Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

***
20
Ingon-Ingon

Mada memberi Bara waktu 15 menit untuk berdiskusi bersama Firly. Ada bawahan Mada yang mendampingi dari kejauhan. Hanya sebatas memantau dan melayani tamu kehormatan Rumah Bordil Darmo malam ini. Tamu yang kedatangannya membuat geger nama-nama besar Radical Raiders yang tengah menahan emosi di posnya masing-masing.

Namun, apalah daya para petinggi RR tak bisa bertindak lebih jauh. Mereka juga terkena getah kecerobohan Kuro yang seumur-umur belum pernah mereka mendengar sebuah kegagalan dari sosok Kstaria Pedang tersebut.

Dari kamera CCTV, entah bagaimana seorang Kuro terlibat perdebatan penuh emosi dengan Bara. Debat panas berujung pertarungan bertemakan memperjuangkan keadilan yang mereka percayai. Bersama anak buahnya, Kuro harus absen menghirup udara bumi selamanya.

Ya, beberapa menit setelah Kuro ditangani tim medis, lelaki Jepang itu dinyatakan meninggal dunia kekurangan cairan darah. Tepatnya, Kuro dan anak buahnya mati mengering dengan luka gigitan bekas taring di leher. Pelakunya ... siapa?

"Bathory." Bara menggumamkan sebuah nama.

Kontan saja Firly yang duduk di seberang meja pendek berbentuk persegi, mengernyit bingung. "Sorry?"

"Oh, enggak. Tiba-tiba aku jadi pengen batagor," elak Bara.

Mata Firly tak bisa ditipu. Ia tahu Bara sedang berbohong. Selain itu, sepersekian detik sebelum Bara berkedip, Firly melihat perubahan manik mata Bara. Merah darah dengan pupil kecil bak predator.

"Jadi, apa yang ingin Kak Bara obrolkan?"

"Lho? Perasaan sebelum ke sini kamu emosi banget. Sekarang kok jadi kalem gini? Kamu nggak lagi pakai obat, kan?" cerca Bara, menohok.

"Marah salah, kalem salah. Maumu apa, sih, Kak?" mood Firly seketika anjlok.

"Jadi gini ..." Bara memperhatikan Firly beberapa saat, lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Mengambil sebatang, lantas membakarnya. Sebelum kembali berkata, "aku datang untuk menjemputmu."

"Terus?"

"Bilang apa?"

"Nggak-nggak! Jelasin dulu, jemput dalam arti apa dulu? Kalau jemput pengen ngajak main di luar, aku nggak bisa. Aturan di tempat ini absolut. Main di sini, bayar di tempat, lalu selesai." Firly menjelaskan panjang lebar, tanpa tahu makna sebenarnya dari ucapan Bara. Kesimpulan searah seorang wanita yang paham betul akan situasi realistis yang ada.

Tak Firly sangka, Bara justru menatapnya sinis. Tertangkap jelas di telinga Firly decakan keras meluncur dari bibir coklat terpapar rokok pemuda itu. Yang kemudian, satu kepalan tangan menggebrak kuat meja hingga bergetar.

Sejurus, Bara mengeluarkan sebuah perkamen dari dalam sling bag. Perkamen berisikan surat penandatanganan penebusan dengan mahar satu miliar. Firly bukanlah wanita bodoh untuk tak bisa memahami maksud Bara melakukan itu. Hanya saja, Firly tak bisa menerima begitu saja. Ia muak diatur.

Pandangan Firly menelisik mengamati wajah angkuh Bara. Sama sekali tak berubah. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Firly sedikit memahami jika Bara bukanlah tipe orang yang suka basa-basi.

Dagu Bara mengedik tajam ke Firly. "Kemasi barang-barangmu. Aku akan mengantarkan kamu pulang ke rumah orang tuamu sekarang."

"Kenapa?"

"Mamamu khawatir sama kamu."

"Kenapa ... kenapa kamu peduli sama aku? Padahal kita sama sekali tidak saling mengenal?"

"Aku nggak mau buang-buang waktu di sini. Aku juga nggak memaksa. Selain itu, kamu punya dua pilihan. Tetap di sini menjadi budak, atau ikut bersamaku dan membuka lembaran baru. Pilihan ada di tanganmu."

Firly mengacungkan telunjuk ke depan. "Sebentar. Beri aku waktu untuk berpikir."

"Tiga puluh detik," jawab Bara, singkat.

"Kamu bercanda, Kak?!" Firly meradang. Emosinya benar-benar dipermainkan oleh Bara. Tak bisa Firly bayangkan jikalau pangeran penyelamatnya adalah seorang lelaki menyebalkan kelewat menjengkelkan.

"Aku tetap di sini. Sekarang, Kak Bara bisa pergi." Firly menjawab tegas. "Pembicaraan kita selesai."

"Baiklah." Bara menghisap rokoknya dalam-dalam, lantas menghembuskannya ke samping kanan. Tajam lirikannya bagai anak panah menghujam dada. "Selamat malam." Bara berdiri. Balik badan. Lalu, menoleh ke belakang. "Kamu kira aku bakal mengatakan itu? Mimpi. Sekarang kamu siap-siap. Berada di tempat ini dalam waktu yang lama membuatku mual."

"Brengsek! Enak banget kamu ngomongnya? Jadi cowok jangan egois, napa? Jangan kamu anggep aku barang, yang bisa seenak udelmu mengaturku, lelaki bajingan!"

"Nyatanya, kamu memang barang. Barang murah." Bara melangkah. Menggeser pintu shoji, lalu suaranya menggema sebelum akhirnya lenyap tertahan kegelapan malam.

"Anjing! Anjing! Anjing!" Firly menjambak-jambak rambutnya. Berantakan. Ia berteriak kesetanan. Menggebrak dan mengacak-acak seisi ruangan. Melampiaskan emosinya yang meletup panas. "Apa, sih? Apa, sih? Argh! Apa, sih? Anjing! Cowok anjing! Egois! Sok keren! Sok cool! Sok ... sok ... sok apa, ya? Argh! Fuck, fuck, fuck! Aku benar-benar benci kamu, gondrong anjing!"

Benang takdir Firly berubah tanpa bisa ia tebak ke mana arah takdir membimbingnya. Berurusan dengan Bara yang super duper menguras kesabaran sampai titik maksimal, sudah cukup menjadi alasan Firly untuk tak ingin menikah.

Menikah? Jangan bercanda. Apa itu mungkin, mengingat Firly yang malam ini resmi berstatus mantan pelacur, mendapatkan hujan cinta dari seorang lelaki tulus di luar sana yang menerima Firly apa adanya? Sekali lagi, apa itu mungkin?

***

Sebuah Grab yang disewa Bara meluncur membelah jalanan malam sektor selatan. Arah yang dituju adalah sektor timur tempat di mana kostan Rantai Hitam berada. Meninggalkan Berto untuk membawa motornya sendiri. Walaupun nantinya Bara bakal diomeli Loki karena luput menjaga Berto agar tidak tersesat di jalan, Bara memiliki alasan tersendiri membiarkan Berto tetap berkeliara di Rumah Bordil Darmo. Setidaknya, rencana tambahan yang mereka susun secara spontan sebelum berpisah beberapa menit yang lalu dapat Berto jalankan tanpa menarik perhatian.

Sekarang, di keheningan malam. Terjadi aksi memalingkan muka dua sosok pemuda-pemudi di jok belakang mobil HRV putih susu yang bergerak dengan kecepatan 80 km/jam.

Bara yang malas mengobrol. Dan Firly yang malas melihat wajah si sableng.

Tapi tak lama, kebekuan yang terasa sunyi itu mulai cair saat di mana mobil Grab mengerem mendadak. Menerbangkan beberapa benda, berikut Firly yang tak siap akan guncangan tiba-tiba, jatuh telungkup ke bawah. Lucu.

Tak ada niatan Bara untuk membantu gadis Jepang itu. Bara justru menimpa sebelah kaki ke kaki yang lain. Kepala tangan kanannya menopang pipi, sembari menatap tak minat kekonyolan di depan mata.

"Sebaiknya kamu tetap begitu kalau nggak ingin melihat apa yang terjadi di luar," terang Bara dengan ekspresi mati.

Wajah Firly mendongak. Ada bekas merah di keningnya akibat berbenturan dengan benda keras. Berkedip dua kali, Firly menatap Bara dengan sorot antara kesal dan penuh tanda tanya. "Bantuin dulu kek. Ngeselin lho kamu, Kak."

"Manja. Bangun sendiri."

Saat Firly berusaha bangun, Bara mengulurkan tangan. Firly menyambut. Segera Bara menariknya. Sedikit kuat. Kontan badan Firly doyong ke depan. Jatuh ke dalam pelukan Bara.

Pandangan mereka bertemu. Kendati hanya beberapa detik, kontak mata barusan sanggup membuat dada Firly menghangat. Entahlah. Bara ini memiliki daya tarik tersendiri di balik wajahnya yang menyebalkan.

"Sakit?" bisik Bara, sembari mendaratkan jempol guna mengelus pelan kening Firly.

Tak lagi bisa ditahan. Semburat merah tomat mengubah pipi putih menjadi merah. Tersipu akan act of service yang Bara lakukan. Sederhana, tapi tak semua orang bisa.

"Hm." Inginnya langsung memeluk dan nyosor bibir seksi Bara, respon Firly justru jual mahal. Yang aneh, Firly tak mencoba melepas pelukan. Rasa hangat serta kenyamanan dalam kungkungan pemuda jangkung itu begitu menghanyutkan. Terasa bagi Firly jikalau dibalik badan kurus Bara, menyimpan otot-otot kokoh idaman para betina.

"Hehehe." Bara terkekeh geli melihat tingkah si gadis Jepang. Senang rasanya menjahili gadis itu sampai kebingungan. "Duduk. Kamu tunggu di sini, Prily."

"Firly, woi. F-i fi fi. R. L-y ly ly. Firly!"

"Udah cocok tuh kamu jadi mentor anak-anak bisu, Prily."

"Kak! Bisa nggak sih kamu nggak bikin aku kesel?!" bentak Firly. Moodnya buruk lagi, setelah beberapa menit sebelumnya naik.

"Berisik, Prily. Tuh, lihat di luar. Orang-orang bisunya udah pada nunggu." Tunjuk Bara dengan dagu.

Sedetik kemudian, leher Firly menoleh kaku mengikuti dagu Bara. Mengamati gerangan apa maksud Bara mengatakan itu dan menyuruhnya melihat ke luar yang membuat mobil tiba-tiba berhenti?

Tercengang. Mulut Firly terbuka lebar. Melongo. Pemandangan menggelikan di luar sana jelas bukanlah hal yang lumrah. Adalah kawanan fans Firly garis keras. Mengibarkan bendera dengan wajah Firly. Mereka, para lelaki, berjumlah belasan. Memblokade jalan dengan belasan mobil sport warna-warni.

"I-ini apa?"

Bara berdecak keras. "Buta matamu?" cetusnya. Wajah Bara lurus ke depan. Ia menggeser Firly untuk duduk sendiri. Kemudian, Bara memajukan badan menjangkau si supir Grab. "Setelah aku keluar, kunci pintunya. Matikan mesin, matikan lampu. Apapun yang terjadi, jangan biarkan kecoak-kecoak di depan sana masuk. Kalau aku nggak kembali, segera bawa cewek manja ini ke kost Rantai Hitam. Mengerti?"

Terlalu banyak informasi yang masuk di kepala si supir. Badannya lemas. Ketakutan bertajuk kengerian menyelimuti pikirannya yang penuh hal negatif. Memori-memori kelam si supir akan sebuah tragedi yang melibatkan kelompok Rantai Hitam. Tak lagi si supir bisa berpikir jernih. Ia hanya mengangguk patuh, lalu menunduk.

Saat Bara membuka pintu, pergelangan tangannya dicekal oleh Firly. Bibir tipis si Jepang mengerucut ke depan.

Alis Bara menukik tajam. Ia berkata 'apa?' dengan gerakan bibir tanpa suara.

"Jangan tinggalin aku sendiri, Kak." Dengan seratus persen keimutan, Firly berkata pelan.

"Rencananya sih aku mau jadiin kamu tumbal proyek."

"Jahat!"

"Lepas. Aku mau memberi pelajaran sama fansmu. Tebakanku, berita soal kamu yang keluar dari Rumah Bordil lagi viral."

"Aku nggak tahu kalau itu."

"Top global lonte. Wajar disorot banyak orang. Dan sekarang, aku sedang menculiknya. Huahahahaha."

Firly menggelembungkan pipinya. Cosplay ikan buntal. "Aku berusaha nggak berkata-kata kasar sama cowok sengklek kayak kamu ini, Kak."

"Mosok?" (Masa?)

"Iyo!" (Iya!)

"Mosok aku ngurus." (Masa aku peduli.)

"KAK BARAAAA!!!"

HAHAHAHAHA!

Bara keluar dari pintu samping. Terlebih dahulu ia membakar rokok. Menjadi satu-satunya cahaya di tengah kegelapan malam yang mencekam.

Sambil berjalan santai, Bara mengamati satu persatu para lelaki yang di dominasi kawula muda. Belasan orang bersenjata tajam. Hanya satu-dua orang yang nampak memegang senjata api. Sisanya tangan kosong. Menarik.

Kepulan asap rokok dari kolaborasi mulut dan hidung Bara menjadi pembuka ketegangan di antara kedua belah pihak.

"Selamat malam orang-orang lemah. Yang kalau nyukur jembut sendirian." Bara menyapa. Seringainya melengkung sempurna.

"Woi, kerempeng! Di mana kamu menyembunyikan Firly?" tukas seorang pemuda berkacamata, sambil mengacungkan parang.

"Wibu bau bawang bombay emang doyan cewek nyata?" Bara balas bertanya. Memang jago memprovokasi dan membuat sekitarnya kesal.

"Firly milik kami! Takkan kami biarkan tangan kotor tikus got sepertimu menyentuhnya, sialan!"

"Benarkah? Coba tunjukkan effort kalian, siapa tahu nanti aku berubah pikiran untuk berbagi Prily sama kalian."

Tak ayal, semua orang geram akan sikap Bara yang sedemikian minta di tebas. Bara harus dihukum. Dan dengan gerakan cepat, satu orang maju menerjang. Tangannya membawa belati tajam. Ketajaman yang luar biasa menarget dada Bara. Tetapi, belati itu terhenti sebelum mengenai sasaran. Itu karena Bara memegang tangan orang itu seraya mengebulkan asap rokok di wajahnya.

Krak!

BLAM!


Telat. Tangan orang itu sudah lebih dahulu dipelintir. Kontan belati terlepas dari tangan. Dan sedetik, Bara membanting badannya hingga telungkup di atas apal.

BEGH! BEGH! BEGH!

Tak berhenti di situ, Bara tambahi tiga kali injakan keras yang mengenai kepala belakang, punggung, dan leher. Kemudian, terdengarlah suara favorit Bara. Suara tulang patah, erang kesakitan, dipadukan dengan darah segar mengucur pada hidung orang pertama yang menjadi korban keberingasan Bara.

Seringai Bara semakin lebar. Bau darah membuat adrenalin terpacu. Seru kemarahan semua orang mulai meledak. Mereka semua menerjang maju tanpa tedeng aling-aling.

Bara menyambut. Berlari. Melompat beberapa centi dari tanah menuju ke arah salah satu orang terdekat, di arah jam 12. Orang kedua yang menjadi target Bara balas menyambut pertarungan secara terbuka dibarengi tatapan setajam pedang yang ia pegang.

Kalah jumlah, menang nyali. Secepat capung, Bara menginjak tangan kanan orang kedua sampai pedangnya terlepas. Kemudian, Bara memegangi kepala belakang orang kedua menggunakan satu tangan, lalu ia adu wajahnya dengan lutut keras yang telah disiapkan.

Tak bisa menghindar. Nyaring sekali bunyi retakan dan teriakan orang kedua. Tanpa sempat memberikan perlawana lebih, ia roboh ke belakang. Kpalanya mendarat pada aspal. Cukup keras. Bersimbah darahlah wajah orang kedua. Jangan salahkan lutut Bara jika
mengenai telak bagian mulut dan hidung. Dalam hitungan detik, orang kedua sudah tak sadarkan diri.

"Segini doang? Buang aja senjata kalian, ganti pistol air." Bara mengejek.

Tiba-tiba, seseorang sudah berdiri di belakang Bara, berikut sebuah celurit melengkung di leher Bara.

Tanpa semua orang sadari, lekuk tajam itu justru berpindah tempat. Dan dalam sekali gerakan ... SRET! Celurit sudah memisahkan kepala orang itu dari tubuhnya. Semua dilakukan sangat cepat, halus, bak memotong tahu.

Selagi masih ada cahaya dari bara rokok yang menerangi, semua orang bisa melihat dengan jelas sosok Bara yang bertengger di atas tubuh korban ketiganya dengan tangan kiri menggenggam celurit bernoda darah.

Bedebum keras jatuh ke aspal tubuh tanpa kepala, Bara ikut terhempas. Namun sedetik, Bara suzah mendarat mulus di aspal sambil memainkan celurit di tangan kiri.

"Sepertinya kalian ingin bermain-main denganku. Baiklah ..." Bara menghisap sisa rokok di tangan kanan. Dalam sekali. Setelahnya, membuang puntung rokok ke bawah, menginjaknya sampai baranya mati. Sejurus, Bara menguatkan aura intimidasi. Sosok jangkung itu menegakkan badan, lalu berkata berat, "aku akan meladeni kalian sampai kalian sadar jika yang ada di hadapan kalian adalah dewa kematian."

Sisa para fans garis keras Firly sedikit gentar. Gemetar. Menyaksikan secara langsung kematian teman mereka. Tanpa disuruh, mereka mundur satu langkah sambil menyebut nama Tuhan, lalu maju dua langkah untuk melunasi hutang mundurnya barusan, menegaskan pada Bara jika mereka tidak takut.

"Maju kalian semua, para kecoak!" seru Bara dengan wajah bengis.

"Bajingan!"

"Aku akan membunuhmu, kurus!"

"Bersiaplah menggali kuburanmu di sini, anak haram!"

Mereka maju bersamaan. Mengepung Bara, lalu menyerang silih berganti. Denting adu senjata terdengar meriah. Satu persatu fans garis keras Firly tumbang. Permainan celurit di tangan Bara memberi luka serius pada setiap musuh dalam jangkauan. Tak mengherankan bila beberapa orang yang masih sayang nyawa segera menjaga jarak.

Terhitung 14 orang telah tumbang bersimbah darah. Erang dan rintih kesakitan menjadi untaian melodi di malam berdarah.

Tersisa tiga orang. Mereka tangan kosong. Tak ada senjata tajam. Mereka lebih pintar dari teman-temannya. Bara rasa, mereka bisa menghiburnya. Sedikit.

Celurit, Bara buang. Ia menyeka wajahnya yang sebelumnya terciprat darah musuh. Yang kemudian, setelah wajah tampan penuh perhitungan itu bersih, ia memperkecil jarak. Maju selangkah demi selangkah sambil menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri.

Sesaat, salah satu dari petarung tangan kosong bergerak maju menyerang menggunakan kepalan tangan, Bara dengan gesit menunduk. Melepaskan kekuatan penuh tinju tangan kanan ke arah tulang iga sebelah kiri si petarung pertama.

"ARGHHHHH! FUCK!" petarung pertama berteriak. Meraung keras akibat pukulan telak yang dilepaskan Bara mengenai tulang iga. Patah, kah?

Masih lanjut. Bara belum puas. Ia daratkan tinju tangannya yang lain menghantam wajah si petarung pertama. Tak ayal, lelaki yang salah pilih lawan itu roboh ke samping. Sejurus, Bara selesaikan dengan tendangan menggunakan telapak kaki tepat di dadanya hingga terlontar sejauh 5 meter ke belakang. menggelepar. Kejang-kejang. Lalu, pingsan.

Dua petarung tangan kosong tak terima kawannya menjadi bulan-bulanan sosok angkuh Bara. Maju bersama, dan mendapat sambutan pukulan dari Bara mengenai dagu. Yang satunya Bara berikan sebuah serangan menggunakan siku tepat mengenai jakun.

Mereka berdua terjatuh.

Langkah Bara santai mendatangi keduanya yang tergeletak di atas aspal tengah mengatur nafas. Sadis, Bara mengarahkan injakan demi injakan ke wajah keduanya.

Entah seberapa hancurnya wajah dua orang malang itu, Bara sama sekali tak peduli. Benar-benar tak peduli.

Sesaat, Bara mengambil sebuah pistol yang tergeletak. Tanpa ampun, ia menarik pelatuk.

Dor!

Dor!


Dua tembakan timah panas tepat mengenai kepala dua petarung tangan kosong. Darah segar, sesegar pantat bahenol Mia Khalifa, jelas muncrat ke mana-mana. Sekilas dari kepala mereka yang berlubang, otak mereka tercerai-berai. Pemandangan yang sangat amat menjijikkan.

"Untuk membuktikan sesuatu, yang dibutuhkan adalah saksi mata." Bara berbicara sendiri.

Sebelum mendatangi petarung pertama, tangan kiri Bara mengais sebuah parang. Duduk setengah jongkok, Bara meletakkan pistol di aspal. Yang kemudian menggunakan tangannya yang bebas untuk menjambak rambut si petarung pertama, lalu menegakkan badan lelaki itu, yang matanya memancarkan ketakutan dan dendam luar biasa.

SRET!

Si petarung pertama meraung keras menerima rasa sakit di tangannya. Itu karena Bara baru saja memotongnya dari siku ke bawah.

"Ba ... ji ... ngan ...."

"Masih bisa bicara? Huh?" Bara semakin bergairah. Ia mengambil pistol, lalu mengarahkannya tepat di dalam mulut si petarung pertama.

Dor!

Sebelum mati, lelehan air mata mengalir deras di pipi si petarung pertama. Tanpa sempat memperkenalkan diri. Ia mati menyusul teman-temannya tanpa ada seorang pun yang datang memberi pertolongan.

Sedingin hembusan angin malam, wajah Bara menengadah ke atas. Menatap rembulan malam yang mengintip dari balik awan. Semilir udara yang menyapu wajah Bara, berikut menerbangkan surai rambut panjangnya, Bara mememamkan mata. Membuang seluruh energi negatif yang baru saja ia keluarkan. Pembantaian berkedok membela diri telah Bara lakukan. Sekarang waktunya ... pembersihan.

"Bathory." Bara memanggil sebuah nama.

Hanya sekali, satu sosok hitam muncul. Entitas astral membentuk tulang, dibalut daging. Sosok iblis wanita yang cantik menggoda berpakaian ala putri keraton muncul tepat di hadapan Bara. Kemudian, iblis cantik itu menundukkan kepala memberi salam.

"Sudah waktunya untuk mukbang." Bara memegang dagu iblis itu. Mencoba kontak mata. Manik mata hitam Bara berubah merah darah seperti milik iblis itu. "Jangan sisakan satu pun, Bathory."

"Sesuai perintah Anda, Tuan Bara." Senyum mengerikan si iblis terpampang jelas. Dua taring di gigi terlihat tajam sekali. Sosok iblis jenis vampir yang hanya ada satu di dunia. Bathory, sang iblis darah!
 
Terakhir diubah:
Spoiler: sedikit bumbu mistis yang terinspirasi dari penulis idola saya, mas simpleman. Di mana, orang-orang tertentu memiliki ingon alias makhluk astral yang membantu di belakangnya. Untuk penamaan setiap makhluk astralnya, sengaja saya pakai nama luar. Nggak berani pakai penamaan Jawa karena percaya tidak percaya, saat pertama menggarap cerita ini, saya mencoba mengambil satu nama berbau Jawa (red: Wisanggeni) dan berujung kepala saya pusing dan mual. Memang ya, nama-nama yang beberapa orang sakralkan tidak bisa asal dipakai. Jujur, beberapa kendala saya alami saat itu. Yang parahnya, ada satu adegan sebelum arc Istanbul hilang dari draft. Sebenarnya di sana Bathory sudah muncul. Saya pingin ngenalin di awal, tapi saya rombak sedikit plotnya karena kendala tersebut. Huhu.

Ya udahlah. Gitu aja. Update lagi sambil nunggu Surabaya bagian Meksiko hujan. Haha.
 
Sungguh terlalu, mata melek langsung dpt update an yg sangat menjancukkan sekali....terusne opo meh tak undangke bathory ho..... Wkwkwkwk
 
***
22
Resmi

Perjalanan kembali berlanjut. Seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya, Bara dengan santainya menurunkan kaca mobil. Menghisap rokok sambil mengatur sandaran di kursi beberapa derajat. Bau anyir darah sedikit tak berpengaruh.

Kendati demikian, Bara sedikit simpati melihat Firly yang sedari tadi muntah-muntah. Wajahnya pucat pasi bak mumi. Jangan abaikan pula si supir Grab yang sekuat tenaga menahan untuk tak komplain kepada penumpangnya.

Tak lama, ponsel Bara bergetar, berbunyi. Ada panggilan masuk. Saat Bara merogoh kantung bagian dalam jaket levis, terpampang nama Saga di sana. Segera Bara angkat tanpa membuang waktu. Siapa tahu penting.

"Halo!"

"Hai."

"Asu. Koyok hombreng kon, sat. Nggathelisasi." (Anjing. Seperti homo kamu, sat. Menjengkelkan sekali.)

"Peno gelem ta tak balang batako?" (Kamu mau kah aku hantam batako?)

"Gak mesisan nggawe forklift ta cek rodok keroso?" (Tidak sekalian pakai forklift kah biar agak kerasa?)

"Gak terimo forklift tok. Sak mekanik'e melok tak junjung lek musuh aku." (Tidak terima forklift saja. Sekalian mekaniknya ikut aku angkat kalau musuh aku.)

"Asu, deh. He, pentol kabul, posisimu ndek endi sak iki?" (Anjing, deh. He, pentol kabul, posisimu di mana sekarang, sat?)

"Ndek dalan arah moleh nang kostan. Lapo'o, Lady Gaga? Kangen, a?" (Di jalan arah pulang ke kostan. Kenapa, Lady Gaga? Kangen, kah?)

"Gak po-po, seh. Mek takok tok." (Tidak apa-apa, sih. Hanya bertanya saja.)

"Ngunu tok? Ealah. Tak kiro peno kape ngekek'i info seng sip gawe menyambut kedatangan wong ganteng iki." (Gitu saja? Ealah. Aku kira kamu mau memberi info yang sip buat menyambut kedatangan orang ganteng ini.)

"Oh. Soal iku, wes tak siapno karpet merah ndek nggarep gang, sat. Sekalian peti mati gawe ngusung awakmu budal nang kuburan." (Oh. Soal itu, sudah aku siapkan karpet merah di depan gang, sat. Sekalian peti mati buat menggotong kamu berangkat ke kuburan.)

"Gendeng!"

"Hehehe. Oke, serius ini. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan ke kamu."

"Gimana, gimana?"

"Jadi gini, Bar."

Sambil mendengarkan informasi yang disampaikan Saga, Bara melirik ke samping. Mengamati Firly yang sedang rebahan. Memejamkan mata. Kecapekan muntah kangkung beberapa kali. Lalu, Bara menghisap rokoknya dalam. Diam sebentar.

"Kayaknya lebih enak kita bahas soal itu secara langsung, Mas." Bara akhirnya buka suara, setelah terdiam beberapa saat.

"Aku setuju sama kamu, Bar. Ya udah, kalau gitu kita ketemuan di luar. Nanti aku shareloc."

"Kalau bisa di hotel aja, Mas."

"Bajingan kon, pentil luwak. Aku sek normal, cok." (Bajingan kamu, puting luwak. Aku masih normal, cok.)

"Oh, ancene wong kentir! Aku iku ngejak nang hotel mesisan ngedukno muatan. Aku nggowo barang rodok bahaya iki masalahe." (Ealah, dasar orang gila! Aku itu ngajak ke hotel sekalian menurunkan muatan. Aku bawa barang agak bahaya ini masalahnya.)

"Ngomong, dong. Eh, aku boleh join kan nanti? Seculup dua celup, lah."

"Mbok bresno sak dengkul-dengkule peno yo no preblemo, lezato, mangku lonte disambi ngemut itilo." (Kamu lesatkan sekalian lutut-lututnya kamu ya no preblemo, lezato, mangku lonte disambi ngemut itilo.)

"TAEK ASU!"

"Hahahaha."

"Ya sudah. Aku tak berangkat cari hotel dulu."

"Yang bagus, lho. Aku nggak mau yang murahan. Nanti di grebek pasukan Kue Lumpur malah panjang urusan."

"Apa itu pasukan Kue Lumpur? Aku bisa meniduri istri mereka kalau macam-macam."

"Sombong sekali ucapanmu, wahai manusia peranakan lumut jamban."

"Kamu sendiri kenapa takut sama undur-undur Boyolali seperti mereka, wahai jenggot Tong Sam Cong?"

"Peno takok ta nantang seh sakjane?" (Kamu tanya apa nantang sih sebenarnya?)

"Mancing."

"Nggak jelas lho kamu ini, Mas. Kayak rujak congor."

"Cingur, cok! Adoh! Capek aku ngomong sama kamu, cok."

"Hahahaha. Oh iya. Sekalian aku titip bawain aku baju ganti. Ini bajuku kotor abis mandi bola."

"Mana ada mandi bola bisa kotor, sat!"

"Bisa, lah. Bolanya keluar air pas aku tebas pakai sendok."

"Cok! Aku bisa menebak kalau kamu baru saja menggila, kan?"

"Pesta kecil-kecilan, kok."

"Asu! Kenapa nggak ngajak-ngajak, sih?"

"Siapa suruh tidur sambil ngelindur kangen mantan?"

"BANGSAT!"

HAHAHAHAHAHA!

Tut!

Tawa Bara masih terbahak-bahak sampai panggilan telepon ia matikan. Hanya beberapa saat, Firly terbangun karena kerasnya suara Bara. Ia mengerjap. Terusik. Menyorot tidak senang si sableng yang semakin malam, semakin terasa gilanya.

"Hei. Kecilin suaramu, Kak. Aku itu pusing. Mual. Lemes. Nggak bisa apa, nggak bikin aku jengkel?" gerutu Firly.

Bara tak menjawab. Ia justru melihat layar ponsel, yang baru saja Saga mengirimi lokasi pertemuan mendadak malam ini. Kemudian, Bara memberitahu si supir Grab untuk ganti lokasi.

"Kak! Jangan cuekin aku, dong!" Firly menegur. Tak terima. Wajahnya cemberut lucu. Matanya semakin sipit tak terlihat dengan ekspresi menggemaskan bak anak kecil kehilangan boneka.

"Apa?"

"Kakak namanya siapa?"

"Bara."

"Kampret! Udah tau kalau itu. Maksudku, nama panjangnya."

"Baraaaaa."

Firly memukuli Bara menggunakan kepalan tangan bagian bawah. Ditambahi mencubit biar afdol. Firly lelah. Rebahan lagi. Tapi dengan sudut mata melirik Bara. Sementara itu, Bara sendiri hanya menatap Firly datar. Sedatar papan cucian.

"Bara Geni." Bara akhirnya menjawab.

"Oke. Bagus juga. Firly Geni. Ah, atau Fifi Geni. Eh, bentar! Greta Geni? Haduh, kurang pas." Firly bicara sendiri. Masih belum jelas apa yang ia gumamkan bawa-bawa nama Bara. Hingga beberapa saat, Firly menatap ke arah luar. Memandang indahnya bulan di langit. Seketika Firly menjentikkan jari. Sambil menatap Bara antusias, berikut binar mata secerah samudra, Firly berkata, "Bulan Geni. Bagus, nggak?"

Bara plonga-plongo. "Hah? Apaan?"

"Sekarang namaku itu. Bulan Geni. Kan habis gini kita menikah."

"Oh, ya, ya." Bara manggut-manggut. Lanjut membakar rokok. Saat di mana pemantik sudah dinyalakan, mata Bara seketika melotot. "APA MAKSUDMU DENGAN MENIKAH, GENDENG?!"

Firly berdecih. "Kakak lupa apa gimana, kalau Kakak nebus wanita di Rumah Bordil Darmo, tradisinya ya harus kakak nikahi. Walaupun aku sendiri nggak suka sih sama Kakak," paparnya dengan suara lirih saat di akhir kalimat.

"Tradisi sesat. Orang tuaku menyunat burungku aja ngundang New Palapa. Masa iya pas nikahnya dapat sangkar gajah?"

Meski dengan nada bercanda, ucapan Bara sedikit melukai hati Firly. Gadis Jepang itu menunduk. Menekan kedua tangan di depan dada. Tetesan kristal bening meluncur tanpa bisa dicegah dari sudut mata.

Firly terluka. Sakit. Kata-kata Bara terlalu menyakitkan untuk didengar.

"Maaf."

Bara segera sadar dan peka. Ia bawa Firly ke dalam pelukannya. Erat. Dada Bara ikut sesak saat mendengar tangis sesenggukan dari bibir mungil Firly.

Sialan. Tidak boleh. Rasa yang seharusnya tidak boleh tercipta ... mengapa ... mengapa harus dengan gadis pelacur?

Bara bingung dengan jalan pikirannya sendiri. Semakin bingung mendengar sahut-menyahut isi hatinya yang tidak sinkron. Tidak selaras.

"Maaf kalau kata-kataku berlebihan." Bara mengecup pucuk kepala Firly yang semerbak bau Jasmine. Menenangkan. Terasa intens dan menggairahkan. "Prily," panggilnya.

Dengan bercucuran air mata, Firly mendongak. Menatap pedih wajah Bara. "Aku tahu, aku emang lonte. Murahan. Tapi tolong nggak perlu kamu ingatkan aku. Aku tahu. Aku tahu diri. Aku tahu posisi."

"Sssttt! Stop. Udah, aku minta maaf. Ayo, pukul aku. Aku pantes kamu hajar karena sudah melukai hati dan membuat wanita secantik Dewi Ratih ini menangis." Sambil menyeka air mata di pipi Firly menggunakan kedua jempol, Bara memasang ekspresi penuh penyesalan. Ekspresi yang baru pertama ia tunjukkan setelah sekian lama.

Meski dipuji dan disandingkan oleh dewi bulan yang dipuja oleh kaum Hindu di Pulau Naga dan Pulau Dewata, yang kerap terkenal akan kecantikannya, Firly mencoba untuk tak merespon. Kekesalannya masih lebih besar dibanding rasa senang.

"Ratih Geni. Nama yang cantik dan manis seperti orangnya. Kamu bisa memakai nama itu setelah kita menikah. Tapi, nggak sekarang."

Firly membiarkan Bara bicara sendiri. Ia ingin tahu, sejauh mana Bara bisa meluluhkan Firly yang sedang sakit hati akan ucapan tanpa filter yang si sableng lontarkan sebelumnya.

"Kalau emang tradisi itu benar, aku nggak masalah meskipun kamu banyak minusnya. Ehem! Maksudku, ada kurangnya. Sedikit. Aku bakal menerima kamu apa adanya, kok." Bara kembali berkata. Sedikit mengoreksi ucapan karena mendapat pelototan dari Firly. "Jadi ya, yang bisa aku katakan untuk saat ini, aku belum punya keinginan untuk menikah dalam waktu dekat. Aku harap kamu bisa sedikit memahami situasi di antara kita berdua."

"Mosok?" (Masa?)

"Iya."

"Mosok aku ngurus." (Masa aku peduli.)

"Cuk." Bara memaki pelan. Ia garuk-garuk kepala. Jadi ini rasanya senjata makan tuan? Ucapannya dikembalikan di momen Bara sedang serius-seriusnya. Luar biasa. Si sableng ini ternyata bisa juga berlagak layaknya seorang pria.

"Ngomong apa tadi?" Firly mencubit pinggang Bara, kuat.

"Awww! Cok! Aduhhh! Jangan cubit, woi!" Bara berteriak kesakitan.

"Kamu maki aku, Kak?" Firly menguatkan cubitan. Kali ini sebelah tangannya ikut andil mencubit puting susu Bara. Semakin menjeritlah Bara menghadapi tuan putri sadis satu ini. "Terus aja kamu maki aku. Siap-siap pentilmu copot dari dadamu."

"Aduhhh! Iya, iya! Sudah, ya. Ampun. Sakit ini!"

"Jadi gimana maumu? Aku nggak mau ya kalau kamu nggak ada kepastian. Lebih baik kamu balikin aku ke sana daripada kamu bikin aku sakit hati mulu," tandas Firly.

"Bentar. Lagi mikir."

"Ooooo ... lagi nyari alasan, ya? Hm, hm, hm!"

Nyut!

Kembali puting Bara menjadi korban kesadisan Firly. Dicubit. Dipelintir. Lalu, ditarik. Betapa tersiksanya Bara. Mau membalas pun, ia sadar jika pantang baginya melukai seorang wanita. Terlebih, Firly ini terasa mirip sang mantan.

"Kita trial dulu," putus Bara.

Kepala Firly miring ke kiri. "Trial?"

"Pacaran. Kita pacaran selama satu bulan. Kalau nggak ada kecocokan di antara kita, kita sudahi. Kalau cocok, lanjut." Bara sedikit ragu, tapi hanya itu rencana yang ia pikirkan.

"Lanjut nikah?"

"Lanjut pacaran."

"Oke. Deal. Tapi pertama, kamu harus berhenti memanggilku Prily. Namaku Firly. Ingat itu di dalam otakmu, ya, Kak." Firly berkata tegas. "Kalau enggak, siap-siap aku jadiin kamu bandeng presto!" ancamnya dengan mata melotot.

Bara meneguk ludah susah payah. I-i-iya, Prily. Ehm ... Firly."

Bara yang ini, bukan Bara yang orang kenal. Sial. Bara sudah menjelma menjadi sosok preman berhati hello kitty.

Tentu saja, Bara yang seperti ini yang Firly tunggu. Sedari awal, Firly sudah tahu dari kelamnya sorot mata Bara mengandung kasih sayang yang tiada banding, tiada tawar.

"Firly," panggil Bara.

"Nah, gitu, dong. Daritadi kek manggil namaku dengan benar. Btw, kenapa, Kak?" senyum manis Firly tersungging.

"Duduk sendiri, ya. Yang di bawah sesek banget."

"Kamu ngaceng, Kak?"

"Maaf. Habisnya memekmu nempel banget di burungku, sih."

Plak!

"Ish! Jorok banget ngomong gituan!" seru Firly, seraya menggampar pipi Bara sampai merah. Dan anehnya, Firly sama sekali tak mau bergesar. Ia justru semakin merapatkan pelukan di tubuh Bara. "Ja-jangan frontal gitu ngomongnya, Kak. A-aku malu." Sambil membenamkan wajah di ceruk leher Bara.

"Kalau meki ... gimana?"

"Nggak pa-pa." Suara Firly semakin kecil. Perlahan, kenyamanan dalam posisi berpelukan dengan lelaki yang menguarkan bau khas lelaki jantan ini menghipnotis alam bawah sadarnya. Rasa kantuk mulai menyergap. Yang secara perlahan, ia memejamkan mata, dan tanpa sadar menggumam, "Jagain aku, ya, Kak."

Disaksikan oleh si supir Grab, malam ini, malam berdarah yang memakan korban nyawa, si paling tidak suka diatur resmi menjalin bahtera cinta untuk kedua kalinya. Di Kota Anggur, si sableng pecinta keju bertemu pawangnya.
 
Terakhir diubah:
Bara Geni, si sableng pecinta peju..... Ehhh keju..... Wkwkwkwk


Lanjuttttt ho..... Aku padamu pokoke,😘😘😘
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd