Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Scene 19
God Gave Rock 'n Roll To Everyone

aaaaaaaa“Curut! Bangun! Bangun!”

“Dimana? siapa? Andri? Andri!!”

aaaaaaaa“Sayang bangun sayang, sayang Ibu, bangun”

“Eh, Ibu? Ibu?”

aaaaaaaa“Iya ini Ibu nak, bangun sayang”

“Bangun? Tapi kenapa gelap, dimana kal...”

Byuurrr...

“Argh... hash hash hash hash...”

Aku tersadar, nafasku memburu. Jantungku berdetak dengan kencang. Dingin, rasa dingin mulai menyelimutiku. Air membasahi kepala dan sebagian tubuhku. Aku terus mengambil nafas dalam-dalam, menunduk, mencoba menormalkan jiwaku. Baru saja aku mendengarkan suara Andri dan Ibu, tapi aku tidak bisa melihat mereka. Tidak biasanya mereka menyembunyikan diri, sekalipun dalam mimpi. Aku bisa melihat mereka, tapi Ibu, aku hanya bisa meraskan kehadirannya. Sebenarnya dimana ini?

“Arghhhh....” rintih sakitku ketika rambut ditarik kebelakang. Ketika aku mencoba mencari tahu keberadaanku.

Kepalaku mendongak ke atas, spontan mataku terpejam ketika sinar lampu yang sangat terang membuat silau. Ku coba meronta, menggelengkan kepala tapi tangan itu sangat kuat menarik kepalaku. Dan disaat aku mencoba bangkit, kedua tanganku tak bisa bergerak dengan leluasa, terikat dengan tali yang lumayan kuat, dibelakang tubuhku.

Aku kembali duduk dan mengikuti gerakan tangan yang menarik rambut. Tarikannya sangat kuat, membuat kepalaku terus menengadah ke atas. Pelan, nafasku mulai normal. Detak jantungku pun kembali tenang. Tangan itu melepaskan rambutku dengan satu hentakan keras membuat membungkuk. Tiba-tiba kurasakan sebuah pukulan keras pada bagian belakang kepalaku. Aku masih membungkuk, mencoba menahan rasa sakit yang baru saja aku dapatkan sembari menormalkan nafasku.

Tak ada suara, hening...

Aku tarik kembali tanganku, dalam benakku aku ingin menghajar orang yang baru saja memukulku. Tapi tanganku masih terikat dengan kuat. Terus aku gerak-gerakan, hingga sedikit longgar ikatan tersebut tapi setelahnya, karena aku meronta, sebuah pukulan kudapatkan lagi. Aku masih menunduk, menggerakan dua bola mataku, ke kiri dan kekanan. Mencoba menganalisa tentang keberadaanku sekarang.

Aku duduk disebuah kursi mirip dengan kursi yang aku duduki ketika aku sekolah. Kedua tangan terikat di tiang kecil sandaran kursi tapi kedua kakiku masih bebas untuk bergerak. Aku memilih diam, menunggu suara muncul. Pasti akan ada orang yang akan berbicara, aku tidak ingin mengambil resiko. Bisa jadi, aku mendapatkan pukulan kembali.

“Dasar anak kemarin sore!” teriak seorang lelaki, suaranya mirip dengan suara laki-laki yang bertanya alamat.

Aku mencari sumber suara itu. Kepalaku sedikit mendongak tapi sinar lampu yang terlalu terang membuatku kembali menunduk. Pandangaku menjadi kabur, karena butiran air yang menetes melewati mata.

“Apa yang sebenarnya terjadi dimana aku?!!” teriakku dengan mata sedikit tertutup.

“Ha ha ha... kalian itu memperlakukan tamu kok ya tidak sopan, matikan lampunya, nyalakan yang biasa saja” ucap seseorang.

“Suara ini”

Trap... trap..

Pelan aku membuka mataku. Masih sedikit silau tapi perlahan mataku sudah lumayan bisa beradaptasi dengan baik.

“Apa kabar?” tanya seseorang

Mataku terbelalak seakan tidak percaya ketika melihat orang yang berdiri didepanku. Senyumnya, sorot matanya, masih terrekam jelas dalam ingatanku bahkan cara dia berjalan, aku tidak bisa melupakannya. Dia kemudian mengambil sebuah kursi dan duduk didepanku.

“Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” tanyanya kembali dengan tersenyum

“Apa perlu aku menjawabnya? Cepat lepaskan aku? Apa sebenarnya maumu?” ucapku dengan nada yang datar

Plak...

“Dasar! Kalau ngomong sama Bos itu yang sopan!” bentak seseorang dari belakangku disertai pukulan keras di kepala, aku menoleh ke arahnya.

“Ka-kamu?!” aku terkejut ketika melihat seseorang yang sering sekali aku bertemu ketika di kampus. Bahkan membantuku ketika aku praktikum di laboratorium, tepatnya laboratorium kimia dasar.

“Kenapa Ar? ha ha ha...” jawab lelaki tersebut yang tidak lain adalah laboran kimia dasar.

“Sudah-sudah, Tenaaaang, tenaaaang...”

“Kalian sudah saling mengenal?” tanya lelaki didepanku

“Ini dia bos yang aku bicarakan di telpon kemarin. Dia kelihatannya memang ada sangkut pautnya dengan Si Jiwa kampret itu” ucap laboran kimia dasar

“Ooo... jadi ini yang kemarin kamu ceritakan? Wah wah wah... betapa beruntungnya aku ini bisa bertemu dengan seorang pemuda yang hebat seperti kamu,” jawab lelaki didepanku

“Apa sebenarnya maumu?” tanyaku kembali

“Mauku? Ha ha ha... mauku ya ha ha ha... mauku adalah... ha ha ha” Tawanya sangat keras, sangat keras sekali.

“Tenang, kenapa langsung ke pokok permasalahan? Tidak bisakah kita bercengkrama sebentar? Berkenalan satu sama lain terlebih dahulu?” lanjutnya, tapi aku hanya diam dan menatapnya dengan tajam.

“Hei hei, jangan seperti itu menatapku? Oh ya, kamu ingin mengingatku ya? silahkan, silahkan... Ar... ta, ya kan benar namamu Arta?” aku tidak menjawabnya, hanya menatapnya tajam. Seakan lahar dalam tubuhku ingin keluar dan menyembur ke wajahnya.

“Kenapa diam?” tanyanya kembali,

“Baiklah, baiklah... kelihatannya kamu memang tidak bisa diajak mengobrol santai. Jadi... langsung ke pokok permasalahannya saja... bagaimana? Setuju?” tanyanya dengan gaya bertanya yang merendahkan, wajahnya didekatkan ke wajahku.

Dia kemudian duduk tegak, bersandar. Menyilangkan kedua kakinya didepanku. Bersedekap. Kaki kanannya diangkat, tepatnya alas sepatunya, diletakan di wajahku. Aku menggelengkan kepalaku tapi ada tangan yang menahan kepalaku.

“Kamu ingin tahu yang aku inginkan? Kamu ingin tahu yang aku mau?”

Hening sesaat...

“Kematianmu...” jawabnya dengan tawa yang sangat keras diikuti oleh anak buahnya. Kakinya kemudian turun, kini giliran tangannya menjambak rambutku.

“Kamu tahu kenapa Arta? Benar bukan namamu Arta? Kenapa dari tadi hanya diam?”

“Kamu ingin tahu bukan? kenapa aku ingin kematianmu? Karena, karena kamu terlalu banyak mencampuri urusan kami , ditambah lagi keberadaan kamu membuat Pengu tertangkap!”

“Kamu pantas untuk mati ha ha ha” ucapnya

Cuih...

Bugh...

Brak...

Ku ludahi tepat diwajahnya. Seketika dia menendangku hingga aku jatuh terjengkang bersama kursi.

“Bangunkan dia” ucapnya. Dua orang membangunkan aku. Kini aku berhadapan kembali dengannya.

“Dasar bocah, kamu itu harusnya sopan terhadapku, terhadap Takur ck ck ck” ucapnya sembari membersihkan wajahnya dengan sapu tangan. Dia kemudian berdiri didepanku. Melangkah mendekatiku. Dia kemdian membungkuk mendekatkan wajahnya ke telingaku, berbisik.

“Ingat namaku, Takur. Orang yang telah membuatmu menjadi sebuah nama”

“Bajingan!” bentakku

Bugh... bugh...

Berkali-kali perutku menerima pukulan kerasnya. Membuatku hanya mampu merintih dan mencoba menahan sakit. Aku semakin membungkuk dan satu hantaman, yang aku tahu itu adalah siku tangannya, mendarat dengan keras di punggungku. Membuatku semakin tertunduk menahan sakit.

“Bereskan dia setelah aku pergi, dan ingat, jangan sampai ada barang bukti! Bakar gubug reyot ini!” suaranya keras, terdengar ketika memberi perintah ke anak buahnya. Aku masih membungkuk menahan rasa sakitku.

“Ohya, nanti setelah beres kamu ke tempat biasa, pesan yang paling hot, dan antar mereka kerumah. Dan kalian berdua langsung kerumah setelah semua beres, lakukan penjagaan dan sambut pada bidadari. Malam ini kita akan pesta!” Dari yang aku dengar, pastinya si laboran kimia dasar yang pergi dan dua orang, pemegang jerigen dan palu, yang akan menjaga mereka. Kemudian kudengar tawa mereka.

Selang beberapa saat suara deru mesin mobil terdengar keras. Perlahan sauar itu menghilang membuat suasana di tempat dimana aku berada menjadi menjadi hening. Aku menghirup nafas panjang, menahan sakit. Namun tiba-tiba rambutku ditarik kembali hingga kepalaku aku mendongak ke atas.

“Makanya jadi orang tidak usah ikut campur urusan orang lain!!! Juh!!” bentak laboran kimia dasar dengan ludahnya yang menempel di wajahku.

Aku tak bisa apa-apa, hanya diam ketika menerima perlakuan dari mereka. Tiga orang, ada tiga orang anak buah dari Takur di tempat ini. Satu laboran kimia, satu lagi orang yang bertanya alamat dan yang terakhir, tubuhnya tinggi besar dengan palu besar ditangannya.

“Bagaimana kita habisi sekarang?” tanya lelaki dengan palu yang berada dibelakang laboran kimia dasar

“Sebentar, kalian siapkan saja bensinnya. Aku masih jengkel, biar aku hajar dulu” jawab laboran kimia dasar

“Hajar saja, aku tunggu, kalau sudah biar aku habisi dia.” balas si pemegang palu

“Woi anak ini ternyata suka musik rock, lihat isi sematponnya lagu rock semua. Mau aku putar musiknya? Sebagai lagu pengantar kematiannya? Ha ha ha” ujar sipemegang jerigen tiba-tiba,

“Ooo... tidak perlu, karena musik Rock terlalu bagus untuk kematiannya! Dan Tuhan tidak menciptakan musik rock untuknya” jawabnya sembari memandang dan menarik rambutku dengan sangat kuat

“Benar juga ha ha ha... masa mau mati saja pakai denger musik rock!” tawa si pemegang jerigen keras. Sedikit aku melirik ke arah pemegang palu, tampaknya dia orang yang tidak banyak bicara.

Bugh...


“Erghhhh...” rintihku

Bertubi-tubi aku mendapat pukulan diperutku. Sesekali dia ingin menghajar bagian wajahku, aku masih bisa menghindar tapi ketika menghantam perutku. Aku sudah tak bisa menghindar. Ketika aku membungkuk, berkali-kali pula bagian belakang kepalaku mendapat hantaman keras. Hingga aku tertunduk dan menahan sakitku. Tak ada suara, hanya suara terngah-engah dari laboran kimia dasar setelah menghajarku.

Aku sedikit mengangkat kepalaku, aku bisa melihat mereka...

“Sudah bro, kita habisi?” ucap lelaki berpalu.

“Sekarang saja, agar kita bisa langsung dapat bonus” ucap lelaki dengan jerigen bensin

“Ya habisi”

Laboran kimia dasar kemudian berbalik melangkah mendekati lelaki dengan jerigen bensin, melangkah mendekati pintu keluar. Lelaki berpalu besar maju tepat dihadapanku. Sekali dia memkul kepalaku dengan tangan kosong, membuatku tertunduk kembali. Sembari menahan sakit, aku membuka sedikit mataku. Palu dengan pegangan yang panjang, siap berayun menuju kepalaku. Argh sial, perutku terasa sangat sakit jika tubuhku tegak... kepalaku terasa sangat pusing... mataku kembali terpejam menahan sakit...

aaaaaaaa“Curut! Jangan mati sekarang! Aku tidak ingin kamu bersamaku!”

“Eh...”

aaaaaaaa“Pokoknya jangan mati sekarang! Kita punya mimpi dan cita-cita, wujudkan! Jika kau menyusulku, aku akan menyesal selamanya”


“Andri...”

aaaaaaaa“Sayang... Ingat janjimu, menjaga kakakmu”

“Ibu...”

aaaaaaaa“Iya nak, ini Ibu... buka matamu sayang, bangkit... jika kamu tidur sekarang, siapa yang akan mejaga kakak kamu?kamu tidak ingin hal yang sama terjadi pada kakak kamu kan? Bangkit sayangku...”

“Mbak Arlena...” lirihku

Mataku terbuka, bola mataku semua bergeser ke sudut kiri mataku. Palu itu berayun mendekat ke arahku.

“Tidak, aku tidak boleh mati”

Aku sadar. Aku kemudian menyeruduk si lelaki didepanku yang mengayunkan palunya. kuseruduk hingga dia terjengkang kebelakang, dan palu yang dia bawa terlepas di tangannya. Aku kemudian menjaga keseimbanganku, sedikit membungkuk dengan kursi berada di atas tubuhku. Lelaki yang terjatuh hendak berdiri, aku langsung melompat hingga kursi itu kembali bisa aku duduki. Kaki kiriku menjejak tepat diwajahnya. Saat dia masih mengaduh dan merintih, aku goyang kembali tanganku yang terikat.

“Lepas”

Tangan kiriku lepas tapi tangan kananku masih terikat. Laboran kimia dasar yang menyadari aku melawan, berlari ke arahku begitu juga si pemegang jerigen. Aku berdiri, bergerak sedikit maju dan langsung kuayunkan kursi dengan tangan kanan yang masih terikat dari samping kananku ke arah kiri, dan tepat mengenai lengan laboran kimia dasar. Ku ayunkan kembali ke arah kanan, dan mengenai si pembawa jerigen. Baru yang terakhir, aku angkat tinggi kursi itu dan ku banting ke kepala si pembawa palu hingga kursi rusak. Benturan yang sangat keras membuat kursi patah dan menyisakan sepotong kayu tajam terikat pada pergelangan tangan kananku.

Aku tarik potongan kayu itu dari dalam ikatan, ku pegang dengan tangan kananku. Ku ayunkan ke arah kiri, tepat diwajah laboran kimia ketika dia berdiri. Ada darah yang terciprat ke arahku. Tiba-tiba, Tanpa aku sadari, satu kakiku ditarik oleh si pemegang palu hingga aku terjatuh. Satu kakiku masih ditarik. Dia berdiri. Ku jejakan kakiku ke arahnya tapi dia masih tetap memegang kakiku dan menarikku.

Aku bangun dan membungkuk. Ku raih satu tangannya yang memegang kakiku dengan tangan kiriku. Cepat aku ayunkan potongan kayu yang tajam ke arah dadanya dengan tnagan kananku. Spontan dia melepaskan tangannya dari kakiku dan langsung menggenggak pergelangan tangan kananku yang menusukan potongan kayu di dadanya.

Sebuah kesempatan yang tidak aku sia-siakan. Aku mengepalkan tangan kirku dan ku ayunkan ke arah wajahnya. Tanpa menunggu, aku sapukan kakiku ke arah kakinya hingga dia jatuh bersimpuh. Aku tarik tanganku dari genggamannya. Langsung aku berdiri bergerak mendekati potongan-potongan kayu yang tersisa. Aku ambil satu kayu, ku ayunkan dan kuhantamkan tepat di bagian belakang kepalanya hingga dia tak sadarkan diri.

Aku bangkit, berbalik. Melihat dua orang yang baru saja menertawakanku, satu bersiap dan yang satu masih merintih kesakitan. Berlari ke arah pemegang jerigen yang sudah bersiap dengan pisaunya. Melompat. Menjejaknya, hingga dia terjengkang dan terjatuh. Sekali lagi ku hantamkan lututku ke arah wajahnya. Dan beberapa pukulan keras ku daratkan di wajahnya.

aaaaaaaa“Bunuh”

aaaaaaaa“Bunuh”

aaaaaaaa“Bunuh”

“suara ini? ya aku akan membunuh mereka”

Aku bangkit, ku ambil pisau pemegang jerigen yang terjatuh. Melangkah menuju laboran kimia dasar. Dia berdiri. Hantu ketakutan mengelilinginya. Tapi aku melihatnya seperti , seperti... bunuh, aku harus membunuhnya.

“Te-tenang Ar, ta-tadi ha-hanya bercanda te-tenang Ar... te-te...” ucapnya dengan satu tangan mencoba menghentikanku

Seeet... crasshhh...

.
.
.

God gave rock and roll to you, gave rock and roll to you
Put it in the soul of everyone
Do you know what you want? You don't know for sure
You don't feel right, you can't find a cure
And you're gettin' less than what you're lookin' for

You don't have money or a fancy car
And you're tired of wishin' on a falling star
You gotta put your faith in a loud guitar

Chorus:
God gave rock and roll to you, gave rock and roll to you
Gave rock and roll to everyone (oh yeah)
God gave rock and roll to you, gave rock and roll to you
Put it in the soul of everyone​

“Kalian dengar bukan? Rock n roll untuk semua orang. bukan untuk kaum tertentu semacam bajingan seperti kalian”

“Mmmpphhh... mmppphhh...”

“Aku sudah kopi lagunya di sematpon kalian, dan kalian bisa mendengarnya bersama api yang akan menemani kalian. Jadi nikmatilah, kalau misal belum puas, putar lagi saja lagunya. Itupun kalau kalian masih bisa melakukannya..”

Aku berbalik, melangkah menjauhi mereka....

“Oh ya, terima kasih untuk alamat rumah bos kalian dan pisaunya. Akan kusampaikan salam kalian, agar dia segera menyusul kalian” ucapku sembari tetap melangkah menuju pintu keluar.

Diluar, aku melihat sekelilingku. sebuah mobil dan motor sudah tersedia disana. Ku ayunkan langkahku menuju mobil, ku kemudikan dan kutabrakan ke dalam gubug, hanya sebagian dari bagian mobil yang aku tabrakan. Setelahnya aku keluar dari mobil, aku siram semua bensin dalam jerigen ke arah gubug reyot ini. dan...

Jrsssshhhh.....

Terdengar suara mereka hendak menjerit. Suara tertahan karena sumpalan di mulut mereka dengan tubuh terikat. Kupandangi api yang perlahan mulai menikmati santapan sorenya. Entah kenapa mataku menjadi sangat tajam. Hatiku serasa beku, tertutup. Seakan teriakan-teriakan perasaan tak bisa menembus hatiku. Aku berbalik, kurasakan panas dipunggungku, melangkah menuju motor. ku kendarari dan melaju menuju ke alamat yang telah aku dapatkan.
aaaaaaaa
aaaaaaaa“Bunuh”

aaaaaaaa“Bunuh”

aaaaaaaa“Bunuh”

“Ya, aku akan menghabisinya. Agar dia tahu rasa sakit yang telah dia berikan kepadaku, rasa sakit yang sampai sekarang masih terus mendekam dalam ingatanku... ya, aku akan menghabisinya” lirih dari bibirku.

Motor melaju dengan kencang...

"Now listen"
If you wanna be a singer, or play guitar
Man, you gotta sweat or you won't get far
Cause it's never too late to work nine-to-five

You can take a stand, or you can compromise
You can work real hard or just fantasize
But you don't start livin' till you realize - "I gotta tell ya!"

God gave rock and roll to you, gave rock and roll to you
Gave rock and roll to everyone
God gave rock and roll to you, gave rock and roll to you
Put it in the soul

God gave rock and roll to you (to everyone he gave the song to be sung)
Gave rock and roll to you, gave rock and roll to everyone
Gave rock and roll to you, saved rock and roll for everyone
Saved rock and roll​

DHUAAARRRRR!!!!!
 
Scene 20
Kebekuan Sesaat


Iliana Desy Prameswari


Helena Mauricia


.......................................​

Weeeeng...

Weeeeng...

Ciiit...

“Kenapa Andrew sayang? Kok tiba-tiba ngerem mendadak? pasti nyari-nyari ya? pengen dipeluk sama Helen ya? dasar nakal!”

“Auchh... aduh yang sakit, enggak itu tadi yang nyalip kita seperti Arta, sayang. Tadi lihat kan?”

“Masa? Iya lihat sih yang, tapi bukannya Arta motornya motor matic ya?”

“Iya, tapi seperti Arta dan tadi juga mobil yang dibelakang yang ngejar Arta, seperti Desy”

“Iiih, banyak ngelantur deh sayangku ini, Desy tadi sudah pulang dianter sama Dini-Dina kalau gak salah yang”

“Eh, masa sih?”

“Dah cepet ke kos Helena saja, nanti Helena peyuk deh”

“Eh, i-iya yang”

Aku hentikan motorku secara mendadak. Sedikit terkejut. Tadi lelaki yang mengendarai motor Sport tadi, itu adalah Arta, aku yakin, itulah yang membuatku terkejut. Dan mobil yang dibelakang, yang mengikutinya adalah Desy, memang itu bukan mobil Desy tapi dari spion aku bisa melilhat yang didalam mobil itu benar Desy. Yang lebih aneh lagi, kalau itu benar Arta dan yang dimobil adalah Desy, kenapa Arta tidak menyadarinya dan kenapa Desy mereka kejar-kejaran? Sebenarnya ada apa dengan Arta?

“Aku harap lu gak ngelakuin hal bodoh, lon (bunglon-red)

Aku tidak bisa melihat jelas, tapi ketika motor itu menyalipku, aku bisa merasakan hawa yang sama dengan yang aku rasakan di perkemahan waktu itu. Pasti telah terjadi sesuatu tapi entahlah. Sesuatu yang berbahaya. Jika aku mengikutinya, tidak, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Helena. Aku yakin, dia bisa menyelesaikannya.

“Kok belum jalan? Ntar kalau kelamaan, gak disayang-sayang ama Heyen yho...”

“Eh, he he he”

Ku jalankan kembali motorku. Helena kemudian memelukku dengan erat. Pikiranku sempat teralihkan oleh dua kendaraan yang menyalipku tapi kini ku abaikan pikiran itu. Aku kembali fokus untuk mengantar Helena pulang, menjaganya. Seperti yang dikatakan Arta, agar aku selalu menjaga Helena.
 
Terakhir diubah:



Aku berhenti, beberapa meter dari pintu masuk. Kulihat penjagaan sangat ketat di pintu masuk. Ku hela nafas panjang, sejenak aku berpikir cara masuk ke dalam perumahan itu. Jika aku masuk, dan aku harus menunjukan kartu identitasku. Kartu identitas pastinya akan terrekam di pos penjagaan tersebut dan itu akan membatku mudah ditemukan.

Weeeng...

Sebuah truk besar melintas pelan di sampingku menuju ke perumahan. Truk dengan bak terbuka. Seketika itu aku turun dari motor, kutinggalkan begitu saja dengan kunci masih terpasang. Segera aku bergegas dan berlari menuju truk tersebut. Berlari di belakang truk, setelah dekat aku langsung melompat dan masuk ke dalam bak truk. Entah kemana sebenarnya tujuan truk ini, karena bak truk benar-benar kosong.

Truk kembali berjalan, dengan setengah berdiri aku melihat kebelakang. Melihat kearah Pos penjagaan yang semakin menjauh. Setelah yakin aman, aku melompat keluar dan langsung berjalan seperti orang yang berada lingkungan tersebut. tapi aku sedikit beruntung, keadaan perumahan sepi dan sedikit motor yang berlalu lalang. Kunyalakan rokokku sembari berjalan melihat lingkungan sekitar. Mencari alamat yang aku tuju.

“Ketemu” bathinku.

Aku berhenti sejenak, didepan jalan masuk blok. Suara-suara untuk segera menghabisi si Takur semakin keras terdengar. Aku tersenyum, kemudian melanjutkan langkahku menjauhi jalan masuk blok, menuju sebuah taman. Duduk sejenak, sekedar mengulur waktu dan mengamati situasi lingkungan. Menghabiskan kembali sebatang dunhill. Setelahnya aku kembali ke blok tadi, ku ambil jalan memutar.

Kini aku memasuki blok, jalannya lebar, hampir dua kali lebar mobil. Suasananya sepi, tak ada orang tapi aku tahu mereka ada didalam rumah semua. Aku terus berjalan, mnegurutkan nomor ruma satu persatu. Dan akhirnya aku menemukan sebuah rumah dengan mobil terpakir dijalanan depan rumah tersebut. Itu adalah alamat yang aku cari. Rumah yang berada paling pojok, terletak dikanan jalan.

Posisi rumah memang di pojok tapi jika ku tetap lurus, ada pertigaan jalan. Tepat di pertigaan jalan ada sebuah pos. Dibelakang pos berdiri sebuah tembok yang cukup tinggi.

“Jika aku menaiki pos itu, aku bisa melompati tembok itu. mungkin itu alternatif untuk melarikan diri”

Aku mulai mendekati rumah tujuanku. Rumah tanpa penjagaan, jelas saja penjaga yang seharusnya menjaga sudah menjadi mayat. Langkahku terhenti, kini aku berdiri tepat didepan pagar. Rumah dengan satu jalan masuk yang juga digunakan untuk jalan masuk mobil. Aku memutuskan untuk melompati pagar. Aku berbalik, mengamati situasi. Dan...

“Baik aku akan pergi dan tak akan pernah kembali lagi!”

Aku mendengar suara, pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya. Aku langsung menempelkan punggungku di gerbang. Berjongkok, mendekati sebuah pintu kecil yang merupakan bagian dari pintu gerbang. Selama aku menunggu, ku dengar pintu tertutup tapi tidak bergitu keras diteruskan sebuah langkah kaki.

“Langkah kaki perempuan”

Krieeet...

Perempuan setengah baya, aku bisa merasakan amarahnya. Dia tidak menyadari kehadiranku. Saat dia mencoba membuka pintu mobil, cepat aku melilhat situasi. Dan Segera aku bergerak, membekap mulutnya, lalu ku tempelkan pisau yang aku bawa.

“Diam!” ucapku pelan dan menekan

“Mmmppphhh...”

“Jika kamu tidak diam, aku akan membunuhmu disini” setelah aku mengucapkan ancaman, perempuan setengah baya ini diam.

“Kembali ke dalam, dan ingat jika kamu berani memberitahunya. Aku akan membunuhmu bersama dengannya”

“Jangan berteriak” lanjutku

Pelan dia mengangguk. Aku raih tas yang menggantung dipundaknya. Aku ikat kedua tangannya dibelakang, kemudian aku dorong maju, kembali ke dalam rumahnya. Tangan kananku memegang pisau tepat di belakang punggungnya, sedangkan tangan kiriku memegang lengannya.

Kleeek...

Aku masih berada dibelakangnya. Melangkah pelan dibelakangnya...

“Apa lagi?! Aku sudah bilang, pergi! Kamu ini sudah bukan lagi istriku!” teriak seseorang, Takur, dari ruang tengah.

Aku dan perempuan setengah baya ini, melanjutkan langkah, masuk ke dalam ruang tengah. Dari tempatku berdiri, aku bisa mellihat Takur sedang membelakangi kami berdua. Aku kemudian berbisik kepada perempuan didepanku ini, untuk mengatakan kepada Takur...

“I-iya aku tahu, ini ada orang yang mencarimu”

“Siapa?” dia kemudian berdiri, berbalik. Matanya terkejut ketika melihatku berada disamping perempuannya.

“Ka-kamu?”

“Hai...”

Sesaat kemudian dia mencoba berlari ke arah kamar. Ku balik pisau, ku pegang pada bagian ujung. Aku dorong kesamping perempuan yang ada disampingku hingga terjatuh dan menghantam tembok. Cepat ku ayunkan lenganku.

Jleeeb

“Arghhh...”

Pisau menancap pada bahu belakang. Aku segera bergegas berlari ke arahnya yang hendak melarikan diri kembali. Aku tarik kerah bajunya, kupeluk dari belakang dan ku banting terbalik. Segera aku berbalik dan mengambil pisau yang tertancap. Beberapa hantaman aku hujamkan ke wajahnya.

“Am-ampuunn...”

Aku seret tubuhnya, dan ku ikat di kursi. Ku bungkam mulutnya dengan lap. Aku kemudian meninggalkan Takur dan menghampiri perempuan paruh baya. Sedikit keanehan pada perempuan ini, aku hanya mengikat kedua tangannya sedangkan kakinya tidak. Seharusnya dia bisa saja lari dari tempat ini dan membuatku sedikit kebingungan karena ulahnya, tapi dia tetap berada dalam rumah ini dan melihat aksiku. Aku segera mengangkat tubuhnya dan ku tarik. Kini aku duduk bersama dengan perempuan itu di sebuah sofa dan Takur berada didepanku.

“Apa kabar? Kaget?”

“Mmppphhh...”

“Oh ya aku lupa” aku lepas sumpalan di mulutnya, dan tepat ketika dia hendak berteriak aku langsung memukulnya.

“Bajingan seharusnya kamu sudah mati!”

“Itu kan perkiraanmu he he”

“Sekarang apa maumu, akan aku berikan semua yang kamu inginkan dan lepas arghhh...” satu pukulan tepat di wajahnya

“Kamu beri aku yang aku mau, dan kemudian hari kamu mencariku lagi untuk membunuhku? Begitu? Aku tidak sebodoh yang kamu kira”

Kami berpandangan sangat lama, aku dan dia. Aku dan Takur. Aku dengan lelaki yang hendak membunuhku. Aku dengan lelaki yang selama ini aku cari. Mata kami bertatapan.

“Kenapa? apakah ada sesuatu dari diriku yang kamu ingat...?” tanyaku. Setelah kata-kata dariku, dahinya mengrenyit. Aku berdiri dan menghampirinya. Ku dekatkan wajahku di telinga kanannya. Tangan kananku, memegang lehernya dengan ibu jari aku tekan pada tenggorokannya.

“Masih ingatkah kamu dengan seorang bocah... yang berteriak, memohon kepadamu... bocah yang menangis berharap kamu berhenti menyiksanya? Masih ingat!” geramku dengan menekan keras pada tenggorokannya. Pelan kemudian aku melepaskannya.

“Akh akh... boc-bocah si-argh siapa? apa maksudmu?”

“Lihat mataku Takur, lihat mataku...”

Dia menatapku tajam...

“Ingat?”

“Juh...”

Dia meludah ke arahku, namun aku bisa menghindarinya. Satu pukulan keras tepat pada wajahnya. Aku tarik rambutnya seperti dia menarik rambutku saat di gubug reyot.

“Tolong.. aku mohon... tolong hentikan... jangan sakiti jangaaan... diam kamu bocah, saksikan saja, kamu pasti suka... tolong jangan sakiti argh... dan kemudian bocah itu pingsan karena pukulan dari seorang Takur. Kejamnya Takur mempertontonkan hal yang seharusnya tidak dipertontonkan kepada seorang bocah, sebuah pertunjukan yang mengiris hatinya...” ceritaku

“Ka-kamu... ka-kamu a-anak da-dari...” Tak ku beri dia kesempatan menyelesaikan kata-katanya. Beberapa pukulan aku hantamkan di perutnya.

“Hari ini akan menjadi hari terakhirmu, terima kasih telah mengingatku, terima kasih kamu telah datang kepadaku... karena aku sudah lama sekali mencarimu”

“akh...erghh... kamu ingin membunuhku? Ha ha ha... akan ada ratusan orang mencarimu dan...”

“Dan tak akan mengembalikan apa yang telah hil...” sekali lagi aku tak memberikan dia meyelesaikan kata-katanya. Pukulan-pukulan keras aku daratkan ke perutnya. Ku sumpal kembali mulutnya.

“Memang tidak mengembalikan tapi paling tidak kamu juga akan hilang bukan, dan hanya akan menjadi sebuah nama, Takur. Ingat hanya nama, seperti ketiga anak buahmu” matanya terbelalak, sebuah kebencian disertai rasa takur terpancar dari matanya. Aku tersenyum ketika melihatnya.

Aku berdiri tegak dihadapannya, tanganku sudah bersiap untuk menusuknya dengan pisau pada bagia lehernya. Tapi entah kenapa tiba-tiba pikiranku berubah. Membunuhnya dengan menusuk akan ada terlalu banyak darah. Sidik jariku bisa berada dimana-mana. Aku kemudian berbalik, memastikan perempuan setengah baya dibelakangku, tidak akan mencoba lari. Ku ikat kakinya dengan jaketku.

Kembali aku merasakan sedikit keanehan pada perempuan ini. Jika aku mendengar kata-kata Takur sebelumnya, dia adalah mantan istrinya. Tapi perempuan ini tampak diam, dan tenang, menyaksikan aku menganiaya mantan suaminya. Masa bodoh!. Aku kemudian melangkah menuju ke dapur, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghabisinya.

“Sial... apa-apa...”

Ku buka setiap rak didapur, atas, samping, dan baw... akhirnya aku menemukannya. Aku larutkan ke dalam air, ku buar dalam dosis tinggi. Aku bawa ke hadapannya. Ku buka sumpalan yang berada di mulutnya.

“Apa yang akan kam... arghhh...”

Ku tutup lubang hidung, ku tekan hingga dia mendongak keatas. Mulutnya terbuka, dan langsung aku tuangkan larutan yang baru saja aku buat. Mau tak mau dia menelannya.

“Bagaimana? Nikmatilah...”

“Erghhh... ka-kammuhhh... erghhh juh... juh...” dia mencoba memuntahkan cairan yang aku masukan.

“Ohya, ada salam dari anak buahmu, tadi katanya kalau mau menyusul mereka, harus dengan lagu pengantar biar cepat sampai” aku tersenyum, lalu aku memutar lagu yang sama. God Gave Rock n roll by Kiss.

Racun bereaksi. Matanya menatapku tajam, pelan tatapannya menjadi kosong. Beberapa kali mengejang. Dari bibirnya keluar cairan. Dan... perlahan kepalanya menunduk. Dalam hati aku tertawa, akhirnya yang selama ini aku tunggu. Ya, aku telah menunggu lama, momen dimana orang yang menggoreskan luka terdalam didalam hidupku tertidur lelap dihadapanku, tertidur selamanya dan tak akan bangun kembali.

Suasana menjadi hening. Keheningan malam mulai menemaniku. Tiba-tiba saja hatiku menjadi sedikit mencair. Kini aku dalam sebuah kebimbangan. Kurasakan sebuah perasaan yang melunak. Pelan aku setengah menoleh ke arah perempuan di sampingku. Wajahnya sedikit sumringah, entah kenapa itu.

“Terima kasih” ucap wanita itu tiba-tiba

“Eh...” langsung ku arahkan wajahku ke arahnya

“Lebih baik segera kamu bersihkan semua yang kamu pegang. Pisau itu kamu bawa, jangan kamu tinggalkan. Gelas, ceceran darah dan wajah atau bagian tubuh mantan suamiku itu harus dibersihkan agar tidak ada sidik jarimu.”

“Dan jika kamu ingin membunuhku, beri aku minuman yang sama agar tidak ada kecurigaan dari komplotan mereka, dan mereka akan menebak jika aku yang membunuhnya, bukan orang lain...”

Aku menatapnya dengan tatapan heran...

“Kenapa? tujuanmu sudah selesai bukan? dan begitupula keinginanku selama ini”

“Eh...” dia kemudian tertawa pelan

“Sudah lama aku menginginkan kematiannya. Sekalipun aku punya banyak kesempatan untuk menghabisinya, aku tahu disekitarnya masih banyak bajingan-bajingan yang akan mencariku dan bisa jadi aku dijadikan mainan lagi oleh mereka... itulah mengapa aku mengurungkan niatku”

“Hanya bisa lepas dari ikatan pernikahan, itu sudah cukup membuatku bebas”

Dia kemudian bersandar pada sofa. Kami masih didepan mayat Takur. Aku memandangnya, pandangannya menatap langit rumah. Bibirnya sedikit tersenyum.

“Segeralah... bersihkan semuanya, bisa jadi sidik jarimu tercetak di suatu tempat dirumah ini”

“Kenapa?” dia bangkit dan menatapku

“Arta...”

“Eh”

“Aku mengenalmu bukan sejak dulu, tenang saja. Aku tahu ketika dia datang kerumah ini sore tadi, bukan karena dia memberitahuku. Karena dia marah-marah pas aku datang lagi ke rumah ini, tapi setelahnya dia tertawa keras, bercerita dan menyebut namamu yang disambung dengan kata ‘mati’...” dia tersenyum

“Aku tidak tahu siapa kamu, Ar. tapi jangan sampai kamu tertangkap oleh orang-orangnya. Dan aku tidak ingin orang-orang disekitarmu ikut terluka karena ulahmu ini. segeralah, bunuh aku, minumkan racun itu dan bersihkan semua yang ada dirumah ini sebelum kamu pergi. Begitupula dengan rekaman CCTV di kamar belakang, rusak, jangan kamu hapus. Karena file yang dihapus bisa dikembalikan...”

“Bawa sematponnya, rusak dan buang agar tak ada bukti percakapanku...”

Entah kenapa tiba-tiba, aku bangkit dan melepaskan ikatan di tangan dan kakinya. Menariknya untuk berdiri. Usianya memang cukup jauh dibandingkan umurku. Tapi guratan kecantikan masih ada di dalam wajahnya. Aku masih menatapnya yang berdiri didepanku. Tiba-tiba dia mengayunkan kakinya menjauhiku. Dengan cekatan dia membersihkan semua yang pernah aku sentuh.

“Siapa kamu?” tanyaku

“Aku? Aku dulu seorang dokter, dokter yang selalu diberi tanggung jawab untuk ikut menangani kasus pembunuhan-pembunuhan yang terjadi. Tapi... pada akhirnya, aku jatuh cinta kepada orang yang salah, dan dalam hitungan bulan, kehidupanku hancur, terkungkung dalam sebuah sangkar... aku melihat kematian demi kematian didepan mataku tanpa aku harus bisa menolongnya” ceritanya sembari membersihkan ceceran darah

“Semakin hancur setelah aku dijadikan binatang peliharaannya... tapi pada akhirnya 3 bulan lalu aku bisa lepas dari mereka. Aku bisa bercerai, dan diperbolehkan pergi oleh mereka, tetapi tidak booleh kembali lagi ke kota... aku tidak tahu kenapa aku bisa berpisah, mungkin aku sudah tidak menarik lagi bagi mereka...” bibirnya sedikit tersenyum, tapi kelihatannya ada sedikit kebohongan.

Aku masih berdiri dan memandangnya yang bergerak hampir mengelilingi seisi rumah. Kemudian dengan isyarat tangannya, dia mengajakku ke kamar belakang. Dialam sana ada sebuah komputer, dengan cepat dia merusak semua yang ada didalam ruangan itu. mengambil sesuatu dari dalam komputer dan membantingnya, hingga rusak parah. Tidak hanya disitu dia masih saja merusaknya.

Aku masih terus diam tanpa kata-kata. Mengikutinya kembali di sofa, dia duduk...

“Sekarang bunuhlah aku...”

“Tidak...”

“Kenapa?”

“Aku masih bisa membedakan orang baik dan orang yang tidak. Kamu orang yang baik” dia menatapku tajam.

“Apakah kamu yakin?” aku mengangguk. Mata kami saling bertatapan.

“Baiklah, ayo segera kita keluar dari rumah ini.” kami kemudian berdiri,

“Oh ya sebentar” dia mencari sesuatu,

“Nah, sematponnya, bisa berbahaya jika ditemukan” setelahnya dia memainkan sematpon Takur, aku mendekatinya. Terlihat dia sedang melakukan pembersihan file yang ada didalam sematpon.

“Kamu apakan?”

“Aku membersihkan semua file, telepon sekarang sudah canggih. Semua data bisa di cadangkan isinya, aku hanya memastikan percakapanku dengannya tidak ter-back up. Komplotannya juga orang yang mahir dalam bidang IT, kita pun juga harus sama. email dan lain sebagainya harus di hapus bukan?”

“Kita bisa melakukannya diluar”

“Jangan bodoh, sematpon ini tersambung dengan koneksi data. Bisa terekam posisi terakhirnya, jadi kita disini sebentar agar posisi terakhir tetap dirumah ini.”

“Matikan saja koneksi datanya”

“Buka emailnya? Pakai doa? Begitu?”

“Eh...” ternyata dia sangat pintar dalam bidang IT.

Aku hanya diam dan memandangnya.sekali lagi dia tampak sibuk dengan sematpon takur. Selang beberapa menit, aku lihat di layar sematpon Takur sedangmelakukan reset ulang pabrik.

“Sudah ayo kita pergi”

“Sebentar, Sidik jariku memang tidak ada dirumah ini karena kamu sudah membersihkannya, tapi bagaimana dengan sidik jarimu?” dia tersenyum dan menatapku. Mengangkat kedua tangannya.

“Ini sarung tangan, memang tidak tampak seperti sarung tangan. seperti tangan asli bukan? tenang ini tidak akan meninggalkan sidik jari apapun ditempat ini”

“Ta-tapi di pos penjaga”

“Sudahlah ikut saja, jika aku membahayakanmu, kamu bisa membunuhku bukan. Pisau itu masih kamu bawa”

Aku kemudian mengikutinya. Dia memberitahuku untuk tetap tenang, karena orang diperumahan ini semuanya tak peduli dengan sekitarnya. Pelan aku mengangguk, lalu mengikutinya keluar rumah menuju mobil.

“Jangan...” tepat ketika tanganku hendak membuka pintu mobil. tangannya meremas pergelangan tanganku. Dia kemudian membuka pintu belakang, menyuruhku masuk ke dalam.

“Sudah masuk, jangan sentuh apapun didaam mobil”

Aku masuk, diikuti olehnya. Kemudian dia menyuruhku tidur di kursi belakang. Dengan posisi tidur miring aku masih bisa melihat gerak-geriknya. Dengan cekatan, dia berdandan dan wajah yang kini aku lihat benar-benar berbeda dengan yang aku lihat belumnya. Perempuan memang aneh, rambut sudah bagus masih saja pakai rambut palsu.

Mobil berjalan pelan, tak perlu menunggu lama. Mobil berhenti sejenak di pos satpam. Terjadi perbincangan sebentar, lalu mobil berjalan kembali. Setelah manjauh dari perumahan, dia menyuruhku untuk duduk seperti biasa. Aku tak tahu mobil ini menuju kemana.

Gluduk... gluduk... Dhuar... Jrssshhh...

Hujan mulai turun...

“Kamu kesini naik apa?”

“Motor anak buahnya”

“Hufth... untung saja hujan, kalau tidak sidik jarimu masih menempel disana. tapi menurutku kamu tenang saja. Ibu kota tak akan membiarkan motor tanpa pemilik kedinginan, pasti akan ada yang mengambilnya”

“Aku harap begitu”

Hujan deras mengguyur perjalanan kami berdua. Tak ada percakapan setelahnya. Kurang lebih setengah jam aku berada dalam mobil. Mobil terus berputar-putar, entah apa sebenarnya yang dia pikirkan. Tiba-tiba dia berhenti dipinggir jalan.

“Ayo turun, hujan sudah reda...”

“Eh...”

“Sudah cepat turun, kamu mau ketahuan? Ingat satpam mengenali mobil ini”

Aku turun, berdiri dipinggir jalan. Dia mengajakku menuju sebuah pasar swalayan terdekat. Sesampainya didepan pasar swalayan, tepatnya masih di trotoar jalan dia kembali menyuruhku menunggu. Dia kemuian masuk. Sedikit rasa gelisah dalam hatiku, bisa jadi perempuan itu menipuku. Selang beberapa saat sebuah mobil menghampiriku. Pintu kaca mobil terbuka perlahan.

“Ar, masuk...”

“Eh, iya...”

Perempuan itu berganti mobil. Aku masuk. Mobil kemudian berjalan.

“Tenanglah, ini juga mobil rental. Semua sudah aku persiapkan semuanya”

“Kenapa dari tadi kamu hanya diam saja Ar?” lanjutnya

“Tidak, aku hanya memastikan saja”

“Menurutmu aku orang baik atau jahat?”

“Baik...”

“Hi hi hi... apa karena aku terlihat cantik, kemudian kamu mengatakan aku baik?”

“Bukan masalah fisik, hanya logika dan perasaanku mengatakan kamu orang baik...” dia menoleh ke arahku sembari mengemudikan mobil.

“Hi hi hi... Kamu lelaki pintar, memang semua yang cantik tidak selalu baik, bisa jadi hanya sebagian, dan semuanya tergantung pada pribadi mereka masing-masing.”

Aku masih diam. Mobil terus berjalan. Mataku terus tertuju pada jalan yang aku lalui. Hingga akhirnya berhenti di pinggir jalan yang lumayan ramai. Dia menyuruhku tetap di dalam mobil. Tanpa canggung tentang keberadaanku disampingnya, dia mulai menghapus riasan wajah serta rambut palsunya. Melepas pakaian, memang tidak telanjang, tapi cukup membuat panas dingin. Pas aku tahu, aku langsung membuang muka.

“Baru kali ini ada lelaki yang melihat hal lain, padahal disini ada pemandangan bagus” godanya. Aku tetap memandang arah lain, dan menggoyangkan telapak tanganku.

“Sudah Ar...” aku kembali menoleh ke arahnya. Dia mengeluarkan sematppon milik takur.

“Kenapa kamu aktifkan lagi?”

“Sudah tenang saja, ini sudah jadi sematpon tanpa pemilik, lagipula tidak terkoneksi dengan data. Sebentar, aku matikan lagi.” Dikeluarkan baterai sematpon, dtutupnya kembali. Lalu dia memegang kedua ujunng sematpon dengan kedua tangannya, dibenturkan bagian tengah sematpon ke lututnya. Hingga rusak

“Kamu bisa terluka”

“Hanya luka kecil, dan itu tidak sebanding dengan kebahagiaanku malam ini” aku kembali menoleh ke arah jendela mobil

“Ar...” aku kembali menoleh ke arahnya, tangannya langsung meraih pipiku, tersenyum.

“Jika saja anakku masih hidup, mungkin dia akan tumbuh dewasa menjadi lelaki sepertimu, gagah dan pemberani. Tapi dia tentunya lebih muda darimu 4-5 tahunan, lebih imut, lebih ganteng tentunya hi hi hi. Tapi sayang, dia harus pergi disaat dia masih berumur beberapa bulan”

“Eh...” tangannya berpindah ke kemudi mobil. Pelan dagunya diletakan diletakan di atasnya.

“Alasanku datang ke dia kembali karena setelah aku bercerai dengannya, aku mengetahui kenyataan pahit. Sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan, kenyataan jika ayahnya yang membuat darah dagingnya pergi selamanya...”

“Maksudmu...”

“Ya, Takur pelakunya. Aku bisa lepas darinya bukan karena aku tidak tahu, seperti yang aku katakan sebelumnya, tapi karena aku membuat sebuah rekam medis, jika aku mengidap penyakit kelamin. Mau tidak mau dia melepaskan aku. Hingga akhirnya sekitar dua bulan yang lalu, tiba-tiba dia meneleponku. Dari suaranya aku bisa menebak dia sedang mabuk. Lalu dia memarahiku karena aku tidak menyiapkan makan malam.”

“Aku menjawab kalau aku bukan istrinya lagi, dan setelahnya dia mengatakan... ‘oh ya aku lupa ha ha ha, seharusnya aku membuatmu pergi bersama si bayi itu’... aku terkejut, dan aku tetap melanjutkan percakapan itu hingga akhirnya dia menceritakan semuanya...”

Pelan terdengar isak tangis dari bibirnya. Air matanya mengalir dari sepasang mata indah yang memantulkan cahaya malam. Aku hanya diam, hampir sama denganku hanya berbeda yang pergi. Aku menunduk, teringat akan Ibuku.

“Selama dua bulan, aku terus memikirkan cara untuk membunuhnya sekalipun aku harus mati dengannya. Aku tidak peduli. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk datang, menyamar agar satpam tidak mengenaliku, mencoba mengajak dia bercinta tapi gagal karena dia masih takut akan penyakitku. Aku berpikir yang kulakukan dulu adalah kebodohan tapi kamu datang, ketika kamu mengatakan ingin membunuhnya, harapanku kembali tanpa peduli apakah akhirnya kamu akan membunuhku atau tidak....”

“Terima kasih...” lanjutnya sembari menghapus air matanya dan tersenyum kepadaku

“Jangan katakan terima kasih, itu adalah tindakan kriminal...” jawabku

“Aku tidak peduli, aku tahu setelah kematiannya mereka pasti akan mencariku. Tapi tenang saja, Sekalipun satpam tadi di interogasi mati-matian pun, mereka tetap akan bingung karena...”

“Karena?” tanyaku

“Aku kesanakan dengan wajah berbeda Ar, dan aku juga sudah hafal penghuninya. Alasanku ke perumahan tadi, menuju ke rumah seseorang yang jelas letaknya jauh dari rumah bajingan itu” jawabnya dengan sedikit senyuman

Aku tersenyum. Ku buka kaca jendela mobil dan kemudian menyulut rokok. Sama saja, semua perempuan, walau dia memperbolehkan aku tapi selalu ada sedikit nasihat untuk tidak merokok. Masa bodoh, tidak Ainun, Desy, Winda, ini juga sama saja.

“Sebenarnya kenapa sampai kamu bisa menjadi target pembunuhannya?”

“Kamu tidak perlu tahu”

“Ar...” aku menoleh, dia tersenyum

“Aku tahu, ada sesuatu dari masa lalumu dari apa yang kamu bisikan pada Takur tadi. aku mendengarnya, tapi jika kamu tidak mau cerita tidak apa-apa. Yang jelas, kamu bukan bagian dari mereka dan menurut analisaku, kamu bagian dari lawan mereka” sedikit terkejut aku mendengarnya. Dia langsung bisa menangkap gelagatku.

“Benar bukan? hi hi hi, berarti aman, sama-sama kuat.” lanjutnya

“Aku tidak tahu aku dipihak mana, aku hanya...”

“Jangan sampai kamu mengorbankan orang-orang disekitarmu. Lindungi mereka Ar, kota ini terlalu kejam untuk sebuah sisi kehidupan yang tidak diketahui orang lain.”

Hening... apa yang dia katakan memang benar. Aku tidak boleh memasukan satu orang pun ke dalam masalahku. Ini adalah masalah pribadiku. Aku menoleh ke arahnya yang sedang memandang atap mobil. Ada sedikit senyum di bibirnya. kelihatannya memang dia tahu semua tentang ibu kota, keluarga dan musuh dari keluarga. Pelan kemudian dia bangkit, mengambil tasnya.

“Ini minumlah, kopi. Orang yang merokok pastinya hambar kalau tidak ada minuman manis” tawarnya dengan senyuman. Aku mengangguk, dan menerimanya.

“Ada dendam di matamu...” ucapnya yang kemudian duduk bersandar dan memandangku

“Maaf aku tidak bisa bercerita apapun kepadamu, lebih baik kita berpisah sekarang dan carilah tempat aman untuk berlindung” dia kembali tersenyum

“Baiklah, sebenarnya aku ingin memberimu hadiah tapi... dari caramu memandangku, kamu tidak tertarik, mungkin suatu saat nanti... oh ya, panggil aku Eviela dan ini nomorku. Jika kamu ingin tahu sesuatu, hubungi nomor ini, ini nomor baruku.” Aku meraih kartu nama yang dia berikan kepadaku

“Baik, terima kasih. Dan maaf jika sejak awal aku kurang sopan. Karena seharusnya aku memanggilmu dengan sebutan yang lebih menghormati,” aku tersenyum,

“Terserah kamu mau memanggilku apa, Ar, mau mbak atau tante terserah kamu, tapi kelihatannya kamu akan memanggilku tante” aku tersenyum dan mengangguk. Aku kemudian bergeas untuk segera keluar dari mobil

“Tunggu...” aku terhenti sejenak, lalu aku berbalik ketika hendak membuka pintu mobil

Kedua tangannya meraih pipiku. Bibirnya menempel di pipiku. Dia tersenyum.

“Sekali lagi terima kasih, segeralah hubungi nomorku agar aku bisa selalu tahu keadaanmu. Dan jangan lupa, jaga semua yang kamu sayangi.”

“I-iya tan...”

“Dan jika suatu saat nanti kita bisa bertemu, aku ingin memberimu hadiah”dia tersenyum dan aku mengagguk. Entah hadia seperti apa yang dia maksud?

Aku keluar dari mobil berdiri disampingnya, pintu kemudian tertutup tapi kaca jendela masih terbuka. Aku menunduk dan mengangguk, dibalas dengan senyuman. Kami kemudian berpisah. Mobil itu melaju entah kemana, dan aku juga tidak tahu keberadaanku sekarang. Untung aku ada sematpon, jadi aku bisa minta tolong ke salah satu temanku.

Kini aku berdiri di pinggir jalan, membuka sematponku. Ku utak-atik sematponku, beberapa kali aku menelepon Samo ataupun Justi tak ada jawaban. Mungkin mereka sedang sibuk dengan para wanitanya. Ku masukan sematponku. Ketika tanganku berada disaku, pandanganku lurus ke depan. Ke sebrang jalan. Mataku terbelalak. Aku terkejut dengan aa yang aku lihat. Seakan-akan kegelisahan, ketakutan, perasaan bersalah yang baru saja menghilang muncul lagi.

“I-Ibu...”

Wajahnya terlihat sedih. Kepalanya menggeleng mengisyaratkan sebuah kekecewaan. Aku tahu Ibu pasti mengetahui semuanya. Aku masih diam, hatiku bergetar. Meleleh dari kebekuan sesaat. Rasa takut kembali muncul dan bertambah menjadi kuat, tatkala aku melihat air mata mulai mengalir di pipinya. Rasa sesalku muncul diikuti nafas yang tersengal dan juga air mata yang mulai mengalir. Sebuah penyesalan karena melakukan sebuah keja...

aaaaaaa“Kenapa?”

Suara itu jelas terdengar di telingaku.

“I-Ibu a-aku...”

aaaaaaa“Kenapa?”

Aku diam tak bisa berkata-kata lagi, tubuhku kaku. Tanpa berpikir panjang aku langsung menggerakan satu kakiku menapak di atas jalan beraspal

Ciiit... Glek..


Tiba-tiba sebuah mobil berhenti didepanku. Membuatku terkejut dan langsung menarik kakiku. Pintunya tiba-tiba terbuka.

“Cepat masuk!!!”
 
Terakhir diubah:
Untung arta selamat..
Waduh jangan nekat arta,, desy tolong hentikan arta..
 
Mohon maafnya baru sempat update, banyak kegiatan...

mohon keripik dan cak lontongnya,
agar bisa lebih baik baik lagi kedepannya he he he


:ngupil:

:ngacir:
 
Mohon maafnya baru sempat update, banyak kegiatan...

mohon keripik dan cak lontongnya,
agar bisa lebih baik baik lagi kedepannya he he he

keripiknya cm satu Suhu DH, kok cepet amat yak. :bata:
bela-belain baca jam 1 pagi. Btw pas di gubug kok bagian akhir agak ke skip ya rasanya:bingung:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd