Sementara di Sungai Ular, kali ini Aki Lungkur terlihat tidak main-main lagi. Kemauan saudara seperguruannya itu dia layani dengan sungguh-sungguh. Bahkan serangan-serangan balasannya juga tidak tanggung-tanggung, mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Hingga tak terasa lima jurus telah mereka lewati, namun masing-masing belum ada yang terdesak sama sekali. Mereka berdua sudah paham betul dengan kelemahan dan kelebihan, jurus-jurus masing-masing. Sebab jurus-jurus yang mereka pergunakan itu memang beraliran sama, hanya penerapannya saja yang lain. Jika Pradya Dagma menggunakannya untuk jalan kejahatan, sedangkan Aki Lungkur menggunakannya untuk membela yang lemah dan menumpas kejahatan. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Aki Lungkur yang selalu memperdalam dan menyempumakan ilmunya, memang kelihatan lebih unggul ketika memasuki jurus yang ke seratus. Sedikit demi sedikit Pradya Dagma pun terlihat mulai kewalahan dan terdesak. Bahkan beberapa kali ujung tongkat kakek tua itu hampir menyentuh tubuhnya, namun Aki Lungkur selalu saja sengaja membelokkan arahnya. Hatinya tetap tidak mengijinkan, untuk melukai saudara seperguruannya itu. Tapi Pradya Dagma sudah tidak perduli lagi, lelaki bertubuh cebol itu malah menggunakan kesempatan itu untuk mendesak lawannya. Sehingga timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur, dengan sengaja dia biarkan dirinya terdesak. Bahkan terlihat kalau lelaki tua itu kelihatan tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Hingga pada suatu saat…,
Bughk…,
Deesss…,
“Akh…,” kakek tua itu memekik tertahan.
Sebuah tendangan keras dari Pradya Dagma berhasil menghantam dadanya dengan telak, tubuh pengemis tua itu pun terdorong dua tombak. Sepasang matanya mulai berkunang-kunang, dan dadanya juga terasa sesak. Tendangan pendeta cebol itu begitu keras, serta mengandung tenaga dalam yang hebat. Kalau bukan Aki Lungkur, mungkin dada itu telah jebol terkena tendangan hebat itu.
“Kau benar-benar menghinaku Lungkur, aku tahu kau sengaja mengalah.” sentak Pradya Dagma geram.
“Aku mengaku kalah Pradya Dagma.” kata Aki Lungkur dengan nafas tersendat-sendat.
“Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan sikapmu, ayo lawan aku.” bentak Pradya Dagma lagi.
Wesshhh…,
Tiba-tiba di depan Aki Lungkur terlihat berdiri seorang resi, seketika pengemis tua itu pun langsung menjatuhkan diri dan berlutut. Setelah dia tahu, jika yang berdiri di depannya itu adalah sukma Resi Brahespati, Mendiang Gurunya sekaligus mendiang Ayahanda Pradya Dagma.
“Ampunkan muridmu yang hina ini Resi.” ucap Aki Lungkur dengan kepala tertunduk.
Sedangkan Pradya Dagma yang melihat sikap kakek tua itu, malah kebingungan. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Aki Lungkur seperti ketakutan, bahkan sampai menyebut-nyebut nama Resi. Pradya Dagma memang tidak melihat wujud sukma Resi Brahespati, ayahandanya itu. Yang kini tengah berdiri di hadapan mereka berdua.
“Bangunlah, tidak layak kau berbuat begitu Lungkur.” Lembut dan berwibawa suara Resi Brahespati terdengar.
“Aku berusaha mengalah Resi, tapi Pradya Dagma...,” Aki Lungkur tidak melanjutkan kata-katanya.
“Dia memang benar-benar sudah murtad, aku mengijinkan kalau kau memang ingin menjatuhkan tangan padanya. Beri dia pelajaran agar Mata dan hatinya terbuka lebar.”
“Resi…,” Aki Lungkur terkejut menerima petuah yang tiba-tiba itu.
Namun ketika dia ingin melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba wujud sukma Resi Brahespati telah lenyap dari pandangan. Kini yang berdiri di hadapannya hanyalah Pradya Dagma. Masih terngiang-ngiang kata-kata gurunya tadi. Rasanya memang masih terasa berat untuk menjatukan tangan kepada Pradya Dagma. Namun dengan segera Aki Lungkur pun mulai memantapkan hatinya, untuk memberi pelajaran kepada saudara seperguruannya yang murtad itu. Belum juga Aki Lungkur bersiap-siap, Pradya Dagma sudah kembali menyerang dirinya dengan jurus-jurusnya. Terpaksa Aki Lungkur harus jatuh bangun, menghindari serangan beruntun itu. Ketika posisinya menguntungkan, kakek tua itu mulai segera membalas tanpa memberi ampun lagi. Pradya Dagma yang setingkat di bawah Aki Lungkur pun, mulai kembali terdesak. Sementara kata-kata Resi Brahespati tadi, terus terngiang- ngiang di telinga Aki Lungkur. Hal inilah yang membuat pengemis tua itu, tidak memberi kesempatan kepada Pradya Dagma untuk membalas. Hingga pada suatu kesempatan yang baik, dengan cepat pukulan Aki Lungkur pun bersarang di dada pendeta murtad itu. Lalu di susul dengan tendangan keras yang juga ikut mendarat di dada lawannya.
Bughk…,
Deesss…,
“Ugh…,”
Tubuh Pendeta Murtad itu pun terdorong sejauh tiga tombak, dan dari sudut bibirnya mulai keluar darah segar.
“Demi Resi Brahespati, minta ampunlah kau pada ayahandamu.” kata Aki Lungkur lantang.
“Setan, jangan sebut-sebut nama Ayahandaku. Dia sudah tenang di alam sana.” dengus Pradya Dagma sambil menyeka darah yang terusmengalir di sudut bibirnya.
Setelah berkata demikian, pendeta murtad itu kembali menyerang membabi buta. Aki Lungkur pun tidak segan-segan lagi melayaninya. Tongkatnya kini terlihat berkelebat cepat, hingga...,
Creebbb…,
“Aaaakh…,”
Jeritan panjang dan melengking terdengar menyayat telinga, tepat di saat Aki Lungkur mencabut tongkatnya yang menembus dada pendeta murtad itu. Tubuh Pradya Dagma pun ambruk, dengan darah muncrat dari dadanya yang bolong. Aki Lungkur yang melihat hal itu, dengan cepatnya langsung menghampiri dan merangkul tubuh gemuk itu.
“Dagma…,” suara Aki Lungkur bergetar.
Sedangkan Pradya Dagma hanya terlihat tersenyum, namun deru napasnya tampak tersendat-sendat. Di barengi dengan darah yang semakin banyak keluar.
“Aku senang bisa mati di tangan tokoh sakti sepertimu Lungkur.” lemah dan tersendat-sendat suara Pradya Dagma terdengar.
“Dagma..., kau harus hidup. Kita akan bersama-sama lagi saudaraku.” hibur Aki Lungkur.
“Tidak, Lungkur. Aku puas. Kini keinginanku tercapai sudah. Terima kasih, kau mau memenuhi keinginanku.”
Kakek tua bernama Aki Lungkur itu masih tidak mengerti, mengapa Pradya Dagma menginginkan mati di tangannya.
“Aku sudah berjanji pada Komala, hanya kaulah yang boleh membunuhku.”
“Dagma, kau bicara apa?.” Aki Lungkur makin tidak mengerti.
Namun di saat itu juga ingatannya menerawang, mundur puluhan tahun yang silam. Waktu itu mereka masih sama-sama muda, dan tinggal di padepokan Resi Brahespati. Di desa dekat padepokan itu tinggallah seorang gadis bernama Komala. Dia cantik dan juga merupakan kembang desa itu. Ternyata Komala juga membuka hatinya pada seorang pemuda bernama Lungkur. Hubungan mereka berdua pun, telah di restui oleh Resi Brahespati. Dan ke duanya juga telah merencanakan, untuk memasuki jenjang perkawinan. Tetapi sebelum hari bahagia itu di langsungkan, seluruh desa dan padepokan di buat geger. Komala kedapatan mati dengan leher tertembus pisau. Dan sejak itu pulalah, Lungkur pun tidak ada niat lagi mendekati wanita. Hingga tua dia tidak pernah menikah.
“Aku merasa iri karena Komala menjatuhkan pilihan kepadamu. Malam itu, sehari sebelum pernikahanmu dengan Komala, aku menyelinap ke kamarnya. Aku telah memperkosa dan membunuhnya, Lungkur. Bahkan di depan mayatnya aku berjanji, hanya tanganmulah yang bisa membunuhku. Kini keinginanku menebus dosa pada Komala terlaksana sudah, Lungkur.” ucap Pradya Dagma menjelaskan.
Sementara Aki Lungkur hanya terlihat tertunduk saja, dia tak tahu harus bagaimana lagi. Peristiwa itu sudah lama terjadi, bahkan juga sudah hampir di lupakannya. Tapi kini, peristiwa itu seperti membayang kembali, seolah baru saja terjadi.
“Semula aku hanya ingin memperkosa saja Lungkur, aku ingin membuatmu kecewa dan sakit hati. Aku tidak sengaja membunuhnya, Sungguh. Dia mengambil pisau, dan aku berusaha mencegahnya. Tapi perbuatanku itu justru malah menghilangkan nyawanya. Seharusnya malam itu ku biarkan saja dia membunuhku.” Pradya Dagma meneruskan ceritanya, setitik air bening mulai menggulir di pipi Aki Lungkur.
“Maafkan aku, Lungkur. Hatiku akan tenang jika kau mau memaafkan aku.” kata Pradya Dagma lagi.
“Sudah sejak lama aku selalu memaafkanmu, saudaraku.” sahut Aki Lungkur pelan, kakek tua itu tidak tahu lagi harus berkata apa.
“Terima kasih saudaraku.”
Pradya Dagma pun menutup mata dengan tenang, setelah mengucapkan kata maaf dan terima kasih. Bibirnya menyunggingkan senyum hangat, karena keinginannya telah terkabul. Menerima kenyataan itu, Aki Lungkur pun benar-benar merasa sedih. Dia baru sadar kalau perbuatan Pradya Dagma tadi, hanyalah untuk memancing kemarahannya agar dapat membunuhnya. Kalau saja hal itu dia ketahui sejak dulu, mungkin dia pun akan segera membunuh adik seperguruannya itu, agar kesengsaraan hidupnya tidak berlarut-larut. Tidak ada yang tahu kalau seluruh perbuatan Pradya Dagma hanyalah pancingan, agar Aki Lungkur dapat membunuhnya. Ternyata di balik hatinya yang keji, masih tersimpan sedikit jiwa ksatria. Teguh pada janji dan pendiriannya Hanya sayangnya, sikap Pradya Dagma berada di jalan yang salah.
Bersambung