Part 3
Beberapa hari Setelah menemukan foto PSK di HP suaminya, Sovi memutuskan untuk mencoba ganti penampilan jadi lebih seksi supaya suaminya, Bram, tak lagi perlu jajan. Setelah percobaan pertama, Sovi mulai rutin mengubah penampilannya demi Bram, tapi dia masih belum terbiasa.
Suatu hari, ketika Bram pulang diantarkan rekan-rekan kerjanya Sovi bertengkar dengan suaminya, Bram, setelah menemukan foto PSK di HP Bram. Atas saran Citra kakak iparnya, Sovi mencoba mengubah penampilannya menjadi seperti yang disukai Bram… menjadi lebih seksi dan binal. Rupanya cara itu berhasil. Sepertinya kehidupan Sovi dan Bram akan berubah…
Tapi kalau segalanya berjalan lancar-lancar saja, kurang seru ‘kan?
*****
Sudah dua minggu berlalu sejak Sovi pertama kali mencoba berdandan sensual untuk suaminya. Sudah beberapa kali juga mereka coba mengulang role-playing. Awalnya Bram memang suka. Tapi setelah yang ketiga-empat kali, Bram menyadari bahwa Sovi masih takut-takut menjalani perannya. Tidak heran. Mustahil mengubah sifat ‘anak baik’ Sovi yang sudah berakar sejak kecil.
Sovi tidak punya pengalaman berperilaku genit dan nakal seperti pelacur-pelacur langganan Bram. Itu bikin Bram agak kecewa. Selain itu, setelah pengalaman pertamanya di-anal oleh Bram, Sovi kapok. Sakit, katanya; dia merasa nyeri selama sehari sesudahnya. Padahal Bram ingin melakukannya lagi. Itu bikin Bram tambah kecewa.
Tapi Sovi belum tahu tentang kekecewaan Bram. Dia sendiri mengira Bram sudah puas, karena dia merasakan sendiri bahwa Bram makin bergairah. Sovi pun jadi jauh lebih sering terpuaskan. Buat Sovi, rumahtangga mereka berdua terasa semakin mesra. Sovi tidak keberatan biarpun harus tambah repot demi Bram.
*****
Suatu malam…
Menjelang tengah malam di rumah Bram dan Sovi. Bram belum pulang; tapi sore sebelumnya dia sudah mengontak Sovi, meminta Sovi ‘bersiap-siap’. Sovi tahu apa artinya itu, jadi sebelumnya Sovi mampir ke salon milik Citra dulu. Citra yang sebelumnya sudah janji mau terus membantu Sovi dengan senang hati merias Sovi. Persis seperti pertama kali. Sovi kembali menunggu Bram dengan sabar di rumah.
Malam itu Sovi memilih mengenakan gaun tidur sutra tipis pendek berwarna hijau, tanpa bra. Sovi mendengar bunyi mobil masuk garasi. Lalu suara langkah orang mendekati pintu. Suaminya tersayang sudah datang…Pintu terbuka.
“Puuunten.”
Ternyata bukan cuma Bram yang datang. Sovi tertegun melihat empat orang yang ada di depan pintunya. Bram ada, tapi dalam keadaan tak sadar dan dipapah dua orang. Sedangkan yang memberi salam dalam bahasa daerah tadi adalah seorang laki-laki tua botak berperut buncit.
“Mang Enjup?” tanya Sovi.
“Euleuh-euleuh, Neng Sovi… Apa kabar? Ini, tadi kita habis ketemu klien, si Aden Bram kebanyakan minum, sampai mabuk berat terusnya ketiduran,” jawab si laki-laki tua.
Laki-laki tua itu nyengir memperlihatkan sebaris gigi menguning. Namanya Jupri, tapi Sovi mengenalnya sebagai “Mang Enjup”, orang sekampung orangtuanya yang sudah bekerja untuk orangtuanya sejak awal mereka memulai usaha.
Mang Enjup awalnya pesuruh, tapi lama-lama bapak Sovi mendapati bahwa bawahannya itu pintar membujuk dan meyakinkan orang, sehingga karier Mang Enjup pun lancar sebagai juru runding perusahaan. Di perusahaan keluarga mereka, Mang Enjup kini menempati jabatan manajer; Bram ditempatkan sebagai bawahannya, dengan harapan bisa menyerap ilmu Mang Enjup untuk kariernya kelak di posisi lebih tinggi. Maka itu Bram sering mendampingi Mang Enjup, menemui rekan bisnis dan ikut bernegosiasi.
“Baik, Mang. Aduh, maaf kalo Bram ngerepotin Mang. Ayo, masuk dulu.”
Mang Enjup kenal baik dengan keluarga Sovi dan Bram sejak lama, sejak keduanya masih kecil. Waktu kecil, Sovi senang bermain-main dengan Mang Enjup yang lucu dan suka menggendong-gendongnya. Tapi setelah Sovi agak besar, orangtuanya sempat melarang dia bermain dengan Mang Enjup.
Waktu itu Sovi sedih, tapi tak lama kemudian dia lupa karena sudah akrab dengan teman-teman sekolahnya. Mang Enjup sendiri tak pernah jauh dari Sovi karena dia terus bekerja sebagai bawahan orangtua Sovi. Bram yang ketiduran dipapah oleh dua orang bawahan Mang Enjup: asistennya, Bonang, dan supir merangkap pengawalnya, Bondan.
Bonang bertubuh sedang, berkulit gelap dengan muka jerawatan. Biarpun pekerjaannya kantoran, tapi Bonang lebih sering berpenampilan urakan. Rambutnya yang agak gondrong dicat kemerahan, walaupun dia tidak jadi tambah keren karenanya.
Dia keponakan Mang Enjup yang sebelumnya nganggur dan disuruh ikut pamannya supaya belajar kerja, tapi sebenarnya dia tidak punya keahlian selain menghabiskan duit. Sementara Bondan mantan prajurit yang dipecat karena indisipliner, dan selanjutnya bekerja sebagai bodyguard plus supir Mang Enjup.
Penampilannya masih khas tentara dengan rambut cepak dan badan berotot—ditambah bekas luka sabetan pisau di pipi kirinya, peninggalan perkelahian dengan sesama prajurit yang membuat dia dipecat.
Bondan dan Bonang membawa Bram ke dekat sofa, lalu pelan-pelan menaruh Bram di sofa. Sovi mencoba membangunkan Bram, tapi suaminya itu malah ngorok keras, menyemburkan hawa beralkohol dari mulutnya.
“Mas Bram, kubilang juga apa, Mas tuh nggak kuat minum…” kata Sovi kepada Bram yang tentu saja tidak menjawab. Sovi menyadari Bram bakal tertidur sampai besok pagi, jadi dia beralih ke tamu-tamunya.
Tanpa dipersilakan, Mang Enjup sudah duduk di salah satu kursi tamu. Dia menghela nafas lega ketika bisa mendesakkan pantatnya yang besar di sofa.
“Mau minum dulu, Mang?” sapa Sovi, berbasa-basi.
“Jangan repot-repot, Neng. Mamang juga sebentar lagi pulang. Udah malam.”
“Nggak apa-apa, Mang, sebentar aja Sovi bikinin. Kopi?”
“Boleh, boleh.”
Sovi tersenyum, lalu meninggalkan ruang tamu. Mang Enjup memperhatikan Sovi dengan penuh minat. Salah satu penyebab orangtua Sovi dulu sempat melarang Sovi terlalu dekat dengan pegawai mereka itu, adalah karena mereka tahu sifat Mang Enjup yang ‘cunihin’.
Mereka takut Sovi jadi mangsa kebiasaan buruk Mang Enjup yang suka bergenit-genit dengan perempuan.
Di satu sisi, gaya bergaul Mang Enjup yang supel dan cepat akrab sangat memudahkan dia malang-melintang di ajang bisnis. Di sisi lain, sifat itu juga membuat Mang Enjup bereputasi agak jelek di perusahaan. Sudah agak lama Mang Enjup tidak bertemu Sovi, walaupun Bram sudah jadi bawahannya cukup lama.
Mang Enjup juga biasanya mengenal Sovi yang berpenampilan sederhana, polos, dan baik-baik. Jadi, ketika yang membuka pintu rumah Bram tadi adalah perempuan bermake-up tebal dengan baju seksi, Mang Enjup sempat heran sebelum menyadari bahwa itu Sovi.
Rasa penasarannya berlanjut. Selain itu…Sovi kembali dari dapur membawa tiga cangkir kopi di atas nampan untuk tamu-tamunya. Mang Enjup memperhatikan anak bosnya itu. Hampir tumpah liurnya melihat bentuk tubuh Sovi yang samar-samar terlihat di balik gaun malam sutra yang dipakai Sovi.
Matanya tak melewatkan kesempatan mengintip belahan dada Sovi ketika Sovi membungkuk untuk menaruh cangkir kopi di depannya. Sovi lalu duduk menemani Mang Enjup, mengobrol ringan mengenai Bram dan perusahaan. Mang Enjup tidak henti-hentinya memuji-muji orangtua Sovi dan Bram yang berhasil mengembangkan bisnis bersama menjadi cukup maju.
“Omong-omong,” celetuk Mang Enjup sambil tersenyum lebar, memandangi wajah Sovi,
“meni geulis pisan Neng Sovi ini malam. Apa baru pulang dari kondangan?”
“Ah, si Mang bisa aja,” Sovi tersipu,
“Enggak ada apa-apa, Mang, ini sih… buat suami aja.” Mukanya memerah.
“Euleuh-euleuh…. Buat si Aden? Baguuusss… Itu baru namanyah istri yang baik, mau dandan secantik-cantiknya buat suami. Jangan kayak si Kokom sama si Lilis, boro-boro mau dandan buat Mang, kerjanya di rumah cuma molor sama ngomel.” Kokom dan Lilis adalah istri tua dan istri muda Mang Enjup, keduanya tinggal di kota asalnya, di rumah yang berbeda.
Mang Enjup sendiri tidak memperhatikan istri-istrinya karena dia sendiri punya banyak selingkuhan: karyawati bawahannya, klien, rekanan, dan lain-lain. Tapi begitu dia melihat Sovi, anak bosnya yang sudah dia kenal sejak kecil, yang sedang berpenampilan seksi ‘demi suami’, semua perempuan itu tersingkir dari kepala Mang Enjup.
Bukan tanpa alasan dulu dia berakrab-akrab dengan Sovi kecil. Sovi sudah diincarnya sejak lama. Tapi lalu Sovi menikah dengan Bram. Biar begitu, Mang Enjup orang yang tidak suka melewatkan kesempatan. Bram sedang teler. Sovi ada di depannya…
“Ah, tapi si Aden ketiduran gitu, Neng? Kasihan, sudah dandan cantik-cantik, eeh malah ditinggal tidur. Kumaha atuh, Neng?” sindir Mang Enjup, sambil terus memperhatikan wajah Sovi.
Sovi melengos.
“Yah… ya udah, nggak pa-pa, tinggal cuci muka terus tidur.”
Mang Enjup bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah Sovi. Sovi tidak beranjak. Dia merasa tidak perlu bereaksi. Mang Enjup duduk di sofa, di samping Sovi; lengannya merangkul pundak Sovi.
“Sayang atuh. Gimana kalau sama Mang saja?” Sovi tidak mampu menolak kata-kata Mang Enjup.
Selain keluwesannya dalam bergaul, yang membuat Mang Enjup sangat hebat dalam mempengaruhi orang juga adalah semacam aji-ajian ilmu gendam yang dikuasainya.
Ilmu itu mirip dengan hipnotis tingkat tinggi. Kalau sudah bisa menguasai pandangan dan perhaSovin sasarannya, Mang Enjup bisa membuat pertahanan mental sasarannya runtuh dengan menghilangkan rasa curiga dan tak percaya.
Selanjutnya, sasaran ilmunya akan menurut saja kepada semua kata Mang Enjup. Biasanya Mang Enjup baru akan menggunakan gendam kalau cara biasa sudah buntu, dan hanya untuk kasus-kasus yang “harus menang”.
Itu untuk pekerjaan utamanya sebagai negosiator, dan dia jarang sekali harus perlu melakukannya; Mang Enjup cukup jago bersilat lidah dan melobi, sehingga dengan mengajak klien atau rekanan pelesir ke tempat hiburan, dan membayari ongkos makan + minum + cewek, urusan bisa beres.
Tapi untuk urusan pribadi, Mang Enjup tidak segan-segan menggunakan ilmu gendamnya. Apalagi untuk yang satu ini. Ketika perempuan yang dia incar bertahun-tahun sudah di depan mata. Sejak Sovi membawakan kopi, Mang Enjup sudah melancarkan serangan.
Sambil ngobrol, dia terus memandangi mata Sovi, menguasai perhaSovin dan mengendorkan konsentrasi Sovi. Ketika tadi dia bangun dan pindah duduk ke sebelah Sovi, Sovi sudah jatuh ke tangannya, makanya Sovi tidak bergerak.
Kesadaran Sovi sudah digenggam Mang Enjup. Sekarang Sovi ada dalam rangkulan Mang Enjup, tatapannya kosong. Mang Enjup tersenyum penuh kemenangan. Kedua bawahannya, Bonang dan Bondan, duduk diam sambil menyeruput kopi masing-masing, tidak berani berbuat apapun.
“Heheheheheh,” Mang Enjup terkekeh. Tangannya mulai beraksi mengelus-elus leher Sovi, bahu Sovi, terus ke pinggang dan paha.
Mang Enjup tersenyum lebar ketika menyadari Sovi tidak pakai celana dalam. Sebelumnya, dia sudah melihat bahwa Sovi tidak memakai beha ketika mengintip belahan dada Sovi yang tampak waktu Sovi menyuguhkan kopi tadi.
Sungguh senang dia melihat Sovi kecil yang dulu digendong-gendong dan dipangku-pangkunya (dengan niat tersembunyi, tentunya) sekarang tumbuh jadi perempuan cantik yang bertubuh lumayan bagus, dan entah kenapa, gaya berdandannya di rumah mirip kupu-kupu malam.
“Sovi. Bisa jawab pertanyaan Mamang?” kata Mang Enjup sambil mengelus-elus paha Sovi.
“Bisa,” suara Sovi datar, tanpa ekspresi.
“Sedang apa kamu tadi, Sovi?”
“Aku nunggu Mas Bram pulang.”
“Kamu pakai apa sekarang, Sovi?”
“Sekarang aku cuma pakai gaun malam pendek, yang dulu dibelikan Mas Bram.”
“Terus apa lagi?”
“Nggak pakai apa-apa lagi.”
“Kamu pakai beha? Celana dalam?”
“Nggak. Aku nggak pakai beha, nggak pakai celana dalam…”
“Begitu. Terus. Ada apa dengan mukamu?”
“Tadi aku ke salon Kak Citra. Minta didandani seperti kemarin-kemarin.”
“Didandani… seperti gimana, Sovi?”
“Yang lengkap… tebal, menor, seperti dandanan Kak Citra.”
Mang Enjup juga ingat Citra. Dia tersenyum sendiri mengingat-ingat masa lalu. Kemudian dia melanjutkan interogasi. Sekarang satu tangannya mulai menjamah ke balik gaun tipis Sovi. Ditemukannya kemaluan Sovi, dan mulailah dia mengelus-elus bagian luarnya.
“Coba lihat mukamu Sovi… bedak tebal, lipstik merah… bajumu juga seperti itu. Kenapa kamu dandan seperti ini, Sovi?”
“Buat Mas Bram…”
“Kenapa?” Mang Enjup menemukan klitoris Sovi dan mulai menjepit-jepitnya di sela jari. Sovi mendesah tertahan.
“Hahh… karena… saran Kak Citra. Aku mesti jadi seperti yang Bram suka, katanya.”
“Bram suka yang seperti ini? Apa dia minta?”
“Tidak… tapi aku lihat foto-foto di HP-nya… foto wanita panggilan… dandanan mereka seperti itu… ehh… ah…” Mang Enjup menjolokkan satu jarinya ke celah kewanitaan Sovi. Sementara itu, Mang Enjup juga menjilati tengkuk Sovi, sehingga Sovi mulai terangsang.
“Terus gimana Sovi… Bram suka?”
“Bram suka…”
“Kamu sendiri?”
Sovi terdiam, tidak menjawab. Mang Enjup sekarang sudah memasukkan dua jarinya, dan mulai mengobel vagina Sovi, sambil mencubit-cubit klitoris Sovi. Daerah yang dijelajahi jari Mang Enjup mulai terasa basah.
“Ayo jawab Sovi… Jawab yang jujur.”
“Aku… ah!” Sovi mengerang sedikit setelah Mang Enjup mencubit itilnya agak keras, lalu melanjutkan,
“…malu…”
“Kenapa malu, Sovi?”
“Malu… soalnya harus berpakaian dan berdandan seperti ini… Seperti pelacur yang jual diri… nggak biasa… rasanya bukan seperti aku… aku bukan perempuan murahan…”
Mang Enjup terus menggerayangi tubuh Sovi, meremas payudara Sovi, menjilati tengkuk Sovi. Sovi tersandar tak berdaya pada badan Mang Enjup, matanya kosong, bibirnya terus mengeluarkan erangan dan desahan kenikmatan. Dari pengakuan Sovi, Mang Enjup tahu apa alasan dia bergaya seperti pelacur. Muncul satu ide di kepala Mang Enjup.
“Kenapa harus malu, Sovi?”
“Soalnya…”
“Dengar kata-kata Mang sesudah ini, Sovi. Dengar dan ikuti untuk seterusnya. Ngerti?”
“Mengerti…”
“Kamu tahu seperti apa penampilanmu sekarang, Sovi?”
“Tahu…”
“Seperti apa?”
“Seperti pelacur… seperti perempuan murahan…”
“Tapi kamu nggak suka, kan?”
“Iya… aku nggak suka… tapi demi Bram.”
“Salah, Sovi.”
“Salah…?”
“Kamu salah, Sovi. Kamu sebenarnya diam-diam suka berpenampilan seperti itu. Kamu sebenarnya suka berdandan secantik-cantiknya, seseksi-seksinya. Iya kan, Sovi?”
“Iya…”
Mang Enjup nyengir. Lebar sekali. Lalu dia melanjutkan membisikkan sugestinya ke telinga Sovi.
“Kamu harus sadar, Sovi. Kamu harus sadar kamu itu seksi, dan diam-diam kamu mau dikagumi. Iya kan, Sovi?”
“Iya…”
“Mulai sekarang, kamu suka berdandan seksi. Ulangi.”
“Mulai sekarang, aku suka berdandan seksi.”
“Mulai sekarang, kamu ingin menggoda semua laki-laki. Ulangi.”
“Mulai sekarang, aku ingin menggoda semua laki-laki.”
“Bagus, Sovi. Jangan pernah lupa yang kamu bilang tadi. Ngerti?”
“Mengerti.”
Mang Enjup menengok ke arah Bram yang masih ngorok di atas sofa, dan tidak tahu kehidupan istrinya sedang diubah untuk seterusnya. Sambil terus menjamah seluruh tubuh Sovi, Mang Enjup membisikkan berbagai sugesti ke telinga Sovi. Sementara itu, sentuhan demi sentuhan Mang Enjup membuat tubuh Sovi makin tak mampu menahan gelora nafsu.
“Ahh… ah… ah! Ahnggg!!”
Terdengar erangan panjang Sovi, mengiringi orgasme pertamanya malam itu di tangan Mang Enjup.
“Bagaimana rasanya yang tadi Sovi?”
“Hahh… enak sekali Mang…”
“Sekarang giliran kamu bikin enak Mang. Ayo sini Sovi, Mang pangku.”
Sovi menurut, berdiri, lalu duduk di pangkuan Mang Enjup. Bokongnya bersandar di perut gendut Mang Enjup. Burung Mang Enjup yang mengeras di balik celana tergencet belahan pantat Sovi. Mang Enjup menyibak rambut panjang Sovi ke depan, sehingga lidahnya tak terhalang ketika menjelajahi punggung Sovi.
Kedua tangannya memegang pinggang Sovi dan menggerak-gerakkan tubuh Sovi maju-mundur, sehingga bokong Sovi jadi mengelus-elus ereksinya. Lalu Mang Enjup menggeser Sovi ke depan supaya dia bisa membuka resleting celana, membebaskan kejantanannya.
Penis Mang Enjup tak terlalu besar dan nyaris tenggelam di bawah perutnya yang gendut, tapi sekarang tegak dan keras setelah menikmati sentuhan bokong Sovi.
Mang Enjup merogoh ke arah kemaluan Sovi, merangsang vagina Sovi lagi. Sovi mulai keenakan, dan menyandarkan diri ke perut dan dada Mang Enjup; Mang Enjup terus menjilati dan menggigiti telinga, tengkuk, dan pundak Sovi.
Mang Enjup tersenyum jahat. Sovi, anak bosnya, yang sudah diincarnya sejak kecil, sekarang sudah ada di tangannya. Dulu, ketika memangku Sovi yang masih anak-anak, dia sudah membayangkan memerawani Sovi, merebut kehormatan gadis kecil yang dipangkunya, membuat Sovi jadi wanita dewasa.
Tentu saja, Sovi kecil belum tahu bahwa Mang Enjup yang ramah dan lucu itu selalu konak bila memangku atau menggendongnya. Sekarang, Sovi yang sudah besar, sudah bahenol, kembali ada di pangkuannya. Setelah bertahun-tahun menunggu dan berencana. Sayang Bram sudah menduluinya membobol keperawanan Sovi. Tapi yang penting sekarang Sovi sudah di tangannya…
“Nah, Neng Sovi, sekarang Mang mau masuk…”
Setelah merentangkan kedua paha Sovi, Mang Enjup mendorong kepala burungnya masuk ke vagina Sovi. Sovi meringis sedikit; Mang Enjup sendiri langsung kelabakan, tidak siap menghadapi ketatnya himpitan dinding dalam vagina Sovi.
“Addeuhhh… Neng! Sempit amat inih!”
Mang Enjup amat puas, bisa melakukan sesuatu yang sudah diimpikannya bertahun-tahun. Dia tak buang-buang waktu dengan segera menggenjot Sovi. Tapi sayang, fisiknya yang sudah tua tak mendukung…
“Uuuh… !! Anjing siah!“
*BERSAMBUNG.......