Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Bimabet
—Season 2—

Chapter 3:
Manic Phase






Saat Fah bilang mau datang pagi, aku berekspektasi bahwa dia mau datang jam tujuh atau delapan. Sekarang baru jam setengah lima. Bahkan adzan Subuh baru selesai berkumandang, dan dia bilang sudah di depan kosan. Fah memang paling bisa ngerusak tidur pagiku di hari Minggu!

Karena gembok pagar biasanya baru dibuka jam setengah enam oleh pengurus kosan, jadinya aku harus ke bawah dan buka gemboknya pakai kunci serep. Saking buru-burunya, aku bahkan cuma pakai daster tanpa daleman. Untung banget di luar masih sepi, jadi ga ada yang liat aku turun tangga cepat-cepat hingga bikin toketku bergoyang bebas.

Tapi saat aku baru sampai koridor, aku ketemu Fah. Seperti biasa, dia tampil modis dan 'terbuka'. Masing-masing tangannya menjinjing tas besar, yang entah isinya apa. Ditambah, dia juga gendong tas ranselnya. Ini orang niat mau main apa mau pindahan, sih?

"Loh, kok kamu bisa masuk?" tanyaku, heran.

"Tadi aku ketemu sama... siapa tuh, yang anaknya pemilik kost? Dia mau ke masjid, katanya. Jadi sekalian dia keluar, akunya masuk, deh."

"Gia? Wah, tumben banget." Aku langsung merasa heran, karena setau aku, cewek itu ga pernah ke masjid saat Subuh sebelumnya. Tapi buru-buru aku tepis rasa heranku. Biarin aja, urusan orang ini. Aku beralih ke tas besar yang dijinjing Fah. "Itu tas gede-gede gitu isinya apa?"

"Kostum, Dea. Ada bunny girl, virgin killer, seifuku, terus... ada beberapa kostum karakter anime. Ada barang-barang lain juga. Banyak, sih. Nanti kamu liat sendiri aja."

"Setas penuh? Dapet dari mana?"

"The perks of being rich," jawabnya, sambil ketawa.

Aku spontan geleng-geleng kepala. Merasa ga habis pikir, kenapa bisa-bisanya trap satu ini enteng banget habisin uang untuk beli kostum, yang belum tentu juga dipake semuanya. Cuma gara-gara dia segitu excited-nya liat aku mau photoshoot...

Aku pun meraih tas besar di kiri Fah. "Sini, aku bawa salah satunya."

Tapi Fah langsung menolak. Katanya, "Ih, biarin aja. Aku kan cowok, jadi harus kuat bawa barang berat."

"Tapi capek, kan?"

Fah mengangguk dengan polosnya. "Iya, sih."

"Makanya, siniin biar aku yang bawa!" Penuh emosi, aku langsung menyambar tangan kiri Fah, dan ambil tas besarnya untuk kujinjing. "Aku lagi PMS, nih, bawaannya emosi mulu. Jangan bikin kesel, ya."

Fah ngangguk pelan, lalu diem dulu. Ini bikin aku mikir, apa aku kelewatan sama dia, ya? "Maaf, ya. Kamu udah repot-repot ke sini dari sepagi ini, tapi disambut sama marah-marahnya aku. Yuk, kita ke kamar. Mau?" bujukku, sambil pegang tangannya.

Tapi Fah masih diem. Kan akunya jadi deg-degan. Takut dia marah sama aku.

"Dea," katanya, setelah beberapa saat diem aja, "Kayaknya aku harus tinggal sama kamu, deh."

"Eh, kok tiba-tiba?"

"Soalnya aku nemu cara supaya kamu ga perlu ngerasain PMS."

Oh, jadi tadi dia diem tuh buat mikir, gitu? "Apa caranya?"

"Ngentotin kamu tiap hari, jadi at least kamu ga akan ngerasain PMS selama sembilan bulan, kan?" balasnya, polos banget.

Si anjjjjjj... udah dikhawatirin malah bikin tambah kesel aja! Spontan kuacungkan jari tengah di depan mukanya, lalu melempar tas yang kujinjing ke lantai. Aku pun melangkah cepat, ninggalin Fah yang kesusahan bawa tas. Kusumpal kedua kupingku pakai tangan, biar aku ga peduli sama rengekan manjanya.


———


Tentu saja, aku ga bisa marah lama-lama ke pacarku ini, apalagi setelah dikasih orgasme nikmat yang bertubi-tubi. Aku ga tau ini orgasme yang keberapa, tapi rasanya bikin aku kehilangan tenaga. Tubuh telanjangku pun tergeletak lemas di atas kasur lantai. Dengan posisi kaki mengangkang lebar, memekku yang merekah karena habis dipompa kontol gede Fah terekspos jelas.

Fah masih belum ejakulasi. Dia lagi ambil minum, dua gelas. Salah satu gelasnya lalu dia kasih ke aku, sambil dia juga minum. Iya, ih, kerongkonganku kering banget. Pacarku tau aja. Aku pun senyum-senyum sendiri, saat menyadari kalau Fah perhatian banget sama aku.

Setelah selesai minum, Fah langsung ambil posisi di atasku lagi. Sambil duduk, dia gesekin kepala kontolnya ke bibir memekku. Uuhhh... masih sensitif, tau! Setelah gesekin beberapa saat, kepala kontolnya dia posisiin di lubang memekku. Lalu, sambil menindihku, dia dorong kontolnya pelan-pelan. Dia pun nanya, "Sayang, masih marah?"

"Uuuuddddaaaahhh... eenngggaaaaaaaaaaa...!" Seenggaknya, kasih aku waktu untuk jawab dulu, kek, sebelum dimasukin! Fuuuuck, mana mentok banget, lagi!

"Kalo udahhh... ahhh... engga marah, aku boleh... keluarinnn... ahhh, ngghh... di dalemmm?" tanyanya, sambil terus genjotin memekku. Gerakannya sih pelan, tapi tiap genjotannya bertenaga dan melesak dalam-dalam, sehingga selalu mencium bibir rahimku.

Ditanya begitu, aku langsung memegangi pipinya. Kutatap dia dengan pandangan sayu. "B-biasanya... uuhh, ngghh... ahhh... jugaaa... ga nanyaaa... duluuuu... kan?" balasku.

"Berarti, ahhh, ahhh, ahhh... boleh?"

Aku mengangguk. Kucium bibirnya, dan kulumat dengan ganas. Lidahku masuk ke mulutnya, menagih liur untuk kuambil dan kutelan. Setelah beberapa saat berpagutan mesra, kulepas bibirku, lalu bilang ke dia, "Boleeeehhh... wajib, Yangghhh... wajib keluarin di daleeemmm... entotin aku terus, entotin teruuusss..."

"Aahhh, fuuuck! Deaaa, kamu bikin horny banget, sumpah!"

Tubuhku dan tubuhnya bergesekan intens saat Fah terus memompa kontolnya di memekku. Toketnya yang kecil, tapi bulat dan kencang ini juga selalu menggesek toketku. Kalau dientotin begini, aku bisa apa sih selain pasrah dan peluk dia erat-erat?

"Kamu... ahhh, ahhh, mau hamilin aku, yaaa? Makanya... oohh, ngghhh... mau keluarinnn... di dalemmm?"

Sambil mengangguk, Fah jawab, "Iyahhh, iyahhh... I love you, Dea! I love youuu soooo... ngghhh... fucking muchhh, I want to, ahhh, ahhh... have babies... with youuu!"

"Lots of babies? Aahhh, ahhh... mmmhhh, uuhhh... Fahhh, kontolnya kerasa makin gede di... ahhh, di memek akuuu!" Kutarik kepalanya hingga terbenam di leherku, dan aku berbisik ke dia, "Well... cum insideeee me, pleaseeee? Use this... ahhh, ahhh... baby factory of mine... as much as youuu want, uuuhhhh... Fahhh... Sayanghhh... mentok bangettt, kontolnya mentok teruuusss... bikin akunya ga berenti, ahhh, ahh, ahhh... keenakan, Yanggghhh..."

Setelah aku bisikin, Fah jadi makin semangat genjotin memekku. Dia makin cepet genjotin dan makin kuat mentokin kontolnya. Udah ga ada kata yang keluar dari mulut kami berdua, selain desahan binal yang kedengeran jelas di kuping satu sama lain.

Sambil kupeluk erat, kedua kakiku juga naik, melingkar di pinggangnya. Sekarang, tubuhnya ga bisa lepas dariku. Dia cuma bisa terus genjotin aku aja, sepuasnya. Iya, gitu, akunya dientot terus, yaaa...

"Dddeeeaaaaa... ahh, ahh, ahh, ahh, ahh, ahh, ahh, ahh... aaakuuu... akkkkuuu... mmm... oohhh, oohh, ahhh, mmmhhh... mmmauuuu... kkkeeluuuuaaarrrr...."

"Kkkeluarinnn... ahhh, ahhh... keluarinnn... aaajjjaaa... aahhh, uuhh, aahhh... oohh, oohhh, oohhh... mentokin, Yangghh.. mentokin teruuuss... ciuminnn rahimmm aku... iyahh, ahhh, ahh, aaahhh... let me... let me have your baby... hamilin akuuuu... ahhh, ahhh... aku pasrah, aku mau dihamilin kamuuuu, uuhhh, ahhh, ahhh, aahhh, gila ini enak bangettt... ahhh, aku, aku sampeeeee—"

Fah menyumpal mulutku dengan mulutnya, berbarengan dengan sodokan terkuat dan terdalamnya ke memekku. Aku bisa rasain kepala kontolnya berdenyut-denyut sambil terus menciumi bibir rahimku. Aaahh... pejunya bermuncratan, banyak banget. Pejunya... langsung masuk ke rahim. Gila, aku beneran dibuahi langsung ke rahimnya, nih?

Bersamaan dengan ejakulasi Fah, aku juga menggapai orgasme yang kesekian kali. Badanku gemetar ga karuan, sementara otot-otot memekku berkontraksi karena orgasme yang dahsyat, bikin dinding memekku menyedot dan memijat kontol Fah yang masih menancap dalam. Kulampiaskan orgasmeku dengan peluk badan Fah erat-erat, dan kedua kaki yang semakin mengapit pinggulnya. Aku juga melumat bibir Fah tanpa henti, mengais liurnya, serta menjilati seluruh mukanya.

Ciuman dan jilatan ganasku menurun intensitasnya, saat orgasmeku mereda. Aku ketawa saat tau kalau pipi Fah licin oleh jilatanku. Dia ga terima, makanya dia gesekin pipinya ke pipiku. Lalu kami berciuman. Lembut dan hangat. Berpagutan pelan, serta diselingi satu kecupan di tiap lumatan intens.

"Dea... aku ga mau cabut, ya? Masih betah di dalem memek kamu," ucap Fah, sambil terus ciumin pipiku.

Kulihat matanya jadi makin sayu. Kuusap kepalanya, lalu biarin kepala serta badannya merebah di atas badanku. "Ngantuk, ya? Aku juga ngantuk. Tidur dulu, yuk?"

"Tapi... aku ga mau cabut kontol aku..."

"Iya, iya," kuusap lagi kepalanya, "Ga dicabut. Biarin aja di dalem. Biar ga ada peju yang keluar, ya?"

Fah mengangguk, pelan. "I'm being serious when I said I want to have a baby with you. I love you, Dea. I'm so in love with you."

"I know. I love you." Kupeluk erat pacarku, berusaha memberitau dia bahwa aku punya perasaan yang sama. "Now, let us sleep. I love you, Fah. Don't leave me alone, ya?"

Tapi Fah ga jawab. Ternyata, dia udah tidur. Idih, sebel banget. Tapi aku malah senyum-senyum sendiri. Aku benar-benar menyadari dan menikmati perasaan yang membuncah ini. Aku sayang banget sama Fah. Sebagai teman, sahabat, pacar, dan orang yang aku mau untuk bersama sampai tua nanti.

Tanpa sadar, air mata mengalir di kedua pipiku. Deras alirannya beriringan dengan semakin meluapnya berbagai macam perasaan yang bercampur baur di hatiku. Bahagia, sedih, takut kehilangan, khawatir, bangga, lega, bersyukur... dan rasa yang ga bisa kujelaskan tiap kali Fah muncul di kepalaku, di pandanganku, saat kudengar suaranya, saat dekat maupun jauh. Apa ini yang namanya cinta? Entah.

Aku ga pernah ngerasain euforia sehebat ini, sebelumnya.


———


Aku dan Fah bangun hampir bersamaan di jam sepuluh lewat. Engga, sih, sebenarnya aku yang bangun duluan, lalu kuguncang-guncang badannya yang masih nindihin aku. Untungnya, kali ini Fah langsung bangun. Padahal aku sudah niatin mau ambil dildo di laci.

Kebangun dalam kondisi yang kelaperan parah, aku ajakin Fah makan mie instan. Aku punya stok banyak di lemari penyimpanan makananku. Mau rasa apa aja ada. Ga suka Indomie? Aku punya Mie Sedap sampai Samyang. Mengoleksi mie instan berbagai merk dan rasa adalah salah satu hobi kecilku yang terbawa hingga sekarang, dan aku cukup bangga dengan itu. Seenggaknya, ada hobi yang masih bertahan; setelah hobi puasa sunnah dan mengaji yang kutinggalkan akibat perubahan ideologi.

Untuk masak mie, aku harus keluar kamar menuju dapur bersama. Dapurnya ada di tiap lantai, berada di ruang sebelah tempat mencuci. Aku sendiri ga pernah cuci baju di kosan, karena langganan laundry antar-jemput. Aku juga jarang ke dapur, karena sebagian besar sesi makanku dari pesan online, atau makan di luar. Jadi, adalah pemandangan langka bagi penghuni kosan yang lain kalau ngeliat aku ke dapur.

"Teh Nadia, tumben masak. Lagi mau bikin apa?" tanya Gia, yang ngeliat aku sedang sibuk bukain bumbu mie. Setelah liat empat bungkus mie instan kuah di meja dapur, dia ganti pertanyaan. "Masaknya banyak banget, buat siapa aja?"

Gia, anak dari pemilik kosan yang tinggal di bangunan terpisah (tapi masih berada di satu area) dari gedung kost yang kutempati ini, emang terkenal kepo. Rasa penasarannya tinggi banget. Dia suka bertanya banyak hal, mulai dari tema receh sampai urusan yang sensitif; seperti agama, umur, pekerjaan, dan urusan ranjang. Tapi meski anaknya kepo, kupikir untuk konsumsi pribadi saja. Karena ga pernah ada aduan dari Gia ke orangtuanya, soal kelakuan penghuni kost yang aneh-aneh, yang dia pergoki sendiri.

"Dua bungkus buat aku, sisanya buat Fah," jawabku, singkat. Lalu aku ingat kalau Subuh tadi Gia sudah baik mau bukain gembok pagar buat Fah. "Eh, yang tadi pagi, makasih ya. Kamu membantu sekali, Gia."

"Hehe. Iya, sama-sama, Teh Nadia. Gia seneng kalo bisa bantu."

"Kamu dari mana, ini?"

"Abis disuruh Mamah beresin kamar kosong yang di lantai tiga. Katanya ada yang mau isi."

"Wah, bagus, dong. Jadi penuh semua, sekarang." Saat kuliat air di panci sudah mendidih, kumasukin dua bungkus mie instan. "Sebagai bentuk terima kasih karena udah bantuin aku tadi pagi, kamu mau dibuatin mi juga, ga?"

"Boleh, deh," katanya, tanpa sungkan, "Ada mi goreng?"

"Banyak. Mau rasa apa dan berapa bungkus?"

"Mmm... rasa goreng Rendang?" Dia tampak ragu-ragu mau ngomong sesuatu. Yaudah, aku tungguin aja sampai dia berani ngomong. "Teh... kalo ada tiga bungkus, Gia boleh minta? Nanti Gia yang masak sendiri, kok."

Aku agak terperanjat saat dengar Gia minta tiga bungkus mie. Padahal badannya langsing, tapi nafsu makannya boleh juga. Kulirik perutnya yang tertutup tanktop putih ketat yang dia pakai. Perutnya bisa serata itu, tapi kenapa makannya banyak, ya? "Oke, aku ambilin dulu, ya. Kamu bisa bantuin aku masukin telur ke panci, ga?"

"Beres, Teh. Makasih, yaaa!"

Saat aku kembali ke kamarku, aku langsung tepuk jidat saat ngeliat Fah masih rebahan di kasur, dan masih bertelanjang bulat. Aku pikir pas kuajakin makan mie tadi, dia mau siap-siap pakai baju. Eh, ternyata malah tidur lagi. Akhirnya, kuambil bantal di karpet, lalu kulempar ke mukanya.

"Aduuuuh! Apaan sih, Dea?!" teriak Fah karena kaget, saat aku bangunin mendadak.

"Apanya yang apaan? Katanya mau bantuin? Ditungguin malah tidur lagi," balasku, "Ngomongnya mau punya anak. Pacarnya bikin mi sendirian aja boro-boro dibantuin, ditemenin juga engga!"

"I'm up! I'm uuuuuuuup!" Fah langsung panik, lalu buru-buru cari kaus untuk dipakai. "Nyebelin banget, pake bawa-bawa anak segala, ih!"

Meski sekarang tampangku sedang jutek, tapi dalam hati sih ketawa saat liat pacarku ini sedang panik. Fah emang takut kalau aku lagi galak, dan dia baru tau hal ini setelah kami berpacaran. Jadi, kayak agak kejebak gitu, sih. Eh, tapi dulu saat aku masih lebih muda dari sekarang, aku ga galak, kok. Sifatku justru banyak berubah setelah Abi dan Umi ga ada.

Setelah ambil mie yang Gia mau, aku balik lagi ke Fah. Sekarang, dia udah pakai kaus oversize yang panjangnya sampai tengah paha. Mataku langsung memicing ke selangkangannya. Sadar akan maksud tatapanku, Fah langsung angkat kausnya. Oh, ternyata dia pakai celana pendek, dan cukup menutupi tonjolan di selangkangannya, kok.

"Bantuin aku di dapur, kalo engga, aku berangkat sendiri nanti siang," ancamku, sebelum keluar kamar.

Saat balik ke dapur, Gia sedang menuang mie dari panci. Aku langsung maklum saat ngeliat telur di dalam panci sudah pecah. Untung ga berekspektasi berlebihan ke cewek ini. Baiklah, ini buatku aja. Aku yang akan buat sendiri untuk Fah, habis ini.

"Gia, ini, ya." Kutaruh tiga bungkus mie di meja dapur, lalu aku bikin mie untuk Fah. "Kamu kalo mau bikin mi, tungku sebelah kosong, tuh."

"Engga, Gia nunggu Teteh aja."

Tiba-tiba, Fah sudah muncul di belakangku. Dia celingukan, ngeliat ke semangkok mie yang sudah matang, dan yang masih direbus. "Punya aku yang mana?" tanyanya, sambil nempelin dadanya ke punggungku, dan aku rasa dia sengaja banget gesekin toketnya yang ga seberapa itu.

"Belum jadi. Ini lagi aku bikin," responku, jutek.

"Lama bang—"

Belum selesai dia ngomong, aku langsung nengok dan mendelik kepadanya. Fah, menuruti insting bertahan hidupnya, langsung tutup mulut rapat-rapat. Setelahnya, dia malah meluk aku sambil merengek kayak anak kecil. "Udaaaah, akunya jangan dimarahin teruuuus," katanya.

"Kok Teh Fah sama Teh Nadia lucu banget, sih? Akrab banget keliatannya," komentar Gia. Dia ketawa ngeliat tingkah kami berdua. "Mana tiap hari Minggu Teh Fah main ke kosannya Teh Nadia mulu. Kayak lagi nyamperin pacar aja."

Aku dan Fah spontan kaget. Apa yang diomongin Gia tepat banget kena ke hati kami berdua. Tapi aku lebih cepat menguasai diri, sementara Fah masih grogi. Maka, kujawab saja, "Oh, emang kami kan pacaran, Gia."

Dengar responku, Fah cuma bisa melotot ke aku sebagai ekspresi syoknya. Mulutnya masih membuka, tanpa ada kata yang keluar dari sana.

Sementara itu, sekarang gantian Gia yang kaget. Kayaknya, dia ga siap dengan fakta yang kubeberkan. "E-eh, beneran, ya? Ka-kayak... umm... lesbian, gitu?" tanyanya, terbata-bata.

"Yah, begitulah. Aku dan Fah saling sayang, makanya kita pacaran. Gia ga percaya?"

"E-eh, ga gitu, Teh! Gia percaya, kok—"

Gia berhenti ngomong saat aku melumat bibir Fah di depannya. Aku bahkan masukin lidahku ke mulut Fah, ajak lidah pacarku ini untuk saling bersentuhan. Lalu, kututup ciuman singkat ini dengan melumat seluruh bibir Fah, kemudian mengecupnya, ringan.

Setelahnya, aku kembali fokus ke mie yang harus kuaduk. Aku tinggalin Fah dan Gia, yang sama-sama sedang mematung dan bingung harus berkomentar apa.

"Wa-wah... Gia ga nyangka. Ta-tapi... Gia do'ain, semoga awet, ya." Gia buru-buru ambil mie yang kukasih di atas meja dapur, lalu pergi dengan gestur grogi. "Gia masak dulu... di rumah, ya, Teh," pamitnya.

"Gia," kupanggil dia dengan nada yang datar. Lalu, setelah menatapnya dengan mata memicing dan bibir tersenyum tipis, aku bilang ke dia, "Jangan bilang-bilang Mamah, ya. Nanti kalo Gia bilang ke Mamah Gia, aku bisa diusir dari sini. Kalo aku diusir, ga ada yang bantuin Gia lagi, loh, kayak waktu aku bantuin Gia belajar untuk SNBT kemarin. Kalo Gia ngerti dan paham, Gia bisa bilang "oke", sambil ngangguk."

"O-oke, Teh," jawab Gia, cepat.

"Ngangguknya mana?"

"I-iya," Gia mengangguk cepat, dan tanpa menatap balik ke aku, dia bilang, "Oke. Gia ngerti dan paham."

Gia buru-buru pergi dari dapur. Sekarang, cuma ada aku dan Fah, dengan aku yang lagi sibuk tuang mie yang sudah matang ke mangkuk. Setelah lama jadi figuran yang cuma jadi saksi percakapan antara aku dan Gia, Fah akhirnya buka suara. "Kamu... kenapa malah kasih tau ke dia kalo kita pacaran, heeeeh?"

"Mungkin tadi dia cuma asal ngomong aja, tapi kita tau, yang dia omongin itu bener. Efek ke kitanya akan berbeda, dibanding kalo Gia nuduh kita pacaran padahal kitanya cuma temenan. Tebakan yang tepat kena sasaran tuh bisa bikin targetnya jadi panik, syok, kaget, dan kalo udah begitu, apapun yang dilakuin sebagai bentuk pertahanan diri justru malah membuka kelemahan kita jadi lebih lebar lagi.

"Kalo kita diem aja, Gia yang punya sifat kepo banget, justru akan mengejar jawaban dari kita. Kalo ga dapet jawabannya, dia akan bikin kesimpulan sendiri. Sementara, kalo kita mengelak, efek panik dan kaget yang kita rasain akan memengaruhi kualitas kita dalam bikin alasan. Lalu, alasan yang ga masuk akal justru akan bikin Gia curiga.

"Tau Tsun Tzu? Penulis buku "Art of War"? He said, "offense is the best defense". I simply cut her curiosity with the fact that was delivered directly. Bungkam rasa penasarannya, dan dia ga akan nanya-nanya lagi. Lalu tambahin aja sedikit tekanan dengan ungkit hal penting yang pernah aku lakuin buat dia. There, check mate."

"Are you Zhuge Liang in your previous life? The way you explain it to me feels like we're in an open war." Fah ga berhenti geleng-geleng kepala. "Entah aku harus merasa ngeri atau bangga."

"Belum terlambat kalo kamu mau berubah pikiran, sebelum kamu terjebak seumur hidup sama aku." Kuberikan semangkuk mie ke Fah, sementara aku membawa mangkuk mieku sendiri. "Yuk, makan di kamar. Abis itu mandi dan siap-siap. Aku janjian sama katingku jam satu siang, loh."

"Berubah pikiran? Ga, lah! I'm more than ready with all the mental tortures from you for my entire life, Dea," katanya, sambil menyenggol toketku pakai sikunya.

"Dasar trap gilaaaaa!"

Kami berdua pun ketawa heboh, sambil menyusuri koridor lantai dua.


———


Karena Fah minta Pak Atsu untuk ga perlu nungguin dia, maka pelayan pribadinya yang serbaguna itu langsung pulang begitu Fah tiba di kosanku. Tadinya aku mau protes, karena kemana-mana jadi ga praktis kalau Pak Atsu ga ada. Tapi setelah Fah jelasin kalau dia keberatan karena punya beban merasa ditungguin, aku jadi ngerti. Pasti ga nyaman, mau ngapain aja harus ditungguin orang lain.

Akhirnya, kami naik Gocar ke rumah kontrakan Maria. Ternyata, kami dapat supir yang asik. Pak supirnya sediain mikrofon untuk karaokean di mobil. Katanya, servis biar penumpang ga bosen. Plus, supirnya pasang layar kecil di belakang jok depan. Jadi kita bisa nyanyi sambil ikutin lirik yang muncul di layar. Makanya, selama di jalan, kami pun karaokean sepuasnya.

"Came a timeeeee, when every star faaall, brought you to tears agaiiiin! We are the very hurt you soooold. And what's the worst you takeeee, from every heart you breaaak?! And like a blade you'll staiiinnn. Well, I've been holding oooon TONIGHT!

"What's the worst that I can saaaay? Things are better if I stay. So long and goodnight, so long and goodnight. Well, if you carry on this waaaay! Things are better if I stay. So long and goodnight, so long and goodnight."

Gilaaaaa, aku bahkan bisa bebas nyanyiin lagu rilisan tahun 2004, yang aku aja belum lahir di tahun segitu! Baik si supir taksol dan Fah malah ga nyangka aku tau dan hafal saat nyanyiin Helena. Mereka pikir, cewek kayak aku ga akan tau My Chemical Romance.

"Ih, aku tau, lah! Awalnya tuh gara-gara nonton Umbrella Academy. Terus tau fakta kalo serial Netflix itu berdasarkan komik yang dibuat sama Gerard Way, aaaand... setelah aku kepoin, ternyata doi itu mantan vokalis band. Yaudah aku coba dengerin lagu-lagunya di Spotify, and well, their songs really kicked me out of my soul," kataku, memberi penjelasan. Efek euforia habis nyanyi bikin aku bersemangat saat ngejelasin.

"Tapi aku ga nyangka aja, sih, kamu bisa nyanyi selepas itu," balas Fah. Dia senyum lebar saat ngeliat aku seekspresif ini, sekarang.

"Aku tegang, Fah. Aku tegang bangeeet! Aku butuh pelampiasan. I'm gonna do something I haven't done before, of course I. AM. SO. FUCKING. NERVOUS!"

Senyum Fah perlahan memudar. Dia malah tatap aku, lama banget. Berusaha mengobservasiku. Aku tau seharusnya aku lebih kontrol diri, tapi aku ga bisa menolak diriku sendiri yang menggoda untuk terus berekspresi. Kalau mau ketawa, ya ketawa aja. Mau teriak, ya teriak yang kencang. Pokoknya harus lepas!

"Dea... aku mau tanya. Dengerin aku." Fah langsung pegang kedua lenganku, erat.

"Apa, Fah? Eh, nyanyi lagi, yuk. Masih ada waktu, kan? Please, ya? Yaaaa? Ayo cari lagu lain buat dinyanyiin!"

"Engga, Dea, sini liatin aku. Liat aku dulu." Fah menatapku, tajam. Ekspresinya serius banget. Cengkeraman tangannya di lenganku juga makin kencang, dan bikin aku ga betah! Aku spontan memberontak, berusaha lepasin diri dari cengkeraman Fah. Tapi pacarku malah mencengkeram lenganku lebih kuat lagi. "Dea, hei, liat aku. Liat aku!"

Saat Fah membentak, aku langsung diam. Aku liatin dia. Aku ga bisa dibentak gini. Aku ga mau liat dia lagi. Tapi aku harus. Kata Fah, aku harus terus liat dia. Tapi mukanya galak banget sekarang. Aku takut. Beneran. Aku ga ngerti, Fah kenapa? Kok jadi galak sama aku?

"Obatnya udah ga kamu minum, ya?" tanya Fah, berusaha pelan dan hati-hati.

"Obat apa? Ngomong yang jelas, akunya takut dibentak lagi!"

"Carbamazepine, asam valproat, aripiprazole, dan escitalopram. Obat-obatan yang aku ingetin tiap hari untuk kamu konsumsi itu udah ga kamu minum?!" tanya Fah lagi. Kali ini, aku menangkap nada panik yang ga bisa dia sembunyiin.

"I hate them drugs, makes me feel so normal and unmotivated. So I threw it through my window, last week. Ga apa-apa, kan?" jawabku, santai. Aku spontan tertawa saat ingat bagaimana obat-obat itu terjun bebas setelah melewati jendela kamarku. "Kamu mesti tau gimana tersiksanya aku saat harus terus konsumsi obat-obatan ga jelas itu selama sebulan penuh. Kalo lepas obat gini, justru akunya malah jadi hepi banget!"

"For fuck sake, it's not drugs, Dea! It's your medication pills!" Fah yang duduk persis di belakang jok kemudi, langsung menepuk pak supir. Dia bilang ke supir itu, "Pak, tau psikiater yang buka praktek di kota ini, ga? Atau rumah sakit yang ada poli jiwanya, atau... atau... rumah sakit mana aja, Pak, biar ke UGD dulu. Masalah tarif, nanti saya tambahin, Bapak sebut aja maunya berapa."

"Eeehhh? Aku ga mau ke rumah sakit atau psikiater, ya! Kamu pikir aku gila?!" Aku pun berontak sekuatnya, dan akhirnya berhasil lepasin diri dari cengkeraman Fah. Dengan cepat, aku ambil dompet di tasku, lalu keluarin silet yang selalu kusembunyiin di salah satu lubang kartu. Silet ini pun langsung kutempelkan ke pergelangan tangan kiriku, sambil berkata ke Fah dan supir taksol, dengan nada pelan dan tegas, "Ke tujuan semula, ya. Aku udah janji sama Maria. Ga boleh batal. Kalo masih ngotot bawa aku ke psikiater, mending aku bunuh diri aja."

Fah langsung meraupkan kedua telapak tangannya ke muka. Kayaknya dia frustasi ngurusin aku. Tuh, kan. Emang seharusnya aku mati aja. Biar ga nyusahin Fah lagi. Kalau aku mati, seenggaknya Fah cuma sedih sebentar, terus lanjutin hidupnya.

Eh, tapi bukannya aku mau terus hidup untuk balas dendam? Iya, aku mau. Mau banget, malah. Tapi godaan untuk mati sedang memenuhi kepalaku. Apalagi suara-suara berisik di kepalaku ini terus teriakin aku untuk nambahin luka sayatan di pergelangan tangan.

Kata suara-suara di kepalaku ini, jahitan pada dua bekas luka sayatan yang kubuat sebelumnya, sudah menyatu dengan daging dan merapat. Menutup luka. Jadi harus dibuat lagi. Apalagi aku sudah hafal dimana letak urat nadi. Kata mereka lagi, kali ini sayatannya harus dibuat memanjang secara vertikal. Kalau sayatannya vertikal, dokter akan kesulitan menjahit lukanya.

"Dea, Dea... Dea!" Teriakan Fah sadarin aku dari lamunanku. "Iya, kita ga akan ke psikiater. Tapi kamu buang dulu siletnya. Bisa, kan?"

Aku menggeleng. Ujung silet pun sudah menancap ke kulit, membuat setitik luka yang mengeluarkan sedikit darah. Fah makin frustasi. Akhirnya, setelah ambil nafas dalam-dalam, lalu dia hembuskan perlahan... Fah menatapku. Dalam dan lama. Sorot matanya tampak sedih dan sendu.

"Kalo kamu mati, aku juga ikut. Kamu bisa ga sayang sama diri sendiri, tapi apa kamu ga sayang sama aku? Kamu mau aku ikut mati, susul kamu? We... depends our lives on each others, loh. Inget, kan?"

Fah berusaha meraihku, gerakannya pelan dan hati-hati. Aku pikir tangannya mau meraih silet yang masih menempel di pergelangan tanganku, tapi ternyata dia meraih kepalaku. Mengusapnya perlahan, dengan gerakan lembut yang menenangkan.

"Suara-suara di kepala kamu ini ga selalu kasih tau hal yang benar, Dea," katanya, "Aku bisa pastiin itu, karena aku juga ngerasain hal yang sama. Keinginan untuk bunuh diri itu masih sama kayak dulu, tapi aku inget, sekarang aku punya kamu. Aku ga bisa mati gitu aja. Aku harap, kamu juga berpikir gitu juga, ya?"

Suara Fah berhasil mendobrak riuhnya suara-suara di dalam kepalaku. Kucerna baik-baik kata-katanya. Kulawan suara-suara berisik yang masih bersemayam di kepalaku, sesuai sarannya. Tenangkan diri, Dea. Ayo, coba mulai dari atur nafas. Pakai nafas perut aja. Ga apa-apa keliatan agak buncit di depan Fah, memang kenyataannya kamu agak berlemak perutnya gara-gara keseringan makan. Yang penting, ingat bahwa pernapasan perut sangat membantu untuk bikin rileks badan dan mental.

Sudah? Pinter. Yuk, beralih ke tahap selanjutnya. Coba kamu liat, tangan kanan kamu megang apa. Silet? Nah, coba ditarik tangannya dari pergelangan tangan satunya. Jauhin siletnya. Lebih jauh lagi. Ga apa-apa, cuekin aja suara-suara di kepala. Kalau kamu nurutin suara-suara itu, kamu nanti kehilangan Fah, loh.

Makanya, saat aku membuang asal silet dari tangan kanan, Fah ga mampu lagi membendung rasa khawatirnya. Dia langsung peluk aku erat-erat. Melepas tegang yang dia tahan dari tadi. Fah dengan hati-hati juga usap darah di luka pada pergelangan tanganku dengan tisu. Pandangannya ga lepas dari luka baru dan bekas luka sayatan di pergelangan tanganku. Itu hanya setitik luka kecil dan dua bekas luka sayatan sepanjang beberapa sentimeter yang sudah menutup. Tapi kukira, untuk psikis Fah dampaknya luar biasa hebat.

Setelah bersihin lukaku, Fah ambil kotak obat kecil yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. Sambil menghela nafas panjang, dia memilah-milah obat. Lalu, setelah disortir beberapa kali, dia kasih aku beberapa butir tablet, juga botol minum yang dia ambil dari saku ranselnya.

"Nama obat kita emang beda, tapi fungsinya sama, kok. Karena aku pikir kita sama-sama Bipolar tipe 1, jadi obat untuk Bipolar aku bisa kamu konsumsi juga. Aku udah pilihin empat jenis obat yang punya fungsi sama dengan yang biasa kamu minum. Untuk mood stabilizer aku punya lithium, kalo antikejang kita sama-sama asam valproat, antipsikotik aku ada risperidone, dan antidepresan aku punya sertraline," kata Fah, memberi penjelasan lengkap pada obat-obatan yang sedang kugenggam. Lalu, dia pun bertanya ke supir taksol kami. "Masih jauh ga, Pak, ke tujuan?"

"Tinggal delapan ratus meter lagi, Teh," jawab si supir. Aku ngeliat dia ngelirik kami lewat spion tengah. "Itu teteh satunya udah ga apa-apa?"

"Aman, Pak," balas Fah. Dia pun kembali tatap aku. "Sebentar lagi sampe, Dea. Yuk, diminum dulu obatnya. Kan kita ga mau ada orang lain tau soal ini."

Sebenarnya, aku enggan banget untuk minum obat yang Fah kasih. Efeknya sih memberiku ketenangan dan mood yang baik, tapi aku juga harus tersiksa dengan rasa pusing yang jadi efek samping obatnya, bahkan aku ga tau itu dari obat yang mana. Tapi, karena aku sayang Fah, dan ga mau ngeliat dia sedih dan capek lebih dari ini, maka kuturuti permintaannya.

Dalam sekali telan, kuminum empat tablet sekaligus. Lalu kudorong dengan air minum.

Ga lama setelah aku minum obat, mobil yang kami tumpangi pun sampai di depan sebuah rumah. Dari jendela, aku memandangi rumah tipe modern minimalis yang berada di depanku. Boleh juga rumah pilihannya Maria. Tapi rumah sebagus ini, berapa biaya sewa perbulannya?

"Pak, tarifnya sudah via Gopay, kan?" tanya Fah, memastikan. Saat si supir mengangguk, Fah rogoh beberapa lembar seratus ribuan dari dompetnya. "Ini tips buat Bapak."

"Eh, ini mah banyak banget, Teh!"

"Ga apa-apa, ambil aja, Pak. Oh, iya, saya minta tolong dua hal, ya; pertama, tolong bantu bawain tas kami, ya. Berat soalnya. Yang kedua, anggap aja yang tadi Bapak liat ga pernah terjadi, ya. Bisa kan, Pak?"

Setelah urusan bayar dengan si supir, aku diajak Fah untuk turun dari mobil. Tas besar berisi kostum yang Fah bawa, juga totebag milikku dan tas ransel Fah, dibantu dikeluarin oleh pak supir. Sehabis itu, supirnya pergi gitu aja tanpa ngomong apapun. Mungkin masih syok karena ternyata bawa penumpang berpenyakit mental.

"Kamu yakin masih mau photoshoot, Dea?" tanya Fah. Dia genggam tangan kiriku, erat.

Aku mengangguk, pelan. Kepalaku mulai agak pusing saat aku mengangguk, dan terasa sedikit berputar. Duh, efek obatnya mulai terasa, nih. "Aku kan udah minum obat. Aku yakin ga akan kambuh, at least... sampe kita ke psikiater lagi, kan?"

"Kamu sekarang lagi ada di fase mania," balas Fah, mewanti-wanti, "Sebisanya, kendaliin perasaan kamu supaya ga jadi euforia berlebihan, ya. Aku ngerti bahwa resistensi tiap orang tuh beda-beda, but don't ever give in to those 'voices', again. Please."

Aku pun menarik nafas panjang, lalu hembuskan perlahan. Kukepalkan tangan dan kueratkan genggamanku dengan Fah, berusaha menguatkan diri dan hati.

"Kalo kamu udah siap, sekarang kita buka pagar ini, terus masuk berdua." Sambil terus genggam tanganku, Fah mengiringi langkahku menuju rumah Maria.

Kata-kata Fah justru bikin aku deg-degan. Why do you have to give me final boss vibe, sih, Fah?






Nympherotica♡♡
 
Terakhir diubah:
Makasih updatenya kak.. Makin tegang bacanya..

Cuma mau tanya, cewe lagi PMS memang bisa disetubuhi ya kak? Bukannya berdarah2 ya kalo lagi PMS?
 
Makasih updatenya kak.. Makin tegang bacanya..

Cuma mau tanya, cewe lagi PMS memang bisa disetubuhi ya kak? Bukannya berdarah2 ya kalo lagi PMS?
Istilah PMS dan haid alias menstruasi kerap digunakan bergantian, padahal keduanya adalah kondisi yang berbeda. PMS yang merupakan singkatan dari pre-menstrual syndrome adalah sekumpulan gejala sebelum seorang wanita mengalami menstruasi. Berbeda dari haid, PMS tidak memicu keluarnya darah dari vagina.



Sumber artikel:
https://www.sehatq.com/artikel/ini-perbedaan-pms-dan-haid-yang-sering-dianggap-sama
 
Wah... Permainan beban psikologis Dea nya mantap....
Jadi penasaran lanjutannya.....
Dan kalau sampai Fah tidak ada di hidup dea....
Damn ngga kebayang gimana jadinya nymph kita ini...
 
Ngeri booo... dari zhuge liang jadi wong gendeng
 
Seru banget ceritanyaaa, nunggu penjelasan dea kenapa bisa bipolar:D semangat terus author!!
 
Great, semakin seru dan menarik nih. Gw excited dan nunggu banget nih photoshoot debutnya OF Nadia, huehehe :pandajahat:

Btw, awal-awal baca cerita, gw pikir Nadia a.k.a Dea itu cewek yg bisa dibilang paling "gila/hyper" dan tokoh-tokoh lain waras. Tapi, seiring berjalannya alur, kok gw malah ngerasa (punya feeling) Nadia-lah cewek yg paling waras dan justru tokoh-tokoh lain yang lebih gila dari Nadia =)) :lol: apakah ini semacam plot twist? :bata:

So long, @AndreDiaz
Too bad for both of us, for we couldn't make it to know what happened to Dea...

You'll be forever missed.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd