Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Bimabet
Stay in here aja lanjutan nya, bikin indeks baru buat part 2 nya. aku tunggu pembalasan ke freddie bikin dia mohon" minta seks ke kamu
 
Lanjut disini sis, biar gak ribet...

Culik freddy, kurung sama bencong, jangan lupa direkam atau sekalian live streaming...
 
nunggu banget lanjutannya. sejauh ini buka nih forum cuma buat nunggu notif kalau cerita ini ada lanjutannya. :))
 
Chapter 21 — We Love You, Dea






Cuma satu hal yang aku pikirin selama perjalanan pulang tadi. Mandi. Aku harus mandi, bebersih total. Sebersih-bersihnya. Aku ga mau secuil pun najis yang dikasih Freddy masih nempel di badanku. Ga sudi. Karena dia, aku jadi beneran ga nyaman dengan badanku sendiri.

Maka, begitu sampai rumah, kukunci pintu lalu kubuka seluruh seragamku sejak di ruang tamu. Aku berlarian telanjang menuju kamar mandi. Kunyalakan shower, langsung basahi diri dari ujung kepala hingga kuku kaki. Berkali-kali aku sabuni badan dan bagian kemaluan. Aku juga berjongkok dan mengejan sekuatnya, berharap sperma dia keluar seluruhnya.

Di bawah kucuran air shower, aku duduk di lantai sambil menekuk kaki. Kupeluk lututku dan kubenamkan muka di paha. Membiarkan air memercik pada tengkuk dan punggung. Mataku menatap kosong, benakku larut dalam bengong.

Kalau aku sekarang sekotor ini, bisakah aku kembali bersih? Bisa ga, sih, waktu terulang lagi? Balik ke masa aku masih jadi anak perempuan yang bisa menjaga kepercayaan kedua orangtuaku. Ke masa dimana hidupku engga sekacau sekarang. Ke masa dimana aku ga perlu merasa berat hati tiap kali mau ngaji dan sholat.

Tangisku hadir lagi. Pecah dan mengalir di pipi, lalu berbaur dengan air keran saat jatuh ke paha. Inginku berteriak, tapi hati terasa enggan. Aku malu. Pada ruang-ruang kosong yang jadi saksi bisu akan desah dan erangan binal pada momen perzinahanku. Maka, aku tutup rapat mulutku. Ga peduli seberapa gemetarnya aku menahan pilu.

Kuingat, dalam bidang psikologi, ada istilah monkey mind; artinya kondisi seseorang yang memiliki pikiran yang 'melompat-lompat' dari satu hal ke hal lain, yang, isi kontennya berupa ketidaktenangan, kegelisahan, kecewa, marah, murung, sedih, dan sifatnya mendistraksi. Itu yang lagi aku rasain. Pikiranku melompat-lompat dengan lancarnya, berpindah dari satu trauma ke trauma lain. Kacaunya benakku jadi lengkap dengan hadirnya suara-suara yang terus memberiku rentetan pertanyaan, tanpa memberiku kesempatan jawab.

Lalu, monyet di dalam kepalaku berhenti melompat. Aku bisa bayangin, dia ada di sana... bergelayutan sambil menatapku. Muka jeleknya tersenyum. Dia membisikiku pertanyaan. Sebuah pertanyaan sederhana, tapi ga mampu kujawab. "Kan badan kamu udah hina dan kotor dari lama, tapi kenapa sedihnya baru sekarang?"

Tangisku pecah sejadinya. Aku meraung, berteriak panjang hingga suaraku parau. Sesak yang berkecamuk di dadaku, ga bisa lagi kutahan. Jijik. Aku jijik sama diriku sendiri. Rasa jijik dan hina ini merayap cepat ke seluruh badan. Aku jadi benci badan ini. Kugaruk dan kucakar lengan, betis, dan kaki. Entah kenapa, otakku justru memutar ingatan tentang momen-momen aku ngeseks dengan banyak orang. Maka, kubenturkan kepala ke belakang. Bunyi benturan keras pada tembok terasa menenangkan di kupingku. Coba sekali lagi, deh.

Ah, sudah lebih tenang.

Kepalaku sakit dan pusing. Pandanganku terasa berputar. Kuputuskan untuk merebah pada lantai. Tidur menyamping dan meringkuk. Lama. Mencari tenang, mengharap damai. Kepalaku masih berisik, tapi bunyi gemericik air menenangkanku.

Lama... kelopak mataku jadi berat. Makin berat, seiring memudarnya pandangan dan kesadaran. Akhirnya, kutemukan kedamaian saat kelopak mataku menutup... dan pandanganku menghitam.

Kantuk ga pernah semenggoda ini sebelumnya.


———


Tebak siapa yang ketiduran di kamar mandi? Yak, betul. Andrea Nadia ketiduran berjam-jam di kamar mandi, dengan kondisi telanjang dan dikucuri air shower yang lupa kututup. Efeknya, aku jadi masuk angin sekarang. Kayaknya mau pilek juga, soalnya ada demam dan bersin-bersin.

Aku putusin untuk merubah prioritas keinginanku saat Umi pulang nanti. Tadinya mau dimanja, tapi kayaknya aku mau minta dikerokin aja, deh. Biasanya, aku minum Tolak Angin tiap kali masuk angin, sih. Dicampur ke teh manis hangat, lalu diminum dalam sekali angkat gelas. Tinggal tunggu keringetan, dan badanku langsung enakan. Tapi kali ini, aku mau yang beda. Aku memang belum pernah dikerok, tapi aku mau coba. Kayaknya enak kalau liat Abi sendawa terus tiap lagi dikerok Umi.

"Astaghfirullah, gelap banget ini rumah," keluhku, pada ruang gelap saat aku keluar dari kamar mandi.

Buru-buru aku nyalain lampu di tiap ruangan. Soalnya, aku percaya kalau hantu itu suka sama tempat gelap, juga waktu Maghrib. Nah, sekarang tuh lagi keduanya. Aku belum pernah punya pengalaman horror disetanin, dan mau rekor itu tetap terjaga.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar..."

Suara adzan dari pengeras suara masjid komplek sampai ke kupingku. Entah kenapa, langkahku langsung otomatis menjejak ke kamar mandi. Aku berdiri di pintu, seulas senyum mengembang. Kok aku bertanya-tanya, sih? Memang harusnya begini, kan?

Kakiku pun melangkah maju. Yang kiri lebih dulu, sementara mulutku bergerak membaca do'a. Aku berdiri menghadap keran, yang kebetulan dirancang searah dengan kiblat. Setelah membaca niat, aku memulai prosesi mandi junub. Setelahnya, aku berwudhu. Berharap air yang memercik ke sebagian besar badanku ini bisa membuatku merasa... sedikit lebih 'bersih'.


———


Sehabis sholat Isya, kulirik HP yang tergeletak di atas meja belajar. Baru mau aku ambil, HP ku bergetar. Ada chat masuk. Begitu aku buka, aku pun tersenyum. Dari Umi, ngabarin kalau Abi dan Umi sudah masuk Tol Lingkar Luar menuju Jakarta Selatan. Umi minta maaf karena waktu pulangnya jauh dari estimasi, katanya, mereka terjebak macet di Bekasi. Sekarang, mereka beneran lagi menuju rumah. Pulang ke aku, anak mereka satu-satunya.

Setelah kubalas, aku matiin HP untuk kuisi dayanya. Biar lebih cepat terisi. Aku pun kembali ke sajadah. Mengulang kebiasaan lama, tiduran di atas sajadah favoritku. Karena bahannya lembut dan tebal, aku suka banget rebahan di sajadah ini. Kalau sudah rebahan, biasanya aku jadi gampang tidur.

Iya. Nih, akunya sudah mengantuk lagi.


———


Suara ketukan di pintu depan cepat membangunkanku dari tidur. Kulirik jam dinding. Pukul dua pagi. Aku langsung bangun cepat, lalu duduk sambil mengucek mata. Kulihat lagi jam dinding itu. Iya, beneran jam dua pagi! Astaga, kaget banget!

