Episode 2
Bidadari Sungai Ular
Matahari pagi mulai terlihat tenggelam perlahan-lahan, pemandangan langit biru yang tadinya cerah pun samar-samar mulai memudar, berganti dengan kepekatan malam. Sang rembulan perlahan-lahan mulai merayap naik, bersamaan dengan bermunculannya bintang-bintang, yang mulai berkerlapan memamerkan cahayanya yang putih berpijaran, memenuhi sang langit biru. Suara kicau Burung-burung yang sejak tadi siang terdengar ramai memenuhi hutan, kini telah lenyap. Berganti dengan suara-suara jangkrik dan binatang malam lainnya, yang saling sahut menyahut. Menghiasi kepekatan malam yang gelap gulita. Sesekali pula dari arah kejauhan, terdengar suara auman srigala yyang melolong panjang menggidikkan bulu kuduk siapa pun yang mendengarnya. Kesunyian pun mulai terasa semakin menyayat hati, di iringi semilir angin malam yang mulai berhembus, dingin dan terasa membekukan kulit.
“Aaauuummm…,
Namun suasana malam yang dingin itu, seolah tidak di rasakan oleh seorang gadis cantik yang tampak saling berpelukan, dengan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Di sebuah balai-balai yang terbuat dari bambu, serta beralaskan kasur empuk. Di dalam sebuah rumah gubuk besar, yang letaknya berada tepat di tengah-tengah hutan, yang jarang di sambangi oleh manusia.
“Mpfhhh…, cuph…, slurrph…, slurrph…, cuph…,” gadis itu mengerang-erang lirih, suaranya yang terdengar merdu begitu mengundang syahwat laki-laki.
Jemarinya yang berada di selangkangan lelaki itu, tampak menggenggam batang penis yang mulai terlihat berdiri. Tegak dan kaku, di balik celananya yang belum terbuka. Batang lunak yang kenyal dan kaku itu, seolah menggeliat-geliat, memberontak. Layaknya se ekor ular, yang ingin lepas dari sangkarnya. Desahan dan rintihan mesra lelaki itu pun, semakin terdengar parau, ketika jemari tangan si gadis mulai bergerak pelan. Mengurut-urut dan memijit batang penisnya, yang masih bersembunyi malu-malu, di balik celananya.
“Ughhh…, Gusti Ayu Lintang…, ampuuuun…, enak sekali ssshhh…,” pekik lelaki itu merintih kenikmatan.
Gadis yang di panggil Lintang itu, memang tidak lain dan tak bukan, adalah Saka Lintang. Seorang gadis cantik, yang pernah tergila-gila pada Rangga. Pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, sekaligus juga orang yang telah membunuh ayah angkatnya, yaitu Geti Ireng atau Iblis Lembah Tengkorak. (Baca Episode 1. Iblis Lembah Tengkorak). Setelah merasa cintanya pada pemuda tampan itu tidak terbalas, kelakuannya mendadak berubah menjadi liar. Sekian lamanya, setiap hari dia harus merasa tersiksa. Karena dirinya selalu terbayang, wajah pendekar muda berwajah tampan itu. Namun semakin dia merasa rindu, semakin dalam pula kesedihan, yang menggelayuti hatinya seketika. Sikap Rangga yang waktu itu meninggalkannya sendirian, seolah-olah merendahkan harga dirinya. Kejadian satu tahun yang yang silam, membuatnya memilih untuk menjadi seorang tokoh yang jahat dan keji. Dan memilih menetap, di hutan rimba belantara itu. Seraya mendirikan sebuah kelompok perampok. Yang berada di bawah pimpinannya sendiri. Satu tahun sudah, lamanya Saka Lintang menetap di sebuah hutan rimba belantara, sebagai seorang pemimpin perampok yang buas dan kejam. Setelah dirinya gagal mendapatkan cinta Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu ingin mencoba membuka lembaran baru, sambil membuang ingatannya pada pemuda tampan itu. Walau pun kenyataannya beitu sulit, karena bayangan wajah Rangga selalu datang menghantuinya setiap malam.
“Auwww…, aggggghhh…, uuuhhh…, ssshhh…,” desah gadis itu lirih.
Suaranya yang merdu, terdengar begitu mesra. Bibirnya yang merah ranum, tampak mendesah-desah nikmat. Ketika di rasakannya sebuah jemari laki-laki itu mulai bergerak, meremas dengan kasar, ke dua buntalan padat kembar yang membusung di dadanya. Pakaian yang mereka kenakan juga, terlihat sudah mulai tercecer satu persatu. Hingga dalam hitungan detik saja, tubuh ke dua insan yang berlainan jenis itu, kini telah sempurna telanjang bulat. Ke dua buntalan padat kembar dan kenyal, di dada gadis itu, kini tampak sudah mencuat. Di hiasi dengan ke dua putingnya yang kecil mungil, berwarna merah jambu. Yang juga terlihat mulai mengeras, tegak dan kaku. Nafas lelaki itu makin lama, makin terdengar semakin cepat. Di buru nafsu sahwat, yang semakin mengebu-gebu. Mulutnya yang tadi diam itu pun, kini mulai menyerang dengan ganas. Melahap dan memagut leher Saka Lintang yang jenjang, dia gigit-gigit pelan leher putih mulus itu. Samibil sesekali pula lidahnya yang terjulur kaku, terlihat menjilati-jilat dengan liarnya, hingga membuat gadis itu kegelian.
“Auwww…, sudah Barda sudah…, geliii…,” pekik gadis itu melenguh.
Tubuh putih mulus tanpa cacat itu, semakin bergerak menggeliat-geliat erotis. Di landa oleh kegatalan birahi yang teramat sangat. Lalu dengan gemasnya, di dorongnya tubuh lelaki bernama Barda itu. Hingga posisinya berbalik terlentang. Tubuh mereka pun langsung berbalik posisi, lelaki itu sekarang berada di bawah dalam keadaan terlentang, sementara tubuh Saka Lintang berada di atas menindihnya. Bibir merah merekah itu dengan cepatnya kembali memagut bibir lelaki itu, menjilat-jilat dan mengunyah dengan penuh napsu. Sambil sesekali memainkan lidahnya yang panas. Suara kecipak pertukaran air liur pun, terdengar saling bersahutan, dari ke dua bibir yang tengah menempel ketat itu. Hembusan berat nafas ke duanya juga mulai terdengar memburu, akibat di landa nafsu birahi.
“Mpfhhh…, mpfhhh…, cuph…, slurrph…, oohhh…, ssshhh…,”
Sesaat lamanya mereka saling berciuman, saling menghisap lidah, dan saling merangsang satu sama lain. Kini tubuh gadis itu perlahan, terlihat mulai kembali bergerak pelan. Dia putar posisi tubuhnya secara berlawanan arah, lalu di angkatnya sebelah kakinya dengan gerakan pelan. Kaki putih mulus itu pun perlahan-lahan mulai berpindah nyebrang, mengangkangi wajah lelaki itu. Bongkahan pantatnya yang bulat montok, langsung terpampang jelas di hadapan wajah Barda. Belahan lubang mungil vaginanya, yang setengah menempel dengan hidung laki-laki itu. Menyebarkan aroma nikmat, yang menusuk hidung. Di hiasi sepucuk lubang keriput mungil, yang berbentuk seperti matahari. Yang tampak masih rapat, berada tepat di atas lubang vagina itu.
“Hisap Barda…,” ucap gadis itu lirih, menahan nafsu birahi.
“Iya Gusti.” sahut lelaki itu pelan, suaranya terdengar berat akibat di landa nafsu birahi.
Nafsu gadis itu juga sudah terlihat mulai memuncak, apa lagi di hadapan wajahnya. Tampak berdiri batang penis yang berwarna kecoklatan, yang juga sudah mencuat tegak dan kaku. Tak tahan dengan pemandangan di hadapan wajahnya, bibirnya yang merah yang ranum, mulai terlihat menguak pelan-pelan. Lalu dengan gemasnya, melahap kepala penis lelaki itu. Dari mulai ujung kepala penis, lalu bergerak turun menelan batangnya yang panjang dan kaku. Sementara Jemarinya tangan kanannya, terlihat menggenggam bagian bawah batang penis Barda, sedangkan jemari tangan kirinya meremas-remas buah pelir lelaki itu dengan lembut.
“Uughhh…, oohhh…, aahhh…,” rintih lelaki itu, langsung mengerang-erang keras.
Di rasakan, batang penisnya terasa sangat hangat, saat memasuki rongga mulut gadis itu. Rasanya begitu sangat nikmat, apa lagi saat di rasakannya lagi, mulut gadis itu mulai bergerak pelan naik turun. Sambil sesekali menyedot kuat-kuat, kenikmatan yang di rasakan lelaki itu semakin tidak terhingga.
“Emmmhhh…, emmmhhh…, slurrph…, slurrph…, nyoottt…,nyoottt…,”
Tak tahan oleh kelakuan Saka Lintang, sepasang jemarinya yang kekar mulai bergerak pelan. Mencengkram dan meremas-remas, buah pinggul gadis itu dengan penuh nafsu. Ke dua jempolnya yang ikut bergerak, terlihat membuka lipatan buah pantat gadis itu. Hingga lubang vagina yang berada di atas mulutnya, ikut terkuak pula. Bibirnya dengan cepatnya, langsung menyambut hangat. Melahap bibir vagina yang terkuak lebar itu.
“Uummm…, uummm…, slurrph…, slurrph…, nyoottt…,nyoottt…,” Saka Lintang pun terpekik kaget, namun dia juga tidak bisa bersuara. Karena mulutnya tersumpal oleh batang penis lelaki itu.
Geliat dan gelinjang tubuhnya semakin erotis, sementara mulutnya tak henti-henti bergerak naik turun. Menghisap dan menyedot batang penis lelaki itu, yang tampak semakin licin mengkilap. Oleh cairah birahi yang keluar dari lubang kencingnya. Yang tercampur dengan air liur gadis itu. Di bawah sana, lelaki itu juga melakukan hal yang sama. Lidahnya yang kasap dan panas, tampak sudah terjulur kaku. Lidah itu bergerak menyapu klitoris, benda mungil sebesar kacang milik gadis itu, kadang di sentilnya pelan-pelan dengan lidahnya. Hingga terlihat semakin tegak membengkak. Sementara cairan lendir putih terus menerus meleleh, di belahan vaginanya. Yang tengah menjadi santapan mulut lelaki itu. Lendir putih kental yang rasanya sedikit asin itu, juga tak luput dari sasaran mulutnya. Cairan lendir putih itu dia hisap dan dia telan tanpa ragu-ragu.
“slurrph…, slurrph…, nyoottt…,nyoottt…, gleekkk…, gleekkk…,”
Mulutnya terus bergerak liar, membersihkan cairan-cairan lendir putih yang meleleh di vagina gadis itu. Sementara sepasang jemarinya menangkup erat-erat, buah pinggul Saka Lintang. Yang bulat dan padat, yang juga tengah meronta-ronta. Bergerak-gerak meliuk-liuk, ke kanan dan ke kiri. Seolah menghindari serangan buas mulut lelaki itu, yang tengah mencecar lubang vaginanya. Yang semakin basah dan licin itu. Sepasang matanya yang indah, kadang terlihat terpejam, lalu kembali terbuka pelan. Wajahnya pun mulai terlihat sayu, akibat di dera oleh kegatalan birahi yang sedang menyiksa tubuhnya.
“Uummm…, slurrph…, slurrph…, nyoottt…,nyoottt…,”
“slurrph…, nyoottt…, gleekkk…, gleekkk…,”
Suara-suara erotis yang tengah memberikan rangsangan satu sama lain, terus terdengar sahut menyahut memenuhi kamar itu. Sesekali pula suara itu tampak di selingi, oleh suara-suara lain. Suara bunyi kecipak merdu yang juga terdengar bersahutan, dari mulut ke duanya. Yang saat itu tampak sedang melakukan gaya bercinta dengan posisi 69. Beberapa saat lamanya mereka saling menjilat, dan menghisap kemaluan masing-masing. Sampai akhirnya, Saka Lintang pun sudah tidak tahan lagi. Tubuhnya jatuh menggelosoh pelan, rebah di samping tubuh laki-laki itu. Ke dua matanya memandang sayu pada wajah Barda, yang juga sudah merah di landa nafsu birahi yang berkobar-kobar.
“Masukan sekarang, Barda…,” pinta Saka Lintang yang sudah merasa tidak sabar, sepasang kakinya terlihat mulai menguak, mengangkang lebar.
“Hoosshhh…, hoosshhh…, Iya Gusti…,”” sahut Barda dengan nafas ter engah-engah.
Lalu pelan-pelan dia tempelkan batang penisnya, di belahan mulut vagina gadis itu. Yang sudah terkuak lebar, memamerkan sebuah lubang kecil indah berwarna merah jambu. Sementara di bawahnya, Saka Lintang hanya terlihat memejamkan mata saja. Gadis itu terlihat tersenyum manis, ketika di rasakan kepala penis Barda mulai menekan-nekan bibir vaginanya yang mungil. Lalu secara perlahan-lahan, batang penis yang memang sudah basah dan licin itu. Mulai bergerak pelan-pelan, membelah lipatan bibir vagina, kepalanya yang moncong seperti ular, mulai menyeruak masuk. Memaksa lubang vagina itu agar lebih menguak lebar. Kepala penis itu terus bergerak maju dan maju, sampai akhirnya amblas tertelan mulut vagina gadis itu. Ke dua selangkangan mereka langsung beradu, dan menempel ketat. Sementara buah pelir lelaki itu itu di rasakan menampar keras, menangkup lubang pantat gadis itu yang kecil mungil.
Sleepphhh…,
Bleesshhh…,
Pok
“Auuwww…, eughhh…,” teriak gadis itu kaget.
“Huuhhh…, aahhh…, sempit banget Gusti.” rintih Barda juga, penuh kenikmatan.
Meski pun lubang vagina gadis itu sudah tidak perawan, tapi cengkraman otot vaginanya masih kuat dan kencang. Batang penisnya bagaikan di gigit, oleh daging kenyal bergerinjal. Yang terasa hangat dan lembut. Rasanya sungguh sulit, di lukiskan oleh kata-kata. Gadis itu juga merasakan hal yang sama, lubang vaginanya yang mungil, langsung terasa sesak. Begitu batang penis lelaki itu, melesak amblas ke dalam lubang vaginanya. Sesaat ke dua mata mereka saling berpandangan, seolah saling mengagumi satu sama lain. Lalu pelan-pelan, lelaki itu mulai menggerakan pinggulnya naik turun. Menggenjot-genjot selangkangannya, dengan penuh nafsu. Batang penisnya yang tengah terbenam, di dalam lubang vagina gadis itu. Mulai ikut bergerak pula, menyodok-nyodok, dan menggesek-gesek. Dengan kecepatan, yang semakin lama semakin bertambah cepat.
Pok pok pok
Gerakan pantat yang tadinya pelan itu, kini semakin bertambah cepat. Ke dua selangkangan mereka yang saling beradu itu pun, sampai meninggalkan bekas warna kemerahan. Di lipatan bibir vagina yang putih dan mulus itu. Gadis itu juga mulai di landa kenikmatan yang amat sangat, lubang vaginanya mulai terasa berkedut-kedut gatal. semakin lama kedutan itu semakin bertambah kencang. Otot-otot vaginanya yang licin, kini mulai menggigit-gigit pelan. Pada batang penis yang tengah menggesek-gesek semakin cepat itu.
Ooohh…, oohh…, sedikit lagi Barda…, sedikit lagiihhh…, aahhh…,” pekik gadis itu terus mendesah, pantatnya terus bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan.
“Aahhh…, aahhh…, aku tidak kuat lagi Gusstiii..., Ughhh…,” sahut laki-laki itu, terengah-engah.
“Jangan keluar dulu Bardaaa…, jangan duluuu…, ooohh…,”
“Maaf Gusti…, aku tiddd…, arghhh…,”
Tak tahan akan kenikmatan jepitan dan empotan lubang vagina gadis itu, yang menggigit-gigit pada batang penisnya, lelaki itu pun terlihat berteriak keras. Pinggulnya bergerak mantap, melakukan satu tusukan panjang ke bawah. Batang penisnya yang panjang itu pun, menancap amblas hingga pangkalnya, ke lubang vagina gadis itu. Jemari tangannya meremas-remas sprei dengan sangat kuat. Saat merasakan cairan lendir putih, menyembur-nyembur. Muncrat dari lubang kencingnya. Cairan lendir yang hangat itu mengalir deras memenuhi lubang vagina mungil gadis itu.
“Hoosshhh…, hoosshhh…, maaf Gusti, hamba tidak kuat.” Kata laki-laki itu masih dengan nafas ter engah-engah.
Matanya menatap wajah Saka Lintang, yang terlihat tampak kesal. Karena gadis itu gagal mendapatkan orgasmenya tadi, padahal kalau saja Barda bisa tahan satu menit lagi, gadis itu juga akan ikut mencapai puncak orgasme. Tapi ternyata lelaki itu malah kalah. Perlahan tubuh Barda pun menggelosoh pelan, ke samping gadis itu. Wajahnya terlihat menatap langit-langit kamar, nafasnya pun masih ter engah-engah kelelahan. Batang penisnya yang tadi menghujam-hujam lubang vagina Saka Lintang, masih tampak terlihat tegak. Namun tidak sekeras tadi. Saka lintang yang melihat Barda sudah turun dari atas tubuhnya, langsung bergerak bangun. Tubuh ramping dan montok itu, yang masih dalam telanjang bulat. Terlihat mulai melangkah pelan, menghampiri sebuah meja kecil. Lalu mengambil pedangnya yang tergeletak di atas meja itu.
Sring…,
Dengan cepat di cabutnya pedang tersebut dari warangkanya, Barda pun langsung terkejut setengah mati. Ketika di lihatnya pimpinannya itu kembali bergerak, melangkah pelan mendekatinya. Sepasang matanya menatap tajam pada laki-laki yang terlihat ketakutan, di atas pembaringan yang terbuat dari bambu itu.
“Ja…, ja…, jangan Gusti ampun…, ampun…,” ucap laki-laki itu ketakutan.
“Dasar laki-laki tidak tahu diri, se enaknya saja kau keluar duluan, di saat aku belum keluar sama sekali.” bentak Saka Lintang kencang, tangan kanannya yang menghunus pedang juga, tampak bergetar hebat, di landa kemarahan.
“Ampun…, Gusti Ampun…, sudah hamba ka…,”
“Cukuuppp…, kau memang bukan laki-laki perkasa, kau laki-laki lemah. Hiihhh…,”
Craasshhh…,
“Aaaaa…, sakiittt…, sakiittt…,”
Dengan cepatnya gadis itu langsung menyabetkan pedangnya, ke arah selangkangan Barda. Batang penis yang masih setengah tegak itu pun, langsung buntung. Terpotong oleh pedang gadis itu seketika. Dari pangkalnya yang berlubang bagaikan lubang selang pipa, tak henti-hentinya mengalirkan darah segar. Yang terus mengalir deras hingga menggenangi ranjang dipan bambu itu. Sementara bagian potongan batangnya yang putus, jatuh terpental. Dan mendarat tidak jauh, dari kaki gadis itu. Belum juga hilang rasa pedih yang mendera kemaluannya, sebuah sabetan pedang kembali melesat cepat ke arah leher laki-laki itu.
Craasshhh…,
“Arrrkkkk…,”
Leher laki-laki yang bernama Barda itu juga langsung putus seketika, kepalanya jatuh mengelinding ke bawah. Kepala laki-laki itu meluncur bagaikan bola, lalu berhenti setelah menabrak dinding kamar.
“Kakaangngng…, Ranggaaa…,” gadis itu tiba-tiba berteriak se kencang-kencangnya.
Suaranya yang keras terdengar sampai ke luar, para anak buahnya yang sedang bertugas jaga diluar. Serentak langsung kaget, begitu mendengar teriakan pimpinannya itu. Namun yang bisa mereka lakukan, hanyalah bisa berdiam diri saja. Karena mereka juga sudah faham akan perangai pimpinannya itu. Jika mereka mendekat, atau pun menghampirinya, justru nyawa mereka sendirilah yang akan menjadi sasaran amukan gadis itu.
“Kau yang telah membuat aku jadi begini Kakang, kau jahat…, kejam…, bajingan…,” umpat Saka lintang, masih terus berteriak.
Wajahnya yang tadi di penuhi hawa amarah, kini mulai terlihat sayu. Tubuhnya yang masih telanjang bulat itu pun, jatuh tersungkur. Dengan ke dua lututnya menempel di lantai. Lalu seolah tidak perduli dengan mayat Barda, tangis gadis itu pun mulai pecah. Wajahnya menempel di pembaringan bambu, yang masih di genangi oleh darah lelaki yang telah di bunuhnya. Wajah cantik yang sedang sesenggukan itu, terlihat semakin menyeramkan, karena terlumuri oleh darah Barda.
***
Pagi itu, angin sejuk tampak bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan dan rumput-rumput hijau yang terhampar luas, masih terlihat basah oleh embun pagi. Suara kicau burung-burung yang mulai ramai keluar dari sarangnya, terdengar begitu indah. Burung-burung yang berkicauan itu, satu persatu mulai memenuhi, pohon-pohon hutan belantara. Yang udaranya masih asri, dan sejuk. Seolah menyambut datangnya sang fajar pagi. Sementara di sebuah hulu sungai, yang jernih dan bersih airnya. Terlihat seorang pemuda tampan, berusia delapan belas tahun. Tampak jongkok di tepi hulu sungai itu, sepasang tangannya terjulur rapat ke arah air sungai. Lalu meminum air sungai itu, lewat ke dua tangannya. Setelah rasa hausnya hilang, pemuda tampan berbaju rompi putih itu mulai kembali melangkahkan ke dua kakinya. Menyusuri jalan setapak, yang di bagian kiri kanannya terdapat semak-semak berduri yang amat tajam. Pemuda yang tak lain adalah Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti itu terus melangkahkan ke dua kakinya. Satu tahun terjun ke dalam rimba persilatan, mengembara dari satu desa ke desa yang lain. Membuat nama Pendekar Rajawali Sakti, semakin ramai di bicarakan orang. Kesaktian dan kegagahannya, membuat pemuda itu menjadi pendekar pilih tanding.
“Saka Lintang.” gumam pemuda tampan itu pelan.
Langkahnya tiba-tiba terhenti, wajahnya memandang lekat ke arah sebuah batu besar, yang ada di bagian tengah-tengah sungai. Ingatannya seketika langsung melayang, pada sebuah peristiwa yang pernah di alaminya setahun yang silam. Sebuah peristiwa yang hampir saja menjerumuskan dirinya, ke dalam lembah nista. Entah kenapa hati Rangga langsung merasa jijik, jika mengingat kembali peristiwa itu. Meski pun tak dapat di pungkiri, jika sesungguhnya dia pun memang sempat jatuh hati juga pada Saka Lintang. Namun sebuah kebohongan yang di lakukan gadis itu, langsung membuat rasa simpatinya sirna. Kalau saja waktu itu Saka Lintang mau berterus terang tentang dirinya, mungkin Rangga juga akan dengan senang hati, mengajaknya mengembara bersama-sama. Namun pemuda tampan itu terlanjur merasa di bohongi, hingga akhirnya Rangga pun memilih untuk meninggalkan gadis itu sendirian di Lembah Tengkorak. Agak lama pemuda itu berdiri mematung, lalu perlahan-lahan ke dua kakinya kembali melangkah pelan menyusuri hutan itu. Dengan bermacam-macam perasaan yang terus berkecamuk, menggangu pikirannya.
***