersedia minuman yang tadi dipesan. Saat Dana menyedot minumannya, Diana lalu menaruh sesuatu di meja yang membuat Dana tersedak. Dana melihat mamanya menaruh celana dalam hijau.



"Biarkan itu terus di meja, berani gak?"

"Mama mau ngapain?"

"Senang - senang dong. Biar jadi kenangan indah buat kamu."



Namun Dana malah mengambil celana dalam mamanya dan memasukkannya ke saku. Diana hanya menyeringai melihat tingkah anaknya.



"Dasar mama gila."

"Hehehe."



Keduanya lalu diam saat pelayan kembali datang.



"Maaf, sudah siap pesan?"

"Saya pesan lasagna aja. Sedangkan wanita cantik ini sepertinya akan memesan chicken parmesan, benarkan Di?"

Diana tertawa, "bolehlah."

"Tuan memang pintar memilih pasangan. Mau sekalian saladnya?"

"Boleh."

"Ada yang lain lagi?"

"Tidak."

"Terimakasih. Mohon tunggu pesanannya," kata pelayan itu sambil berjalan pergi, namun tetap berusaha menatap Dana.



Setelah pelayan itu pergi, Diana membungkuk hingga kepalanya agak mendekati anaknya, "dia masing ingat saat kamu telanjang lalu membayangkan gimana kamu menyentuh wanita seusia mama."



Dana menyemburkan minuman dari mulutnya.



"Mama benar – benar gila. Bagaimana dulu tingkah laku papa sama mama sih?"

"Papa dan mamamu pasangan serasi. Tau gak?"

"Pantes saja."

"Mama dan papa saling mencintai. Pokoknya akan melakukan segalanya demi pasangan. Mama sangat setia, bahkan tak pernah selingkuh. Sepertinya papamu juga begitu. Pokoknya mama dan papa sangat terbuka bagi hal – hal baru. Intinya adalah komunikasi."



Percakapan terhenti saat pelayan datang membawa salad. Mata pelayan itu tak henti – hentinya mencuri pandang ke Dana.



"Jadi, 'Diana' ini biasa seperti ini dulu sama papa?"

"Mama rela melakukan apa saja demi papamu hingga separuh jiwa mama moksa seiring dengan moksanya papamu. Bertahun – tahun mama merasa hidup ini hambar, begitu hambarnya hingga bagaikan tiada lagi yang bisa lebih hambar lagi. Sampai akhir – akhir ini."

"Sampai akhirnya aku mau jadi mahasiswa."



Sekarang Diana yang tertawa dibuatnya pun hingga saat pelayan datang.



"Ini makanannya, silakan." Pelayan mulai meletakkan makanan, namun mulutnya tak berhenti bicara. "Mohon maaf, apabila boleh tahu, berapakan usia tuan dan puan yang sungguh sangat serasi ini?"

"Baru tujuh belas." Kata Dana.

"Saya sih cukup tua. Bahkan layak untuk menjadi ibu dari anak ini," jawab Diana sambil tersenyum.

Pelayan itu menggeleng, "Luar biasa. Tuan dan puan sungguh terlihat sangat bahagia." Pelayan itu masih tetap menggelengkan kepala sambil pergi menjauh.



"Mama ternyata suka mengambil resiko."

"Mama dan papamu justru pemburu sensasi. Apa lagi yang sangat membuat mendebarkan. Mama jadi kangen masa – masa dulu. Apa kamu sekarang merasa berdebar – debar?"

"Bukan hanya itu, tapi juga takut setengah mati."

"Itulah sensasinya. Pokoknya ingat, asal jangan sampai ada yang terluka dan harus saling menghormati."



Aroma makanan membuat pembicaraan berhenti. Berganti dengan acara santap. Makanan pun habis. Diana berdiri melihat pelayan mendekat. Saat pelayan itu menghampiri meja, Diana menyapanya.



"Terimakasih untuk pelayanannya sayang."



Setelah itu mereka pun keluar dari restoran. Namun sebelum masuk ke mobil, Dana menatap mamanya.



"Berani gak mama lepas rok itu dan nyopir sambil gak pake bawahan?"



Diana tersentak. Diana menatap anaknya lalu melihat keadaan di parkiran itu. Setelah melihat keadaan, Diana kembali menatap anaknya sambil menyeringai. Diana lalu melepas rok dan memberikan ke anaknya.

Angin dingin langsung menyentuh tubuhnya.

Diana langsung duduk di belakang kemudi. Diana lalu menurunkan jendela di pintu kiri.



"Mama gakkan nyetir sampai dapet celanamu."



Dana menyeringai dan mulai melepas celana panjangnya. Kini di jok belakang terdapat rok, celana panjang dan sepatu.



"Lepas juga dong celana pendekmu?"

"Siap,tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Dana ingat belum punya video mama lagi make mainan karet mama itu. Gimana, setuju?"



Dana sedang melepas celana pendeknya saat mamanya tertawa sambil berkata setuju. Keduanya kini tidak memakai bawahan sama sekali hingga sampai di rumah.