Kalau bukan karena ada yang ngetuk pintu, aku pasti ketiduran sampai pagi. Eh, iya, aku harus cek siapa yang ngetuk. Pasti Abi dan Umi, kan? Semoga iya, karena kalau bukan, aku pasti takut banget jadinya. Duh, mana masih muka bantal dan pakai mukena gini.

Aku segera berjalan cepat menuju ruang tamu. Kusibak tirai jendela, mengintip ke luar. Mataku langsung melebar saat ngeliat siapa yang datang. Abi dan Umi! Buru-buru aku buka pintu. Tentu saja, mereka ga mengantisipasi saat aku langsung melompat, memeluk mereka berdua.

"Jawab salam dulu, dong, baru meluk!" protes Abi, sambil lengannya balas memelukku.

"Wa'alaikumsalam, Abi, Umi!" Kulepas pelukanku. Agaknya, aku terusik sesuatu. Tapi kutepis buru-buru perasaan itu. Lalu, aku menyambut uluran tangan kanan Abi sambil tersenyum. Mau salim. Saat keningku menempel pada punggung tangannya, senyumku memudar. "Umi, gantian Dea mau salim juga."

Setelah salim ke Umi, senyumku makin pudar. Tapi buru-buru aku paksain untuk ceria lagi. Aku ga mau mereka tau kalau aku lagi cemas.

Aku pun mengamati kedua orangtuaku. Meski raut lelah keliatan jelas di muka mereka, tapi aku liat muka mereka cerah banget. Air muka mereka pun teduh. Memang beda, sih, kalau rajin kena air wudhu. Enak aja gitu diliatnya. Pengamatanku pun beralih ke sekitar mereka. Ga ada koper, plastik atau kardus yang biasanya mereka bawa kalau habis dari luar kota.

"Barang-barangnya kemana, Abi?" tanyaku, penasaran.

"Ada di mobil semuanya. Tapi mobilnya ga ada, lagi nginep di bengkel," jawab Abi.

Setelah Abi dan Umi masuk ke dalam rumah, buru-buru dong aku melongok ke halaman parkir. Eh iya, bener ga ada mobilnya. Aku pun spontan pasang ekspresi heran, memandangi Abi dan Umi. "Emang mobilnya kenapa? Kok di bengkel?"

"Itu lah yang mau Abi jelasin. Mobilnya tiba-tiba rusak, mogok di tol Lingkar Luar. Terus diderek sampe keluar tol. Alhamdulillah, kita nemu bengkel. Jadinya mobil diinepin. Terus, Abi sama Umi ga ngabarin karena HP kita berdua mati. Gitu, kesayangnya Abi."

"Terus... Abi sama Umi pulangnya ke sini gimana?"

"Ada bapak-bapak baik yang anter sampe rumah." Kali ini, Umi yang jawab. "Gara-gara kita pesen taksi online, tapi ga dapet-dapet, makanya Abi sama Umi jalan sambil nyari. Eh, tiba-tiba ada yang nawarin numpang kendaraannya. Mana ga mau dibayar lagi. Padahal jauh, loh. Ih, Ya Allah... berkah banget beliau, tuh."

"Oh, gitu." Aku pun memeluk mereka, lagi. Kali ini lebih erat, meski semakin erat kupeluk mereka, semakin terjawab kecemasan yang dari tadi kurasa. "Abi, Umi, mau dimasakin sesuatu, ga? Apa gitu, yang anget-anget? Pasti laper dan kedinginan, kan?"

Abi dan Umi saling berpandangan. Lalu, Abi bertanya ke Umi, "Abi belum laper. Kalo Umi gimana?"

"Sama, Abi. Umi mau bersih-bersih dulu aja," jawab Umi.

"Abi sama Umi sempet tidur ga tadi di jalan? Mau tahajud bareng? Dea udah lama, ih, ga tahajudan bareng Abi-Umi."

Kembali, mereka saling memandang. Lalu, mereka berbarengan nengok ke aku sambil senyum. "Iya, nanti," ucap Abi, disusul Umi dengan bilang, "Dea duluan aja, ya."

Aku agak kaget dengar jawaban mereka. Ga biasanya mereka menunda ibadah, bahkan yang sunnah sekali pun. Dengan benak penuh keheranan, aku mengangguk lalu ambil wudhu, dilanjut melaksanakan tahajud di kamarku. Setelah selesai membaca do'a sehabis tahajud, aku dengar suara ketukan di pintu.

"Iya, Abi, Umi?" tanyaku, sambil membuka pintu.

"Boleh masuk? Abi sama Umi mau nemenin Dea, sebentar. Ga apa-apa?" tanya Umi. Nadanya lembuuuut sekali.

Awalnya aku heran, tapi kututupi keherananku dengan tawa. "Ih, ya ga apa-apa, dong. Namanya juga orangtua. Umi kok nanyanya aneh banget?"

Kupersilakan mereka masuk. Karena memang aku berencana mau tidur, aku pun duduk berselonjor di ranjang. Umi pun naik ke ranjang, duduk manis di sampingku, sementara Abi duduk pada tepi ranjangku. Mereka memandangiku, lama.

"Dea, lagi ada masalah, ya?" tanya Umi.

Aku refleks ingin menggeleng, tapi kukontrol diriku agar ga berbohong di depan mereka. Seenggaknya, aku ingin ada waktu dimana aku bisa jujur kepada kedua orangtuaku. Seperti hari-hari lalu. Seperti waktu yang ga akan bisa kembali lagi itu.

Akhirnya, cuma senyum tipis yang bisa kuberi sebagai responnya.

"Umi liat dari pas kamu buka pintu, mata kamu sembap, lho." Umi makin dalam menatapku. "Hidup kamu ga mudah ya saat kami ga ada? Umi minta maaf, ya. Umi malah kerja dan ninggalin kamu sendirian." Lalu, tangan Umi bergerak cepat meraih lengan Abi, sambil bilang, "Abi juga minta maaf ke Dea, dong."

Dicubit lengannya, Abi langsung bereaksi. Sehabis usap-usap lengan, Abi menatapku. Sama dalamnya dengan tatapan Umi. "Abi minta maaf, ya. Abi pergi-pergi terus. Ga jaga Dea. Kurang luangin waktu buat keluarga. Tapi Abi harap Dea ngerti, kalo yang Abi lakuin adalah demi keluarga," kata Abi. Sumpah, Abi ga pernah ngomong selembut ini sebelumnya.

Aku masih terdiam saat Abi mengakhiri kalimatnya. Jujur, aku bingung harus merespon apa. Kayak... tiba-tiba orangtuamu pulang dini hari, lalu ke kamarmu dan ngomongin hal-hal yang ga pernah keluar di pembicaraan sehari-hari. Oh, oh... apa ini yang namanya deep talk versi keluarga?

"Abi, Umi... jangan khawatir. Dea ngerti. Ada hal-hal yang memang ga selalu butuh penjelasan. Kayak alamiah aja, gitu. Abi dan Umi ga usah minta maaf, karena ga salah juga." Ah... gawat, tenggorokanku tercekat. Aku jadi kesulitan ngomong kalau gini. "Harusnya... Dea yang minta maaf, soalnya...."

Kalimatku sengaja kugantung. Aku ga sanggup selesein. Sungguh. Dadaku menyesak, soalnya. Aku harus tetap kontrol emosiku, atau tangisku akan pecah saat ini juga, dan aku ga mau Abi dan Umi liat aku nangis. Seenggaknya, bukan di momen ini.

Serentak, Abi dan Umi bersamaan menghambur, memelukku. Bukan pelukan yang hangat, karena badan mereka dingin. Sedingin tadi saat aku salim ketika mereka baru tiba. Mungkin karena terlalu lama terpapar udara malam. Mungkin... seharusnya aku usir pikiran buruk yang sedang mengusikku ini. Tapi hatiku jadi hangat. Damai. Tenang dan menenangkan. Mungkin aku mendramatisasi, tapi aku merasa perasaan mereka tersampaikan padaku. Tanpa kata-kata pun aku mengerti, kalau Abi dan Umi sayang aku.

Tuh, kan... aku nangis. Tangisku pecah dalam pelukan mereka. Aku merasa memiliki dan kehilangan di saat bersamaan. Perasaan aneh yang ga pernah aku rasakan sebelumnya. Mengamplifikasi sedih dan bahagiaku, bercampur baur jadi tangis dan raungan emosi.

Abi dan Umi ngebiarin aku nangis sepuasnya. Memelukku dalam durasi yang lama, hingga aku bisa meluapkan semua. Setelah agak mereda, aku justru malu pada Abi karena pundaknya sekarang penuh dengan ingus. Sebel banget, bisa ga, sih, kalau nangis tuh yang anggun, gitu?

"Terakhir kali kamu nangis kayak gini tuh waktu masih kecil, loh," Abi mengusap kepalaku, lalu lanjutin ceritanya, "Dulu pas kecil, kamu tuh suka tantrum. Kalo lagi tantrum, duuuh... heboh banget nangisnya!"

"Terakhir Dea tantrumnya gara-gara apa, tuh, Bi?" tanya Umi pada Abi.

"Apa ya... gara-gara Abi tinggal kerja, kayaknya, Mi." Abi kembali bicara padaku. "Kamu nangis heboh, megang-megang kaki Abi supaya ga pergi. Ga bisa ditenangin. Akhirnya, Abi peluk Dea. Abi usap-usap punggungnya, terus Abi bisikin, "kalo mau Abi cepet pulang, do'a aja", gitu. Eh abis itu kamu ngacir ke tempat sholat, langsung do'a supaya Abi ga pergi."

"Akhirnya Abi beneran ga pergi, kan?" tanyaku.

"Tetep pergi, dong. Tapi setelah kamu tidur. Abi jadi telat kerja, dimarahin atasan. Tapi ga apa-apa. Abi mending dimarahin atasan daripada dimarahin Dzat yang titipin kamu ke Abi, karena bikin kamu sedih."

"Habis itu, tiap Abi pergi kerja, kamu udah ga pernah tantrum lagi, Sayang," ucap Umi, sambil hapus air mataku. "Kamu selalu do'a, minta Abi cepet pulang, semoga selamat terus bawa jajanan. Alhamdulillahnya, Abi jadi dapet rejeki terus. Siapa tau karena do'a Dea."

"Makanya... Abi sama Umi... minta Dea do'ain kami terus, ya?" ucap mereka, hampir berbarengan.

"Iya, Abi, Umi. Dea tau, kan amalan yang ga akan terputus itu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan," aku memberi jeda, karena tenggorokanku kembali tercekat, "Do'a anak yang sholehah, kan?"

Abi dan Umi berbarengan mengangguk. Mereka pun lepasin pelukan. Menatapku lama dan dalam, dengan sorot mata yang penuh sedih dan muram. "Bisa, Sayang?" tanya Abi.

Gantian, aku mengangguk. Lalu, Abi dan Umi pamit sambil beranjak dari ranjang. Kuhembuskan napas panjang, lalu menatap mereka yang sedang berdiri, memandangiku.

"Sekarang... Abi dan Umi mau istirahat?" tanyaku.

"Iya. Kayaknya tidurnya bakal pules banget, deh. Bisa-bisa ga bangun lagi, nih. Soalnya capek banget," balas Abi. Ih, Abi tuh memang suka bercanda, tapi kali ini sorot mata sedihnya ga bisa ditutupi dariku.

Saat Abi dan Umi mengucap salam, lalu melangkah pergi, rasa kehilangan yang berkecamuk di dadaku makin membesar, pada tiap langkah mereka yang menjauh dariku. Aku ingin bangun, lalu menahan mereka untuk ga ninggalin aku, lagi. Tapi aku ga bisa. Badanku kaku. Seakan ada beban berat yang menahanku. Tapi aku tau, bibirku masih bisa bergerak. Aku masih bisa menahan mereka lebih lama, meski cuma bertambah beberapa menit saja.

Maka, meski tenggorokanku makin tercekat karena sakit pada hati, atau tangis yang bersiap pecah lagi, aku ga peduli. Aku membuka bibir, menguntai kata-kata.

"Sebelum... Abi dan Umi keluar dari kamar ini, Dea... mau ngomong sesuatu. Bismillah," ucapku. Kuambil napas panjang, hembuskan perlahan, lalu melanjutkan kalimatku. "Pertama, terima kasih banget, banget, banget, banget, banget, banget... karena sudah jadi orangtua yang luar biasa baik buat Dea selama ini. Dea ga tau harus bilangnya gimana, tapi Dea beneran bersyukur bisa jadi anak Abi dan Umi. Kalo misal Dea bisa lahir lagi, dan ditanya mau jadi anak siapa, pilihan Dea ga akan berubah. Ga akan.

"Kedua... hufff," ah, gimana, sih... air mataku mulai mengalir lagi, tapi aku harus terus, harus kuat, karena habis ini kesempatannya ga akan ada lagi, "Dea mau bilang, kalo Dea bisa jaga diri. Abi sama Umi tenang aja, jangan mikirin Dea lagi. Fokus aja sama urusan Abi dan Umi, ya. Dea yakin bisa kuat, kok, ngejalanin hidup ini."

Abi dan Umi cuma senyum. Tapi senyumnya lebar banget. Ekspresi sedih yang berusaha mereka sembunyiin dari tadi juga udah ga ada. Sekarang, mereka keliatan lega. Tanpa kata, tanpa suara. Cuma senyum tulus, yang bikin hatiku makin sakit saat memandanginya.

"Ketiga dan terakhir... makasih, ya, udah bikin pengalaman pertama Dea sama hantu-hantuan dan hal-hal serem, jadi berkesan. Dea ga akan lupain ini. Makasih banget, Abi dan Umi udah bela-belain pulang untuk mampir, sebelum pergi ninggalin Dea...," yah, air mataku makin deras keluar, nih, "...Untuk selamanya."

"Kamu udah tau, ya," ucap Abi, lirih.

Umi kembali memandangiku dengan tatapan sedih. "Dari kapan taunya, Sayang?"

"Dari... awal. Dari pas peluk... dan salim, itu. Badan Abi dan Umi dingin banget. Suhunya ga wajar, lebih dingin dari suhu ruang. Suhu tubuh manusia ga ada yang sedingin itu, apalagi ini di wilayah sub-tropis. Tadinya, Dea masih coba mikir positif, mungkin Abi dan Umi badannya dingin karena terlalu lama di luar. Tapi pas tadi Abi dan Umi meluk Dea, suhunya tetep dingin, padahal udah lama di dalem rumahnya.

"Terus... Dea jadi mikir, Abi sama Umi pulangnya lama pasti karena ada apa-apa. Ga bawa barang juga, padahal biasanya seenggaknya bawa HP atau dompet, kan? Dea perhatiin dari tadi, ga ada tuh barang-barangnya. Abi sama Umi juga mengelak pas Dea ajak sholat. Kenapa? Karena udah ga bisa sholat, ya? Iya, kan? Abi sama Umi... udah ga ada, kan? Ini mampir buat perpisahan, kan? Abis Abi sama Umi keluar dari kamar ini, Dea ga akan ketemu kalian lagi, kan?"

Abi dan Umi cuma diam saat aku cecar dengan banyak pertanyaan. Aku sendiri sudah ga bisa liat mereka dengan jelas, karena mataku bias akibat air mata. Tangisku makin menjadi-jadi. Bohong kalau aku bisa kuat mengantar kepergian mereka dengan hati tegar.

"Dea," ucap Umi, lembut, "Umi sayang sama Dea. Umi pengen ngehabisin waktu lebih lama lagi sama Dea, Umi yakin Abi juga ngerasain hal yang sama. Tapi waktu kami sudah habis. Yang mengantar kami ke sini sudah nungguin di luar."

"Dea... anak Abi yang pinter, yang baik... kuat-kuat jalani hidup, ya? Abi dan Umi udah ga ada saat Dea dewasa nanti, saat Dea nikah dan punya anak. Kami ga bisa ajari Dea lebih banyak ilmu kehidupan lagi. Kami akan fokus dengan urusan kami di alam kubur, sementara Dea masih menjalani urusan dunia. Kami ga akan ada di sebagian besar umur Dea, tapi kami yakin, Dea bisa dan sekuat itu untuk hidup sebaik-baiknya," ucap Abi. Sorot mata sedihnya beneran melukai hatiku.

Mereka pun mendekat, ulurin punggung tangan kanan mereka ke aku. Kusambut tangan Abi. Dengan khidmat, kutempelkan keningku di punggung tangannya yang dingin, lalu... kukecup bagian itu, untuk yang terakhir kali. Kulakukan hal yang sama pada tangan Umi.

"Kami pamit, ya?" ucap mereka, sambil senyum padaku. "Wassalamu'alaikum, Dea."

"Wa'alaikum..." Aku berusaha mengakhiri salamku, tapi ga bisa. Tangisku lebih mendominasi, mengambil alih kemampuanku dalam berlisan.

Ga ada lagi yang bisa aku lakuin selain melihat Abi dan Umi keluar dari kamarku, dan menghilang di balik pintu yang setengah membuka. Tangisku makin menjadi-jadi, dan berlangsung belasan menit setelahnya, bahkan berjam-jam sepeninggal mereka. Memori baik dan buruknya, sedih, senang dan hebatnya... terputar jelas di benakku.

Semua kenangan itu buatku sadar, bahwa Abi dan Umi sebegitunya sayang aku; semua perhatian mereka, ilmu yang mereka bagi, waktu yang mereka luangkan, apa-apa yang mereka perjuangkan... dan harapan untuk terus bersamaku, meski berakhir ga selama yang mereka kira.

Tapi itu cukup. Bagiku, perasaan mereka cukup dan penuh, tersampaikan dengan baik kepadaku. Justru karena itu, tangisku ga bisa berhenti. Menangisi mereka yang waktunya sudah habis di dunia, tapi perasaannya tetap tinggal, bersemayam di hatiku... dan ga lekang oleh waktu.

Berurai air mata, wajahku pun mendongak, menatap langit-langit kamar. Pandanganku kosong, menerawang jauh. Pikiranku menembus materi. Lebih jauh lagi. Ke atas, ke singgasana dimana Tuhan berada. Waktu kecil dulu, aku percaya kalau Tuhan ada di atas sana. Di tempat tertinggi dan termulia.

Sambil terus memandang ke atas, hatiku bertanya. Kupertanyakan takdirku pada-Nya. Pada apa yang Dia gariskan dan jadi misteri bagiku. Pada kuasa-Nya untuk mengambil hal-hal berhargaku. Pada cara-Nya dalam menguji imanku.

Dalam satu hari, aku hancur lebih buruk dari biasanya. Apa kehancuranku juga bagian dari skenario-Nya? Tapi buat apa? Kenapa aku seakan diberi kebahagiaan untuk aku pupuk dan lestarikan selama belasan tahun hidupku, hanya untuk dituai jadi derita dan kehilangan?

Kenapa?

Kenapa?

Kenapa?

Satu kata tanya itu berulang terus di kepala. Berisik bagai pendemo rusuh yang memegang toa. Terus kutatap Dia. Menunggu jawaban. Lama. Dan jawaban itu ga pernah ada.

Aku pun menunduk lesu. Bangun dari ranjangku dan keluar kamar, hanya untuk terpaksa menerima fakta bahwa cuma ada aku di rumah ini. Aku mengitari rumah, mencari sosok Abi dan Umi. Di dapur, di halaman belakang, di kamar mandi, dan di kamar mereka. Semua ruangan kosong. Kuhampiri ruang tamu. Pintu depan terkunci dari dalam. Ga ada yang keluar rumah dari tadi.

Kubuka lagi kamar mereka. Aku pandangi ruangan ini. Sepi. Benda-bendanya masih berada di tempat masing-masing. Aku pun jatuh terduduk di ambang pintu. Tangisku hadir lagi. Kali ini, aku beneran percaya kalau tadi Abi dan Umi sengaja mampir untuk mengucap perpisahan. Kalau pengalaman tadi... bukan mimpi.

Satu hal lagi yang aku yakini, yang akan menggenapi firasatku bahwa Abi dan Umi sudah ga ada. Jika nanti aku nyalain HP ku, aku akan tau beritanya. Berita tentang apa yang terjadi pada mereka.

Maka, saat adzan Subuh berkumandang, aku pun bangkit. Bukan untuk ambil wudhu. Sekarang, aku menganggap hubunganku dengan Tuhan adalah hubungan yang transaksional. Ketika sesuatu terenggut dariku lebih banyak dari yang aku dapat, aku merasa ga wajib lagi untuk jadi seseorang yang taat beragama. Imanku runtuh. Aku ga lantas langsung membenci Beliau dan takdir-Nya, sih.

Karena, aku bahkan sudah ga peduli apa pun lagi.

Kuambil beberapa baju di lemari. Menyiapkan beberapa obat-obatan, dompet, juga tisu. Akan banyak tangis nantinya, jadi aku harus bersiap. Semua barang itu aku masukin ke tas ransel. Aku juga ganti baju. Kulepas mukena, lalu kupilih asal baju dan jilbab untuk aku pakai. Setelahnya, aku cabut charger, dan sambil menggenggam HP, aku duduk di ruang tamu.

Aku menunggu. Firasatku bilang, pagi nanti, akan ada yang datang. Memintaku ikut mereka ke rumah sakit atau kemana pun itu, sambil mengusap punggungku dan menjelaskan dengan hati-hati. Memberi wejangan untuk senantiasa sabar, sampai aku muak mendengarnya.

Mataku sembap, perutku lapar, badanku capek karena terus menangis, hatiku sakit, dan aku ga peduli. Aku sudah ga peduli semuanya lagi.


———


Jam setengah enam pagi, ada ketukan di pintu depan. Aku langsung bersiap. Kumasukkan HP ke saku jaket, lalu berjalan ke pintu. Saat pintu terbuka, berdiri dua orang paruh baya di depanku. Om dan tanteku. Rumah mereka ada di Jakarta Utara. Jauh kan ke Depok? Kalau bukan karena urusan penting, buat apa mereka datang sepagi ini? Dan sialnya, aku tau urusan apa itu.

"Dea... mau kemana?" tanya tanteku. Ekspresinya kaget saat liat aku sudah berkemas dan siap pergi.

"Mau ketemu Abi sama Umi. Dea dijemput buat ke sana, kan?"

"Iya. Tapi kamu tau darimana kalo mau dijemput? Kan dichat juga cuma ceklis satu, jadi Om pikir kamu belum tau." Kali ini omku yang bicara.

"Oh, maaf. Dea matiin HP dari semalem. Tapi Dea udah tau, kok. Abi sama Umi sendiri yang sampein." Aku pun permisi pada mereka, lalu setelah menutup dan mengunci pintu, aku berjalan menuju mobil. Saat aku sadar kalau om dan tanteku ga bergeming sambil menatapku dengan tatapan penuh heran, aku ngomong lagi, "Makin cepet kita urus, makin cepet juga bisa dikubur, Om, Tante. Yuk."

Sengaja kusiapkan sikap sedingin dan sedatar mungkin, agar mereka ga perlu repot-repot menghibur dan menunjukkan empati selama perjalanan. Ini berguna juga untukku, supaya aku ga buang-buang air mata.


———


Jenazah Abi dan Umi ada di kamar mayat RS Fatmawati. Dari keterangan polisi yang menangani perkara, orangtuaku terlibat dalam kecelakaan tunggal di jalan tol Lingkar Luar Jakarta. Dari rekaman cctv di tempat kejadian, polisi bilang kalau mobil yang orangtuaku tumpangi banting stir ke kiri untuk menghindari bus di depan mereka yang tiba-tiba ngerem mendadak, lalu mobilnya menabrak dinding underpass, mental dan terbalik. Keduanya meninggal di tempat, dengan waktu kejadian pukul sembilan malam.

Aku tersenyum kecil. Berarti yang dini hari tadi nemuin aku tuh Abi dan Umi tapi bukan versi yang masih hidup, tentunya. Ironis, ya. Selama ini aku ga pernah punya pengalaman ketemu hantu, tapi sekalinya punya, itu dengan kedua orangtuaku.

Kutengok sebentar jenazah mereka. Kusibak kain putih itu, lalu lagi-lagi, aku tersenyum. Wajah mereka cerah dan tersenyum. Seakan sudah siap saat menyambut ajal. Air mataku pun mengalir lagi. Ih, aku jadi gampang nangis sekarang. Tapi ini tangis bersyukur. Aku bahagia, setelah melihat wajah Abi dan Umi yang ceria.

Setelah urusan administrasi dan lain-lain, jenazah orangtuaku dibawa mobil ambulans ke rumah. Om dan tanteku yang ikut bantu mengurus, dengan sigap mengawal sambil mengabari kerabat lainnya. Jadi, saat jenazah Abi dan Umi sedang dimandikan di masjid komplek rumah, para pelayat sudah banyak yang kumpul di rumahku.

Tapi ga kukira... ternyata yang datang banyak banget! Mereka menangisi Abi dan Umi, yang terbujur kaku di ruang tamu, sudah terkafani dan ditutupi jarik. Banyak juga yang berusaha menghiburku, dan aku tanggapi dengan baik.

Aku juga mendengar secara seksama ketika para pelayat membicarakan kebaikan kedua orangtuaku semasa hidup. Tentu, aku jadi makin bersyukur dan berbangga hati. Syukurlah, orangtuaku adalah orang-orang baik. Tapi semakin kudengarkan cerita mereka, semakin sesak dadaku terasa. Lalu makin sesak... dan aku juga kesulitan bernapas, sampai...

Tiba-tiba aku ambruk ke lantai. Saat pandanganku menghitam, aku sudah ga ingat apa-apa lagi.


———


Setelah prosesi penguburan yang berlangsung haru dan khidmat (dimana aku masih pingsan dan berakhir cuma dapet ceritanya doang), aku jalani sisa hari Sabtu dengan lesu. Ga mau makan, ga mau minum, lemas karena sering nangis, dan kesulitan melihat karena mataku terlampau bengkak. Saat aku bercermin, aku agak terhibur. Mataku seperti habis dipukul, dan tampilannya terlihat lucu.

Lalu aku kembali tenggelam dalam duka. Aku juga izin ga gabung saat beberapa anggota keluarga besar menggelar tahlilan selama tujuh hari, mulai dari malam ini. Sepupu-sepupu yang entah dari keluarga yang mana juga datang menjengukku, tapi aku mengunci pintu. Aku sembunyi di kamarku.

Saat lagi bengong sambil memandangi langit-langit kamar, HP ku berdering. Emang, sih, HP ku sejak tadi siang sudah berisik sama notifikasi. Tapi aku enggan untuk mengecek. Kali ini, deringnya tanda ada telepon masuk. Kulirik malas, hanya untuk tau bahwa kontak Fah yang muncul di layar.

Angkat, ga? Angkat, ga? Apa angkat aja? Atau... engga? Saat lagi menimbang-nimbang, dering HP ku berhenti. Udahan teleponnya. Aku pikir akan aku angkat, kalau dia telepon lagi. Karena kalau seseorang meneleponmu lebih dari sekali, pasti ada hal yang penting.

Eh, iya. Dia nelepon lagi. Yaudah, yaudah... aku angkat, deh.

"Halo? Kenapa, Fah?" tanyaku. Suaraku masih serak karena keseringan menangis.

"Dea! Kamu kemana aja?! Grup WA kelas-kelas sekolah kita lagi rame!" Dia kenapa, sih? Baru juga ngomong, langsung heboh gini.

"Rame kenapa? Aku ga ngecek HP daritadi."

"Video kamu yang ga pake celana dalem itu kesebar! Aku yakin banget yang nyebar itu Freddy, tapi aku ga punya bukti! Sekarang seisi sekolah lagi rame nanyain kamu, ada yang bilang hari Senin nanti... kamu bakal dipanggil guru-guru!"

Wah... kesialanku masih berlanjut, ternyata. Yaudah, mau gimana lagi? Pasti sudah banyak yang liat. "Oh, yaudah kalo kesebar," responku, datar.

"Kamu... ga merasa apa, gitu? Marah, kesel, dendam? Apa kita sebar balik aja? Video yang Freddy ngapa-ngapain kamu di belakang sekolah itu aku rekamnya jelas, kok. Bisa banget dipake buat bales dia."

Iya, ya. Harusnya aku panik sekarang. Harusnya aku lagi mikirin strategi untuk merespon video itu, dan langkah balasannya. Tapi buat mikirinnya aja, aku ga ada hasrat. Males. Biarin aja, aku ga peduli.

"Aku lagi ga ada waktu ngurusin yang kayak gitu, Fah. Tapi makasih, loh, buat infonya."

"Dea, kamu lagi kenapa?" Suaranya di seberang sana berubah intonasi. Kedengeran kayak lagi khawatir. "Eh, sebentar, deh. Rumah kamu rame banget. Lagi ada acara?"

"Iya. Lagi ada tahlilan."

"Tahlilan... itu apa?"

"Acara dzikir dan do'a bareng gitu, diadainnya kalo ada yang meninggal."

"Siapa... yang... meninggal, Dea?" tanyanya, kali ini, nadanya dibuat hati-hati banget.

"Abi sama Umi."

Fah diem dulu. Dengan penuh ketidakyakinan pada nada suaranya, dia bertanya lagi, "Abi sama Umi itu... panggilan buat orangtua kamu... kan?"

"Iya, Fah."

"Aku ke rumah kamu sekarang. Tunggu, ya." Sekarang, suara Fah berubah panik.

"Eh, ga usah. Beneran. Udah malem, ga apa-apa—"

"—POKOKNYA, AKU KE RUMAH KAMU SEKARANG!" Setelah motong omonganku dan teriak padaku, Fah langsung tutup telepon. Aku sampai harus gosok-gosok kupingku karena saking pengangnya akibat teriakan dia.


———


Cuma butuh waktu satu jam bagi Fah untuk sampai ke rumahku. Dia juga kabarin aku saat mau sampai, jadi aku bisa siap-siap ke depan rumah untuk sambut dia. Begitu turun dari mobil, aku spontan angkat alis saat ngeliat baju yang dia pakai. Kemeja hitam yang kelonggaran, dipadu dengan skinny jeans hitam dan topi hitam. Sepatu kasualnya juga berwarna sama. Niat banget mau ngelayatnya.

"Tumben kamu dandannya boyish gini—"

Fah meluk aku, erat banget. Eh, dia malah nangis, dong. Ih, kenapa dia yang sedih? Kan aku yang kehilangan orangtuaku? Mana langsung nangis heboh, lagi. Malu tauuu, diliatin banyak orang! Lagian, kalau dia nangis gini, akunya juga jadi ikut sedih, dan bisa-bisa...

Yah, kita malah berakhir nangis bareng. Ga lucu banget.

Setelah tangis kami mereda, Fah longgarin pelukannya. Dia tatap aku, lama. Matanya jadi sembap gitu. "Kenapa... kamu... uuhh... ga kasih tau aku?" tanya Fah, sambil masih nangis sesenggukan.

"Kan ini aku kasih tau..."

"Kenapa ga dari sebelum-sebelumnyaaa?!"

"Aku ga mau dikasihani, Fah." Kuusap punggungnya, yang justru bikin dia nangis heboh lagi. "Tapi makasih, loh, karena udah mau dateng."

"Aku ga mengasihani! Kan kita temen, kan kita deket... masa aku ga sedih kalo orangtuanya temen aku meninggal?"

"Iya, terima kasih, ya."

"Orang-orang di sekolah udah tau?"

Aku menggeleng. "Awalnya sih karena ga sempet. Sekarang, ga pengen kasih tau juga. Gitu."

"Aku pikir... kamu harus kasih tau mereka, Dea."

"Akan. Senin nanti, aku kasih tau, kok. Sekalian mau infoin hal lainnya. Selama nungguin kamu tadi, aku mikirin ini: aku mau pindah sekolah."

Fah langsung bengong. Dia ga bisa berkata-kata. Maka, aku lanjutin omonganku. "Ga cuma pindah sekolah. Aku juga mau pindah rumah. Keluar dari lingkungan ini. Mau jalanin hidup baru."

Bengongnya Fah jadi bertambah lama. Kayaknya dia butuh waktu untuk mencerna omonganku, deh. "Terus... kamu mau kemana?" tanya dia, akhirnya.

"Belum tau. Tapi aku udah ga mau tinggal di sini lagi, Fah. Hidupku udah terlalu kacau. Banyak sedih, banyak luka. Aku mau tenangin diri dulu. Urusan nanti, biar diurus nanti aja."

"Aku boleh jadi bagian hidup baru kamu, ga?" tanyanya lagi. Pandangannya mengiba padaku.

Ih, ekspresinya bikin aku pengen ketawa aja. Harus tahan, harus tahan. "Kalo aku bilang ga boleh?"

"Ya aku maksa!"

Respon ngototnya jadi pelatuk yang bikin aku ga bisa menahan tawaku lebih lama. Aku tertawa lepas, sementara Fah dan pelayat lain yang dari tadi memperhatikan kami berdua, menatapku dengan ekspresi heran. Di saat begini, aku kira mereka pikir bahwa aku sudah gila.

Mungkin mereka benar. Tapi bukannya ga apa-apa untuk jadi gila sesekali? Hitung-hitung untuk refreshing. Karena mempertahankan kewarasan di masa sulit seperti ini jauh lebih menyiksa, daripada menyerah dan jadi gila. Karena saat ini, suara-suara di dalam kepalaku terdengar makin intens, dengan hasutan mereka yang semakin menggoda.


———
 
Terakhir diubah:
Senin ini, aku sengaja datang telat ke sekolah. Telatnya juga ga nanggung, jam sepuluh. Pas jam istirahat. Kehadiranku diketahui guru piket, yang langsung omelin aku panjang lebar. Ga aku dengerin juga guru ini ngebacot apa. Suara-suara di kepalaku makin berisik, dan aku terlalu fokus dengerin mereka daripada ceramah guruku.

"Kalo kamu udah ngerti, sekarang kamu ke ruang Kepala Sekolah dulu. Pak Kepsek titip pesan ke guru-guru, kalo ada yang liat kamu, sampein kalo kamu diminta ketemu Pak Kepsek," kata guru piket itu.

Aku mengangguk, lalu pamit. Di jalan menuju ruang Kepala Sekolah, aku melewati banyak murid—dan semuanya ngeliatin aku dengan tatapan sinis, beberapa sampai di level jijik. Aku pikir, itu hak mereka. Aku ga bisa mengatur sikap orang lain padaku, jadi diriku saja yang aku atur. Dengan bersikap bodo amat.

"Eh, ada Dea. Hari ini pake celana dalem, ga, ke sekolahnya?" celetuk salah seorang murid.

Cewek dari kelas lain, tapi saat kelas sepuluh kami sekelas. Aku ga pernah suka sama cewek ini, karena selalu ngeliatin aku dengan sinis. Sikapnya juga ga pernah enak ke aku. Iya, ke aku doang. Ke teman-teman sekelasku yang lain ga begitu. Aku ga pernah bisa ngerti sama sikap anehnya ke aku.

"Ih, gila loh gue dicuekin," tambahnya, saat aku ga nanggepin sindirannya.

Aku masih terus jalan. Tiba-tiba, tas ranselku seperti ditarik. Aku pun jatuh duduk di lantai. Tulang ekorku sakit banget saat menubruk permukaan lantai yang keras. Saat aku masih meringis sakit, cewek caper ini ngomong lagi, "Selain orangtua lo ga ngajarin buat pake celana dalem kalo kemana-mana, mereka juga ga ngajarin lo cara merespon orang kalo lagi ngomong sama lo, ya?"

Sumpah, aku bengong saat dengerin dia. Abi dan Umi salah apa sampai harus dibawa-bawa ke dalam konten sindirannya? Kalau dia punya masalah sama aku, jangan bawa-bawa orangtuaku!

Aku pun bangun. Kutepuk-tepuk pinggulku sebagai upaya untuk mengurangi rasa sakit. Setelahnya, kutatap cewek di depanku. Saat mulutnya membuka lagi dan bersiap ngomong sesuatu, tanganku mengayun cepat. Satu tamparan mendarat mulus di pipi kirinya. Kayaknya lumayan keras, soalnya bunyinya nyaring.

Habis ditampar, dia malah bengong. Mungkin ga nyangka kalau aku bisa seberani itu. Iya lah, pasti kaget. Soalnya, selama ini aku dikenal kalem dan lembut. Siapa yang nyangka? Setelah bengongnya udahan, dia bersiap nyerang aku, tapi kesempatan saat dia bengong tadi sudah aku pakai untuk lepasin ranselku, lalu kuayunkan kuat-kuat padanya. Awww, ranselku sukses menghantam kepala. Ransel berisi buku-buku tebal milik perpustakaan yang tadinya mau kukembalikan, malah aku pakai dulu untuk menggebuk kepala orang.

Cewek itu pun limbung, lalu terhuyung-huyung dan tersungkur ke lantai. Untuk beberapa saat, dia ga bergerak. Lalu, dia merintih pelan sambil memegangi kepala. Kutatap dia, dingin. Rasanya ingin sekali lagi kuhantam kepalanya, tapi aku ga punya waktu. Aku pun ninggalin dia, bergegas lanjutin tujuanku, dengan berbagai pasang mata terus ngeliatin aku.


———


Sesi obrolanku dengan Kepsek berlangsung alot. Si Kepsek, yang merasa dirinya mewakili sekolah, tetap ngotot kalau alasanku ga pakai celana dalam di video yang tersebar itu ga masuk akal. Padahal aku udah bilang, kalau celanaku basah kuyup saat aku bilasan setelah pipis, jadi ga aku pakai lagi. Lagipula, pikirku aku pakai rok panjang, jadi ga akan ada yang tau. Mana bisa aku prediksi, kalau ternyata ada orang bodoh yang bisa-bisanya merekam dari lantai.

Oh, tentu saja aku bohong soal alasanku. Aku ga mau menyeret Bu Siska ke dalam masalah ini.

"Pak, udah berapa banyak, sih, kasus murid ketangkep basah berbuat mesum di sekolah ini? Saya ga mesum, saya cuma ga pakai celana dalem aja," kataku.

"Ya itu sama saja tindakan asusila!"

"Darimananya?"

"Apa pun alasannya, kamu ga dibenarkan untuk ga pakai celana dalam ke sekolah, apalagi kamu termasuk murid berprestasi. Bukan cuma nama kamu yang jelek, tapi nama sekolah juga!"

"Saya ga mau bertele-tele, Pak. Kita langsung ke intinya aja. Jadi pihak sekolah maunya saya gimana?"

"Ada sanksi berat yang harus dijatuhkan buat kamu, Nadia. Kalau kamu mau tetap sekolah di sini, kamu harus tinggal kelas. Terlepas dari nilai-nilai kamu yang baik, poin kesalahan kamu juga tinggi, dan itu ga bisa ditolerir. Atau... kamu bisa naik kelas tapi pindah sekolah. Bapak bisa kasih rekomendasi untuk itu. Ini kebijakan yang bisa Bapak kasih ke kamu, untuk membalas prestasi kamu buat sekolah selama ini."

"Oh, saya memang mau infoin kalo saya mau pindah sekolah, kok, Pak. Pas banget kalo gitu. Jadi, kita ada di persepsi yang sama, kan? Saya akan urus kepindahan saya, secepatnya."

"Baik. Tolong beritahu orangtua kamu, ya. Urusan administrasi kepindahan harus diurus wali murid, Nadia."

"Orangtua saya udah meninggal, Pak. Jum'at malam kemarin. Jadi administrasinya biar saya sendiri yang urus."

Lucu juga saat ngeliat muka Pak Kepsek yang kaget ketika aku beritahu kalau Abi dan Umi sudah meninggal. Dia bahkan masih ga bisa berkata-kata saat aku pamit ninggalin ruangannya. Setelah dari ruang Kepala Sekolah, tujuanku selanjutnya adalah kelasku. Karena jam istirahat sudah selesai, dan meski sekarang lagi class meet, tapi pasti sebagian besar murid ada di kelas. Aku juga ga ada niatan masuk sekolah. Tujuanku datang tuh cuma pamit aja.

Saat aku masuk kelas, suasana yang tadinya ramai berubah drastis jadi hening. Semua mata tertuju padaku. Asik banget, kayak lagi di pentas. Makanya, kupakai momen ini untuk bicara.

"Hai, semuanya. Gimana hari libur kalian? Pasti enak, ya, liburan sambil ghibahin aku di grup WA?" Aku terkekeh geli sambil memandangi mereka. "Maaf, ya, dua hari ini aku ga ngerespon apa-apa. Aku masih urusin acara tahlilan kedua orangtuaku. Tapi aku tetap menikmati saat bacain nyinyiran kalian semua, kok."

Kulihat, ekspresi mereka semua langsung berubah. Wajah-wajah canggung itu nampak jelas, saling berkasak-kusuk ke satu sama lain. Mereka enggan merespon, seenggaknya sampai salah seorang teman kelasku berani bertanya, "De... orangtua kamu... meninggal?"

"Iya. Tewas kecelakaan Jum'at malam kemarin. Tapi itu urusanku, kok. Ga penting juga buat kalian—"

"—Ya kan... kita ga tau kalo orangtua kamu meninggal," potong yang lain, nada membela dirinya mengesankan kalau dia ga mau merasa disalahin karena sudah ikutan nyinyirin aku saat videoku tersebar.

"Emang. Menurutku, poinnya sih jangan suka nyinyir aja. Kan kita ga tau orang yang dinyinyirin itu lagi kenapa. Tapi, no offense, loh. Aku kan ga bisa kendaliin sikap buruk kalian, jadi ya sah-sah aja kalo kalian mau nyinyirin orang. Toh, kualitasnya jadi keliatan, kan?

"Oh, iya. Aku ke sini cuma mau pamitan. Aku mau pindah sekolah. Terserah kalian beranggapan kalo aku malu gara-gara video itu, aku bodo amat. Ga penting juga kasih tau kalian alesanku apa. Intinya, aku mau pamit, dan minta maaf kalo selama jadi teman sekelas, aku punya banyak salah ke kalian. Gitu."

Lalu, aku pun berjalan mendekati meja milik cowok yang dari tadi menunduk tiap kali mataku menatap tajam padanya. Sekarang, aku sudah di depan mejanya. Kupandangi dia. Lama dan dalam. Tanpa ada sepatah kata pun keluar selama beberapa menit berdiri di depan dia.

"Fred," kataku, akhirnya, "Laki-laki itu yang dipegang kata-katanya. Kan kamu sendiri yang bilang, kalo ga mau videonya disebar, aku harus ngalah sama kamu. Aku udah turunin nilaiku, tugas juga aku sengaja salah-salahin. Aku bisa dapet nilai sempurna, tapi aku menghormati perjanjian kita. Tapi kenapa kamu engga? Kenapa kamu sebar videonya?"

Serentak, seluruh murid di kelas nengok ke Freddy. Muka mereka kaget banget setelah denger omonganku. Beberapa langsung ribut-ribut, sisanya berbisik ke teman sebangkunya, menyusun asumsi. Sementara aku, kulanjutkan penghakimanku pada Freddy.

"Ga cukup sampe disitu, kamu juga lecehin aku. Ga nyangka, sih, kamu ternyata bejad. Kenapa? Kamu merasa menang gara-gara cuma punya video aku yang ga pake celana dalam?"

Freddy langsung bangun sambil gebrak meja. Dia mencengkeram kerah seragamku. Matanya melotot dan memerah, tapi aku ga gentar. Reaksiku tetap sama, menatapnya dengan tatapan hina. "Ja-jangan sembarangan kalo ngomong! Ma-mana buktinya aku yang sebar video kamu?! Kalo kamu ga bisa buktiin, kamu berarti fitnah aku! Akan aku laporin kamu ke polisi!" teriaknya.

"Oh? Ya silakan. Tapi denger baik-baik, nomor dua. Kalo aku keluarin buktinya, kamu ga akan punya muka lagi untuk berada di kelas ini. Tapi ga akan aku keluarin sekarang. Nikmati aja hidup kamu dulu, nanti juga ada saatnya kamu ketar-ketir." Aku pun mengetuk-ngetuk punggung tangannya. "Lepas. Aku mau pulang. Jijik tau, kalo kelamaan deket-deket sama pemerkosa. Mau aku laporin ke polisi, sekarang?"

Ya... emang pada dasarnya Freddy itu pengecut, jadi ketika dapet ancaman dari orang lain, dia akan spontan mundur. Freddy lepasin cengkeramannya pada kerahku, lalu kembali duduk dengan kikuk. Tapi kali ini, semua mata tertuju ke dia, dan ga lepas bahkan setelah sekian lama. Aku ga tau apa yang akan terjadi sama Freddy setelah ini, tapi aku ga peduli. Maka, aku pun keluar kelas dan berniat membereskan sisa urusanku di sekolah ini.

Di koridor menuju tangga lantai satu, ada Fah yang sedang nungguin aku. Ekspresi khawatir terlihat jelas di mukanya.

"Laras ada di kelas, ga?" tanyaku.

Fah menggeleng. "Dia ga masuk. Kenapa? Mau pamitan, ya?"

"Tadinya. Cuma yaudah kalo ga ada. Mungkin lagi sibuk belanja."

"Belanja?"

Lalu, aku ceritain ke Fah kalau kemarin aku transfer seluruh sisa uang pemberian dia ke e-wallet Laras. Aku pecah jadi tiga transaksi, ke OVO, Gopay, dan Shopeepay miliknya. Mengingat aku hafal banget tabiat dia kalau lagi punya uang, jadi aku bisa berasumsi kalau hari ini dia lagi belanja dan senang-senang. Aku sudah bisa duga hal ini sejak saat aku chat dia kemarin dengan maksud ingin kasih semua uang titipan Fah ke dia, Laras terima-terima aja. Bahkan dari ketikannya, kayak dia senang akan keputusanku.

Lupa tuh dia sama semua omongannya saat aku baru selesein masalahnya. Tapi ga apa-apa, namanya juga manusia. Kan tempatnya khilaf dan salah. Tinggal tungguin aja, pas sudah sadar dari khilafnya, yang dia cari siapa.

"Kamu belum mau kasih tau aku mau pindah kemana?" tanya Fah, membuka topik baru.

"Aku aja belum tau mau pindah kemana. Mungkin ikut om dan tante aku dulu. Nanti kalo udah lulus SMA, aku ga tinggal sama mereka lagi."

"Berkabar, ya? Janji?"

Aku tergelak saat Fah acungin kelingkingnya ke aku. "Kamu punya kontak aku. Tinggal hubungin aja, tau."

"Kan kamu bisa block aku."

"Kata-kata yang lucu banget, keluar dari mulut orang yang mempekerjakan pemburu bayaran dan intel buat jadi agen keamanan." Aku sambut kelingkingnya. Jari kami pun saling bertaut. "Tapi aku janji, kok."

Aku bersyukur masih punya Fah. Di saat semua orang yang berhubungan denganku sedang egois mementingkan dirinya sendiri, Fah tetap setia. Ada di sampingku. Nemenin duka dan tangisku. Sering tanya kabar. Sering ingetin dan kirim makanan.

Bu Siska tadinya juga begitu, sebelum masalah video itu tersebar. Dia langsung hilang. Ga kasih kabar, ga nanyain aku juga. Aku ga ngerti, entah dia marah, kecewa, atau cuma mau cari aman saja. Tadi saat papasan di ruang guru, Bu Siska juga sering menghindar saat kutatap. Ga ada interaksi antara kami, dan aku anggap itu sebagai selesainya hubungan kami berdua.

Jadi, setelah aku pamit ke Fah, aku lanjutin langkahku menuju gerbang sekolah. Pikirku, begitu kakiku melewati gerbang itu, aku ga akan kembali lagi. Harus siap. Kuapresiasi semua kenangan baikku di sekolah ini, dan menerima kenangan buruknya. Bukan untuk dimaafkan lalu dilepas, tapi untuk diingat-ingat bahwa pihak-pihak tertentu di sekolah ini turut andil dalam merusak hidupku.

"Dea, mau pulang duluan, ya?" Ingat Tono yang muncul di chapter 3? Yang anak wali kelasku, dan tokoh yang ga signifikan itu? Sekarang dia lagi berdiri bersandar di gerbang.

"Iya. Kenapa, gitu?" tanyaku, jutek. Sejauh yang aku ingat, hubunganku dengan Tono ga pernah baik. Dia arogan ke murid lain, suka gombal kalau ke aku, dan selalu deketin aku dengan cara yang menyebalkan. Jadi, ketika aku dicegat dia sekarang, pikiranku udah jelek aja.

"Nih," Tono serahin sebuah kotak kardus yang dibungkus plastik putih padaku, "Aku udah coba. Kalo lagi ga dengerin sesuatu, lumayan ampuh jadi penutup telinga. Jadi suara dari luar ga begitu kedengeran. Apalagi kalo dipake buat setel musik, beuuuh... mantep banget, Dea! Jernih suaranya!"

Dia ngomong apa, sih? Bikin penasaran aja. Buru-buru kubuka kotak kardus ini. Isinya headphone, dan... merk terkenal. Ada kartu garansi dan struk pembelian juga. Pasti harganya mahal. Kubaca struk pembelian, berusaha mencari nominal harga. Tapi Tono buru-buru rebut struk itu dari tanganku, dan langsung dia kantongin. Kelupaan dibuang, katanya.

"Ngapain kasih ini ke aku?" tanyaku, heran. Sekilas tadi, aku liat angka dua diikuti lima digit lainnya pada bagian harga di struk pembelian.

"Buat dengerin musik, Dea. Jadi kamu ga perlu dengerin omongan orang yang jelek-jelek tentang kamu."

Tono, orang semenyebalkan dan senorak dia, ternyata sepeduli ini ke aku? Ga bisa dipercaya. Pasti dia ngarepin imbalan dariku, deh. "Ini hari terakhir aku ke sekolah, loh. Aku ga akan bisa balikin pemberian kamu. Ga masalah?"

Tono tampak kaget, tapi dia lalu senyum. "Ga apa-apa," katanya, "Aku ikhlas. Emang tujuan dari awal mau hibur kamu. Semoga membantu, ya."

"Tapi ini mahal harganya, loh. Kamu duit darimana?"

"Adalah. Ga usah dipikirin." Ih, sok cool banget ini cowok.

"Habis ini kita ga akan ketemu lagi. Kamu ga minta kontak aku?" tanyaku, lagi.

"Dea, kalo kamu ga mau kasih, aku ga maksa. Yang penting kamunya nyaman." Tono spontan nengok ke samping saat ada yang manggil dia. Oh, ibunya. Mungkin dia mau diwanti-wanti untuk jangan deket-deket aku. "Dea, udah dulu, ya. Mami manggil, nih. Kamu hati-hati pulangnya, yaaa. I love youuu!"

Tono berlari cepat, ninggalin aku yang masih bengong, memandangi headphone pemberian dia. "Rejeki anak yatim-piatu," kataku, sambil angkat bahu.

Aku lanjutin langkahku yang sempat tertunda. Kali ini, kakiku menjejak mantap. Langkah pertama keluar dari sekolah. Aku masih ingin nengok ke belakang, memandangi mantan sekolahku untuk yang terakhir kali. Tapi aku kuat-kuatin diri. Ga ada waktu untuk nengok ke belakang, karena jika aku lakuin, aku pasti akan menyesali keputusanku.

Kali ini, aku ga pesan ojek online untuk pulang. Belajar dari kesalahan. Ada sepupuku yang sudah siap nyalain mesin motor. Mumpung kerabatku masih tinggal di rumahku sampai tujuh harian, jadi aku berdayakan aja salah satunya. Setelah aku duduk nyaman di jok belakang, motor yang membawaku pun pergi.

Aduh... aku lupa balikin buku-buku yang kupinjam ke perpustakaan sekolah. Yaudah lah, buku doang. Piala-piala dan medali hasil lomba dan olimpiade yang kumenangkan juga disimpan di lemari kaca sekolah, kok. Jadi, harusnya impas.

Eh... engga impas, dong. Apa yang kuberi jauh lebih berharga dari buku-buku lama yang materi isinya aja bisa catut dari sana-sini. Mikirinnya aja bikin aku muak. Baik sekolah, teman-temanku, bahkan hidup; kuberi mereka sebanyak yang aku bisa, tapi balasannya? Semua yang kupunya terenggut dariku.

Jadi, persetan semuanya. Mulai sekarang, aku akan hidup semauku, sesuai dengan caraku.

Tapi aku khawatir harapanku ga akan berjalan mulus, karena... suara-suara di kepalaku ini ganggu banget! Sumpah, deh! Kalo begini, aku perlu ke psikiater, ga, sih?






—End of Season 1—
Nympherotica♡
 
Terakhir diubah:
Akhirnya, selesai juga season 1 untuk cerita ini. Banyak juga bagian cerita yang berubah dari rencana awal, tapi ai usahain bahwa plot utamanya masih sesuai dengan isi kepala. Terima kasih banget ai ucapin untuk semua yang mau baca, kasih like, tinggalin komen, dan membantu ai dalam proses penggarapan cerita ini.

Habis ini, ai mau hiatus dulu. Mau liburan dan ngurusin kucing, soalnya mau nambah kucing lagi. Makanya, untuk season 2...




...lanjut bulan Maret, ya! Tapi ga tau tanggal berapa. Pokoknya Maret! At last... Indeks sudah dirapihin dan diupdate di halaman pertama, jadi tinggal baca aja.

Selamat membacaaaa!
 
Terakhir diubah:
Thankyouu updatenya siss, jadi sedih diawal dan penasaran diakhir, season 2 masih bersama dea kah? Ditunggu season 2 nya 🌝
 
Terakhir diubah:
mantap, penutupan season yang mengejutkan dan membagongkan, ga sabar ama season 2 nya hahai
 
hmm, ending nya sepertinya bertujuan untuk menutup semua keraguan dan beban moral yg tersisa dari si dea. membebaskan dirinya untuk hidup semaunya dan sebebasnya.

tapi, nasibnya fred kurang miris sih, harusnya di abisin aja si fred.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd