“Winmphhh....”
Dhuar... dhuar...
Aku hampir saja jatuh terjengkang, untung kedua siku tanganku masih bisa menopang tubuhku. kedua tangannya memeluk erat kepalaku dengan bibir yang menempel pada bibirku. Benar tak kusangka, Winda akan melakukannya dengan tiba-tiba. Seharusnya aku tahu sebelumnya, atau mungkin ini semua karena Desy bercerita kepadanya?
“Winmpphh... Win...”
Aku bangkit, mencoba mengelak, tapi berat tubuhnya yang ditopangkan kepadaku secara tiba-tiba tadi, membuatku kehilangan sedikit keseimbangan. Ditambah tangannya dengan cepat memegang lenganku, menariknya hingga aku jatuh rebah dengan dia diatasku. Dia bergerak pelan, duduk diatas perutku, tersenyum manis.
“Wi-Wind, a-ada apa
to?”
“Sssttt...” jarinya menyilang dibibirku.
Seperti terhipnotis aku diam. Dari bibir, jarinya bergerak ke atas, mengelus setiap bagian wajah yang dilewatinya dengan ujung jari. Melewati hidungku, berputar-putar di sekitar mata kiriku. Bola mataku terus mengikutinya. Masih terus berputar, kemudian pelan turun ke pipi, leher hingga dia menggenggam lembut pergelangan tangan kananku. Menariknya ke atas. Dan...
“Wi-wind...”
“Sssst...”
“I-immmmppphhh...”
Kembali bibirnya menyentuh bibirku lagi. Aku hanyut kembali, hilang sudah pertahananku. Terasa lembut, empuk dan kenyal di telapak tanganku. Tangan kanannya sedikit menjambak rambutku, lidahnya keluar, memaksa bibirku terbuka. Tangan kirinya menekan tangannku lebih dalam, memaksanya untuk meremas. Meremas apa yang pernah aku remas, dulu.
“Wi... mmpp...”
Aku hilang kendali, aku hanyut. Seakan tak ingin lepas, tangan kiriku memeluknya pinggulnya. Menekannya. Diiringi nafas kami yang menyatu, bibirku secara perlahan terbuka. Perasaan yang sama, yang pernah aku rasakan ketika bersama Ainun. Aku tidak bisa mengendalikannya. Dia bergerak, memposisikan dadanya agar leih dekat dengan dadaku. Tanganku terus meremasnya, kadang lembut, kadang kasar. Membuat yang dibawah sana semakin tegang.
“Besar sekali” bathinku
Aku semakin hanyut. Hanyut dalam kehangatannya, lidahnya tak pernah berhenti untuk membuat lidahku ikut bergerak. Menari. Membuat tubuhku semakin panas, membuatku tak bisa bertahan. Entah, apa yang aku lakukan, tapi aku menikmatinya. Semakin aku menikmatinya, semakin yang dibawah sana seakan tak ingin bertahan. Seperti ada sesuatu yang ingin keluar, sama seperti ketika bersama Ainun. Semakin kuat remasanku, semakin aku merasakan pertahananku runtuh.
Pertahananku runtuh. Dengan cepat tanganku memeluk tubuhnya. Ku lepas ciumanku, satu tanganku menekan kepalanya kesamping kepalaku.
“Windhh... egh egh egh emph emph... aaaghh...”
Hening, hanya nafasku yang terdengar keras. Aku masih dengan mata terpejam. Entah kenapa bisa secepat ini keluar, aku pernah merasakan hal ini ketika bersama Ainun. Adakah yang salah dengan diriku?
“Hi hi hi... bau amis...”
“Eh, Wi-wind...”
Aku langsung menggeser tubuhnya. Aku bangkit sedangkan dia duduk disampingku dengan memluk kedua lututnya yang terbuka. Tawa kecil dari bibirnya, membuatku semakin malu.
“Gitu aja ke...”
“A-aku pinjam kamar mandi Wind,” ucapku langsung bangkit menuju ke kamar mandi, memotong ucapanya.
“Iya, bersihin sampe bersih. Bau lho hi hi hi,” ledeknya ketika aku hendak masuk ke dalam kamar mandi.
“I-iya”
Klek...
Langsung aku melepas celanaku. Membersihkannya. Basah sudah celanaku, sial! tidak mungkin aku memakainya lagi sekalipun aku mencucinya, akan basah. Pilihanku sekarang, memakainya dan langsung pulang. itupun bisa aku lakukan kalau di Winda tidak mencegah.
Aku bersandar pada tembok lalu beringsut duduk dengan memegangi celanaku. Benar-benar malu rasanya. Sama seperti ketika pertama kali pelukan dengan Ainun. Haduh, kenapa bisa cepat keluar ya? kenapa tadi aku bisa hanyut dalam ciumannya? bukannya aku pernah melakukan dengan Ainun. Dan yang paling aneh, kenapa baru begitu saja aku langsung keluar? Kalau aku ingat cerita-cerita SMA dengan Samo dan Justi, kejadian seperti ini cuma pas pertama kali setelahnya tidak, buktinya aku berkali-kali dengan ainun juga tidak keluar di awal. Ada yang salah dengan diriku, ada yang salah.
Dok dok...
“Aaar...”
“I-iya Wind.”
“Buka, ini aku bawakan celana
training. Panjang kok gak pendek.”
“I-iya.”
Aku membuka sedikit pintu,Winda memberikan celana training.
“Hi hi hi... dasar culun,” katanya membuatku malu. Tanpa menjawab pertanyaannya aku langsung menutup pintu kamar mandi.
Terpaksa tidak memakai celana dalam, mau bagaimana lagi? Sudahlah yang penting bagian bawah sudah bersih. Aku keluar kamar mandi dengan celana yang sudah aku lipat. Ku lihat Winda sangat cuek sekali, menonton televisi sembari menikmati minumannya. Ku dekati Winda, niatnya mau minta plastik hitam, dianya masih tetap cuek.
“Wind...” aku membuka pembicaraan, dia menoleh kearahku, sebentar. Pandangannya dingin sekali kemudian dia kembali menonton televisi.
“Minta tas
kresek ada?”
“Apa itu tas
kresek?” dia balik bertanya tanpa menoleh sedikitku, dengan fokus ke arah televisi.
“Tas plastik maksudku.”
“Buat apa?”
“Wadah celana”
“Emang celanamu kenapa?”
“A-anu i-itu Wind,”
Aku tidak bisa menjawab, yang jelas perempuan disampingku ini tahu tapi cuek. Aku menggeser arah pandanganku ke televisi. Duduk bersila dengan celana yang aku lipat diatas kakiku.
“Hihi... hihi... Ha ha ha ha...” tiba-tiba dia tertawa keras, membuatku sedikit melompat dari tempatku duduk.
“A-ada apa Wind?”
“Hi hi hi... dasar lucu kamu, Ar. bentar ya Winda ambilin,” ucapnya sembari bangkit menuju dapur, aku mengangguk mengiyakan.
“Nih, makanya jangan suka nakal, hi hi hi,” ucapnya sekembalinya dari dapur dan menyerahkan tas plastik kepadaku.
“Aku kira tadi kamu marah, Wind.” Aku menerima tas plastik hitam, dan langsung aku masukan celanaku.
“Iyalah marah. Siapa coba yang gak marah dipegang-pegang gitu?” ujarnya sembari duduk didekatku.
“Be-beneran ma-marah? Bu-bukannya tadi Winda yang...”
“Yang apa?” dia mendekatkan kepalanya ke arahku, aku langsung menunduk.
“Ssshhtt... Arta harus tanggung jawab, arta dah pegang dua kali, kalau enggak... Winda laporin sama papa Winda,” bisiknya ditelingaku.
“Heh?! Y-ya ndak bisa gitu to Wind, a-aku kan endak... tadi itu kan Wi-winda... kok a-aku?”
“Aaaa Arta jahat, arta bilangin papa Winda!” dia menarik tubuhnya menjauh dariku, dengan mimik wajah sedihnya.
“Eh, anu, i-itu... aduh... itu, i-iya arta mau, ta-tapi jangan laporin ke Papa Winda.”
“hi hi nah gitu dong, hi hi hi.” Dia langsung duduk mendekat ke arahku.
“Enak ya?”
“Sudah dong Wind.”
Dia kembali tertawa keras disampingku. Hufth, kalau saja tadi tidak keluar, mungkin sekarang dia sudah tidur bersamaku. Tapi, tidak mungkin juga aku melakukannya, bisa-bisa kena gampar Desy. Si manja ini memang lebih berani ketimbang penyihir.
“Kalau aku ingat-ingat lagi, besar juga,” bathinku. Dan mataku mulai melihat ke arah dadanya.
“Auuch... sakit Wind.”
“Matanya dijaga Arta, hi hi hi”
“I-iya.. iya...”
“Ar-ar, sini aku bisikin.”
“Heeeh, mau bisikin apa lagi?”
“Sudah sini cepetan.”
Aku kemudian mendekatkan telingaku kearahnya.
“Ar.. ta... meeeeeee... sum.”
Langsung terdengar suara keras tawanya selepas dia berbisik. Aku cuma bisa diam, menggerutu dalam hati dengan wajah setengah jengkel. Memang kelihatannya aku sedang dikerjai sama Winda. Tapi aku bahagia melihatnya tertawa seperti sekarang ini, apalagi pas dia tertawa sedikit menggoncangkan tubuhnya dan itunya juga ikut naik turun. Sudahlah, biar dia senang asal tidak lapor sama papanya saja. Anehnya, kenapa juga aku harus takut? kan dia yang mulai? Haaah, ndak mungkin papanya percaya sama omonganku. Yang ada, aku tetap salah.
Hadeh... dimana-mana lelaki selalu salah...
“Aduh, aduh perut Winda sakit.” Ucapnya menghentikan tawa panjangnya. Satu tangannya memegang perutnya sedangkan yang satu menahan tubuhnya. Dengan posisinya sekarang dia melihat ke arahku, masih saja dia mencoba tertawa.
“Sudah ndak usah ketawa lagi, tamba sakit nanti.”
“Lha hash hash kamu lucu hi hi hi..”
Deangan tangan yang menyangga tubuhnya, dia menyeret duduknya mendekat ke arahku. Masih terdengar tawa dari bibirnya, walau tidak sekeras sebelumnya. Tubuhnya yang kecil kemudian dia sandarkan ke tubuhku. Lalu, Kedua tangannya memeluk lenganku. Aku diam tidak meresponnya. Bola mataku bergeser kebawah, tampaknya dia merasa sangat nyaman sekali. Dari pelukannya aku bisa merasakan nafasnya yang hampir habis karena berkali-kali dia mengambil nafas yang begitu panjang. itu bisa aku rasakan karena nafas yang keluar dari hidung putihnya dan juga dadanya yang kadang menekan lenganku. Aku diamkan, kalau aku ajak bicara pastinya dia akan mengejekku lagi. Untuk mengisi kekosongan, aku raih remote TV.
“Arta hash hash... jangan pulang dulu, disini dulu, temani Winda hash huuufftt...”
“Dah istirahat dulu, ntar beneran kehabisan nafas... sukurin.”
“Ya kasih nafas buatan aja hash hash hash tapi gak pake remas ya hash hash has ntar ke hash kamar mandi lagi hi hi hi.”
“Udah jangan banyak bicara, diam.” Tanganku melepas remote dan menutup mulutnya.
“Mmppphhh... mmmppph...”
Dia meronta, menggelengkan kepala tapi tangannya masih memelukku. dari bibirnya masih saja terdengar suara tertawanya. Setelah lelah dia menggelengkan kepala, beberapa saat kemudian dia diam, pelukannya semakin erat. Aku merasakan nafasnya sedikit teratur. Semakin lama semakin teratur, dan ketika ku meliriknya dia sudah tertidur. Cepat sekali dia tertidur.
Pelan aku melepaskan pelukannya, membopongnya dan memindahkannya ke tempat tidur. Ku selimuti tubuh mungil dan seksi tentunya. Aku berdiam diri sejenak, melihat perempuan manja yang sedang tertidur dengan guling dipeluknya. Manis sekali, apalagi senyumnya masih ada di bibirnya. Puas aku melihatnya, aku kemudian membuat teh hangat. Ku bawa teh hangat menuju keluar kamarnya.
“Jangan pulang, pulang nanti engggghhh,” ucapnya
“Iya, mau ngrokok.” Jawabku, tapi tak ada jawaban darinya. Sebenarnya kaget juga tadi pas dia tiba-tiba berbicara. Sudahlah, lebih baik aku menikmati Dunhill terlebih dahulu di luar kosnya.
Hujan. Kadang aku menyukainya, menantinya kadang aku sangat mencintainya. Tapi kadang pula aku membencinya, membenci hujan yang turun bersama petir-petir. Bukan tanpa alasan, karena kejadian saat itu bersama dengan datangnya hujan yang deras, petir yang menyambar dan angin yang bertiup kencang. Untuk kali ini aku ingin menikmatinya, menikmati hujan.
Saat aku sedang menikmati huja bersama rokok putihku, pintu terbuka. Terlihat wajah kusut seorang perempuan dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya sayu, tapi ada senyum di bibirnya. Dengan langkah manja dia mendekatiku, duduk disampingku, menyandarkan semua beban tubuhnya. Dan aku langsung mematikan rokokku.
Cup...
Dia mencium lenganku dan kemudian memeluknya. Dalam diam kami menikmati hujan, hujan yang semakin lama menjadi gerimis. Mungkin langit sudah malas untuk menangis, mungkin juga langit memang harus berhenti menangis karena malam sebentar lagi akan datang. Karena malam tahu, betapa dinginnya udara ketika malam dan hujan datang bersama.
.
.
.
“Aku pulang dulu.” ucapku.
Aku sudah bersiap di atas kuda besiku, Helm juga sudah aku pasangkan di kepala. Dan dia, Winda, ada disampingku.
“Iya hati-hati, hi hi.”
“Kenapa
to masih ketawa terus?”
“Lucu sih,” ucapnya sembari menjulurkan lidah.
“Hadeh, terserah kamu Wind.”
“Hi hi, masa gitu aja keluar hihi...”
“Argh, Winda, ndak usah dibahas kenapa
to.”
“Hi hi... to to to... eh Ar, sini Winda bisikin”
“Apa lagi?” tanyaku sedikit jengkel, ku lepas helmku. Dia mendekat ke arah telingaku.
“Makasih... Me-sum... cup...”
Aku diam. Tak membalas tindakan yang tiba-tiba itu. tanpa berbicara, aku memaka Helmku kembali. Entah kenapa aku merasa wajahku menjadi sedikit panas. Apa wajahku berubah jadi merah ya?
“Letoy”
“Apaan?”
“Cari sendiri di internet hihi”
“Dasar manja”
“Biarin, ada yang mau manjain kok weeeek”
Selepas sedikit bercanda dengannya aku pulang. Keluar kosnya aku masih bisa melihat tangannya melambai dari spion motorku. Karena lampu yang terang didepan kosnya, aku juga masih bisa lihat senyuman Winda. Baru setelah aku berbelok, sudah tak bisa aku lihat lagi sosok perempuan yang menertawakanku tadi sore. Haaah...
Ku jalankan motorku pelan sembari menikmati rokok yang baru saja aku nyalakan, untuk menghangatkan tubuh. Terlalu dingin malam ini. perjalananku belum jauh dari kos Winda, tiba-tiba sebuah sedan menyalipku dan behenti mendadak tak jauh dari posisiku sekarang. Sedikit marah karena dia menyalipku dengan sembarangan. Hampir saja aku terjatuh karena oleng sebentar. Kutancap gas dan langsung berhenti disamping pintu kemudi. Kaca jendela kemudian terbuka.
“Di-Dina.”
“Hmm... dari Winda?” aku mengangguk.
Tanpa permisi atau apa, dia langsung menutup jendela mobil dan tancap gas meninggalkan aku. Tidak tahu maksudnya, aneh itu perempuan. Tiba-tiba berhenti, tiba-tiba pergi. Yang menjadi pertanyaanku, dari mana dia tahu aku dari Winda? Dan kenapa juga aku tadi mengikan. Masa bodoh, pulang.
Sesampainya di kontrakan, segera ku masukan motorku. Lelah sekali. Aku membuat kopi hitam, kucampur dengan susu kental manis. Tiduran di kasur kamarku dengan jendela aku buka. Berpikir sejenak mengenai kejadian bersama Winda, kenapa bisa semudah itu aku keluar. Sembari merokok, aku membuka sematponku. Pesan masuk dari Ainun, Ana dan Ani. sekedar chatting biasa, bercengkrama sebelum tidur.
Ainun, dia tampak biasa saja tapi setahuku kalau sudah ketemu pasti dia akan melakukan introgasi. Ana dan Ani, mereka bercerita mengenani keseharian mereka. Setelah cukup lama chatting, mereka akhirnya mengakhiri percakapan. Ku tutup watsap dengan mataku masih menatap layar sematpon.
Ting tung...
Sebuah notifikasi watsap muncul dilayar sematponku. Sebuah nomor yang tidak aku kenal. tanpa menunggu notifikasi itu menunjukan pesan, aku langsung membuka watsapp kembali. Ku buka pesan tersebut, pesan dengan nomor asing dan gambar profil kosong.
Aku diam sejenak memerhatikan pesan yang baru saja masuk. Aneh sebenarnya bagiku, memang semua orang bisa mempunyai nomorku. Namun, nomor asing ini masuk setelah kejadian pembunuhan yang terjadi. Aku buka lagi gambar profilnya, tetap saja tak ada gambar. Ya, namanya juga ngarep bakal ada gambar yang keluar terus aku coba, mungkin saja koneksi sedang lemot.
Ini benar Arta Byantara Aghastya kan?
Deg, jantungku berdetak semakin kencang. Mungkin memang pengaruh kejadian kemarin membuatku mudah mengalami rasa panik dan juga gelisah. A-apakah yang mengirimkan pesan ini teman kuliahku? Kalau teman kuliah kenapa harus bermain petak umpet seperti ini? Atau... ah, kalau memang benar yang mengirim adalah musuh dari keluarga mas Raga.
Sudah dibaca kok gak dibalas?
Jangan dipandang terus pesannya,
takut ya?
Deg, kembali aku merasa ketakutan. Siapa sebenarnya dia? Argh, sial kenapa aku malah merasa semakin panik. Aku butuh seseorang untuk membantuku sekarang ini. Dan bodohnya kenapa aku tadi langsung membukannya, seharusnya aku mematikan “
read recipient” terlebih dahulu. Argh! Percuma juga kalau aku keluar dari percakapan ini, dia sudah tahu kalau aku membacanya. Eh, tapi aku masih bisa...
Sebuah gambar terkirim
Seseorang dan harus kamu temui
Kenapa KTMku bisa di kamu?
Karenaaaa... kita pernah se-mobil,
Tapi Di dua mobil yang berbeda hi hi hi
Satu mobil di dua mobil yang berbeda? jangan-jangan, tapi kenapa dia bisa tahu?
.
.
.
.
.
Sebentar-sebentar, ada yang harus aku cari. Apa sih letoy?