Sampai di depan rumah, keduanya belum keluar dari mobil. Jalanan tampak sepi sehingga meski mobil mereka melintang agak tengah, tak ada yang memprotes. Pagar masih tertutup. Diana menatap anaknya.



"Berani gak kamu buka tuh pagar tanpa pake celana dulu?"

"Asal mama isep dildo itu di akhir pertunjukan?"

Diana tertawa, "bener – bener cabul."

"Kan belajar dari ahlinya,"kata Dana sambil keluar dari mobil dan bergegas membuka pagar.



"Sialan mama. Dasar eksibisionis."

"Ya ya ya ... kata orang yang tak bercelana," kata Diana, tertawa sambil keluar dari mobil.

"Ya ya sekarang waktunya tampil. Dana ingin pantat itu siap."

"Saatnya anakku kerja," kata Diana berjalan sambil melepas pakaiannya.

Dana mengikuti mamanya dari belakang, "Mah, daripada telanjang, apa mama punya lingerie?"

"Wow, mungkin masih ada. Gini aja, kamu siapin aja kameranya biar mama juga siap – siap."

"Oh iya." Seringai Dana.



Diana beranjak ke kamar mandi di kamarnya untuk mulai menyiapkan diri sementara anaknya memasang tripod. Selesai memasang tripod, Dana duduk di kasur menunggu mamanya muncul.



"Oh, mama cantik sekali."

"Makasih."



Diana terlihat cantik memakai lingerie hitam.



"Kamu suka?"

"Iya mah."



Diana lalu berjalan menuju laci mengambil keluar dildonya. Saat melewati anaknya, Diana menepuk kontol anaknya dengan dildo sambil tersenyum.



"Temen kecil bertemu temen palsu."



Setelah itu Diana naik ke kasur dan terlentang.



"Cdnya dilepas apa dipake, pak sutradara?"

"Dilepas aja mah."

"Ya udah sini bukain dong."



Dana tertegun. Dana mendekat dan menjulurkan tangannya saat mamanya mengangkat pantatnya. Sentuhan tangan Dana pada pinggul mamanya membuat mereka merasakan getaran nafsu yang tak tertahankan. Tangan Dana lalu menarik cd itu. Saat cd itu mencapai lutut, pantat Diana kembali diturunkan dan kini kakinya yang diangkat membuat cd itu akhirnya terlepas seluruhnya. Dana menaruh cd itu di kasur.



"Makasih."



Setelah itu Diana mengambil dildo dan mulai mendekatkannya ke selangkangan yang dirasanya sudah mulai basah. Diana lalu diam, menatap anaknya.



Dana tertawa seolah disadarkan, "Oh iya, kamera. Duh."



Dana lalu memainkan kamera yang ditaruh di tripod. "Oke, action."



Diana kini mulai mengelus – elus dildo itu ke memeknya sambil mengerang. Tak butuh waktu lama bagi Diana untuk mencapai orgasme hingga erangan Diana makin keras namun tertahan, dan tubuhnya pun mengejang. Akhirnya Diana berbaring sambil terengah – engah.



Diana lalu mendekatkan dildo itu ke wajahnya.



"Mama tantang kamu jilatin ini."

"Apa?"

"Kamu dengar tadi, jilatin aja, gak usah yang lain. Inget aja ini barusan dari mana, jangan bayangin bentuknya."



Dana terlihat ragu. Namun akhirnya Dana mengambil dildo itu dari tangan mamanya. Dana mulai mendekatkan dildo itu ke mulutnya.



"Papamu dulu suka banget rasanya."



Meski masih terlihat ragu, namun Dana menjulurkan lidah sambil menutup matanya.



"Okelah."



Dana lalu duduk di kasur, tangan kanannya memegang dildo sambil menjilatinya sementara tangan kirinya kini menyentuh kontol dan mulai mengocoknya. Hanya sebentar, namun kocokan itu mampu membuat lahar panas menyembur dari kontolnya. Lahar itu membasahi perut Dana sendiri. Dana pun merebahkan dirinya di kasur.



Melihat anaknya berbaring di sebelah dengan perut penuh pejunya membuat Diana membungkuk dan mencolek peju anaknya dengan tangannya. Tangan berpeju itu lalu dihisapnya hingga bersih.



"Mmmhhh... rasanya beda sama rasa papamu."



Mereka berdua lalu menapa kamera yang masih merekam. Diana menyeringai sambil menatap anaknya.



"Mau buat salinannya untuk pelayan kita gak?"



Diana tertawa menyadari anaknya terkejut. Diana lalu bangkit menuju kamar mandi.



"Pingin tau selanjutnya? Mainkan aja imajinasimu." Kata Diana sambil menutup kamar mandinya.



Dana hanya berbaring sambil menyeringai. Mencoba berimajinasi.
 
Maaf, belum ada lagi lanjutannya. Bahkan saya pun ingin lanjutannya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd