Winda shirina ardeliana
“Eh, Ar, ar, ar... berhenti... berhenti!!!!” bentak Desy dibelakangku.
“I-iya, Des sebentaaaar,” balasku.
“Cepet! Berhenti!!!” bentaknya kembali.
“Des, ini ditengah jalan. Aku minggir dulu,” jawabku.
“Ya udah cepetan minggir!” ucapnya keras.
Aku tidak tahu kenapa Desy tiba-tiba bisa berteriak sekeras ini. Di suruh berhenti tapi pas akunya lagi di tengah-tengah jalan. Ini cewek sebenarnya mau mati apa bagaimana? Sungguh wanita yang sulit untuk di mengerti.
Dari kaca spion kiri, aku pastikan tak ada lagi kendaraan di kiriku. Aku meminggirkan motor dan memperlambat lajunya. Mencari tempat yang cocok untuk memarkir motorku, wajarlah bagian kiriku tak terlihat sedikit pun ruang untuk berhenti. aku sedikit memajukan motorku, hingga didepan kios rokok.
“Dah Des, ada apa? kamu mau turun? Atau bag...” tanyaku.
Lha, belum aku menyelesaikan ucapanku dia malah sudah melompat. Aku menengok kebelakang. Dia berlari kecil di atas trotoar, menuju ke pinggir sebuah tempat, ah, tempat apa itu aku tidak tahu. Yang aku lihat, dia berdiri dengan posisi kaca helm tertutup. Tepat didepannya adalah pagar tanaman yang memutari tempat itu. Sepertinya dia tidak bisa mlihat tapi kalau dari sela-sela tanaman bisa juga. Sepertinya. Aaah, Benar-benar aneh. Aku melihatnya terus, takut kalau terjadi apa-apa sama “si penyihir” ini.
Lha, tiba-tiba dia berbalik ke arahku. Berlari kecil dan langsung membonceng. Ingat jangan bertanya ‘kenapa?’ pada perempuan ini. Ya, itu karena bisa jadi dia memberi ‘hadiah’. Pastinya hadiah itu menakutkan. Apalagi dia telah melakukan sesuatu yang sangat misterius, menurutku.
“Kenapa Des?” tanyaku.
“Dah jalan” ucapnya datar dan...
“Aaaaarghhh... i-iya, iya jalan Des. Ini mau jalan, lepasin Des. Sakit... sakiiiiiit!” teriakku.
“Makannya tidak usah banyak tanya! Jalan!” bentaknya.
Aku mendengus kesal. Ndak salah apa-apa kok tiba-tiba di cubit. Sudah perih, sakit lagi. Tapi ya bodohnya aku, sudah tahu jangan tanya, masih juga tanya. Hah, sekarang lebih baik diam dan bertanya sesekali untuk mengetahui jalan menuju kosnya. Maklum... aku lupa jalan menuju kosnya. Karena sudah lama tidak main kesana. Lagi pula, waktu muter-muter dulu. Ah, sudahlah, yang jelas aku lupa.
Dan akhirnyaaa...
“Mbak sudah sampai? Totalnya 25 ribu,” candaku.
“Oh, bayar ya?” tanyanya dengan nada sedikit bagaimana begitu. Apalagi aku merasakan sesuatu di pinggangku.
“Endak mbak, endak gratis kok he he he,” jawabku, menghindari pertikaian dengan ‘si penyihir’.
Setelahnya aku diajak menuju ke kamar kosnya. Aku duduk didepan kamarnya, di bangku panjang berwarna putih. kunyalakan dunhill sebagai teman menunggu ‘si penyihir’ berganti pakaian. Lama aku menunggu akhirnya dia keluar. Rambutnya sebahu, dengan kaos longgarnya dia menyapaku. Sedikit bercakap, kemudian dia menwariku minuman. Dia mengiyakan dan meninggalkan aku sendiri, menuju dapur.
Kletek...
“Ni... Ar,” aku menoleh ke arahnya. Wajahnya sudah tidak segalak seperti ketika dikampus.
“Cepet habisin itu rokoknya, asepnya gak enak,” lanjutnya.
Segera aku menghisap dengan hisapan super cepat dan kumatiakn. Memang masih seperempat batang, tapi... tapi... itu berharga, makanya tak akan kusia-siakan pengorbanan dunhill yang harus mati terbakar. He he he.
“Dah, minum dulu,” tawarnya.
“Tadi kenapa tiba-tiba minta berhenti?” tanyaku, sembari menyeruput minuman buatannya. Manis. minumannya maksudku, eh, orangnya juga.
“Gak papa, Cuma pengen lihat rumah makan tadi saja. bagus modelnya,” jawabnya dengan satu tangan memegang gelas. Wew, penyihir, meski ada sisi menawannya juga.
“Wedew, aku kira kenapa?
mbok yaho jangan mendadak gitu. Cuma model rumah makan saja, bisa-bisanya brrrr...” candaku.
“Sudah, gak usah dibahas,” ucapnya menatapku dengan tatapan tenangnya. Jreng-jreng....
“Eh, a-ada apa Des? Kok lihatnya seperti itu?” tanyaku.
“Winda,” singkat, padat dan jelas.
“Hadeeeeeh... kenapa Winda?” tanyaku. Mengalihkan pandanganku kedepan.
Sreeek..
“Aaarghhh sakit Des” rintihku. Duduknya merapat, tangannya juga merapat mencari daging pinggangku.
“Cerita gak!” perintahnya.
“I-iya tapi ndak usah nyiksa gitu Des,” satu tanganku memegang pergelangan tangannya, untuk melepaskan cubitannya.
“Oke, kalau gak cerita. Awas!” ucapnya pelan, dengan penuh tekanan.
Huuuufthhh....
Aku menghelas nafas panjang. Duduknya yang merapat ke dudukku. Satu tangan menyangga kepalanya, miring, memandangku. Ini, kalau saja aku masih minta untuk tidak memandangku seperti itu, pasti bakal kena “hadiah” lagi. Segera aku letakan gelas minumanku di lantai, aku kemudian mulai bercerita.
“Begini...”
Aku memulai ceritaku. Dari awal aku ke kamar mandi, hingga bertemu dengan Ibu kantin. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk nongkrong di atap gedung. Hingga, Winda datang, naik ke pagar atap gedung. Pembicaraanku dengan Winda pun, aku ceritakan secara runut walau tidak detail. Ya, maklumlah kan aku juga lupa kata-katanya yang tepat. Yang jelas, intinya tersampaikan. Masalah janji dan lainnya tidak aku ceritakan. Hingga akhirnya aku cerita sampai pada saat Winda aku tarik kebelakang, lalu aku memeluknya kemudian membentak....
PLAK!!!
Tamparan ringan mendarat di lenganku.
“Sakit Des, kenapa to?” protesku.
“Dasar mesum!” hardiknya kepadaku.
“Eh... i-itu kan, anu Des... aku cuma cerita,” ucapku, aku mengira dia akan marah tapi tatapannya biasa saja.
“Kamu itu jujur banget jadi orang Ar, ya sudah lanjutin lagi,” kembali dia pada posisi seperti semula.
Kembali aku menghela nafas panjang dan menceritakan kejadian-kejadian di kos Winda. Dan hanya secuil yang aku ceritakan pas di tempat parkir, ya cuma perdebatan masalah antar-mengantar. Di kos, aku meneritakan betapa manjanya Winda, yang sebelumnya aku mengira manja sewajarnya tapi majanya memang lebih dari yang aku kira. Beberapa detail percakapanku di kos Winda aku ceritakan walau tidak sama persis, yang penting intinya tersampaikan.
Aku melihatnya tersenyum setelah semua cerita aku ceritakan. Pandangannya lurus ke depan dengan segelas minuman dia pegang tepat didepan mulutnya. wajahnya ayu, helai rambutnya kadang jatuh menutupi pipinya.
“Terima kasih,” senyum lembut tampak dari bibirnya.
“Eh, maksudnya?”
“Terima kasih kamu telah selamatkan sahabatku, mungkin bukan hanya sahabat tapi aku sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Sedari kecil kami selalu bersama. Dia sedikit tertutup masalah asmaranya, walau sebenarnya aku sudah tahu tentang pacarnya. Hanya aku diam... seperti halnya kamu.”
“Kenapa?” tanyaku, sembari mengambil gelas minumanku.
“Alasan yang sama denganmu.” kembali dia menyeruput minumannya
“Aku sudah tahu semuanya. Sejak awal aku ingin mengatakan kepada Winda, tapi aku takut dia sedih. Mungkin kalau sebelumnya aku bercerita pada Winda, dia pasti akan marah besar. Bahkan bisa jadi dia memusuhiku. Tapi pada akhirnya dia mengetahuinya sendiri. Beruntung ada kamu yang menolongnya. Aku hanya bisa berharap dia bisa lebih berpikir lagi untuk kedepannya,” jelasnya, kemudian dia meletakan gelas disampingnya. Meregangkan kedua tangannya. Aku bisa melihat matanya sedikit berkaca-kaca.
“Egh uuuuughhh....” lenguhnya.
“Ayo... indak oyeh cedih, indak oyeh anyis...” candaku menirukan suara anak-anak yang belum lancar berbicara.
“Eh...” tiba-tiba gerakan terhenti. Seketika itu dia langsung menoleh ke arahku. Matanya memandangku tajam. Tajam dengan penuh keheranan atau bisa jadi melihat setan he he he.
“A-ada apa Des? Kok lihatnya seperti itu?” tanyaku, bingung.
“Eh, gak papa.. lupakan” balasnya. Dia menjadi lebih kaku dari sebelumnya. Sesekali dia melirik ke arahku, ketika pandangannya lurus ke depan.
“Ada apa to?” tanyaku.
“Enggaaaak... heran aja kamu bisa ngelucu kaya tadi,” balasnya sembari mengambil minumannya lagi.
“Lha kalau lucu, kok ndak ketawa?” tanyaku, yang kemudian menyeruput minuman.
“Iya deh ketawa ha ha ha ha.”
Tawanya keras, malah membuatku merinding sendiri. Tapi sikap anehnya membuatku ikut tertawa. Aku dan dia, si penyihir, bercanda dan bergurau. Seperti sudah sangat akrab sekali, padahal sebelumnya dia tampak begitu galak. Mirip sekali dengan Dini, bedanya masih lembutan Desy kalau kelihatan galak.
Dua gelas minuman telah habis. Menemani perbincangan kami, entah apa yang sebenarnya kami bicarakan. Setiap satu tema, bisa berganti dengan tema yang lainnya. Bukan masalah kuliah, bukan masalah Winda. Tapi hal lain, aku saja juga tidak begitu mengerti yang dia bicarakan, yang penting asal ya dan ya. Beres kan? Karena aku lebih banyak mendengarkan cerita dia. Ingat, wanita itu sangat senang kalau di dengarkan. Jangan dibantah, he he he.
“Ya sudah Des, dah sore. Aku pulang dulu,” ucapku sembari bangkit dari dudukku. Kuregangkan kedua tanganku, melenturkan otot tubuh.
“Iyaaa... kapan-kapan main lagi, Ar,” ucapnya. Aku memandangnya, tersenyum, dan mengangguk.
“Dan...” lanjutnya.
“Dan?” aku menirukan ucapannya.
“Ternyata tidak seperti yang aku pikirkan, tentang Winda yang berubah sikap terhadapmu,” ucapnya, aku tersenyum.
“Yup, it’s not like what you think,” ucapku, kata-kata terakhir dari percakapanku dengannya hari ini.
Dia kemudian mengantarkan aku sampai tempat parkir. Dari kaca spionku pun, aku masih bisa melihatnya tersenyum ketika aku sudah menjalankan motorku. Pelan, aku meninggalkan kos Desy menuju kontrakanku. Fyuuuh, akhirnya aku bisa pulang juga.
Sesampainya di kos aku memulai rutinitasku lagi. Rutinitas dengan sematpon. Bercanda, bercengkrama di dalam aplikasi pesan.
Kriiiiiing. Mbak Arlena menelpon.
“Halo mbak.”
Tak ada balasan.
“Mbaaaaak...”
“Ehem ehem....”
“Mbak? kok malah ehem-ehem?”
“Siapa tadi yang di boncengin?”
“Yaelah mbak, tanya kabar dulu kenapa?”
“Yeee... situ yang harusnya tanya kabar mbaknya yang cantik ini. setiap hari Cuma kirm pesan, telpon napa?”
“Ihiiiir mbakku kangen niiiih.”
“Iya adikku sayang, kangeeeeen banget... saking kangennya jadi keseeeeeel banget.”
“Eh...” mati aku.
“Itu omen, mau mbak sate aja kalau gak ada yang kasih makan.”
“Wew... ja-jangan mbak.”
Tiba-tiba saja mbak Arlen tertawa keras. Menggodaku karena mungkin tadi dia melihatku memboncengkan Desy. mau tidak mau aku menceritakan kenapa tadi aku bisa berboncengan dengan Desy. Namanya juga mbak Arlen, sudah diberitahu masih saja menggoda.
“Besok mbak, kalau ada waktu luang aku ceritakan semuanya.”
“Janji lho.”
“Iya...”
“Ya sudah, sana istirahat dulu. jangan lupa maemnya dijaga.”
“Gih mbak.”
Mbak Arlena mengakhiri percakapan kami. Aaah, mbak Arlena mirip dengan Ibu. dia sangat perhatian denganku. Memang seharusnya aku menceritakan semuanya. Tapi untuk Ainun, lebih baik jangan. Karena bisa jadi itu akan membatnya marah. Tapi, ah, masa bodoh. yang terbaru saja yang aku ceritakan, Ainun aku simpan. He he he... tidur ah, besok kuliah. dan yang paling melelahkan adalah kegiatan praktikum. Huh...
.
.
.
“Mas dan mbaknya, ini antarkan ke Prof Dodo di lab analitik,” perintah salah satu Dosen yang mengampu praktikum kimia organik. Di lab Kimia Organik, hanya tersisa aku dan Desy, yang lain sudah kabur terlebih dahulu. Aku dan Desy terlambat keluar karena sebelumnya Dosen yang menyuruhku sekarang ini, meminta menunggunya. Karena dia sedang membuat larutan untuk Prof Dodokambek.
“Iya bu” jawabku dan Desy serempak.
Dengan membawa Gelas Kimia bertutupkan plastik dan diberi karet agar plastik tetap menutupi gelas kimia. Aku dan Desy kemudian turun ke lantai dua menuju ke lab analitik. Seharusnya larutan lebih aman dimasukan ke dalam botol reagen, tapi karena mungkin langsung dipakai dan ditambah lagi botol reagen habis, jadinya pakai gelas kimia. Dalam perjalanan, dari sudut mataku aku bisa melihat Desy mengamatiku. Entah, ada apa sebenarnya tapi aneh juga? Ah, masa bodohlah, kenapa semakin kesini malah semakin aneh saja para perempuan di kota.
Setelah sampai di lab analitik, pintu laboratrium yang awalnya tertutup , aku buka perlahan. Tak ada orang didalam lab. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat bayangan buram seseorang di ruang timbang. Yang jelas, itu pastinya Prof Dodokambek. Karena tidak ada orang dan sepi, aku langsung menuju ke ruang timbang. kuketuk pintu beberapa kali dan kemudian Prof Dodo membukakan pintu.
“Owh, dari Lab Organik?” tanya Prof Dodo.
“Iya Prof” jawab Desy.
“Ya sudah taruh di meja sana,” perintah Prof Dodo sambil menunjuk salah satu meja kosong disamping neraca analitik. Aku lihat jam di dinding menunjukan pukul 10.00.
“Ya Prof,” jawab Desy dan aku hanya mengangguk.
Aku meletakan gelas kimia yang bertutupkan plastik disamping gelas kimia Desy. Desy kemudian berbincang-bincang dengan Profesor, sedangkan aku penasaran dengan tabung yang berdiri tegak disebelah meja dimana aku meletakan larutan. Aku dekati, di badan tabung tertulis O2 kemudian dibawahnya bertuliskan
Oxygen. Dengan sebuah alat yang aneh di kepala tabung.
“Prof ini apa, prof?” tanyaku sembari membalikan badan.
“Oh, itu tabung oksigen baru datang tadi pagi. Dimasukan laboran analitik tadi pagi,” jawabnya.
“Lha ini?” tanyaku kembali sembari menunjuk ke arah kepala tabung yang juga ada layar kecil seperti kalkulator.
“Itu katanya alat untuk mengatur gas yang keluar dari tabung secara otomatis. Pakai remote katanya, tapi tidak tahu juga. Selama ini belum pernah tahu kalau teknologinya sudah maju sepesat itu, biasanya juga manual. Yang tahu ya cuma laboran sini, tapi tadi dia izin pulang sebentar,” jelasnya.
Aku manggut-manggut mendengarkan penjelasan profesor. Aku melihat kembali ke arah tabung, selangnya terselip di belakang meja dimana aku meletakan larutan tadi.
“Kalau larutan yang kami bawa ini prof?” tanyaku kembali.
“Itu Kalsium Hidroksida mas,” jawabnya.
Kembali aku manggut-manggut. Setelahnya, kami berbincang sebentar dengan profesor. Memang kalau sudah profesor pegentahuannya sampai kemana-mana. Aku dan Desy seperti mendengarkan dongeng saja. Dan yang jelas sangat menyenangkan. Setelah itu, profesor meminta kami untuk meninggalkannya sendirian karena ingin melanjutkan peneitiannya.
Aku dan Desy lalu keluar dari lab analitik dan tak lupa menutup kembali pintu lab. Dan lab kembali menjadi sepi, mungkin yang namanya penelitian lebih enak kalau suasana sepi. Aku melanjutkan langkahku menuju kantin bersama Desy.
“Arta siniiiiii,” teriak Winda sambil melambaikan tangan ke arahku.
“Tuh, fans berat kamu hi hi” canda Desy sambil menyenggol lenganku dengan satu tangannya menutupi bibirnya yang sedang tetawa.
“Yaelah segitunya,” jawabku, Desy menutupi bibirnya yang ingin tertawa keras.
Aku kemudian menghampiri Winda, duduk di sebelahnya. Semua mata tertuju kepadaku. hadeh, kutepuk jidatku dan menutup wajahku dengan satu tangan. Kusapukan pandanganku dari sela jariku ke arah mereka semua.
“Ada apa to?” tanyaku.
“Aneh Ar,” jawab Andrew dengan lagak jeniusnya.
“Aneh kenapa?” balasku.
“Itu Winda lu apain?” Semua teman-temanku langsung melihat ke arah Andrew. Aku saja tidak menyangka kalau Andrew akan bertanya secara terang-terangan.
“Iiiih, Andrew cemburu yah? Masa sudah ada Helen, masih cemburu hi hi hi” canda Winda. Aku langsung menoleh ke arah Winda, santai sekali menanggapinya.
“Kemarin aku pelet, aku ke dukun kemarin he he he,” jawabku tak kalah santai.
“Eh, Arta dukunin Winda? Iiiih Arta jahat hi hi hi,” Jawab Winda yang membuat semua tercengang. Karena memang benar-benar terlihat akrab sekali sekarang.
“Winda, Winda sadar kan?” tanya Dina, Winda pun mengangguk, mengiyakannya.
“Itu Arta, Wind. Dulu kan Winda takut banget sama Arta,” tanya Dina heran.
“Iya bener, bukannya dulu elu takut banget sama Arta sejak malam tahun baru?” tanya Tyas.
“Aduh, Winda lupa kalau Winda takut sama Arta. Ya sudah, Winda duduknya pindah saja,” balas Winda. Pindah? Endak, tapi malah mepet ke akunya. Mati aku, hadeh... sudahlah lebih baik ikut arus saja.
“Sudaaaah... makan dulu saja yuk, ngobrolnya habis makan. Dari tadi cuma ada minuman, Dah ni siapa yang mau pesen makan?” Sela Desy ditengah-tengah percakapan panas ini.
“Umiiiii...” teriak mereka semua, kecuali para lelaki.
“Ada apa lagiiii? sudah makan dulu... nantiiii kita cincang Arta bersama-sama ya,” senyumnya penuh dengan kekejaman, itu menurutku ketika melihat ucapanya yang terakhir.
“Iiih Umi jahat, kata umi dulu kan gak boleh kasar, huh,” balas Winda.
“Hi hi hi, iya iya, kan Cuma bercanda sayang,” jawab Desy tersenyum penuh kepura-puraan.
Mereka berdua, sahabat sejak kecil. Aku bisa melihat mereka seperti dua orang yang tak terpisahkan seperti halnya Dina dan Dini. Aku tersenyum ketika melihat mereka berdua, walau ketika aku mengalihkan pandangan ke arah teman-teman yang lain, mereka memandangku dengan tatapan penuh pertanyaan. Kunaikan bahu, sebagai isyarat ketidaktahuanku.
Winda kemudian berdiri dan memesan makanan untuk kami semua, ditemani Tyas dan Salma.
“Aku sudah bilang kan dari kemarin, tanyakan ke Winda saja, karena aku tidak ingin kalian mengira aku mengada-ada. atau...” aku menoleh ke arah Desy.
“Tanya Desy,” lanjutku.
Semua mata mengarah ke arah Desy. Desy melempar senyum ke arah mereka.
“Kenapa ke aku? Arta saja tidak cerita, Winda juga, Arta itu yang mengada-ada,” jawab Desy malah menyudutkan aku. Pandangan mereka kembali mengarah ke wajah polosku ini.
“De-Des hadeeeeh huuuuh...” lenguhku.
“Aku kira dia sudah cerita sama kamu, Des,” lanjutku.
“Hi hi hi... sudah, ntar juga Winda cerita sendiri. besok kita ajak nginep bareng aja, pastinya dia cerita, gimana?” Saran Desy.
“Benar juga ya, hu’um gitu aja... Tapi...” Dina setuju dengan saran Desy dan kemudian memandangku dengan tatapan membunuh. Lirikan matanya, hiiii takut.
“Kalau sampai Winda ternyata diapa-apain sama si bunglon ini! gue bikin mampus lu!” ucapnya singkat, padat, jelas dan mematikan.
“Iiiish... bisanya aaaku...” elakku.
“Paling tidak, kalau si mantan culun ini ngapa-ngapain Winda, bikin mati aja,” balasnya datar tanpa memandangku.
“Hi hi hi... Gue kira, gak sampai segitunya deh kalau Arta. Gue yakin,” ujar Helena menengahi. Pandangan mata mereka beralih ke Helena.
“Ndrew, itu cewek lu jangan-jangan di pelet juga sama si Bunglon,” ucap Irfan. Andrew menoleh ke arah Helena, mereka saling memandang sejenak.
“Kelihatannya gak, fan. Gue percaya yayang he he he,” jawab Andrew.
“Hah!!! Gila, Andrew gila!!!... Lu juga kena pelet Arta!” sini aku sembuhkan, teriak Johan.
Johan langsung berdiri dengan lagak dukunnya, membaca jampi-jampi dan kemudian telapak tangannya di taruh di kening Andrew. Suasana menjadi ramai, kembali ke situasi yang memang seharusnya. Kami bercanda sembari menunggu Winda. Kalau aku lihat, memang para perempuan terlihat masih heran denganku. Tapi kalau yang laki-laki, biasa saja, mungkin dalam pikiran mereka adalah hal wajar. Wajar karena aku lelaki yang tiba-tiba dekat dengan seorang perempuan. Tapi bagiku, aku dekat bukan karena sesuatu hanya karena aku ingin mereka semua selalu bersamaku. Menjadi sebuah kesatuan yang utuh, keluarga.
Winda, Salma dan tyas kemudian kembali lagi di meja kantin dengan beberapa camilan. Piranti menunggu hidangan utama datang. Selang beberapa saat makanan datang. Tapi tetap saja obrolan kami terus berjalan, tak bisa diam. Satu diam, satu menimpali. Membuat acara makan bertambah semakin lama, apalagi jeda praktikum dengan kuliah berikutnya masih sangat lama. Kurang lebih 2 jam, yang seharusnya 1 jam menjadi 2 jam. Dikarenakan ada pemberitahuan dari Dosen pengampu mata kuliah, kalau Kuliah diundur.
Satu setengah jam berlalu dan kami masih betah di kantin. Dan aku “membetahkan” diri untuk tidak merokok. Kampret, ini gara-gara pas mau ke bawah pohon tidak diperbolehkan sama Winda dan Desy. Jadi, selama satu setengah jam ini tak ada energi dalam paru-paruku. Aku hanya bisa mengikuti candaan mereka tanpa energi sedikitpun. Betapa malangnya nas...
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”