Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Desa Waringin. (Terjebak kawin kontrak)

Halo halo.

dah lama nggak up yah... Semenjak puasa libur dan up di lapak sebelah. Wkwk maafkan yak.



oke untuk memulai lembar baru ane bakal up kali ini. Tapi nggak hot dulu yak. Kita agak Melow dikit agar plot terjaga dengan baik.


Jadi kalo yang nggak suka Melow skip aja dulu hehe. Karena cerita ini agak Melo.

dan maaf kalo misal ane nggak jago nulis sedih. Tapi untuk hiburan dan menjaga plot ane terpaksa nulis cerita Melow.




====



Part 17

Pagi itu pikiran Adit benar-benar tidak bisa di ajak kompromi. Hampir semua pekerjaan yang dia lakukan tidak pernah beres.

Pikirannya masih melalang buana tatkala memori kelam itu kembali lagi. Ada rasa benci yang menyeruak saat kenangan masalalu itu kembali muncul.

"Huahhhh!"

Brak!

Satu tumpuk map berisi berkas yang harus dia periksa berserakan saat Adit membanting tangannya dan menyepak semua berkas itu.

Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ingin rasanya dia memakai. Namun itu semua tidak akan menyelesaikan masalah.

Di ambilnya asbak di atas meja lalu dilemparkannya ke arah dinding


Pyar!

Seketika asbak kaca itu pecah dan berhamburan kemana-mana. Pagi masih buta. Tapi Adit sudah meluapkan emosinya dengan gegabah. Napasnya tersengal.

"Anjing!" Pekiknya keras.

Lalu tak lama berselang bik Sri yang baru datang terkejut melihat suasana kantor yang berantakan.

"Aden!" Teriak bik Sri saat melihat Adit yang melotot menatap Diding bekas lempar asbak tadi. Bik Sri yang membawa nampan berisi kopi dan gorengan langsung meletakan nampan itu ke atas meja. Dia berlari ke arah Adit dan segera dia dekap pria itu ke dalam pelukannya.

"Aden! Tenang Aden! Tenang!" Di usapnya punggung Adit. Dia berusaha memberikan tempat nyaman untuk pemuda itu. Pemuda dengan emosi yang masih labil dan menggebu.

Jujur saja bik Sri tidak tahu apa yang menggangu pikiran Adit. Dia hanya tahu jika pemuda itu masih banyak pikiran. Dan tak ada informasi penting yang dia dapat dari Adi. Yang bisa bik Sri lakukan hanyalah mendekapnya berharap itu akan memberi ketenangan untuk Adit.

Perlahan Adit melemaskan ototnya, Mata yang melotot perlahan meredup, tangan yang mengepal perlahan memudar. Kini tangan itu bergerak ke arah pinggang bik Sri. Meremas kuat daster yang dikenakan bik Sri.

"Sabar den sabar.... Tenang.... Jangan terlalu gegabah...." Bisik lembut bik Sri. "Semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin, jangan terbawa emosi, nggak baik..." Hanya kata-kata itu yang bik Sri berikan, bisikan lembut serta usapan pelan, berharap Adit bisa mengontrol emosinya lagi.

"Kenapa...." Lirih Adit dengan mata mulai berkaca, tanpa sadar setitik air mata luruh dari kelopak matanya.

"Kenapa.... Kenapa dia begitu brengsek...." Ricau Adit lirih, sangat lirih bahkan hampir tak mampu bik Sri dengar. Beruntung pagi masih senyap, orang belum terlalu banyak beraktivitas, membuat bik Sri mampu mendengar dengan penuh.

Bik Sri menatap iba dari ekor matanya, dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia yakin jika Adit sedang tidak baik-baik saja.

"Tenang den.... Semua bisa diselesaikan secara baik-baik...." Tak ada kalimat lain yang bisa bik Sri berikan, sejujurnya dia bingung. Ingin rasanya membantu. Namun dia tak tahu apa yang harus dia lakukan l.

"Aku benci bik! Aku benci orang-orang brengsek yang udah ngerusak hidupku! Aku benci mereka. Aku benci pikiranku! Aku benci mereka yang selalu datang di saat aku lengah! Aku benci mereka!"

"Iya den... Iya...."

"Aku benci mereka! Aku mau mereka mati! Lebih baik mereka mati! Aku muak dengan semua itu bik...."


Bik Sri termenung, tak ada kalimat terucap, terlebih saat ini Adit sudah sesenggukan di dalam pelukannya, dia bisa merasakan daster yang dia kenakan basah.

"Aku benci mereka! Aku benci diriku sendiri! Aku brengsek! Aku sama seperti mereka! Mereka semua yang udah buat aku gini! Aku benci mereka bik...."

Bik Sri hanya mampu mendengar... Tangannya mengelus lembut punggung Adit. Tak tahu apa yang mengisi pikiran pria itu. Namun dari kalimat Adit dia yakin pemuda itu mengalami masalalu yang kelam.

Perlahan namun pasti. Adit mulai tenang. Lalu semua Ricauan itu berubah menjadi cerita kenangan masalalu, mengalir begitu saja dari mulut Adit tanpa terkecuali.

Tepat 15 tahun lalu, di mana Adit masih berusia 10 tahun. Kenangan kelam itu datang. Bak disambar petir di siang bolong. Adit yang belum mengetahui apa-apa harus di bungam fakta yang membuat hatinya remuk.

Keluarga yang dia pikir harmonis nyatanya hanya sebuah kebohongan semata. Siang itu saat dirinya baru pulang sekolah, fakta itu dia dapatkan. Ibu yang dia pikir Sholeha dan menjadi kebanggaan di setiap cerita nyatanya tak lebih seperti jalang murahan.

Siang itu tepat di depan matanya dia melihat ibunya bercumbu mesra dengan tiga orang sekaligus, penampilan yang biasa tertutup dengan gamis dan jilbab panjang tak lagi nampak, dia melihat sosok ibu dalam versi lain. Binal dan menjijikan, siang itu nampak di depan matanya sang ibu tengah bercumbu dengan dua penis di wajahnya. Dia memainkan penis itu bak anak kecil yang asik menjilat eskrim. Hal yang begitu tabu untukku di usia itu. Ku pikir ibuku setia tapi yang ku lihat hati itu merubah pikiranku tentangnya. Bahkan yang menjijikan lagi dia wanita yang dia banggakan tidak memperdulikan keberadaannya dan melanjutkan permainannya.

Anak usia 10 tahun harus patah hati saat melihat ibunya dengan binal beradu peluh dengan pria lain, bahkan tiga sekaligus.

Tak sampai di sana. Beberapa hari kemudian, kejadian yang sama di lihatnya secara langsung, tapi kali ini dengan versi yang lain. kali ini sang ayah, pemabuk dan penjudi sialan itu secara terang-terangan membawa wanita asing ke dalam rumah, bercinta dengan gila di hadapannya, dan parahnya lagi sang ibu ada di sana kala itu.

Adit yang masih begitu polos harus diberi fakta yang membuat hatinya begitu remuk. Keluarga harmonis yang dia banggakan nyatanya hanya ada di dalam benaknya saja, tak ada yang bisa dia banggakan lagi.

Sejak saat itu keharmonisan keluarnya hancur. Hari-harinya di isi dengan pemandangan menjijikan oleh kelakuan orangtuanya, kelakuan yang membuat kebencian itu kian menumpuk, terlebih sejak hari itu orang tua Adit benar-benar menelantarkan dirinya. bahkan sejak saat itu tak ada yang peduli dengan keberadaannya.

Sejak hari itu Adit benar-benar menjadi sosok lain, menatap ayah dan ibunya sebagai binatang menjijikan yang tak layak dia sebut orang tua. Sejak saat itu Adit menyimpan dendam kepada dua orangtuanya, orang tua yang tak bisa dia sebut lagi sebagai ayah dan ibu. Dan sejak hari itu hari-hari Adit berubah menjadi kelam.

Bik Sri yang mendengar cerita itu tak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca berlinang air mata. Tak ada sepatah katapun yang keluar bahkan saat Adit mericau di pelukannya dia tak bisa memberi jawaban.

"Apa aku termasuk seperti mereka? Apa aku juga brengsek dan sama menjijikanmya seperti mereka bik! Apa aku juga termasuk binatang yang tak punya hati? Apa aku jahat? Apakah aku tanpa sadar mengikut jejak mereka?" Ricau Adit.

Jujur saja hati bik Sri begitu pilu mendengar ucapan Adit. Terlebih kelakuannya hampir sama dengan kelakuan orangtua Adit. Apakah mungkin anaknya juga berpikir seperti Adit. Apakah kelakuannya tanpa sengaja menghancurkan hati anaknya?

Dia tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa mengelus dan berharap jika anaknya tak hancur seperti Adit. Dia berharap joni tidak berpikir seperti itu.

"Apa kelakuan ku sama seperti mereka? Apa aku sekarang sudah menjadi binatang? Apa aku masih pantas di sebut manusia?" Gumam Adit.

"Aku hancur bik...." Lirih Adit membuat bik Sri tak bisa berkata-kata.

Satu hal yang pasti. Di mata bik Sri Adit bukanlah bajingan seperti mereka. Adit adalah malaikat di mata bik Sri. Dan mungkin juga malaikat di mata Jumirah.

Perlahan di dorongmya pelan bahu Adit. Tangan bik Sri mengangkat wajah adit lalu saat dia mata itu beradu bik Sri tersenyum di tengah pilu hatinya.

"Jangan berpikir seperti itu den... Jujur, di mata bibik dan Jumirah mungkin Aden adalah penolong kami. Jika bukan karena aden, mungkin saat ini kami sudah tidak bernapas lagi. Percayalah di balik perbuatan Aden yang mungkin menjijikan seperti mereka. Tapi bagi kami Aden berbeda. Berkat Aden kami masih bisa hidup dan menikmati momen setiap helaan napas kami. Mungkin di mata Aden kami sama menjijikannya seperti orangtua Aden. Tapi percayalah, kami melakukan itu bukan karena paksaan bukan juga karena keadaan. Kami melakukan itu penuh suka cita, dan kami sangat berhutang Budi pada aden. Apa yang kami lakukan untuk Aden bahkan tidak cukup untuk menebus kebaikan Aden pada kami. Hutang itu sangat mengancam nayawa kami, jika bukan karena aden, mungkin kami tidak lagi ada."

Di usapnya air mata Adit yang membasahi pipinya, bik Sri berusaha tersenyum, mencoba menenangkan Adit.

"Jangan berpikir jika apa yang Aden lakukan sama seperti mereka. Karena bagaimana juga kami melakukannya dengan sukarela, sebagai tanda terimakasih karena Aden sudah memberikan kami waktu untuk terus hidup...."

"Tapi... Apa yang kulakukan tidak lebih buruk dari mereka. Aku sama buruknya seperti mereka. Saat aku melakukan itu aku dihantui oleh kebencian yang mendarah daging. Aku jijik, bahkan pada diriku sendiri. Secara tidak langsung aku sama seperti mereka..." Bantah Adit.

Bik Sri menggeleng. "Tidak den.... Aden tidak sama seperti mereka. Aden memberikan apa yang sangat kami butuhkan. Jika bukan karena aden, entah seperti apa nasib kami sekarang..."

"Aku... Aku bahkan memiliki pemikiran untuk memanfaatkan kondisi kalian, aku bahkan memiliki pikiran buruk untuk memanfaatkan keadaan untuk kepentingan ku sendiri."

Lagi bik Sri menggeleng. "Tidak... Jangan berpikir seperti itu. Hal itu malah membuat bibik makin bersalah. Karena bibik Aden malah terjebak dengan semua ini, terjebak kawin kontrak yang konyol. Mungkin jika bukan karena bibik Aden masih menjadi pemuda baik hati yang tak terpengaruh oleh keadaan. Bibik... Bibik yang membuat Aden menjadi seperti sekarang. Bibik yang menjebak Aden. Jika ingin menyalahkan, salahkan bibik karena bibik Aden harus kembali mengingat kejadian kelam Aden... Salahkan bibik den salahkan bibik yang sudah membangunkan sisi liar Aden."

Ucapan bik Sri membuat Adit terbungkam. Fakta itu benar-benar menamparnya. Terbesit kebencian yang menyusup. Menatap bik Sri dengan sebelah mata, apakah iya.... Apakah bik Sri yang membuat dirinya liar seperti sekarang....

"Maaf... Maafkan bibi karena sudah membawa kenangan itu kembali. Maaf karena bibik membuat Aden harus terjebak di lingkaran itu. Maaf jika bibik harus membuat Aden berada di posisi yang sama. Bibik yang salah.... Bibik..."

"Bibik tidak tahu harus berkata apa.... Maaf karena membuat Aden terjebak. Semua karena bibik sudah tidak memiliki harapan lagi... Hamy itu satu-satunya jalan agar bibik tetap ada. Bibik tidak tahu lagi harus berbuat apa saat itu. Bibik... Bibik tidak tahu jika apa yang bibik lakukan malah membuat luka Aden semakin menganga. Bibik...."

Bik Sri menatap sayu Adit.

"Bibik merasa tidak pantas untuk ada...." Lirih bik Sri, dirinya dirasuki rasa bersalah yang begitu mendalam. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya malah membuat luka seseorang makin menganga, dia tak tahu lagi apa yang akan dia lakukan setelah ini. Rasa trauma itu jelas sudah mendarah daging, dan bik Sri adalah penyebab utama yang membuatsosok sebaik Adit menjadi pria yang begitu rapuh...

"Maaf...." Dia tersenyum, tangannya dengan begitu lembut mengusap wajah adit. "Maaf karena sudah membuat Aden menderita."

"Bibik janji, setelah ini bibik akan pergi. Mungkin bibi sudah tidak pantas lagi ada di hadapan aden. Bibik takut keberadaan bibik malah membuat Aden semakin hancur..." Senyum itu berubah menjadi senyum pilu.

Adit menggeleng kuat!

Bukan! Bukan! Bukan ini yang dia inginkan. Dia tidak menginginkan sosok seperti bik Sri menghilangkan dari kehidupannya, bukan itu intinya.

Adit menggeleng kuat. Dia mencengkram kuat daster bik Sri. "Nggak! Bukan itu yang Adit mau...."

Bik Sri tersenyum, tangannya masih mengusap lembut wajah adit. "Luka yang bibi hadirnya cukup besar, dan bibik tidak mau Aden malah terkurung oleh luka itu. Trauma yang Aden bawa sangatlah dalam dan karena bibi Aden harus mengukam rasa itu.... Bibik tidak pantas untuk ada di hadapan aden...." Bik Sri melangkah mundur.

Namun dengan sigap Adit menahan tangan bik Sri. Di tarinya tubuh wanita itu ke dalam dekapannya.

"Ku mohon.... Jangan...." Lirih Adit dengan air mata yang mengalir deras.

"Jangan buat aku kehilangan sosok yang selama ini ku rindukan, jangan buat aku semakin hancur.... Aku.... Aku masih butuh bibik...."

Dia bingung dengan dirinya sendiri, di satu sisi dia benci karena bik Sri membawa kenangan buruk itu hadir. Tapi di sisi lain dia juga mendapatkan apa yang tidak dia dapatkan oleh ibunya dulu, dia mendapatkan kembali apa yang hilang dulu.

"Ku mohon.... Tetap di sini dan biarkan aku mendapatkan kehangatan dari bibik.... Jangan buat aku semakin hancur. Aku sudah terlanjur masuk! Jangan buat aku semakin tenggelam, tolong raih aku dan selamatkan aku...." Lirih Adit....


Bik Sri tak lagi bisa berkata-kata, pagi itu bik Sri mengetahui betapa rapuhnya tuan yang sudah dia jebak. Berharap dia bisa selamat dari nasib buruknya, tapi di sisi lain dia malah membuat orang lain terluka hingga berdarah-darah.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd