Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Hmmmmmm siapa itu wanita terakhir?

Dina aja lah
:pandajahat:
 
Scene 9
It's Not What You Think


Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari




Winda shirina ardeliana

“Lama sekali,” ucap seorang perempuan di belakangku.

Aku menghentikan langkah dan membalikan tubuhku. Dengan memeluk buku Desy melangkah mendekatiku. Wajahnya datar dan tidak ada sedikitpun senyum. Aku tersenyum sembari menggaruk bagian belakang kepalaku.

“Kenapa lama?” tanyanya, sembari berjalan mendekatiku.

“Eh, itu tadi disuruh ibu kantin mengantar makanan ke Prof. Dodokambek. Terus tadi juga listrik mati, aku disuruh ke ruang bawah tanah untuk mengecek sama kalau beneran mati disuruh menyalakan.”

“Ada apa Des?” tanyaku

Dia berdiri tepat di depanku. Matanya memandangku datar.

“Anterin,” ucapnya.

“Oke, siap!” jawabku sembari memberikan hormat kepadanya.

“Eh, sebentar berarti dari tadi kamu nunggu aku ya Des? Buat nganter kamu ke mobil?” tanyaku heran.

“Siapa yang nyuruh kamu nganter aku ke mobil? Emang ada mobil di parkiran?” balasnya bertanya. Aku berbalik, dan baru aku sadar. Betapa kosongnya tempat parkir. Hanya Varitem sendirian di tempat parkir.

“Lho, lha terus nganter kemana?” tanyaku dengan tubuh sedikit berbalik ke arah Desy, di belakangku.

“Ke kos,” jawabnya sembari melangkah ke samping.

“Hee? Ke kos? Lha Helmnya?” balasku.

Dia menunjuk ke arah Varitem. Kenapa juga baru nyadar ya? ada dua Helm, masing-masing menggantung di Spion. Aku menoleh ke arah Desy yang wajahnya dari tadi datar-datar saja. Tidak ada ekspresi sama sekali. Aku langsung meraih lengannya, menunda langkahnya yang hendak berjalan ke arah Varitem.

“Ada apa?” tanyanya sembari memandangku.

“Eh, endak sih cuma anu...” jawabku

“Anu apa? Helm? Mobil??” aku mengangguk ketika dia bertanya kepadaku. Walau sebenarnya bukan itu yang ingin aku tanyakan.

“Mobilku aku suruh bawa temen kos. kalo helm itu, aku pinjam dari temen. Dah? Jelas?” jelasnya. Dan lagi-lagi aku hanya mengangguk dan mendengus lesu.

“Ada apa to?” tanyaku.

“To to to to... dah anterin dulu ke kos. Nanti di kos ngobrolnya” jawabnya, wajahnya masih saja datar. Salah apa sebenarnya aku ini?

Kembali dia melangkah menuju Varitem. Tanganku yang berada di lengannya perlahan aku lepas. kuikuti langkahnya dari belakang. Hufth, mirip sekali dengan seseorang. Tapi sudahlah, aku hanya bisa mengikuti keinginannya. Aku berjalan bersama dengannya tanpa sepatah kata. Hingga aku berada di atas motor dan dia berada disamping motor, baru membuka pertanyaannya.

“Kenapa tasnya ditaruh dibawah?” tanyanya.

Aku menoleh ke arahnya, pandangan matanya tertuju pada Tas yang aku letakan di pijakan kaki varitem.

“Lha, kan biasanya aku taruh disitu? Kenapa memang?” tanyaku heran.

“Dipakai saja!” perintahnya, dengan pipi menggelembung. Dengan kedua tangan berpinggang, satu tangan memegang buku.

“Ndak, males aku. Kenapa to?” balasku bertanya dengan sedikit memaksa.

“Pakai ya pakai, jangan membantah!” kali ini ucapannya sedikit kasar.

“Kenapa dulu? wong biasanya aku juga taruh, biar tubuh terasa enteng,” jelasku.

“Dasar mesum!” ucapnya sedikit keras. Wajahnya sedikit maju ke arahku, dan kusambut dengan juluran lidah. Desy kemudian bersedekap dan membuang muka.

Aku pandangi Desy dengan tatapan bingung. Apa coba kaitannya tas ditaruh bawah dengan mesum? Ndak ada kaitannya tapi kenapa dia... eh, sebentar. Langsung aku teringat sesuatu, wajahku kutarik undur.

“Hadeh, segitunya sih Des mikirnya?” tanyaku. Dia menoleh ke arahku, wajahnya berubah sedikit marah.

“Ya iyalah! Harus hati-hati sama kamu!” ucapnya sedikit membentak dengan dengus kesal.

“Itu kan dulu waktu di rumah sakit. Itu juga kamu yang mulai, wajar kan kalau...”

PLAK!

“Aduh Des sakit, ndak usah mukul to?” protesku. Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, tiba-tiba saja dia memukul bahuku dengan buku.

“Iya, iya... ni aku pakai. Dah sekarang cepetan naik, dah mau sore ini!” perintahku.

“Huh!” dengus kesalnya.

Daripada aku berdebat dengannya. Itu kan dulu, masa aku juga mau cari untung lagi sama dia. Yang untung juga punggung bukan tangan. Dasar cewek kalau kelewat dewasa itu ya seperti ini, huh. Benar-benar mirip Bos besar, dan tidak mau dibantah. Sekalinya membantah pasti kena ini itu. Kalau diam, dia malah meramal apa yang sedang aku pikirkan. Menakutkan. Perempuan itu menakutkan.

Aku sedang membonceng Desy menuju pintu gerbang keluar fakultas. Sekeluarnya dari pintu gerbang fakultas, aku disuruh mengambil jalan alternatif lain. Katanya kalau sore begini jalan menuju kosnya macet. Aku ikuti saja apa yang diperintahkannya. Dari yang seharusnya belok kanan, jadinya belok kiri kalau dari gerbang fakultas.

Baru beberapa meter aku megendarai motorku. Aku melihat sebuah mobil yang sudah tidak asing bagiku. Mobil itu diparkir di pinggir jalan. Aku mencoba mengingatnya tapi aku benar-benar lupa dengan mobil itu.

“Itu mobil sepertinya pernah aku lihat. Tapi dimana ya?” bathinku.

“Kok pelan? cepetan! Dah sore ini!” perintahnya.

“Iya, iya mbak Desy Iliana Prameswari.”

“Kebalik!”

“Iya dah tahu mbak, sengaja.”

Sedikit pukulan dan kemudian aku melanjutkan perjalanan menuju kos Desy. Cuma satu pikiranku, dia pasti ingin menginterogasi tentang Winda. Si manja itu perubahannya terlalu drastis masalahnya, jadinya ya begini ini nasibku. Haaah, sudahlah. Lebih baik aku fokus mengendarai motor, daripada ada apa-apa. Lagipula aku bawa anak orang.







Trap... trap... trap...

“Sekarang, aku tahu kenapa lelaki itu ada di universitas ini.”

Seorang perempuan tiba-tiba berbicara ke arah wanita setengah baya yang sedang berjalan. Langkah wanita yang hendak keluar gedung terhenti tepat didepan pintu kaca gedung. Senyumnya mengembang ketika mendengar suara perempuan dari belakang. Pelan dia membalikan tubuhnya, tersenyum ramah kepada perempuan yang bersandar pada pegangan tangga.

Wanita yang cantik, dengan baju yang dirangkap blazer dengan warna putih senada dengan rok panjang yang menutupi lututnya. Senyumnya sangat ramah kepada perempuan tersebut. Kedua tangannya menjinjing tas yang dia letakan di depan lututnya. Sementara sang perempuan pun tak kalah cantik. Tank-top putih yang dirangkap dengan blazer hitam dilengkapi celana panjang dengan warna seirama dengan bajunya, membuatnya semakin menarik. Hanya saja pandangannya sedikit terlihat sinis kepada wanita itu.

“Dulu ketika kamu kuliah gedungnya tidak sebagus ini ya?” tanya si wanita, mencoba mengalihkan tema pembicaraan.

“Huft.. Selalu saja kalau diajak bicara serius, selalu menghindar,” perempuan tersebut, bangkit dari sandarannya dan berdiri tegak menghadap ke arah si wanita. Jarak mereka jauh tapi suara mereka cukup jelas untuk mereka saling mendengar.

Wanita itu tersenyum kembali.

“Lelaki siapa?” tanya si wanita.

“Aku tidak perlu menjelaskannya, dan aku rasa kamu tahu siapa yang aku maksud,” jawab si perempuan.

“Lha kalau tidak disebutkan namanya, mana aku tahu?” tanya kembali si perempuan.

Weeeng....

Terdengar suara motor. Dua anak remaja sedang berboncengan dan mereka menuju pintu gerbang keuar. Perempuan itu menunjuk ke arah belakang si wanita. Dan wanita itu pun membalikan tubuhnya, melihat ke arah yang ditunjuk. Kemudian dia berbalik lagi dan memandang ke arah perempuan tersebut, dan tersenyum manis.

“Kenapa?” tanya si perempuan.

“Maksudnya?” si wanita berbalas bertanya.

“Kenapa ketika kamu membawanya ke kota tidak memberitahukan kepadaku?” ucap si perempuan dengan nada sedikit keras tapi si perempuan tetap tersenyum.

“Kenapa bisa aku?” tanya si wanita, senyumnya masih tetap terjaga.

Si perempuan kemudian membuka tas yang dia bawa. Mengeluarkan beberapa kertas. Berjalan mendekati si wanita dan menyerahkannya. Si perempuan kemudian berbalik dan berjalan ke arah tangga. Duduk. Pandangannya kosong. Wanita itu membolak-balik kertas yang diberikan si perempuan.

“Dia yang selalu aku tunggu, tapi kenapa kamu tidak mengatakannya jika kamu membawanya kemari?” tanya si perempuan.

“Nakal kamu ya, suka buka-buka file-fileku,” ujar si wanita, tapi ekspresinya tidak sedikitpun memperlihatkan kemarahannya. Masih tersenyum, manis.

“Kenapa?” tanya si perempuan.

“huuufth....” hela nafas panjang si wanita.

”Karena aku ingin mempertemukannya denganmu,” jawab si wanita singkat. Pandangan si perempuan beralih ke wanita dihadapannya.

“Kenapa tidak kamu beritahukan kepadaku sebelumnya?” tanya si perempuan.

Perempuan itu berdiri. Dengan suara yang keras mengisi setiap sudut gedung yang kosong. Berbicara mengenai masa dimana dia harus membenci lelaki yang dibicarakannya. Menceritakan bagaimana dia ingin mencelakai lelaki tersebut.

“Maaf...” hanya itu yang keluar dari bibir si wanita. Wajahnya berubah sedikit layu.

“Apa kamu tidak puas dengan yang kamu lakukan dulu?” tanya si perempuan, pertanyaan yang membuat wajah sang wanita berubah drastis. Kaca-kaca menghiasi mata si wanita.

“Maafkan aku, tapi aku benar-benar mencintainya dan aku tidak tahu kalau semua akan menjadi seperti sekarang ini. semua diluar apa yang aku bayangkan,” jelas si wanita

“Kamu bahagia bukan sekarang?” tanya si perempuan. suaranya kembali pelan.

“Jujur aku berterima kasih padamu karena telah membawanya, walau dengan cara yang salah tapi tetap membuatku senang. Karena pada akhirnya aku bisa bertemu dengan yang aku tunggu.”

“Dan... dia bercerita tentang dirinya, tentang wanita yang telah kamu sakiti hatinya. Dia juga bercerita mengenai ayah dan ibu dari wanita yang kamu sakiti hatinya. Dan satu hal yang sangat membuatku terpukul, dan aku yakin kamu pasti sudah mengetahui kabarnya. Aku yakin kamu sudah mengetahuinya walau tidak memberitahukannya kepadaku....” wajah perempuan itu sedikit tertunduk. Menghela nafas panjang, kemudia mengangkat wajahnya. Memandang si wanita dengan tatapan berkaca-kaca.

“Eh...” wanita itu tampak sedikit terkejut, seakan tahu apa yang ingin di katakan si perempuan.

“Kamu tahu bukan kalau mereka sudah tiada?” pertanyaan yang membuat si wanita menunduk lesu dan hanya bisa mengatakan kata maaf.

“Kamu memang ibuku tapi kamu tidak bisa menggantikan posisinya. Posisi yang teramat penting untuk seorang anak. Aku menganggapmu sebagai seorang ibu, bukan karena hatiku, bukan karena ikatan batin kita tapi karena aturan. Aturan yang memang memaksaku dan mengharuskan aku untuk menganggapmu sebagai seorang ibu,” ucap perempuan tersebut.

Wanita itu terdiam. Tak sanggup lagi berkata-kata. Si perempuan berjalan melewatinya. Memang tak mirip, memang tak sama. Tapi mereka terikat sebuah aturan.

“Sekali lagi maafkan aku. Aku ingin sekali memberitahukan kepadamu tentang laki-laki itu. Tapi setiap kali aku memintamu untuk menemuiku, kamu selalu menolak. Dan kalaupun kamu mau, hanya sekali dua kali kamu mau datang dan itupun kamu langsung pergi setelahnya. Seperti ketika kamu membantuku, setelahnya kamu langsung pergi. Bahkan setelahnya kamu masih tetap sama, menolak setiap ajakanku,” wanita itu membuka kembali percakapan, membuat si perempuan berhenti melangkah. Matanya sedikit berair, memandang tangga dalam gedung.

“Jika bukan karena Ayahmu, kamu pasti tidak akan membantuku. Jika bukan karena Ayahmu, kamu juga tidak akan memanggilku Ibu. semua karena Ayahmu, dan aku sadar akan hal itu sekalipun ada aturan diantara kita,” lanjutnya.

Suasana menjadi hening. Hanya hembusan nafas yang terdengar,

“Aku hanya ingin berbicara denganmu, walau sebentar. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Membuatmu terpisah dengan lelaki yang kamu tunggu dan membuatmu terpisah dengan wanita yang sangat kamu cintai. Aku tahu... aku tahu aku salah. Aku hanya ingin memperbaiki kesalahanku, dengan membawanya ke kota,” suaranya menjadi parau.

“Mempertemukanmu, membangun keluarga bersama walau tak akan seindah ketika kamu bersama wanita yang sangat kamu cintai. Sekalipun lelaki itu ada dalam keluarga ini...”

“Tapi aku ingin kita bersama,” suara parau menghiasi isi dalam gedung. Satu tangannya mengusap air mata yang suadah menetes di pipinya.

“Aku ingin sekali mempertemukanmu dengannya, tapi kamu selalu tak ada waktu hingga akhirnya ini semua menjadi sebuah rahasia. Dan tentang ketiadaannya, aku baru mengetahuinya 6 bulan sebelum lelaki itu lulus SMA. Ketika itu aku kembali lagi ke tempat itu, mencari informasi. Setelah semuanya informasi aku kumpulkan, aku mengatur semuanya agar lelaki itu bisa ke kota. Dan untuk kakek dan neneknya, ketiadaan mereka berdua ketika lelaki itu akan berangkat ke kota,” jelas si wanita.

Isak tangis wanita kemudian pecah. Menghiasi kesunyian dalam gedung. Setiap sudut gudut seakan ikut menangis, memantulkan setiap tangisannya. Perempuan itu mengehla nafas panjang. Menahan air mataya agar tak jatuh ke pipi putihnya.

“Kamu mirip sekali dengannya, sangat mirip... kamu selalu mengingatkan aku tentang dirinya. Maafkan aku, aku hanya ingin kita bisa bersama dalam satu rumah. Jika memang...” ucapnya disela isak tangis.

“Sudah... apapun itu, setelah semua ini, aku tetap mengaggapmu sebagai ibuku. sesuai dengan aturan. Tapi maaf, luka yang telah kamu goreskan tak sanggup kamu sembuhkan. Sekalipun kamu telah membawa lelaki itu. Jika hubungan kita hambar, itu memang sudah seharusnya.”

“Kita akan tetap seperti ini selamanya... karena kamu tak akan bisa menggantikannya, tak akan pernah. Karena hatinya lebih indah dari hatimu. Kamu bisa memiliki ayahku tapi tak bisa memiliki kami semua...” ucap perempuan tersebut.

Tangis sang wanita menjadi tanda perpisahan mereka berdua, walau sebenarnya mereka bisa saja bertemu setelahnya. Tapi pertemuan kali ini, perepisahan kali ini sedikit berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Tabir masa lalu kembali terbuka. Luka-luka yang sebelumnya terlupakan kini teringat lagi oleh masing-masing dari mereka. Terutama untuk si perempuan. Luka akan masa lalu, penyesalannya, membuatnya hatinya semakin teriris. Meski sedikit terobati akan kehadiran si lelaki.

Derap langkah perempuan menjauhi gedung. Melangkah menuju mobil yang diparkirnya di samping kiri pagar yang melingkari gedung. Meninggalkan si wanita yang berlutut, menangis, karena teringat kembali akan kesalahan yang dia perbuat.

“Maaf, maafkan aku mbaaaak... maafkan aku,” tangisnya.

Setelah air matanya mulai mengering, dia bangkit dan berdiri. Melangkah gontai menuju mobil. Di dalam mobil, dibukannya dompet yang berada dalam tasnya. Tampak sebuah foto wanita yang sangat cantik, mirip sekali dengan perempuan itu. Sebuah penyesalan akan masa lalu menyeruak dari dalam hatinya. Tampak jelas dari wajahnya. Dari sorot matanya.

“Aku akan menyatukannya kembali mbak, aku akan melakukan apapun... aku pasti bisa... maafkan aku,” ucapnya di sela isak tangisnya.

Sementara di dalam mobil yang lain, air mata mulai mengalir di pipi si perempuan. Sedih, itu yang dirasakannya. Ingatan akan masa lalunya dan cerita dari si lelaki, membuatnya semakin hanyut dalam kesedihan.

“Ibu, aku akan selalu bersama adik. Aku akan menjaganya, pasti,” bathinnya.
 
Terakhir diubah:

Dina Primrose Amarantha


Dini Amarantha Mikaghaliya


Iliana Desy Prameswari


Winda shirina ardeliana


“Eh, Ar, ar, ar... berhenti... berhenti!!!!” bentak Desy dibelakangku.

“I-iya, Des sebentaaaar,” balasku.

“Cepet! Berhenti!!!” bentaknya kembali.

“Des, ini ditengah jalan. Aku minggir dulu,” jawabku.

“Ya udah cepetan minggir!” ucapnya keras.

Aku tidak tahu kenapa Desy tiba-tiba bisa berteriak sekeras ini. Di suruh berhenti tapi pas akunya lagi di tengah-tengah jalan. Ini cewek sebenarnya mau mati apa bagaimana? Sungguh wanita yang sulit untuk di mengerti.

Dari kaca spion kiri, aku pastikan tak ada lagi kendaraan di kiriku. Aku meminggirkan motor dan memperlambat lajunya. Mencari tempat yang cocok untuk memarkir motorku, wajarlah bagian kiriku tak terlihat sedikit pun ruang untuk berhenti. aku sedikit memajukan motorku, hingga didepan kios rokok.

“Dah Des, ada apa? kamu mau turun? Atau bag...” tanyaku.

Lha, belum aku menyelesaikan ucapanku dia malah sudah melompat. Aku menengok kebelakang. Dia berlari kecil di atas trotoar, menuju ke pinggir sebuah tempat, ah, tempat apa itu aku tidak tahu. Yang aku lihat, dia berdiri dengan posisi kaca helm tertutup. Tepat didepannya adalah pagar tanaman yang memutari tempat itu. Sepertinya dia tidak bisa mlihat tapi kalau dari sela-sela tanaman bisa juga. Sepertinya. Aaah, Benar-benar aneh. Aku melihatnya terus, takut kalau terjadi apa-apa sama “si penyihir” ini.

Lha, tiba-tiba dia berbalik ke arahku. Berlari kecil dan langsung membonceng. Ingat jangan bertanya ‘kenapa?’ pada perempuan ini. Ya, itu karena bisa jadi dia memberi ‘hadiah’. Pastinya hadiah itu menakutkan. Apalagi dia telah melakukan sesuatu yang sangat misterius, menurutku.

“Kenapa Des?” tanyaku.

“Dah jalan” ucapnya datar dan...

“Aaaaarghhh... i-iya, iya jalan Des. Ini mau jalan, lepasin Des. Sakit... sakiiiiiit!” teriakku.

“Makannya tidak usah banyak tanya! Jalan!” bentaknya.

Aku mendengus kesal. Ndak salah apa-apa kok tiba-tiba di cubit. Sudah perih, sakit lagi. Tapi ya bodohnya aku, sudah tahu jangan tanya, masih juga tanya. Hah, sekarang lebih baik diam dan bertanya sesekali untuk mengetahui jalan menuju kosnya. Maklum... aku lupa jalan menuju kosnya. Karena sudah lama tidak main kesana. Lagi pula, waktu muter-muter dulu. Ah, sudahlah, yang jelas aku lupa.

Dan akhirnyaaa...

“Mbak sudah sampai? Totalnya 25 ribu,” candaku.

“Oh, bayar ya?” tanyanya dengan nada sedikit bagaimana begitu. Apalagi aku merasakan sesuatu di pinggangku.

“Endak mbak, endak gratis kok he he he,” jawabku, menghindari pertikaian dengan ‘si penyihir’.

Setelahnya aku diajak menuju ke kamar kosnya. Aku duduk didepan kamarnya, di bangku panjang berwarna putih. kunyalakan dunhill sebagai teman menunggu ‘si penyihir’ berganti pakaian. Lama aku menunggu akhirnya dia keluar. Rambutnya sebahu, dengan kaos longgarnya dia menyapaku. Sedikit bercakap, kemudian dia menwariku minuman. Dia mengiyakan dan meninggalkan aku sendiri, menuju dapur.

Kletek...

“Ni... Ar,” aku menoleh ke arahnya. Wajahnya sudah tidak segalak seperti ketika dikampus.

“Cepet habisin itu rokoknya, asepnya gak enak,” lanjutnya.

Segera aku menghisap dengan hisapan super cepat dan kumatiakn. Memang masih seperempat batang, tapi... tapi... itu berharga, makanya tak akan kusia-siakan pengorbanan dunhill yang harus mati terbakar. He he he.

“Dah, minum dulu,” tawarnya.

“Tadi kenapa tiba-tiba minta berhenti?” tanyaku, sembari menyeruput minuman buatannya. Manis. minumannya maksudku, eh, orangnya juga.

“Gak papa, Cuma pengen lihat rumah makan tadi saja. bagus modelnya,” jawabnya dengan satu tangan memegang gelas. Wew, penyihir, meski ada sisi menawannya juga.

“Wedew, aku kira kenapa? mbok yaho jangan mendadak gitu. Cuma model rumah makan saja, bisa-bisanya brrrr...” candaku.

“Sudah, gak usah dibahas,” ucapnya menatapku dengan tatapan tenangnya. Jreng-jreng....

“Eh, a-ada apa Des? Kok lihatnya seperti itu?” tanyaku.

“Winda,” singkat, padat dan jelas.

“Hadeeeeeh... kenapa Winda?” tanyaku. Mengalihkan pandanganku kedepan.

Sreeek..

“Aaarghhh sakit Des” rintihku. Duduknya merapat, tangannya juga merapat mencari daging pinggangku.

“Cerita gak!” perintahnya.

“I-iya tapi ndak usah nyiksa gitu Des,” satu tanganku memegang pergelangan tangannya, untuk melepaskan cubitannya.

“Oke, kalau gak cerita. Awas!” ucapnya pelan, dengan penuh tekanan.

Huuuufthhh....

Aku menghelas nafas panjang. Duduknya yang merapat ke dudukku. Satu tangan menyangga kepalanya, miring, memandangku. Ini, kalau saja aku masih minta untuk tidak memandangku seperti itu, pasti bakal kena “hadiah” lagi. Segera aku letakan gelas minumanku di lantai, aku kemudian mulai bercerita.

“Begini...”

Aku memulai ceritaku. Dari awal aku ke kamar mandi, hingga bertemu dengan Ibu kantin. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk nongkrong di atap gedung. Hingga, Winda datang, naik ke pagar atap gedung. Pembicaraanku dengan Winda pun, aku ceritakan secara runut walau tidak detail. Ya, maklumlah kan aku juga lupa kata-katanya yang tepat. Yang jelas, intinya tersampaikan. Masalah janji dan lainnya tidak aku ceritakan. Hingga akhirnya aku cerita sampai pada saat Winda aku tarik kebelakang, lalu aku memeluknya kemudian membentak....

PLAK!!!

Tamparan ringan mendarat di lenganku.

“Sakit Des, kenapa to?” protesku.

“Dasar mesum!” hardiknya kepadaku.

“Eh... i-itu kan, anu Des... aku cuma cerita,” ucapku, aku mengira dia akan marah tapi tatapannya biasa saja.

“Kamu itu jujur banget jadi orang Ar, ya sudah lanjutin lagi,” kembali dia pada posisi seperti semula.

Kembali aku menghela nafas panjang dan menceritakan kejadian-kejadian di kos Winda. Dan hanya secuil yang aku ceritakan pas di tempat parkir, ya cuma perdebatan masalah antar-mengantar. Di kos, aku meneritakan betapa manjanya Winda, yang sebelumnya aku mengira manja sewajarnya tapi majanya memang lebih dari yang aku kira. Beberapa detail percakapanku di kos Winda aku ceritakan walau tidak sama persis, yang penting intinya tersampaikan.

Aku melihatnya tersenyum setelah semua cerita aku ceritakan. Pandangannya lurus ke depan dengan segelas minuman dia pegang tepat didepan mulutnya. wajahnya ayu, helai rambutnya kadang jatuh menutupi pipinya.

“Terima kasih,” senyum lembut tampak dari bibirnya.

“Eh, maksudnya?”

“Terima kasih kamu telah selamatkan sahabatku, mungkin bukan hanya sahabat tapi aku sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Sedari kecil kami selalu bersama. Dia sedikit tertutup masalah asmaranya, walau sebenarnya aku sudah tahu tentang pacarnya. Hanya aku diam... seperti halnya kamu.”

“Kenapa?” tanyaku, sembari mengambil gelas minumanku.

“Alasan yang sama denganmu.” kembali dia menyeruput minumannya

“Aku sudah tahu semuanya. Sejak awal aku ingin mengatakan kepada Winda, tapi aku takut dia sedih. Mungkin kalau sebelumnya aku bercerita pada Winda, dia pasti akan marah besar. Bahkan bisa jadi dia memusuhiku. Tapi pada akhirnya dia mengetahuinya sendiri. Beruntung ada kamu yang menolongnya. Aku hanya bisa berharap dia bisa lebih berpikir lagi untuk kedepannya,” jelasnya, kemudian dia meletakan gelas disampingnya. Meregangkan kedua tangannya. Aku bisa melihat matanya sedikit berkaca-kaca.

“Egh uuuuughhh....” lenguhnya.

“Ayo... indak oyeh cedih, indak oyeh anyis...” candaku menirukan suara anak-anak yang belum lancar berbicara.

“Eh...” tiba-tiba gerakan terhenti. Seketika itu dia langsung menoleh ke arahku. Matanya memandangku tajam. Tajam dengan penuh keheranan atau bisa jadi melihat setan he he he.

“A-ada apa Des? Kok lihatnya seperti itu?” tanyaku, bingung.

“Eh, gak papa.. lupakan” balasnya. Dia menjadi lebih kaku dari sebelumnya. Sesekali dia melirik ke arahku, ketika pandangannya lurus ke depan.

“Ada apa to?” tanyaku.

“Enggaaaak... heran aja kamu bisa ngelucu kaya tadi,” balasnya sembari mengambil minumannya lagi.

“Lha kalau lucu, kok ndak ketawa?” tanyaku, yang kemudian menyeruput minuman.

“Iya deh ketawa ha ha ha ha.”

Tawanya keras, malah membuatku merinding sendiri. Tapi sikap anehnya membuatku ikut tertawa. Aku dan dia, si penyihir, bercanda dan bergurau. Seperti sudah sangat akrab sekali, padahal sebelumnya dia tampak begitu galak. Mirip sekali dengan Dini, bedanya masih lembutan Desy kalau kelihatan galak.

Dua gelas minuman telah habis. Menemani perbincangan kami, entah apa yang sebenarnya kami bicarakan. Setiap satu tema, bisa berganti dengan tema yang lainnya. Bukan masalah kuliah, bukan masalah Winda. Tapi hal lain, aku saja juga tidak begitu mengerti yang dia bicarakan, yang penting asal ya dan ya. Beres kan? Karena aku lebih banyak mendengarkan cerita dia. Ingat, wanita itu sangat senang kalau di dengarkan. Jangan dibantah, he he he.

“Ya sudah Des, dah sore. Aku pulang dulu,” ucapku sembari bangkit dari dudukku. Kuregangkan kedua tanganku, melenturkan otot tubuh.

“Iyaaa... kapan-kapan main lagi, Ar,” ucapnya. Aku memandangnya, tersenyum, dan mengangguk.

“Dan...” lanjutnya.

“Dan?” aku menirukan ucapannya.

“Ternyata tidak seperti yang aku pikirkan, tentang Winda yang berubah sikap terhadapmu,” ucapnya, aku tersenyum.

“Yup, it’s not like what you think,” ucapku, kata-kata terakhir dari percakapanku dengannya hari ini.

Dia kemudian mengantarkan aku sampai tempat parkir. Dari kaca spionku pun, aku masih bisa melihatnya tersenyum ketika aku sudah menjalankan motorku. Pelan, aku meninggalkan kos Desy menuju kontrakanku. Fyuuuh, akhirnya aku bisa pulang juga.

Sesampainya di kos aku memulai rutinitasku lagi. Rutinitas dengan sematpon. Bercanda, bercengkrama di dalam aplikasi pesan.

Kriiiiiing. Mbak Arlena menelpon.

“Halo mbak.”

Tak ada balasan.

“Mbaaaaak...”

“Ehem ehem....”

“Mbak? kok malah ehem-ehem?”

“Siapa tadi yang di boncengin?”

“Yaelah mbak, tanya kabar dulu kenapa?”

“Yeee... situ yang harusnya tanya kabar mbaknya yang cantik ini. setiap hari Cuma kirm pesan, telpon napa?”

“Ihiiiir mbakku kangen niiiih.”

“Iya adikku sayang, kangeeeeen banget... saking kangennya jadi keseeeeeel banget.”


“Eh...” mati aku.

“Itu omen, mau mbak sate aja kalau gak ada yang kasih makan.”


“Wew... ja-jangan mbak.”

Tiba-tiba saja mbak Arlen tertawa keras. Menggodaku karena mungkin tadi dia melihatku memboncengkan Desy. mau tidak mau aku menceritakan kenapa tadi aku bisa berboncengan dengan Desy. Namanya juga mbak Arlen, sudah diberitahu masih saja menggoda.

“Besok mbak, kalau ada waktu luang aku ceritakan semuanya.”

“Janji lho.”

“Iya...”

“Ya sudah, sana istirahat dulu. jangan lupa maemnya dijaga.”

“Gih mbak.”

Mbak Arlena mengakhiri percakapan kami. Aaah, mbak Arlena mirip dengan Ibu. dia sangat perhatian denganku. Memang seharusnya aku menceritakan semuanya. Tapi untuk Ainun, lebih baik jangan. Karena bisa jadi itu akan membatnya marah. Tapi, ah, masa bodoh. yang terbaru saja yang aku ceritakan, Ainun aku simpan. He he he... tidur ah, besok kuliah. dan yang paling melelahkan adalah kegiatan praktikum. Huh...

.
.
.

“Mas dan mbaknya, ini antarkan ke Prof Dodo di lab analitik,” perintah salah satu Dosen yang mengampu praktikum kimia organik. Di lab Kimia Organik, hanya tersisa aku dan Desy, yang lain sudah kabur terlebih dahulu. Aku dan Desy terlambat keluar karena sebelumnya Dosen yang menyuruhku sekarang ini, meminta menunggunya. Karena dia sedang membuat larutan untuk Prof Dodokambek.

“Iya bu” jawabku dan Desy serempak.

Dengan membawa Gelas Kimia bertutupkan plastik dan diberi karet agar plastik tetap menutupi gelas kimia. Aku dan Desy kemudian turun ke lantai dua menuju ke lab analitik. Seharusnya larutan lebih aman dimasukan ke dalam botol reagen, tapi karena mungkin langsung dipakai dan ditambah lagi botol reagen habis, jadinya pakai gelas kimia. Dalam perjalanan, dari sudut mataku aku bisa melihat Desy mengamatiku. Entah, ada apa sebenarnya tapi aneh juga? Ah, masa bodohlah, kenapa semakin kesini malah semakin aneh saja para perempuan di kota.

Setelah sampai di lab analitik, pintu laboratrium yang awalnya tertutup , aku buka perlahan. Tak ada orang didalam lab. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat bayangan buram seseorang di ruang timbang. Yang jelas, itu pastinya Prof Dodokambek. Karena tidak ada orang dan sepi, aku langsung menuju ke ruang timbang. kuketuk pintu beberapa kali dan kemudian Prof Dodo membukakan pintu.

“Owh, dari Lab Organik?” tanya Prof Dodo.

“Iya Prof” jawab Desy.

“Ya sudah taruh di meja sana,” perintah Prof Dodo sambil menunjuk salah satu meja kosong disamping neraca analitik. Aku lihat jam di dinding menunjukan pukul 10.00.

“Ya Prof,” jawab Desy dan aku hanya mengangguk.

Aku meletakan gelas kimia yang bertutupkan plastik disamping gelas kimia Desy. Desy kemudian berbincang-bincang dengan Profesor, sedangkan aku penasaran dengan tabung yang berdiri tegak disebelah meja dimana aku meletakan larutan. Aku dekati, di badan tabung tertulis O2 kemudian dibawahnya bertuliskan Oxygen. Dengan sebuah alat yang aneh di kepala tabung.

“Prof ini apa, prof?” tanyaku sembari membalikan badan.

“Oh, itu tabung oksigen baru datang tadi pagi. Dimasukan laboran analitik tadi pagi,” jawabnya.

“Lha ini?” tanyaku kembali sembari menunjuk ke arah kepala tabung yang juga ada layar kecil seperti kalkulator.

“Itu katanya alat untuk mengatur gas yang keluar dari tabung secara otomatis. Pakai remote katanya, tapi tidak tahu juga. Selama ini belum pernah tahu kalau teknologinya sudah maju sepesat itu, biasanya juga manual. Yang tahu ya cuma laboran sini, tapi tadi dia izin pulang sebentar,” jelasnya.

Aku manggut-manggut mendengarkan penjelasan profesor. Aku melihat kembali ke arah tabung, selangnya terselip di belakang meja dimana aku meletakan larutan tadi.

“Kalau larutan yang kami bawa ini prof?” tanyaku kembali.

“Itu Kalsium Hidroksida mas,” jawabnya.

Kembali aku manggut-manggut. Setelahnya, kami berbincang sebentar dengan profesor. Memang kalau sudah profesor pegentahuannya sampai kemana-mana. Aku dan Desy seperti mendengarkan dongeng saja. Dan yang jelas sangat menyenangkan. Setelah itu, profesor meminta kami untuk meninggalkannya sendirian karena ingin melanjutkan peneitiannya.

Aku dan Desy lalu keluar dari lab analitik dan tak lupa menutup kembali pintu lab. Dan lab kembali menjadi sepi, mungkin yang namanya penelitian lebih enak kalau suasana sepi. Aku melanjutkan langkahku menuju kantin bersama Desy.

“Arta siniiiiii,” teriak Winda sambil melambaikan tangan ke arahku.

“Tuh, fans berat kamu hi hi” canda Desy sambil menyenggol lenganku dengan satu tangannya menutupi bibirnya yang sedang tetawa.

“Yaelah segitunya,” jawabku, Desy menutupi bibirnya yang ingin tertawa keras.

Aku kemudian menghampiri Winda, duduk di sebelahnya. Semua mata tertuju kepadaku. hadeh, kutepuk jidatku dan menutup wajahku dengan satu tangan. Kusapukan pandanganku dari sela jariku ke arah mereka semua.

“Ada apa to?” tanyaku.

“Aneh Ar,” jawab Andrew dengan lagak jeniusnya.

“Aneh kenapa?” balasku.

“Itu Winda lu apain?” Semua teman-temanku langsung melihat ke arah Andrew. Aku saja tidak menyangka kalau Andrew akan bertanya secara terang-terangan.

“Iiiih, Andrew cemburu yah? Masa sudah ada Helen, masih cemburu hi hi hi” canda Winda. Aku langsung menoleh ke arah Winda, santai sekali menanggapinya.

“Kemarin aku pelet, aku ke dukun kemarin he he he,” jawabku tak kalah santai.

“Eh, Arta dukunin Winda? Iiiih Arta jahat hi hi hi,” Jawab Winda yang membuat semua tercengang. Karena memang benar-benar terlihat akrab sekali sekarang.

“Winda, Winda sadar kan?” tanya Dina, Winda pun mengangguk, mengiyakannya.

“Itu Arta, Wind. Dulu kan Winda takut banget sama Arta,” tanya Dina heran.

“Iya bener, bukannya dulu elu takut banget sama Arta sejak malam tahun baru?” tanya Tyas.

“Aduh, Winda lupa kalau Winda takut sama Arta. Ya sudah, Winda duduknya pindah saja,” balas Winda. Pindah? Endak, tapi malah mepet ke akunya. Mati aku, hadeh... sudahlah lebih baik ikut arus saja.

“Sudaaaah... makan dulu saja yuk, ngobrolnya habis makan. Dari tadi cuma ada minuman, Dah ni siapa yang mau pesen makan?” Sela Desy ditengah-tengah percakapan panas ini.

“Umiiiii...” teriak mereka semua, kecuali para lelaki.

“Ada apa lagiiii? sudah makan dulu... nantiiii kita cincang Arta bersama-sama ya,” senyumnya penuh dengan kekejaman, itu menurutku ketika melihat ucapanya yang terakhir.

“Iiih Umi jahat, kata umi dulu kan gak boleh kasar, huh,” balas Winda.

“Hi hi hi, iya iya, kan Cuma bercanda sayang,” jawab Desy tersenyum penuh kepura-puraan.

Mereka berdua, sahabat sejak kecil. Aku bisa melihat mereka seperti dua orang yang tak terpisahkan seperti halnya Dina dan Dini. Aku tersenyum ketika melihat mereka berdua, walau ketika aku mengalihkan pandangan ke arah teman-teman yang lain, mereka memandangku dengan tatapan penuh pertanyaan. Kunaikan bahu, sebagai isyarat ketidaktahuanku.

Winda kemudian berdiri dan memesan makanan untuk kami semua, ditemani Tyas dan Salma.

“Aku sudah bilang kan dari kemarin, tanyakan ke Winda saja, karena aku tidak ingin kalian mengira aku mengada-ada. atau...” aku menoleh ke arah Desy.

“Tanya Desy,” lanjutku.

Semua mata mengarah ke arah Desy. Desy melempar senyum ke arah mereka.

“Kenapa ke aku? Arta saja tidak cerita, Winda juga, Arta itu yang mengada-ada,” jawab Desy malah menyudutkan aku. Pandangan mereka kembali mengarah ke wajah polosku ini.

“De-Des hadeeeeh huuuuh...” lenguhku.

“Aku kira dia sudah cerita sama kamu, Des,” lanjutku.

“Hi hi hi... sudah, ntar juga Winda cerita sendiri. besok kita ajak nginep bareng aja, pastinya dia cerita, gimana?” Saran Desy.

“Benar juga ya, hu’um gitu aja... Tapi...” Dina setuju dengan saran Desy dan kemudian memandangku dengan tatapan membunuh. Lirikan matanya, hiiii takut.

“Kalau sampai Winda ternyata diapa-apain sama si bunglon ini! gue bikin mampus lu!” ucapnya singkat, padat, jelas dan mematikan.

“Iiiish... bisanya aaaku...” elakku.

“Paling tidak, kalau si mantan culun ini ngapa-ngapain Winda, bikin mati aja,” balasnya datar tanpa memandangku.

“Hi hi hi... Gue kira, gak sampai segitunya deh kalau Arta. Gue yakin,” ujar Helena menengahi. Pandangan mata mereka beralih ke Helena.

“Ndrew, itu cewek lu jangan-jangan di pelet juga sama si Bunglon,” ucap Irfan. Andrew menoleh ke arah Helena, mereka saling memandang sejenak.

“Kelihatannya gak, fan. Gue percaya yayang he he he,” jawab Andrew.

“Hah!!! Gila, Andrew gila!!!... Lu juga kena pelet Arta!” sini aku sembuhkan, teriak Johan.

Johan langsung berdiri dengan lagak dukunnya, membaca jampi-jampi dan kemudian telapak tangannya di taruh di kening Andrew. Suasana menjadi ramai, kembali ke situasi yang memang seharusnya. Kami bercanda sembari menunggu Winda. Kalau aku lihat, memang para perempuan terlihat masih heran denganku. Tapi kalau yang laki-laki, biasa saja, mungkin dalam pikiran mereka adalah hal wajar. Wajar karena aku lelaki yang tiba-tiba dekat dengan seorang perempuan. Tapi bagiku, aku dekat bukan karena sesuatu hanya karena aku ingin mereka semua selalu bersamaku. Menjadi sebuah kesatuan yang utuh, keluarga.

Winda, Salma dan tyas kemudian kembali lagi di meja kantin dengan beberapa camilan. Piranti menunggu hidangan utama datang. Selang beberapa saat makanan datang. Tapi tetap saja obrolan kami terus berjalan, tak bisa diam. Satu diam, satu menimpali. Membuat acara makan bertambah semakin lama, apalagi jeda praktikum dengan kuliah berikutnya masih sangat lama. Kurang lebih 2 jam, yang seharusnya 1 jam menjadi 2 jam. Dikarenakan ada pemberitahuan dari Dosen pengampu mata kuliah, kalau Kuliah diundur.

Satu setengah jam berlalu dan kami masih betah di kantin. Dan aku “membetahkan” diri untuk tidak merokok. Kampret, ini gara-gara pas mau ke bawah pohon tidak diperbolehkan sama Winda dan Desy. Jadi, selama satu setengah jam ini tak ada energi dalam paru-paruku. Aku hanya bisa mengikuti candaan mereka tanpa energi sedikitpun. Betapa malangnya nas...

“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”
 
Terakhir diubah:
Aaahhh Hampir Aja Telat...


Ijin Baca Suhu...

:horey::horey:
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd