Chapter 19 — Life's Full of Surprise
"Pagiku cerah, matahari bersinar. Kugendong tas merahku, di pundak. Selamat pagi semua, kunantikan dirimu. Di depan kelasmu, menantikan kami."
Hngg... lanjutan liriknya apa, ya? Duh, aku lupa. Terakhir nyanyi lagu itu waktu masih SMP, soalnya. Aku bahkan ga kenal siapa yang nyanyi, dan pembuatnya juga. Pokoknya taunya gara-gara lagu itu banyak yang pakai untuk konten Tiktok, terus karena sering dengerin jadinya suka keputer tiba-tiba di otak.
Tapi lagu yang aku nyanyiin ini memang beneran mewakili suasana hatiku sekarang. Maksudku, rasain deh. Cuaca pagi ini cerah banget, udaranya segar, matahari masih malu-malu mau naik, jalanan ga macet dan karenanya, baru jam enam kurang tapi aku sudah tiba di sekolah.
Karena bisa datang lebih pagi, aku jadi punya waktu lebih. Segera kutuju kantin. Tuh, kan... kalau sepagi ini, masakan yang dijual juga masih fresh dan hangat. Lebih banyak pilihannya juga. Makanya, kuambil kotak bekal dari dalam ransel merah bataku, lalu kuisi kotak bekalnya dengan berbagai macam makanan. Nah, bekal makan siang sudah aman, deh.
"Kamu kenapa kayaknya puas banget bisa ngeborong risoles sama pastel Bu Retno?" tanya seseorang, tiba-tiba. Kok aku kayak kenal sama suaranya, ya?
Spontan aku balik badan. Ada Bu Siska sedang berdiri sambil melipat kedua tangan. Aduh, mataku langsung otomatis mengarah ke dadanya yang membusung. Refleksku ternyata bagus, kelakuanku yang jelek. "Eh, ada kam—maksudnya, Bu Siska, ehe. Nnggg... biasanya tiap mau beli udah abis, Bu. Jadi mumpung masih ada banyak, aku borong aja," jawabku.
Bu Siska pun mengangguk tanda mengerti. Dia pasti paham perasaanku yang ga mau kehilangan gorengannya Bu Retno, karena memang seenak itu. Bu Retno ini terkenal spesialis risoles, pastel, dan combro di kantin. Kalau sudah mulai jualan, pasti ga lama langsung habis. Laku berat.
"Dea, ada yang mau Ibu omongin. Kamu ada waktu pulang sekolah nanti?" tanyanya, lagi.
"Ada, kok, Bu. Mau ke rumah?" Tapi, aku langsung ragu akan omonganku barusan. Kok aku merasa seperti ngelupain sesuatu yang penting, ya?
"Gimana kalo kita ngemall aja? Ibu mau belanja tas, sekalian kita ke kafe, mau?"
Eh? Eeeeehhh? Jalan bareng, nih? Apakah ini yang namanya kencaaaaan?
"WAH, MA—" aku spontan langsung berhenti ngomong karena baru ingat sesuatu. BARU INGET, KAN AKU ADA JANJI BELAJAR BARENG SAMA FREDDY SETIAP HARI SEPULANG SEKOLAH MULAI HARI INI! "E-eh, Bu... maaf, ga jadi, ga bisa sore ini. Aku udah ada janji duluan," balasku, meralat omonganku sebelumnya.
"Janji?" Ah... muka ramah Bu Siska seketika berubah jutek. "Janji sama siapa? Penting emangnya?"
"Sa-sama... Freddy, Bu."
"Ngapain?" tanya dia lagi. Nadanya makin ketus.
"Belajar... bareng?"
Eh, dia tambah ketus, dong. "Kok kayak ragu gitu jawabnya?"
"Abisnya Ibu jutekin aku. Kan akunya jadi takut," balasku. Langsung saja aku kombinasiin nada bicara memelasku dengan tatapan mengiba, tertuju lurus ke matanya. Biasanya, cara ini ampuh bikin Bu Siska melunak.
"E-eh, maaf, maaf. Ibu ga sengaja. Maaf bikin kamu takut, ya, soalnya," Bu Siska memantau keadaan sekitar dulu, sebelum deketin aku dan berbisik pelan, "Aku cemburu, Dea. Kamu bisa punya waktu sama orang lain, tapi sama aku engga. Maafin, ya? I love you."
Ga bisa berkata-kata aku, tuh, kalau sudah diucapin "i love you" sama Bu Siska. Kalau begini, yang akhirnya luluh jadinya siapa, coba?
"Iya, Bu, ga apa-apa," aku berdehem, berusaha keluar dari situasi yang bikin salting, "Makanya kalem dulu, aku mau jelasin. Jadi gini..."
Lalu, aku pun jelasin rencana kegiatan belajar barengku dengan Freddy. Karena aku maunya ini belajar bareng yang intensif, jadi aku kasih pengertian ke Bu Siska kalau aku akan belajar bareng sampai ujian semester. Tentu saja, aku ga kasih tau detilnya. Bu Siska bisa ngamuk kalau aku ngadu bahwa aku diancam sama teman sekelasku sendiri dan sebagai gantinya, aku harus sengaja bikin nilaiku ga lebih tinggi darinya.
Untungnya, aku masih setia kawan. Hey, si nomor dua, you owe me one!
"Iya, ya. Harusnya Ibu lebih ngertiin kebutuhan kamu." Bu Siska pun pegang kedua pundakku. "Yaudah, Ibu dukung. Tapi... asal jangan di rumah kamu belajar barengnya."
"Ih, kenapa gitu, Bu?"
"Kamu masih nanya?" tanya balik dia, nadanya berubah ketus lagi, loh.
Aku cuma ketawa, lalu mengangguk tanda mengiyakan ucapannya. Aku sih sebenarnya tau alasannya ngelarang belajar bareng Freddy di rumahku, cuma pura-pura ga tau saja. Bu Siska ini gampang cemburu, jadi asik banget kalau digodain pakai hal-hal yang bikin dia panas.
"Ngomong-ngomong, Dea, kamu kenapa seharian kemarin ga ada kabar? Baru ngabarin Ibu aja tadi subuh. Kamu kenapa? Lagi ga enak badan kemarin?"
Ah... itu... gimana jawabnya, ya? "Iya, Bu. Kayaknya aku kecapean, jadi pulang sekolah langsung tidur seharian. Aku lupa jelasin dichat tadi, ya? Maaf ya, bikin Ibu khawatir."
"Engga apa-apa, sih. Ibu cuma kepikiran aja," lalu, Bu Siska pun undur diri, sambil melambaikan tangan ke aku, "Ibu mau ke ruang guru dulu, ya. Selamat sarapan, Dea."
"Dadaaah, Say—Bu Siska!" ucapku. Yang diucapin sempat melotot saat aku hampir keceplosan bilang panggilan spesialku ke dia.
Sepeninggal Bu Siska, aku langsung duduk sambil makan risoles, juga diisi dengan evaluasi diri. Aku cukup kaget dengan kemampuan berbohongku yang semakin terlatih dan taktis, saat menjawab pertanyaan Bu Siska soal aku yang ga ada kabar kemarin. Dulu, aku ga pernah bohong. Abi dan Umi selalu ajarin aku untuk ngomong jujur, atau jika kontennya berpotensi bikin sakit hati, diutamakan diam. Setelah aku jadi 'kotor' dan berpasrah diri dengannya, aku jadi pintar bohong. Seakan itu adalah bakat terpendam yang butuh pancingan tertentu untuk bangkit.
Tentu saja aku beneran kecapean, tapi aku bohong soal tidur seharian. Yang bener tuh, aku ngentot seharian. Meski sama Pak Jumadi cuma sebentar, tapi karena efek euforia pertama kali dianal dan malah enak, juga efek obat perangsang yang kuminum sebotol penuh, bikin aku jadi ga kontrol dan berakhir ngentot dengan tukang siomay.
Sejujurnya, aku kaget sama stamina si... duh, aku lupa namanya lagi... ah, iya, inget! Namanya Bang Ari. Dia tahan lama banget, tau. Pas lagi ngentot, dia lama keluarnya, kayak, lamaaaaa banget. Sebagai perbandingan, Fah tuh cepet keluarnya, tapi bisa berkali-kali ngentotnya karena meski udah keluar tapi masih keras aja kontolnya. Kalau Pak Jumadi, meski cepet keluar juga, tapi tenaga sodokannya mantap. Nah, Bang Ari ini meski ga sekuat Pak Jumadi nyodoknya, tapi lama banget keluarnya. Aku bisa orgasme belasan kali dalam durasi satu jam, dan dia baru keluar sekali.
Meski kontolnya ga segede dan sepanjang Fah, atau segemuk Pak Jumadi, tapi kalau digenjot secara konstan dalam waktu yang lama kayak gitu, ya aku nikmatin juga. Ini bikin aku belajar, kalau stamina yang tahan lama juga berperan penting dalam menentukan enak atau engga ngentotnya. Apalagi ditambah dengan berbagai macam posisi, duh...
Oh iya, perbandingan lainnya adalah karena Bang Ari ini tahan lama, jadi bisa banget gonta-ganti gaya selama ngentot. Aku yang tadinya terbiasa dengan sesi satu posisi untuk satu kali ejakulasi, jadi seneng banget ketika ketemu yang kayak si tukang siomay itu. Aku sudah ga bisa hitung berapa kali aku orgasme cuma dengan satu posisi aja, lalu Bang Ari minta aku ganti gaya ini-itu, aku orgasme lagi, dan diulang-ulang terus sampai akhirnya dia yang ejakulasi.
Ngebahas Bang Ari, aku jadi keinget lagi sama sesi ngentot kemarin, bikin... jadi pengen lagi. Aku bahkan ga nyangka kalau aku bisa jadi seliar itu. Maksudku, aku belum pernah mengulum kontol yang basah dan licin karena bekas dipakai untuk nyodokin memekku, dan aku ngelakuin itu kemarin. Aku juga jadi punya kesempatan untuk latihan diposisi woman on top, dari yang goyangnya masih kaku sampai lancar banget dan bikin aku orgasme terus-terusan. Apalagi? Banyak. Bang Ari juga jago jilatin memekku, dia juga bisa bikin aku klimaks cuma dengan mainin tetekku, terus... dia juga sempat nganalin aku.
Sumpah, cara dia analin aku tuh enak banget! Aku bahkan sampai ketagihan, dan minta dia analin aku terus. Caranya masukin kontolnya yang lembut, tusukannya yang bertempo, kalau aku mulai mules pun dia langsung kasih jeda, uuhhh... bikin nagih banget, kan?
"Dea, lu ngelamunin apaan sampe ngiler gitu?!"
Waaaaah, aku kepergok! Aku ga tau kalau ternyata di kantin ini ada salah satu teman sekelasku, dan dia ngeliat aku ngelamun sampai ngiler, dong!
"Hah? Eh?" Aku buru-buru menyeka liurku pakai seragam. "Aku masih kebayang-bayang makanan yang aku makan kemarin. Enak banget, soalnya. Jadi ngelamunin pengen makan lagi."
"Makanan apaan? Ya kali, De, sampe ilernya netes-netes gitu."
"Foie grass?" jawabku, asal. Aku bahkan ga yakin dengan keampuhan jawabanku.
Diluar dugaan, temanku malah mengangguk-angguk. "Elit... elit... mantep banget, deh, emang. Berasa kayak Siska Kohl ya, De, makan hati angsa?" tanyanya, lengkap dengan binar mata takjub.
Aku cuma bisa ketawa ringan untuk meresponnya. Lalu, aku tawarin saja bekal gorenganku ke dia sebagai pengalih perhatian. Ga sampai dua suapan, dia sudah lupa sama perkara ngilerku.
Balik lagi ke ngomongin Bang Ari. Untungnya, aku sudah simpan nomornya. Jadi kalau lagi mau yang long run, aku bisa chat dia. Aduh... kalau begini, rasanya aku jadi makin mirip cewek gatel yang cuma peduli akan hasratnya sendiri. Makin kesini, makin hilang gengsiku.
Tapi, yaudahlah... hidup cuma sekali, karenanya, harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan tanpa terhalang gengsi, kan?
———
Sepulang sekolah, aku bergegas pergi ke McD Cinere. Aku dan Freddy memang sepakat untuk ketemu di sana. Tadinya, aku mau ajak dia belajar bareng di rumahnya saja, tapi dia nolak. Malu, katanya. Dia ga pernah bawa teman sekolahnya main ke rumah, apalagi cewek, tambahnya lagi.
Akhirnya, diputusin kalau belajarnya di McD saja, sambil makan siang yang sudah kesorean ini. Iya, kayaknya aku juga kepengen spicy chickennya. Sudah lama juga lambungku ga dikasih junk food.
Karena dari sekolahku ke tempat tujuan cuma butuh satu kali naik angkot, jadi aku mutusin untuk jalan saja ke pertigaan Pondok Labu, tempat angkot ngetem. Ah, sudah lama juga aku ga naik angkot. Grogi ga, ya, nantinya?
"Dea!" teriak seseorang kepadaku, "De, tungguin dulu!"
Aku langsung nengok ke belakang. Laras lagi lari-lari kecil, mengejarku. Dari pandanganku, tampak teteknya yang tercetak pada seragam ketatnya itu sedang berguncang-guncang indah tiap kali kakinya menapak bergantian. Setelah berhasil mengejarku, dia langsung mengatur napasnya yang tersengal.
"De, gua panggil-panggil dari pas di gerbang, tau!" protesnya.
Aku cukup kaget sama pernyataannya, karena sepengalamanku, suara Laras tuh cempreng banget jadi gampang dikenali. Memang sih, tadi aku juga lagi mikirin sesuatu. Kalau aku aja ga ngeh sama panggilan dia, berarti aku mikirnya dalem banget tadi, sampai ga sadar sama keadaan sekitar.
"Eh, maaf, ya, Ras. Akunya lagi bengong. Ada apa?" Lalu, aku spontan ingat kalau aku belum kasih uang dia untuk minggu ini. Buru-buru kuambil dompet di tasku. "Eh, ini, Ras. Minggu ini aku belum kasih, kan?"
"Bukan soal itu! Ini lebih penting!" pekiknya. Lalu, dia diam dulu, dan ga lama dia ambil beberapa lembar seratus ribuan yang kusodorkan padanya. "Ini juga penting, deh. Eh, serius, De, gua mau kasih tau hal gawat!"
"Apa sih? Ngomong aja cepetan, Ras."
"Inget debt collector yang meres dan ngancam gua gara-gara utang gua itu, ga?"
Aku mengangguk, pelan. Dengan hati-hati, aku bertanya, "Kamu diancam lagi sama orang itu? Bukannya urusan utangnya udah selesai? Mau apa lagi dia sama kamu? Tuh, kan, harusnya kita lapor ke polisi aja, Ras!"
"Eeeh, bukan, bukan. Jangan nyerocos dulu, De. Lu mesti liat ini." Laras pun ambil HP nya, membuka suatu laman pada aplikasi browsernya, lalu nunjukin aku sesuatu. "Berita tadi pagi. Baca, deh."
Aku pun membaca laman berita yang Laras tunjukin. Isi beritanya tentang sekumpulan warga di daerah Gandul yang menemukan lima orang tewas di sebuah kontrakan. Menurut hasil penyidikan sementara, diduga kelima orang tersebut tewas karena keracunan minuman keras, karena ditemuin juga banyak botol miras oplosan. Diperkirakan waktu kematiannya sudah berlangsung lebih dari dua hari, karena kondisi mayat sudah membusuk dan menimbulkan bau busuk menyengat sehingga diketahui warga. Serem juga beritanya, ya. Eh, tunggu dulu. Jangan-jangan...
"Ras, masa iya, sih?" tanyaku, dengan intonasi penuh ga percaya.
Seakan berpikiran sama, Laras memintaku membaca lebih detil tentang alamat tempat kejadian perkaranya. "Ini alamat kontrakan yang sering gua datengin waktu itu, Dea. Ini alamat kontrakannya si debt collector bajingan itu! Liat, deh. Bahkan inisial yang tewasnya juga sama kayak pelaku yang ngancem gua!" pekiknya, sambil melotot heboh.
Seketika, badanku gemetar hebat sampai-sampai aku limbung. Untungnya, di dekat tempat kami mengobrol ada warkop. Laras segera bantu aku jalan ke sana, menjagaku supaya ga jatuh.
"Mang," Laras langsung sigap memesan ke penjaga warkop, "Teh manis anget satu, es teh manis satu, ya."
Ga tau kenapa, aku bisa tau kalau tes manis hangat yang Laras pesan itu buatku. Maka, aku pun mengkoreksi pesanannya. "Yang satunya es teh manis juga, Mang."
"Ih, lu mah lagi lemes malah minum es!"
"Ya Allah, Ras, cuacanya lagi panas banget, loh. Ngide apaan sih mesen minuman anget?" Aku pun beralih ke penjaga warkop, sambil mengacungkan dua jari. "Bikinin es teh manis dua, Mang."
Laras berhenti mendebatku saat penjaga warkop segera bikinin pesenan kami. Lalu, dia kembali ke topik utama. Sambil berbisik, Laras pun berkata, "Gua ga yakin mereka tewas keracunan miras, De. Firasat gua bilang, kalo mereka tuh—"
"—Ngomongnya nanti aja, Ras. Di sini banyak orang," potongku.
"Terus bahasnya di mana?"
Aku menerima sodoran gelas dari penjaga warkop dengan tangan yang masih tremor, lalu kembali beralih ke Laras. "Di chat aja, tapi nanti malem, ya. Aku masih ada janji sore ini," kataku.
"Sama siapa?"
"Freddy. Belajar bareng di McD. Mau ikut?"
Laras menggeleng mantap begitu dengar kata "belajar bareng". Dia memang alergi sama semua kegiatan yang berhubungan dengan belajar. Maka, dia lebih memilih bersabar nungguin aku punya waktu senggang daripada ikut aku ke McD.
"Menurut kamu... siapa?" tanyaku, sambil menyeruput es teh manisku.
"Gua yakin kita mikirin orang yang sama, Dea. Gua ga tau gimana caranya, tapi gua yakin banget pasti dia pelakunya."
Aku tau bahasan kita merujuk ke satu orang: Fah. Tapi berbeda dengan Laras, aku yakin Fah bukan pelaku utama. Atau setidaknya, dia menjembatani pelaku utama untuk membunuh orang-orang yang telah menggilir Laras. Ini cuma hipotesis kasarku, tapi menurutku, Fah lebih cocok berperan jadi pemikir taktis daripada pelaku yang terjun langsung ke arena jagal.
Otakku pun berpikir cepat. Dari ceritanya tentang latar belakang keluarga, traumanya, cerita lain tentang caranya nyelesein masalah, itu semua mengerucut ke satu kesimpulan bahwa Fah berasal dari keluarga yang ga sembarangan. Atau... lebih tepatnya, dari keluarga yang berbahaya.
"Ras, mobil yang dipake jemput Fah waktu itu apa namanya?" tanyaku, penasaran.
"Range Rover Sentinel. Kenapa gitu?"
"Kalo ga salah, kamu waktu itu jelasin kalo fitur mobilnya tuh anti peluru, bom, ranjau dan punya peredam dari hantaman, kan?"
Laras mengangguk, pelan. Untuk sekian detik, dia baru mengerti kemana arah pertanyaanku. Maka, aku bertanya sekali lagi ke dia, "Pernah mikir, ga, bisnis apa yang keluarganya jalani sampai harus punya mobil anti peluru untuk kemana-mana?"
Laras langsung diam. Dia cuma menatapku dengan pandangan cemas. Di akhir hembusan napas panjangnya, sambil masih menatapku, Laras meneguk ludahnya sendiri.
———
Aku dan Laras sepakat untuk pisah dan pergi ke tujuan masing-masing; aku ke McD dan Laras pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan di angkot, otakku ga berhenti mikir keras tentang berita yang Laras kasih tau. Aku beneran yakin kalau mereka dibunuh, lho. Masalahnya, aku ga bisa bermodal keyakinan saja untuk jelasin ini ke orang lain.
Aku berusaha berpikir lebih pelan. Jangan terburu-buru. Mari dibedah satu-satu. Pertama, kalau beneran Fah pelakunya, gimana dia bisa tau orang-orang itu yang menggilir Laras? Dia pasti butuh data, kan? Dapetnya dari mana...
...Oh, iya! Kontak Whatsapp si debt collector yang Fah minta ke Laras bisa banget jadi dasar data untuk profiling target. Bener banget! Dia bisa aja cari tau lewat metode lain, tapi aku pikir pegang kontak langsung adalah cara paling efektif.
Kedua, kalau Fah ini pelakunya, ini ngejelasin kenapa dia selalu sibuk sepulang sekolah dalam seminggu belakangan. Aku duga, setelah dia dapet kontak target, dia akan mulai susun materi profiling target, seperti mapping rute jalur yang biasa pelaku lalui, tempat kerja dan lokasi rumah, koneksi dengan orang-orang sekitar, frekuensi kapan saja kontrakannya ramai oleh teman-temannya, kegiatan apa saja yang mereka lakuin, kendaraan yang dipakai, dan lain-lain. Untuk ngelakuin semua itu, butuh banyak waktu dan fokus yang intens. Kalau aku jadi Fah dan punya target yang harus dilenyapkan, aku juga akan nolak saat diajak main supaya waktuku terpakai maksimal untuk fokus ke targetku.
Ketiga, gimana kalau ternyata Fah cuma minta targetnya dilenyapkan tanpa dia terlibat secara strategis didalamnya? Berarti ada pekerja profesional yang bermain peran utama disini. Kuterka, prosesnya ga ujug-ujug kasih miras yang diracun terus mereka mati, melainkan butuh serangkaian proses panjang. Pelakunya bisa saja ngelakuin pendekatan ke target selama beberapa hari hingga cukup akrab, sampai main ke kontrakannya, kenal dengan rekanan si target, dan lain-lain.
Tapi motif apa yang dipakai untuk bikin seorang pembunuh berencana bisa dekat dengan targetnya? Untuk jawab pertanyaan ini, aku harus liat dari perspektif targetnya. Apa yang bikin mereka bisa gampang dekat dengan orang baru? Uang? Bisa jadi, karena pekerjaan si target ini kan debt collector. Tapi pasti ada yang lebih mudah dari uang, kan?
Lalu, aku ingat Laras dan cerita depresifnya tentang jadi budak seks si debt collector itu selama sebulan lebih. Iya, aku tau motifnya apa: seks. Cara paling gampang untuk dekat dengan orang lain adalah dengan nunjukin bahwa individu tersebut punya ketertarikan seksual dengan targetnya, atau, membuat targetnya percaya bahwa individu tersebut adalah tipe pribadi yang gampang dieksploitasi.
"Kalo yang aku deduksiin ini ternyata bener," aku menggigit jempol, lalu tersenyum pede, "Mungkin aku harus ambil jurusan Kriminologi di UI aja kali, ya."
Sejujurnya, aku tau bahwa ada yang salah dengan diriku, dan sesuatu itu kian hari semakin menggerogoti. Aku sadar banget, kalau gemetarku tadi saat di depan Laras bukan karena aku syok akan berita yang kubaca, melainkan karena lonjakan adrenalin yang tiba-tiba memenuhi jantungku dan bikin aku hampir ga kontrol diri saking bersemangatnya. Gila kan, aku bisa-bisanya merasa bersemangat setelah tau ada orang mati. Aku harap, kewarasanku masih bisa bertahan, karena jika engga, aku yakin aku akan sangat berpotensi jadi sosiopat.
Maka, kuintenskan istighfar sambil berusaha mengusir perasaan bahagia atas kematian orang-orang yang telah menyakiti sahabatku.
"Kiri, Pak."
Setelah angkot berhenti, aku pun turun di pinggir jalan yang terdapat gapura selamat datang di kota Depok. Habis tengok kiri-kanan, aku pun menyeberang ke McD yang letaknya ada di pinggir area Mall Cinere. Duh, pasti Freddy sudah di sana. Ngomel ga, ya, dia?
Diluar dugaan, dia ga ngomel sama sekali. Alasannya karena ga ada kepastian janjiannya jam berapa. Sesuai sama apa yang dia bilang ke aku. Sportif juga ini cowok. Tapi ya gitu, dia langsung ajak aku belajar bareng.
"Aku pesen dulu, deh, ya?" tawarku. Freddy mengangguk, lalu dia kembali kerjain soal-soal di buku try out.
Setelah memesan, aku gabung lagi. Sebelum mulai belajar bareng, aku kasih segelas Fanta ke Freddy, sebagai kompensasi atas upayanya nunggu aku.
Oke, mapel sore ini Matematika. Sambil ngemil es krim dan minum soda, aku dan Freddy bahas berbagai soal dan cara penyelesaiannya. Ga kerasa, sudah setengah jam kami belajar.
"Fred, sebenernya, ini bisa dipersingkat. Hasilnya akan sama dengan rumus yang diajarin ke kita, tapi dengan rumus yang ini bisa mempersingkat waktu."
"Tapi bukannya guru ajarinnya rumus yang ini?" tanya dia, sambil nunjuk ke lembaran kertas di mejanya.
Oh. Sekarang aku baru beneran sadar, kenapa dia selalu jadi yang nomor dua. Dia ga tau, bahwa jadi pintar saja ga cukup untuk mencapai peringkat satu. Ada banyak faktor penting lainnya, termasuk improvisasi; sesuatu yang dia ga punya.
"Oke, sekarang aku tanya. Kalo soalnya pilihan ganda dimana penilai ujian ga perlu berurusan dengan rumus yang kita pake, gimana? Mereka kan taunya jawabannya bener, Fred. Penggunaan rumus yang lebih efektif untuk dipake di soal pilihan ganda, bisa mempersingkat waktu pengerjaan soal," aku pun menyeruput Coca Colaku, "waktu yang tersisa jadi lebih banyak, kan? Bisa banget, tuh, dipake buat periksa ulang jawabannya sebelum diserahin ke pengawas. See my point?"
Freddy tertegun, sebelum akhirnya mengangguk tanda mengerti. Lalu, dia menatapku penuh arti, seakan mau mengakui apa yang bikin dia ga pernah bisa menang dariku selama ini. Aku pun tersenyum manis saat dia ngeliatin aku, bikin dia langsung salting dan memalingkan muka, juga buru-buru meneguk gelas Fantanya.
Senyumku malah terkembang makin lebar, saat ngeliat dia minum buru-buru disertai sikap grogi begitu. Harusnya santai saja minumnya, nomor dua. One drop at a time, they say.
———