Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Desah di Tarbiyah

Chapter 6.1: Pengalaman Perdana
(POV Usth. Hafsah)


Setelah membereskan rumah dan bersih-bersih seluruh bagian rumah sederhanaku. Aku bergegas untuk membersihkan diri. Kulihat jam dinding yang menempel lesu di dinding, sekarang pukul 7 lewat 15 menit. Mas Ikhlas sudah pergi sedari tadi untuk mengikuti rapat di kota seberang. Hari ini, rencananya aku ada rencana untuk menemani Lathifa dan mengecek pelatihan jahit menjahit dari Usth. Isma.

Setelah cukup membersihkan diri, aku mengambil gamis berwarna biru muda dari dalam lemari dan mengenakannya. Cukup lama aku mencari padanan yang tepat untuk pakaianku hingga pilihanku jatuh kepada sebuah jilbab berwarna hitam. Setelah memastikan penampilanku lewat cermin yang ada di dalam kamar. Kukenakan beberapa kosmetik untuk mempercantik diriku. Padahal, aku tidak akan keluar dari pondok untuk hari ini. Namun, terlintas di pikiranku untuk berdandan. Agar ketika nanti Mas Ikhlas kembali dan melihatku tampil cantik, ia akan bergairah dan memberikanku kepuasan batin.

Sebagai wanita normal yang masih memiliki hasrat seksual, diriku merasakan gejolak yang masih terngiang ketika mengingat kembali adegan antara Usth. Fahira dan Ust. Farid tempo hari. Ada rasa cemburu yang keluar dari dalam lubuk hatiku. Sejujurnya, sempat terlintas di kepalaku untuk menceraikan suamiku saat ini. Namun, mengingat ia adalah pilihan dari mending ayahku maka aku putuskan untuk bersabar dengan kondisi kami sekarang ini.

Sempat pula terlintas di benakku untuk mendua saja dari hatinya. Untungnya, pikiran waras masih mampu mengambil alih kendali atas diriku untuk tidak mengambil pilihan berdosa tersebut. Kini, aku berniat untuk total mengabdi kepada suamiku seorang hingga ajal yang memisahkan kami berdiua.

Ustadzah. saya udah di jalan. 5 menit lagi kayaknya bakalan sampe di pondok.

Aku tersenyum melihat chat dari Lathifah tersebut. Sebagai seorang pengajar, tentu saja akan sangat menyenangkan bisa melihat salah satu anak didik kesayangan kita untuk menggantikan kita menjalali tugas. Lathifa sendiri merupakan mahasiswa yang pintar di kampus. Ia beberapa kali mengikuti lomba antar kampus yang diadakan di tingkat regional. Sayangnya, karena ia berasal dari keluarga kurang mampu, ia akhirnya jarang mengikuti lomba di luar daerah yang kerap kali tidak dapat ditanggulangi oleh kampus kecil kami.

Setelah kupastikan pintu rumahku tertutup dan terkunci rapat, kulangkahkan kakiku perlahan menuruni tangga rumah yang hanya berjumlah 5 anak tangga tersebut. Pada awal kehidupan rumah tangga kami, Mas Ikhlas seringkali bercanda dengan langsung melompat turun dari rumah panggung kami.

Kulewati jalan setapak yang telah dikeraskan menuju kantor administrasi dari pondok pesantren ini. Kondisi kantor administrasi pondok memang sangat lengang. Maklum, hanya ada beberapa tenaga pengajar yang kami miliki. Bahkan, karena status sedikitnya pengajar dan peserta didik di pondok ini, kami kesulitan untuk mengajuan permintaan dana kepada pemerintah daerah kami. Praktis, kami sangat bergantung kepada para donautur yang telah menyumbangkan uangnya sedari mendiang ayahku masih hidup.

Semenjak ponok pesantren kami diambil alih oleh Ust. Farid, rasanya pondok ini perlahan menuju ke kehancuran. Selain karena kurang cakapnya ia, seringkali ia bahkan namanya kalah terkenal jika dibandingkan dengan suamiku, Mas Ikhlas yang sudah memiliki banyak koneksi dengan orang-orang di kota kecil kami. Faktor lain yang sering membuatku kesal pada dirinya adalah karena istrinya yang bahkan, anak pondok kami pun tidak begitu mengenalnya. Iya, maksudku adalah Usth. Fahira.

Meski berstatus sebagai istri pimpinan pondok, ia sangat jarang bersosialisasi dengan penduduk sekitar pesantren kami. Ia bahkan jarang keluar rumah dan andai keluar pun, ia pergi entah kemana menggunakan mobil suaminya. Memang, semenjak Ust. Farid memutuskan untuk menikah dengannya, yang notabene merupakan seorang model selebgram, banyak pihak dari pondok kami yang menyangsikan Usth. Fahira. Benar saja, ia tidak lebih dari penghias di pondok kami. Banyak dari kami yang curiga, Ust. Farid menikahinya hanya karena terpesona oleh paras cantik perempuan tersebut dan tidak memikirkan kemampuannya sebagai calon istri pimpinan kala itu.

Dugaan kami ternyata benar, seluruh urusan pengajaran dan pengasuhan pondok harus kami tangani. Terkadang, aku pun harus mengerjakan beberapa pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan oleh Usth. Fahira. Kurang cakapnya sang istri pada akhirnya juga menular ke Ust. Farid, tidak sedikit pekerjaan yang harus ia sendiri kerjakan. Hal tersebut akhirnya banyak pekerjaan yang kurang efisien dan membuat pesantren kami kesulitan untuk berkembang.

Sebenarnya, sempat beberapa waktu yang lalu, aku sempat menerima kabar bahwa ada orangyang ingin mendaftar untuk posisi pengajar di pondok ini. Namun, karena minimnya biaya untuk menggajinya, kuputuskan untuk tidak mengambil orang tersebut dan memilih untuk menerima permohonan dari Lathifa yang ingin. Kubuka pintu kantor pengurus pondok pesantren kami. Meski tidak kotor, aku tetap memutuskan untuk mengambil sapu dan mulai membersihkannya. Tidak berapa, Lathifa ternyata sudah datang dan mengetuk pintu ruangan ini.

“Assalamu Ustadzah, maaf saya terlambat”, ujar Lathifa kepadaku.

“Gapapa kok, Fa. Ini kan juga hari pertama kamu di sini”, jawabku menghiburnya.


Lathifa nampak sudah sangat siap dengan debutnya sebagai seorang pengajar di pondok ini. Ia mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertamanya bisa mengajar di sebuah lembaga formal, walau sebenarnya, pondok kami bukanlah sebuah lembaga pendidikan formal. Ia mengenakan jilbab berwarna biru gelap yang dipadankan dengan gamis peach yang membuatnya sangat cantik hari ini.

Aku dan Lathifa kemudian bercakap-cakap untuk beberapa saat. Tidak lama kemudian, aku pun mengantarkannya ke tempat ia akan mengajar. Di sana, sudah menunggu beberapa santriwati. Ada Khalizah, Indria, Karimah, Mira, dan Siilvia. Untuk pertama kalinya aku melihat semua santriwati lengkap untuk mengikuti kelas belajar harian. Biasanya, Indria dan Silvia yang merupakan washifah dari Ustadz Farid tidak pernah muncul saat pembelajaran. Mereka baru muncul saat belajar keterampilan.

Hal ini bukan disebabkan karena mereka malas atau karena mereka hanya tertarik kepada pembelajaran tertentu. Itu murni disebabkan peran mereka washifah yang membuat mereka harus sering bersiap di rumah. Meski begitu, setelah kuperhatikan lagi dengan seksama, nampak ada orang yang belum hadir saat itu.

“Lho, Zahrah mana Khaliza?”,


“Tadi ke WC, ustadzah”, jawab Khalizah.

“Oh. Ya sudah. Sembari nungguin Zahrah kita perkenalan diri aja ya. Kebetulan hari ini kita bertemu dengan pengajar baru untuk pondok kita”, jelasku memulai pembicaraan.

“Silakan Lathifa”, suruhku pada Lathifa untuk memperkenalkan diri.

“Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”,

“Wa alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh”, jawab para santri dengan penuh semangat.

Setelah pembukaan, Lathifa mulai memperkenalkan diri kepada para santri. Di lain pihak, Zahrah belum datang.

“Perkenalkan, nama Kakak itu Lathifa. Lengkapnya, Lathifa Rahmania”

“Sekarang, kakak berumur 22 tahun. Sebentar lagi akan penyelesaian studi di kampus tempat Ustadzah Hafsah mengajar”, jelas Lathifa tentang dirinya.

“Eh. Seumuran ama Mba Silvia”, celetuk Khaliza.

Kami sempet menengok ke arah Khaliza, namun tidak mempermasalahkannya karena Khaliza segera menutup mulut dan tersenyum kepada kami semua.

“Assalamu alaikum semua”, terdengar suara dari belakang para santri.

“Afwan Ustadzah. Ana tadi dari belakang. Sakit perut. Hehe”, terlihat Zahrah melempar senyum kepada kami sebagai tanda permintaan maafnya.


Kupersilakan ia duduk dan masih menemani Lathifa sampai sesi perkenalan para santri selesai. Setelahnya, aku pamit kepada mereka semua untuk kembali ke kantor pengurus pondok pesantren. Aku berjalan menyusuri jalan setapak dengan pikiran kosong dan tidak tahu akan berbuat apa sebenarnya hari ini. Aku tidak memiliki jadwal di kampus dan pondok sekarang. Kuputuskan untuk berkeliling sejenak.

Tak ada yang spesial dari pondok kami selain dari nama besar mendiang ayahku yang perlahan, tidak bisa lagi dijadikan sebagai andalan untuk menarik minat para orang tua untuk menitipkan anaknya di pesantren khusus putri ini. Di lain sisi, ketika aku berjalan memutar, berpapasan lah aku dengan Pak Topan, kuli yang dipercayakan untuk mengerjakan bangunan mushalla dan tempat pelatihan pesantren ini.

“Pagi Ustadzah”, sapa Pak Topan kepadaku.

“Pagi juga pak. Paldi dan Anton mana ya?”, tanyaku sedikit basa basi kepadanya.

“Barangkali baru berangkat ke sini Ustadzah. Biasalah, anak muda”, Pak Topan memasang senyum aneh.

Dari pandangannya, aku sadar ia sedang melihatku. Namun, bukan ke arah wajahku, namun ke bagian yang tertutup oleh jilbab lebar dan gamisku. Jujur, aku sedikit risih dengan pandangan tersebut.

“Ustadz Ikhlas mana, Ustadzah?”, tanya Pak Topan.

“Lagi keluar pak. Besok baru balik katanya”, jawabku singkat sembari bergeser untuk menghindari pandangan Pak Topan.

Namun, bukannya berhenti memperhatikan tubuhku, Pak Topan malah memperbaiki posisinya dan kembali menghadapkan dirinya kepadaku.

“Kenapa Pak? Kok ngelihatin saya dari tadi?”, kucoba untuk menyindirnya, berharap ia menghentikan aktivitasnya.

“Gapapa kok Ustadzah. Saya Cuma ngeliatin jilbab biru yang Ustadzah pake. Cocok banget”, jawab Pak Topan lagi.

“Wahh. Syukran, Pak”,

“Pasti Ustadz Ikhlas juga suka ngelihatin Ustadzah make jilbab ini kan?

JLEB! Perasaanku makin tidak tenang. Segala pikiran negatifku berkecamuk dan menaruh kecurigaan yang besar kepada Pak Topan. Namun, aku tidak bisa segera melarikan diri darinya.

“Saya mau ke kantor dulu kalau begitu ya Pak”,

“Eh, jangan dulu ustadzah. Temenin saya dulu buat tungguin Anton ama Paldi”, Paksa Pak Topan kepadaku.

“Afwan, Pak. Saya juga ada urusan penting di kantor”, paksaku.

Tiba-tiba, Pak Topan menarik ujung jilbabku. Aku yang sudah telanjur ketakutan, mengeluarkan suara setengah berteriak. Situasi seperti ini tak pernah kualami sebelumnya. Seorang kuli berumur 40 tahunan sedang berdiri di hadapanku yang sendiri dan dari tadi terus menatapku dengan pertanyan yang aneh-aneh.

“Pak. Saya mau pergi pak. Tolong jangan tahan saya atau saya akan teriak”, ancamku padanya.

Ia melepaskan tangannya dari ujung jilbabku. Ia memasang senyum menakutkan. Bulu kudukku merinding dan sensasi takut menjalar di tubuhku. Aku merasa akan terjadi sesuatu yang buruk padaku.

“Eh, maaf Ustadzah. Saya tidak sengaja. Hati-hati Ustadzah. Tadi saya mau ngajakin ngobrol. Soalnya Ustadzah pasti kesepian, apalagi entar malam. Hehe”, jawab Pak Topan yang membuatku semakin ketakutan. (Bersambung)
Dag dig dug crooot
 
Chapter 6.1: Pengalaman Perdana
(POV Usth. Hafsah)


Setelah membereskan rumah dan bersih-bersih seluruh bagian rumah sederhanaku. Aku bergegas untuk membersihkan diri. Kulihat jam dinding yang menempel lesu di dinding, sekarang pukul 7 lewat 15 menit. Mas Ikhlas sudah pergi sedari tadi untuk mengikuti rapat di kota seberang. Hari ini, rencananya aku ada rencana untuk menemani Lathifa dan mengecek pelatihan jahit menjahit dari Usth. Isma.

Setelah cukup membersihkan diri, aku mengambil gamis berwarna biru muda dari dalam lemari dan mengenakannya. Cukup lama aku mencari padanan yang tepat untuk pakaianku hingga pilihanku jatuh kepada sebuah jilbab berwarna hitam. Setelah memastikan penampilanku lewat cermin yang ada di dalam kamar. Kukenakan beberapa kosmetik untuk mempercantik diriku. Padahal, aku tidak akan keluar dari pondok untuk hari ini. Namun, terlintas di pikiranku untuk berdandan. Agar ketika nanti Mas Ikhlas kembali dan melihatku tampil cantik, ia akan bergairah dan memberikanku kepuasan batin.

Sebagai wanita normal yang masih memiliki hasrat seksual, diriku merasakan gejolak yang masih terngiang ketika mengingat kembali adegan antara Usth. Fahira dan Ust. Farid tempo hari. Ada rasa cemburu yang keluar dari dalam lubuk hatiku. Sejujurnya, sempat terlintas di kepalaku untuk menceraikan suamiku saat ini. Namun, mengingat ia adalah pilihan dari mending ayahku maka aku putuskan untuk bersabar dengan kondisi kami sekarang ini.

Sempat pula terlintas di benakku untuk mendua saja dari hatinya. Untungnya, pikiran waras masih mampu mengambil alih kendali atas diriku untuk tidak mengambil pilihan berdosa tersebut. Kini, aku berniat untuk total mengabdi kepada suamiku seorang hingga ajal yang memisahkan kami berdiua.

Ustadzah. saya udah di jalan. 5 menit lagi kayaknya bakalan sampe di pondok.

Aku tersenyum melihat chat dari Lathifah tersebut. Sebagai seorang pengajar, tentu saja akan sangat menyenangkan bisa melihat salah satu anak didik kesayangan kita untuk menggantikan kita menjalali tugas. Lathifa sendiri merupakan mahasiswa yang pintar di kampus. Ia beberapa kali mengikuti lomba antar kampus yang diadakan di tingkat regional. Sayangnya, karena ia berasal dari keluarga kurang mampu, ia akhirnya jarang mengikuti lomba di luar daerah yang kerap kali tidak dapat ditanggulangi oleh kampus kecil kami.

Setelah kupastikan pintu rumahku tertutup dan terkunci rapat, kulangkahkan kakiku perlahan menuruni tangga rumah yang hanya berjumlah 5 anak tangga tersebut. Pada awal kehidupan rumah tangga kami, Mas Ikhlas seringkali bercanda dengan langsung melompat turun dari rumah panggung kami.

Kulewati jalan setapak yang telah dikeraskan menuju kantor administrasi dari pondok pesantren ini. Kondisi kantor administrasi pondok memang sangat lengang. Maklum, hanya ada beberapa tenaga pengajar yang kami miliki. Bahkan, karena status sedikitnya pengajar dan peserta didik di pondok ini, kami kesulitan untuk mengajuan permintaan dana kepada pemerintah daerah kami. Praktis, kami sangat bergantung kepada para donautur yang telah menyumbangkan uangnya sedari mendiang ayahku masih hidup.

Semenjak ponok pesantren kami diambil alih oleh Ust. Farid, rasanya pondok ini perlahan menuju ke kehancuran. Selain karena kurang cakapnya ia, seringkali ia bahkan namanya kalah terkenal jika dibandingkan dengan suamiku, Mas Ikhlas yang sudah memiliki banyak koneksi dengan orang-orang di kota kecil kami. Faktor lain yang sering membuatku kesal pada dirinya adalah karena istrinya yang bahkan, anak pondok kami pun tidak begitu mengenalnya. Iya, maksudku adalah Usth. Fahira.

Meski berstatus sebagai istri pimpinan pondok, ia sangat jarang bersosialisasi dengan penduduk sekitar pesantren kami. Ia bahkan jarang keluar rumah dan andai keluar pun, ia pergi entah kemana menggunakan mobil suaminya. Memang, semenjak Ust. Farid memutuskan untuk menikah dengannya, yang notabene merupakan seorang model selebgram, banyak pihak dari pondok kami yang menyangsikan Usth. Fahira. Benar saja, ia tidak lebih dari penghias di pondok kami. Banyak dari kami yang curiga, Ust. Farid menikahinya hanya karena terpesona oleh paras cantik perempuan tersebut dan tidak memikirkan kemampuannya sebagai calon istri pimpinan kala itu.

Dugaan kami ternyata benar, seluruh urusan pengajaran dan pengasuhan pondok harus kami tangani. Terkadang, aku pun harus mengerjakan beberapa pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan oleh Usth. Fahira. Kurang cakapnya sang istri pada akhirnya juga menular ke Ust. Farid, tidak sedikit pekerjaan yang harus ia sendiri kerjakan. Hal tersebut akhirnya banyak pekerjaan yang kurang efisien dan membuat pesantren kami kesulitan untuk berkembang.

Sebenarnya, sempat beberapa waktu yang lalu, aku sempat menerima kabar bahwa ada orangyang ingin mendaftar untuk posisi pengajar di pondok ini. Namun, karena minimnya biaya untuk menggajinya, kuputuskan untuk tidak mengambil orang tersebut dan memilih untuk menerima permohonan dari Lathifa yang ingin. Kubuka pintu kantor pengurus pondok pesantren kami. Meski tidak kotor, aku tetap memutuskan untuk mengambil sapu dan mulai membersihkannya. Tidak berapa, Lathifa ternyata sudah datang dan mengetuk pintu ruangan ini.

“Assalamu Ustadzah, maaf saya terlambat”, ujar Lathifa kepadaku.

“Gapapa kok, Fa. Ini kan juga hari pertama kamu di sini”, jawabku menghiburnya.


Lathifa nampak sudah sangat siap dengan debutnya sebagai seorang pengajar di pondok ini. Ia mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertamanya bisa mengajar di sebuah lembaga formal, walau sebenarnya, pondok kami bukanlah sebuah lembaga pendidikan formal. Ia mengenakan jilbab berwarna biru gelap yang dipadankan dengan gamis peach yang membuatnya sangat cantik hari ini.

Aku dan Lathifa kemudian bercakap-cakap untuk beberapa saat. Tidak lama kemudian, aku pun mengantarkannya ke tempat ia akan mengajar. Di sana, sudah menunggu beberapa santriwati. Ada Khalizah, Indria, Karimah, Mira, dan Siilvia. Untuk pertama kalinya aku melihat semua santriwati lengkap untuk mengikuti kelas belajar harian. Biasanya, Indria dan Silvia yang merupakan washifah dari Ustadz Farid tidak pernah muncul saat pembelajaran. Mereka baru muncul saat belajar keterampilan.

Hal ini bukan disebabkan karena mereka malas atau karena mereka hanya tertarik kepada pembelajaran tertentu. Itu murni disebabkan peran mereka washifah yang membuat mereka harus sering bersiap di rumah. Meski begitu, setelah kuperhatikan lagi dengan seksama, nampak ada orang yang belum hadir saat itu.

“Lho, Zahrah mana Khaliza?”,


“Tadi ke WC, ustadzah”, jawab Khalizah.

“Oh. Ya sudah. Sembari nungguin Zahrah kita perkenalan diri aja ya. Kebetulan hari ini kita bertemu dengan pengajar baru untuk pondok kita”, jelasku memulai pembicaraan.

“Silakan Lathifa”, suruhku pada Lathifa untuk memperkenalkan diri.

“Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”,

“Wa alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh”, jawab para santri dengan penuh semangat.

Setelah pembukaan, Lathifa mulai memperkenalkan diri kepada para santri. Di lain pihak, Zahrah belum datang.

“Perkenalkan, nama Kakak itu Lathifa. Lengkapnya, Lathifa Rahmania”

“Sekarang, kakak berumur 22 tahun. Sebentar lagi akan penyelesaian studi di kampus tempat Ustadzah Hafsah mengajar”, jelas Lathifa tentang dirinya.

“Eh. Seumuran ama Mba Silvia”, celetuk Khaliza.

Kami sempet menengok ke arah Khaliza, namun tidak mempermasalahkannya karena Khaliza segera menutup mulut dan tersenyum kepada kami semua.

“Assalamu alaikum semua”, terdengar suara dari belakang para santri.

“Afwan Ustadzah. Ana tadi dari belakang. Sakit perut. Hehe”, terlihat Zahrah melempar senyum kepada kami sebagai tanda permintaan maafnya.


Kupersilakan ia duduk dan masih menemani Lathifa sampai sesi perkenalan para santri selesai. Setelahnya, aku pamit kepada mereka semua untuk kembali ke kantor pengurus pondok pesantren. Aku berjalan menyusuri jalan setapak dengan pikiran kosong dan tidak tahu akan berbuat apa sebenarnya hari ini. Aku tidak memiliki jadwal di kampus dan pondok sekarang. Kuputuskan untuk berkeliling sejenak.

Tak ada yang spesial dari pondok kami selain dari nama besar mendiang ayahku yang perlahan, tidak bisa lagi dijadikan sebagai andalan untuk menarik minat para orang tua untuk menitipkan anaknya di pesantren khusus putri ini. Di lain sisi, ketika aku berjalan memutar, berpapasan lah aku dengan Pak Topan, kuli yang dipercayakan untuk mengerjakan bangunan mushalla dan tempat pelatihan pesantren ini.

“Pagi Ustadzah”, sapa Pak Topan kepadaku.

“Pagi juga pak. Paldi dan Anton mana ya?”, tanyaku sedikit basa basi kepadanya.

“Barangkali baru berangkat ke sini Ustadzah. Biasalah, anak muda”, Pak Topan memasang senyum aneh.

Dari pandangannya, aku sadar ia sedang melihatku. Namun, bukan ke arah wajahku, namun ke bagian yang tertutup oleh jilbab lebar dan gamisku. Jujur, aku sedikit risih dengan pandangan tersebut.

“Ustadz Ikhlas mana, Ustadzah?”, tanya Pak Topan.

“Lagi keluar pak. Besok baru balik katanya”, jawabku singkat sembari bergeser untuk menghindari pandangan Pak Topan.

Namun, bukannya berhenti memperhatikan tubuhku, Pak Topan malah memperbaiki posisinya dan kembali menghadapkan dirinya kepadaku.

“Kenapa Pak? Kok ngelihatin saya dari tadi?”, kucoba untuk menyindirnya, berharap ia menghentikan aktivitasnya.

“Gapapa kok Ustadzah. Saya Cuma ngeliatin jilbab biru yang Ustadzah pake. Cocok banget”, jawab Pak Topan lagi.

“Wahh. Syukran, Pak”,

“Pasti Ustadz Ikhlas juga suka ngelihatin Ustadzah make jilbab ini kan?

JLEB! Perasaanku makin tidak tenang. Segala pikiran negatifku berkecamuk dan menaruh kecurigaan yang besar kepada Pak Topan. Namun, aku tidak bisa segera melarikan diri darinya.

“Saya mau ke kantor dulu kalau begitu ya Pak”,

“Eh, jangan dulu ustadzah. Temenin saya dulu buat tungguin Anton ama Paldi”, Paksa Pak Topan kepadaku.

“Afwan, Pak. Saya juga ada urusan penting di kantor”, paksaku.

Tiba-tiba, Pak Topan menarik ujung jilbabku. Aku yang sudah telanjur ketakutan, mengeluarkan suara setengah berteriak. Situasi seperti ini tak pernah kualami sebelumnya. Seorang kuli berumur 40 tahunan sedang berdiri di hadapanku yang sendiri dan dari tadi terus menatapku dengan pertanyan yang aneh-aneh.

“Pak. Saya mau pergi pak. Tolong jangan tahan saya atau saya akan teriak”, ancamku padanya.

Ia melepaskan tangannya dari ujung jilbabku. Ia memasang senyum menakutkan. Bulu kudukku merinding dan sensasi takut menjalar di tubuhku. Aku merasa akan terjadi sesuatu yang buruk padaku.

“Eh, maaf Ustadzah. Saya tidak sengaja. Hati-hati Ustadzah. Tadi saya mau ngajakin ngobrol. Soalnya Ustadzah pasti kesepian, apalagi entar malam. Hehe”, jawab Pak Topan yang membuatku semakin ketakutan. (Bersambung
Makasih updetnya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd