Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Elena (tamat?)

Bimabet
E L E N A
(part 6)


Mungkin lebih baik begini. Bukankah ini yang aku cari? Bukankah cuma Rani yang kubutuhkan?


Beberapa hari setelah kutahu Elena pulang ke bandung, tidak bisa tidak, memang ada rasa kehilangan.


Tapi aku lelaki, tak boleh menyerah dari perasaan galau dan lain lain. Ada Rani dan Farah yang menungguku di rumah. Aku bekerja untuk mereka, memberi penghidupan bagi mereka.


Hari demi hari, aku mencoba melupakan Elena. Tak bisa kupungkiri memang, bayangan Elena masih sering hinggap. Beberapa kali secara tak sadar, aku selalu lewat pintu gerbang kecil rumah sakit, meski semestinya aku tak harus membelok ke sana.



=0=


Teras belakang rumahku memanjang dari garasi hingga ke dapur, menghadap ke belakang. Ada jarak sedikit, sekitar 5 meteran, sebelum sampai ke teras kamar kos. Ada tiga kamar di bekas kebun belakang. Dua di pinggir di sewa oleh instansi, salah satunya bank tempatku bekerja, dan yang tengah adalah tempat Elena selama ini tinggal.


Kamar yang di sewa instansi jarang sekali dipakai, hanya jika ada keperluan semacam training untuk kelas manager ke atas di kantor. Jadi, praktis dengan pulangnya Elena, ketiga kamar di belakang kosong.


Di ujung teras, ada pohon natal kecil. Dulu aku beli untuk bikin kejutan ke Elena. Gadis itu tak bisa pulang natal, karena liburan natal dan lebaran yang berbarengan, membuat dia harus tetap jaga di RS saat malam natal.


Kalau kau tak bisa datangi Natal, biar Natal yang kita datangkan ke kamu. Itu kata Rani ke Elena malam itu.



“Ayahh...lagi ngapain…”


Dari arah pintu, Rani menyapa. Aku cuma tersenyum sambil menunjuk tablet.


“Sepi ya...tak ada Elena…” Rani meneruskan sambil duduk di sampingku. Badannya segera bersandar di bahuku.


Teras belakang ini memang nyaman. Ingatanku melayang ke beberapa tahun yang lalu, saat taman belakang masih berupa kebun. Sebagai pengantin muda, memiliki rumah sendiri adalah semacam cita cita tertinggi.


Keberuntungan sangat berpihak padaku, rumah ini ditawarkan pemilik sebelumnya yang mengalami kegagalan dalam bisnis, sehingga membutuhkan dana untuk menutup sebagian kerugian. Dan, disitulah aku berada, meneken kontrak kredit beberapa bulan setelah sah kunikahi pacar... dan sahabatku, Rani.


Malam itu, kita habiskan dengan obrolan masa lalu. Mulai sejak kuliah hingga saat ku meminang dia. Beberapa kelucuan saat orang tua Rani yang asli surabaya, dengan logat yang cenderung kasar, jika dibandingkan dengan keluargaku yang dari jogja.


Sengaja, di malam yang sunyi ini, aku tak ingin teringat Elena. Tak ingin kuteringat jejak keindahan gadis mungil bermata sipit tersebut. Rani tampak rileks bersandarkan bahuku. Hingga tak lama nafasnya berubah teratur, dengan pelukan di lengan kiriku yang melemas.


Rani tertidur.


Kucium rambutnya, kubisikkan betapa aku cinta dia.


Aku butuh ini, aku butuh mengingatkan diriku sendiri.

Aku butuh telingaku mendengar suaraku sendiri, kalau aku tidak butuh Elena, tidak butuh siapapun.


Cukup hanya Rani di sisiku.


=0=


Apa sih musuh terbesar dari seorang manusia ?

Setan ?

Kriminal ?

Mafia ?


Bukan.


Tapi … diri sendiri.


Dia yang bisa berdamai dengan diri sendiri, akan mencapai kebahagiaan. Setidaknya, itulah yang selama ini aku percayai.


Dan, sudahkah aku ?


Sayang sekali, semakin aku berusaha mengubur bayangan Elena, semakin besar dia muncul. Kerinduanku. Keinginanku untuk merengkuh badan mungil gadis itu, keinginanku untuk membahagiakan dia.


Bahkan, ketika sudah dua minggu lebih Elena tak lagi kutemui di teras belakang, namun justru tiap saat aku mendambanya.


Salah. Jelas ini salah. Aku tidak adil.

Aku tidak adil terhadap Rani.


Aku bahkan tidak adil terhadap Elena.


Memangnya aku siapa? Memangnya aku punya hak apa?


But i cant help it.


Beberapa kali, saat aku terkesan merenung di teras belakang, Rani selalu mendekati. Bahkan, aku tak tahu, sengaja atau tidak, beberapa kali Rani menelepon Elena dan membukanya di loud speaker.


Meski berpura pura acuh, tak bisa tidak, suara lucu Elena terasa menggores hatiku.


Oh Rani, maafkan aku…


=0=


Akhir bulan tepat di hari sabtu, pekan yang betul betul krodit, kesibukan semakin menumpuk, bahkan untuk sekedar makan siang keluar dengan Rani, tak ada waktu.


Tapi paling tidak, hari senin, pengajuan cutiku disetujui pimpinan. Adik Rani akan melahirkan persis hari itu, operasi caesar. Aku berencana, sekaligus liburan, membawa Rani dan Farah ke surabaya hari minggu nanti, setelah semua keributan persoalan akhir bulan bisa kutinggal.


Hari Jumat siang. Setelah sholat jumat dan makan siang, aku kembali berkubang dengan lautan angka, hingga menjelang sore, telepon di mejaku berdering.


Istriku menelepon? Kenapa tidak ke handphone?

Sembari kuangkat telepon di meja, kulirik handphoneku. Pantas saja, sejak makan siang tadi low batt.


“Ayaah… Handphone kenapa? Batre habis lagi ya?”


Rani terdengar cukup kawatir. Kujelaskan kondisi rapat siang tadi yang begitu alot, sehingga sama sekali tak sempat memperhatikan.


“Ayahh… Fitri harus operasi malam nanti. Ini tadi pendarahan. Gimana ini.”


Fitri adalah adiknya. Memang, beberapa minggu lalu, saat usia kehamilan mencapai tujuh bulan, ada beberapa kelainan yang dirasakan. Sempat kami berdiskusi mengenai hal itu, kusarankan ke Rani untuk memastikan adiknya, beserta suami mempersiapkan segala sesuatu.


“Iya yah, ini sudah di rumah sakit. Nanti malam operasi… Aduh, gimana dong.” Rani memang sangat sayang ke adiknya. Kekhawatiran sangat tergambar dari kepanikan suaranya.


“Tapi, ayah masih di kantor Bun. Besok masih akhir bulan. Minggu pagi paling cepet kita bisa berangkat”


“Aduhh…” Rani mulai terisak.


“Sayang… Bunda sayang. Sekarang bunda tenang dulu, coba aku telepon teman.”


Telepon segera kuputus. Beberapa nomer telepon kucoba, tapi hanya ada satu kesempatan sore ini. Ahh, tak apa. Minggu pagi, aku bisa berangkat sendiri. Biarkan Rani dan Farah berangkat dulu.


Aku segera mengabarkan booking tiket pesawat ke istriku. Jam 6, tiket pesawat tujuan surabaya untuk dua orang sudah di tangan.


=0=


“Ayaah…. aku sudah di rumah sakit.”

Rani menelepon sesaat sebelum aku pulang. Tas kerja sudah rapi, dan kopi di gelas sudah kuhabiskan.


“Oh, iyaa… Syukurlaah.. Temani Fitri, bunn… semoga operasi lancar ya. Ayah nyusul hari minggu. Besok masih sabtu, akhir bulan. Kabarkan ke suaminya juga, supaya sabar.”


“Iyaa… Ini sudah tenang kok mereka. Tinggal nunggu dokter, lalu persiapan.”


Sebentar kuteruskan ngobrol sambil aku berjalan ke luar.


“Oiya… ayaah… Besok minggu pagi, ayah ga sendirian kok ke sininya ?”


“Loh, sama siapa Bun ?”


Aku sudah duduk di atas motor, kuputar kunci kontak motor kembali ke posisi off, saat kudengar kata berikutnya.

Nafasku tercekat, saat mendengarnya.


“Elena mau ikut ayah...”


DEGG...



(End of Elena 1st segment)
 
wuahh:panlok3:hhgt...
ini gawat!!! nanti bakal sepesawat,, ingat pun langsung melekat,,
ochh:panlok2:hhh si dia yang minggat kembali mendekat...​
 
sepertinya rani sdh tau kl suaminya sdh punya rasa ke elena....
 
Makasih suhu ceritanya, serasa ikut merasakan yang dirasakan TS.
:mati:
 
seperti cuaca yang terjadi akhir-akhir ini, 'tak menentu' tetes air hujan pun membatu:bata: kiranya seperti itu yang dirasa masAyah kalee yaa..
:D
 
wih...bakal makin dalam ini...nemenin perjalanan antar kota antar propinsi...kwkwkwk...klo pesawat gak sbrp lama kesempatan bersandar di bahumu ahahahahaha....bikin terpaksa naik travel...suka macet lagi...ahahahahahaha
 
Waini.....sampe part 6 potensi konflik mulai tampak..
dari perbedaan status...bapak2 vs gadis kinclong
perbedaan kepercayaan ....Natal & lebaran
perbedaan strata sosial, elena calon dokter dn putri pengusaha, sedang MasAyah karyawan biasa,
diliat dari mata sipitnya elena, kyknya jg ada perbedaan keturunan...
jadi makin penasaran , mau posisi gimana si elena ini?
Lanjut...hajar bleh
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd