Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Suka banget cerita POV cewe yang masih masih muda. Saran gan, kasih mulustrasi 😁
 
Bimabet
Chapter 1 — Corruption to Lewdiness





Buatku, ada plus dan minus dari diselenggarakannya kembali Pelajaran Tatap Muka yang sempat dihentikan selama hampir dua tahun semenjak awal Pandemi Covid-19. Meski, aku ga bisa menimbang lebih banyak plus atau minusnya, sih. Tapi yang jelas, bagi orang sepertiku yang sudah nyaman dengan sekolah lewat Pelajaran Jarak Jauh, rasanya susah banget untuk kembali ke kebiasaan mandi pagi dan berangkat ke sekolah lagi.

Untungnya, aku ga ngerasain hal itu sendirian. Ada banyak teman sekelasku yang mengeluhkan hal yang sama. Walaupun Pelajaran Tatap Muka sudah berlangsung selama dua minggu, tapi masih banyak juga murid-murid di sekolahku yang telat masuk kelas. Alasannya klise: lupa kalau harus ke sekolah dan malah menyalakan laptop untuk Zoom meeting.

"Dea! Deaaaaa!"

Di antara berisiknya suara murid-murid yang berseliweran di lorong menuju kantin sekolah, aku masih hafal banget suara yang memanggilku itu. Masker medis ga jadi penghalang bagi suara cemprengnya untuk mendominasi kegaduhan di lorong.

"Apaan sih, Laraaas? Berisik banget kamu, mah." Aku menatap galak kepada si yang punya suara cempreng, saat dia berjalan mendekat. "Ga enak tau, akunya jadi diliatin! Dikiranya aku yang budek!"

"Hehehe," Laras cuma ketawa cengengesan aja sebagai responnya, "maaf, kebiasaan soalnya. Eh, De, tadi gua baru dapet info dari Kakel, kalo ROHIS mulai hari ini, nih."

"Hah? Mulai jam berapa?"

Laras pun acungin tiga jari. "Jam tiga, setengah jam setelah bel pulang."

"Ih, gila apa? Ga mau, ah! Dadakan banget. Lagian aneh banget, sih, ekskul udah ga jalan hampir dua tahun, kok pas mau kelas tiga baru mulai lagi. Biar apa, coba?"

"Ya kan ga jalannya karena pandemi, De." Laras kemudian megangin lengan aku. "Udah, pokoknya hadir nanti sore, ya?"

Aku pun menghela nafas panjang. Aku yakin, sesi perdana ekskul yang kuikuti ini pasti akan canggung banget nanti. Ya bayangin aja, dari awal aku masuk sekolah pas kelas 1 SMA, ga pernah ada kegiatan aktual dari ekskul yang aku daftar itu.

"Ga janji, Ras. Soalnya aku—"

"—Kalo ga dateng, nanti potong nilai. Gitu anceman dari Kakel," potong Laras, terus dia nepuk-nepuk bahu aku, lalu kabur begitu aja.

Kan... memang lebih banyak minusnya, Pelajaran Tatap Muka ini. PTM memberi kesempatan bagi sekelompok orang yang merasa punya kuasa untuk mengatur kehidupan siswa pasca sekolah, yang harusnya, itu jadi hak penuh siswa. Ekskul-ekskul sok penting yang suka pakai cara maksa ini, contohnya. Harus banget pakai ancaman segala?


———​


Sesuai dugaanku, sesi ekskul perdana ROHIS diisi oleh suasana canggung yang bikin ga nyaman. Apalah itu suasana ekskul yang asik dan cair, yang ada malah tiap anggotanya disuruh saling mengenalkan diri yang disertai ketawa kikuk dan senyum maksa. Kakak-kakak pembina yang terdiri dari dua ikhwan dan dua akhwat pun ga terlatih untuk mencairkan suasana. Terlebih ikhwannya, ampun deh. Suka diem-diem ngelirik para siswi ROHIS, termasuk ke aku juga. Mereka mau menggelar kajian atau cari daun muda, sih?

"De, pulangnya bareng, ya? Ya, ya, yaaaa?"

Tiba-tiba aja aku sudah disergap Laras dari belakang. Dia seenaknya mengguncang-guncang badanku sambil menunggu jawaban.

"G."

Muka Laras langsung syok begitu mendengar jawaban ketusku. "Ih, kenapaaaaa?"

"W kzl ama u."

"Ya ampun, Deaaa. Masih dendam gara-gara gua paksa hadir nge-ROHIS, ya?"

"Bodo amat. Dah, ya. Gojek w udah sampe, nih."

Aku pun melenggang pergi, ga kutengok lagi reaksi Laras setelah kembali mendengar jawaban ketusku. Kupercepat langkahku menuju gerbang sekolah, dimana bapak ojek online yang kupesan di aplikasi sedang menunggu persis di depannya.

"Andrea Nadia, ya?" tunjuk seorang bapak-bapak berperawakan tambun yang memakai jaket ojek online.

"Kok bapak tau nama panjang saya, sih?" tanyaku heran, tapi mengangguk untuk mengkonfirmasi pertanyaan si bapak.

"Loh, kan Neng sendiri yang cantumin di aplikasi." Si bapak kemudian menyerahkan helm padaku. "Biar aman, Neng."

Wah, benar juga. Duh, bahaya nih kalau pakai nama lengkap. Aku jadi ga nyaman kalau dikenali orang asing begini.

"Sesuai aplikasi ya, Neng."

Aku pun mengangguk, lalu naik ke jok belakang motor si bapak ojol. Saat sudah naik, aku langsung menemukan satu hal yang ingin banget kukeluhkan: motor bapak ojol ini tipe motor yang tangkinya ada di depan dan biasanya bervolume besar, jadi semacam jenis motor yang laki banget, gitu. Nah, karena itu, jok motornya jadi tinggi, sehingga menyulitkanku yang pendek ini untuk naik. Masalahnya lagi, joknya tipe yang makin ke belakang, makin tinggi. Kebayang, ga? Jadi posisi dudukku merosot terus.

Maka, jadilah sepanjang jalan aku kerepotan membetulkan posisi dudukku supaya bagian depan badanku ga berdempetan dengan punggung si bapak. Aku juga yakin banget, bapak ojol ini tahu kalau aku kesulitan duduk nyaman, tapi ku kira, dia ga ambil pusing soal itu.

"...ini talas berapa sekarang, Neng?" tanya si bapak, tiba-tiba, yang tentu aja bikin aku heran. Buat apa sih nanya harga talas segala?

"Ga tau, Pak."

Si bapak diam dulu, terus ngomong lagi. "Talas satu?"

"Pak, maaf nih. Tapi saya ga pernah merhatiin Talas," balasku, agak kencang karena mesti berlomba dengan deru angin.

"Kenapa ga naik kelasnya, Neng? Kok bisa?"

Hah? Siapa sih yang ga naik kelas? "Bapak nanya apa sih, sebenernya?!"

"Eneng. Kelas. Berapa. Sekarang?" balas si bapak, setengah teriak.

Oh... itu pertanyaannya. Kombinasi lengkap deru angin, helm dan jilbab yang melilit kepalaku sukses bikin aku budek. Akhirnya, aku jadi malu sendiri. Duh, mau diumpetin dimana mukaku nanti pas turun dari motor?

Akhirnya, aku ga jawab aja, dan malah kembali sibuk membetulkan posisi dudukku yang mulai merusut lagi ke arah si bapak. Tapi kali ini, si bapak ojol kayaknya kerepotan dengan kelakuanku yang makin aktif di belakangnya.

"Neng, jangan goyang-goyang. Bapak susah ini stabilin nyetirnya."

Kok jadi aku yang disalahin? Kan ini gara-gara jok motor si bapaknya yang ga sesuai standar! "Ini... saya... merosot mulu, Pak. Jadi ga nyaman..."

"Neng, jangan digoyangin—"

Daaaaan, yap. Si bapak ojol kehilangan keseimbangan, lalu motornya oleng ke kiri, dan selanjutnya... aku ga tau apa yang terjadi, tapi yang jelas sekarang aku malah duduk di atas rerumputan di pinggir jalan. Motor si bapak sudah merebah ke kiri, masih dalam kondisi mesin menyala, dan badan kirinya bergesekan dengan trotoar. Sementara si bapak... oh, itu dia. Bapaknya sedang nungging, gaes. Dengan muka mencium rumput.

Dari yang bisa aku mengerti, motor yang dikendarai si bapak jatuh setelah menabrak trotoar. Lalu kami terpental ringan ke sisi kiri, dan ajaibnya, aku ga menderita luka sedikitpun. Sementara si bapak ojol... yah... begitulah. Saat dia bangun, aku bisa melihat celana jeansnya sobek di kedua lututnya. Lalu kayaknya ada luka gores, karena kedua lutut si bapak kini dihiasi darah segar.

"Duh... luka tuh lututnya, Pak—"

Seakan ingin melengkapi kesialanku sore ini, hujan deras turun serentak mengguyur badan kami. Memang sih, cuaca sore ini sudah mendung dari sejak aku pulang sekolah tadi. Tapi dari sekian banyak waktu, kenapa hujannya baru turun sekarang?!

Sialnya, karena suasana jalan sedang sepi dan lengang, jadi ga ada orang lewat untuk bantu aku dan si bapak ojol. Setelah buru-buru menepuk-nepukkan badan dari remah-remah tanah dan rumput, aku membantu si bapak untuk mendirikan motornya. Tapi si bapak ga bilang apa-apa, bahkan setelah melihat usahaku untuk mendorong motor beratnya sampai berdiri tegak. Kayaknya, si bapak ojol sedang kesal. Ekspresi mukanya bersungut-sungut terus dari tadi.

Akhirnya, sepanjang sisa perjalanan, kami ga saling bicara. Sekarang, yang ga nyaman bukan cuma posisi dudukku aja. Tapi juga perasaanku. Kok, rasanya kayak ini salah aku, ya, sampai bikin si bapak jatuh? Atau lebih tepatnya, aku yang disalahkan. Memang ga secara gamblang nyalahin aku, sih. Tapi dari ekspresi muka kesal dan mendiamkan aku kayak gini, itu kentara banget nyalahin akunya. Kan aku jadi ga enak...

"Pak, lukanya gimana? Sakit banget, ya?" tanyaku, enggan. Tapi ga ada jawaban dari si bapak. Entah karena ga dengar, atau sengaja ga mau jawab.

Duh, jadi makin ngerasa ga enak akunya. Yaudah deh, aku coba inisiatif obatin aja kalau sudah sampai rumah. "Pak, maaf ya, gara-gara saya... jadi jatoh Bapaknya. Nanti kalau udah sampe, mampir dulu ya, Pak. Saya kasih obat merah sama plester dulu lututnya. Gimana?"

Si bapak ngerespon sekarang. Tapi dia cuma ngangguk aja.

Sumpah, sore ini lengkap banget kesialanku. Udahlah telat pulang sekolahnya, kehujanan, jatuh dari motor, dan sekarang ditambah dijutekin sama bapak ojolnya.


———​


Saat sudah sampai, aku buru-buru buka pagar, lalu mempersilakan si bapak ojol untuk parkir di garasi. Lalu, setelah meminta si bapak untuk duduk di kursi teras, aku segera mengambil kotak P3K dari dalam rumah.

"Pak, ini kotak P3K-nya. Obat merah sama plester ada di dalem." Si bapak cuma angguk-angguk tanpa ngomong, tanpa nengok ke aku juga. Keselnya awet ya, Pak? "Oh iya, Bapak mau minum apa?"

"Teh manis anget aja, kalo ga ngerepotin," balas si bapak, dingin.

Sabar... sabar... berkali-kali aku menyabarkan diri sambil mengusap dadaku yang terlalu membusung ke depan ini. Segera aku ke dapur, membuat segelas teh manis hangat. Tapi begitu sudah jadi, aku kok jadi kepingin, ya? Jadinya, aku buat satu gelas lagi untukku. Lalu kutaruh dua gelas teh manis di atas nampan, dan kubawa ke teras.

"Pak, ini diminum dulu teh manisnya," kataku, sambil menaruh dua gelas teh manis hangat di meja. Untukku, dan untuk si bapak. Lalu, kulihat lutut si bapak yang belum dia obati. Dengan segera, aku pun menemukan masalahnya. "Gunting buat motong plesternya ga ada, ya, Pak? Saya lupa, sebentar, ya, Pak. Saya ambil dulu."

"Hm," balas si bapak. Ih sumpah deh, ngambeknya kayak bocah ini bapak-bapak! Dia ini sikapnya begitu tuh terinspirasi dari cerita-cerita teenlit di Wetpet apa gimana, sih?

Setelah mengambil gunting dan kembali ke teras, aku melihat si bapak sedang menyeruput teh manis hangatnya. Kusodorkan saja gunting itu di atas meja. "Pak, saya mau ke dalam dulu, ya. Bapak bisa tunggu sampai hujannya reda di sini. Misi, Pak," kataku, sopan.

Aku pun meneguk sampai habis teh manisku, kemudian masuk ke dalam rumah. Segera kuganti baju seragamku yang basah kuyup. Tapi begitu aku melihat pantulan diri di cermin, aku baru menyadari sesuatu. Ternyata, seragamku yang basah kuyup justru memperlihatkan bra hitam yang kupakai, dan jilbabku tidak cukup panjang untuk menutupi bagian dada!

Aku yang ga sadar karena terlalu sibuk, justru jadi panik sekarang. Berarti, bapak ojolnya kemungkinan besar ngelihat dalamanku, dong? Mana tadi waktu aku kasih teh manis, akunya segala menunduk-nunduk pula. Makin jelaslah si bapak ngelihat bra hitamku. Astaga...

Rasa panik membuatku jadi salah tingkah. Untuk mendistraksi, aku buru-buru membuka seluruh bajuku hingga telanjang bulat. Kulihat diriku sendiri di cermin. Mataku pun terfokus pada pinggangku yang mulai berlemak. Kucubit-cubit ringan pada bagian itu, yang spontan membuatku menghembuskan nafas panjang.

"Efek kelamaan sekolah dari rumah, nih. Jadinya ngemil mulu."

Karena badanku termasuk pendek, kalau ada kenaikan berat badan sedikit saja, efeknya langsung terlihat pada badanku yang jadi melebar. Hampir dua tahun sekolah dengan PJJ, merubah badanku yang langsing jadi lebih... berisi? Efeknya jadi kemana-mana. Buah dadaku jadi makin besar, hingga aku harus naik ukuran bra dari cup C ke D, dan yang biasanya pakai bra di lingkar buah dada 34, sekarang jadi naik ke 36. Lemak juga sukses menyebar ke beberapa bagian tubuhku yang lain, seperti paha, lengan, pinggul, pantat dan sisi perut.

Untungnya, karena aku biasa pakai baju longgar, lekukan badanku jadi ga terlalu kelihatan. Tapi kalau melebar lebih dari ini... ya bisa kelihatan jelas juga. Aku bisa ngebayangin, kalau makin melebar, aku nanti jadi mirip anak sapi New Zealand: putih, semok dan penuh dengan susu.

"Untung kamu mah cakep, Dea. Jadi termaafkan kalau semok juga," kataku, pada diri sendiri sambil menatap cermin.

Dulu, aku bangga ketika sering dibilang kembarannya Nissa Sabyan. Lucu, pipi penuh, menggemaskan dan berkacamata. Dari puluhan orang yang berinteraksi denganku, hampir semuanya bilang kalau aku mirip vokalis grup gambus itu. Tapi sejak Nissa Sabyan digosipin selingkuh dengan member grup gambusnya yang lain, siapa namanya tuh? Ayus-ayus itu lah, aku jadi sebal kalau masih ada yang bilang aku mirip dia. Hingga akhirnya, aku terpaksa berdamai dengan diri sendiri dan ambil sisi positifnya: yang penting cakep.

Oke, cukup sesi narsisnya. Sekarang mari ganti baju dengan cekatan.


———​


Sudah setengah jam lebih si bapak ojol duduk di teras depan, tapi hujan juga belum ada tanda-tanda mau reda. Mau kuusir dengan halus, akunya ga tega. Tapi aku juga takut kalau cuma berduaan saja di area rumah dengan si bapak.

Karena sehari-harinya aku hampir selalu sendirian di rumah, dan kedua orangtuaku adalah tipe yang bekerja saat dapat proyek. Kalau mereka sedang dinas, mereka bisa pergi berhari-hari, bahkan bisa sebulan penuh. Aku jadi merasa sedang ngekos di rumah sendiri.

Kulirik jam di dinding. Sudah pukul setengah enam sore. Aku makin takut kalau malam nanti, hujan belum juga reda dan si bapak masih menunggu di teras. Aku ngeri membayangkan hal yang engga-engga terjadi padaku. Tapi... kalau ada apa-apa, aku hanya perlu teriak saja, kan?

Akhirnya, aku memilih untuk berdiam diri di atas ranjang kamarku, sambil memeluk guling. Aku berusaha untuk menajamkan pendengaran, untuk fokus ke suara-suara ganjil, seperti ketika ada orang yang membuka pintu depan, misalnya. Tapi aku semakin merasa kesulitan untuk fokus, karena berangsur-angsur, badanku terasa panas. Awalnya kupikir ini panas demam karena kehujanan. Tapi aku tahu panas demam itu bagaimana, dan... ini lain rasanya. Seperti... panas yang membuat darahku berdesir. Membuatku jadi... apa istilah yang tepatnya, ya? Jadi... bergairah.

Aku juga merasa mukaku panas sekali. Kubenamkan saja mukaku di guling, sambil kupeluk erat. Hal ini membuat ujung guling menyentuh erat bagian selangkanganku.

"Hngghh!"

Aku spontan terperanjat karena kaget akan sensasi geli yang tiba-tiba kurasakan di bagian tengah selangkanganku. Aku pun terbengong, keheranan akan apa yang barusan kurasakan. Karena penasaran, aku mencoba menyentuhkan ujung guling ke bagian selangkanganku lagi...

"Hmmmphh..."

Aku segera menutup mulutku, karena tanpa sadar sudah mendesah. Meski pelan, tapi aku takut kalau suaraku kedengaran sampai luar. Aku semakin heran, karena aku belum pernah merasa sesensitif ini. Padahal aku sekarang sedang memakai celana kain yang lumayan tebal, selain celana dalam yang membalut kemaluanku. Tapi entah kenapa sentuhan dari gulingku tetap terasa intens di bagian itu.

Aku yang semakin penasaran, jadi ingin mencoba menyentuhkan gulingku ke bagian itu lagi. Untuk ketiga kalinya, aku mendesah kegelian saat bagian guling menyentuh kemaluanku. Lalu keempat kali, kelima kali, hingga aku sudah lupa ini keberapa kalinya aku menyentuhkan guling ke kemaluanku.

"Ehh... kok jadi gini... aku... kenapa...?"

Tiap sentuhan yang kulakukan semakin menambah rasa geli yang berubah jadi rasa enak yang sulit dijelasin. Aku pun sudah ga cuma menempel-nempelkan guling ke kemaluanku saja, tapi juga sudah berani menggesek-gesekkannya. Semakin digesek, rasanya semakin enak. Aku berusaha menutup mulutku agar desahanku ga keluar, tapi aku makin sulit menguasai diri.

"Ahh... ahhh... ini enak banget, kegesek... oohh... iyahhh... terus... terussshhh..."

Entah sejak kapan, tapi aku baru sadar kalau sekarang aku sedang tiduran dengan posisi menyamping menghadap tembok, dengan guling yang kujepit menggunakan kedua pangkal paha, menempel erat di kemaluanku dan menggesek-gesek bagian itu dengan intens banget. Desahan-desahan keenakan keluar dari mulutku tiap kali kemaluanku digesek dengan permukaan guling.

"Aahhh, iyaahhh... terus... oohh... enak... enak... hhhh... aku kenapa... ooohhh... gila, gila, gila... enak bangettt... auuhhh!" Aku semakin liar menggoyangkan pinggulku dan menggesekkan kemaluanku, hingga berangsur-angsur, ada rasa geli seperti ingin pipis yang kurasakan. "Aahh.. mau... pipis... tapi nanggung... ooohhh... ini enak banget... ngghhh... lagi.. ahh... iyahh... aahh... enak, astaga... enak bangeeeeettt! Oohh, ohhh, mau pipis... mau pipis... mau... mau... ahhh... nngghh... ya, ya, ya... ooouuhhh... aku—aku pipis, aku pipisss... aku—aaahhhhhhhhhhhh~!!!"

Badanku bergetar hebat seiring derasnya air pipis yang keluar dari lubang kencingku. Aku belum pernah merasa keenakan seperti ini, tenggelam dalam badai kenikmatan yang menggulung-gulung hingga membuatku mengejan tiap kali kenikmatan itu datang. Badai itu berlangsung beberapa lama, sampai akhirnya berangsur-angsur mereda hingga meninggalkanku yang terbaring lemas, memeluk erat gulingku dengan nafas tersengal dan muka memerah panas.

Setelah beberapa saat, aku akhirnya bisa mengatur nafas dan langsung tersadar dengan apa yang kulakukan. Aku pun spontan melihat ke arah selangkanganku, dan merasa kaget banget saat tahu kalau celana kainku sudah basah kuyup di bagian itu. Kekagetanku naik puluhan kali lipat, saat melihat si bapak ojol, yang kukira sedang duduk di teras sambil menunggu hujan reda, justru sekarang sedang berada di ambang pintu kamarku. Sebuah senyum menyeringai terlihat jelas di mukanya.

"Saya pikir ada ribut-ribut apa. Eh, ternyata si Eneng lagi keenakan, ya?" tanyanya, dengan nada mengejek.

Aku yang masih lemas, ga bisa memerintah banyak pada badanku untuk bergerak. Jadinya, aku cuma bisa pasrah, saat si bapak ojol makin mendekat ke arahku. Meski, aku tahu, sorot mataku menyiratkan ketakutan luar biasa, saat melihatnya mendekatiku.

Aku ingin teriak, tapi bahkan mulutku ga bisa membuka.








Nympherotica♡

lewd

/lo͞od/

adjective
crude and offensive in a sexual way.
"she began to gyrate to the music and sing a lewd song"
sinonim: vulgar, crude, smutty, dirty, filthy, obscene, pornographic, coarse, tasteless, indecorous, indelicate, off color, unseemly, indecent, salacious, gross, disgusting, sordid, low, foul, vile, rude, racy, risqué, naughty, wicked, arousing, earthy, erotic, sexy, suggestive, titillating, spicy, bawdy, ribald, raw, taboo, explicit, near the bone, near the knuckle, blue, raunchy, X-rated, nudge-nudge, porno, adult
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd