Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Home: Wherever you are with me (Bulgan 3-season finale)

Kenapa sampai aku gak percaya?

POV Cherry

Akhirnya kami tiba juga di perbatasan negara bagian New York. Aku hitung-hitung mungkin 40 menit lagi kita udah tiba. Sayang sekali kita gak langsung ke rumah Titien, padahal aku udah rindu.

Memang sih baru sekarang aku mengikuti perjalanan darat sepanjang ini. Medan jalan interstate negara paman Sam sangat mulus sehingga mobil kami melaju rata-rata 80 mile per jam atau sekitar 130-140 km per jam. Asih toh perjalanan ternukasa membosankan karena pemandangan yang monoton terlihat di kiri dan kanan.

Perlu diketahui, perjalanan kita ini molor dua hari dari rencana semua. Ketambahan sehari di Montreal dan sehari lagi di Boston. Penyebabnya sih karena Dion… yah pacar Lina yang merupakan satu-satunya cowok dalam mobil sempat teler di dua kota tersebut sepulang dari night club. Malah aku pikir ia sengaja mau membuat perjalanan kita terlambat.

Ketika melewati service area, aku meminta singgah sebentar, dengan alasan mau kencing. Juwita juga ikutan rasa pipis, maka dengan terpaksa Lina membelokkan kendaraan dan memarkirnya di service area.

Sebenarnya singgah di toilet hanyalah alasan belaka, tetapi yang lebih penting lagi aku mau ngecharge hape yang udah mati dari tadi pagi. Hal ini dikarenakan charger di mobil tidak bisa digunakan, padahal kemarin-kemarin bisa. Tanpa diketahui orang lain aku sengaja membawa charger supaya hape ku bisa hidup biar sebentar aja, lalu ngumpet di pojok.

Akhirnya setelah hampir lima menit iphone ku pun hidup juga. Begitu aku sambungkan wifi gratis, ternyata udah banyak pesan via WA ataupun miscall dari Kak Titien, Shaun, Darla, dan paling banyak anehnya Aldo. Mau apa cowok itu? Justru pacarku sendiri, Doni hanya mis call sekali, pasti dia lagi sibuk dengan skripsinya.

Aku mencoba call balik, tapi Kak Titien, Darla dan Shaun pun tidak aktif. Kok bisa yah? Apa aku harus telpon Aldo? Aku ingat pengalaman buruk di Las Vegas ketika aku hampir dijebak cowok itu. Aku tidak berani menghubunginya.

Tak lama kemudian muncul pesan dari Rivo, pesan yang sangat aneh.

“Jangan pergi ke rumah Titien, aku sudah atur hotel buat kalian nginap. Segera telpon aku, penting!!! - Aldo”

Aku tersenyum. Cowok itu memang kelas kepala, pasti masih penasaran karena tidak sempat tercapai keinginannya di Las Vegas, hihihi.

Tetapi kemudian aku mendapat sms yang mirip, kali ini dari Shaun.

“Cherrie, telpon aku. Kami sudah siapkan hotel untuk kalian, jangan pergi ke rumah Titien, bahaya! - Dickhead”.

Aku tersenyum membaca kedua pesan itu. Semakin yakin kalo mereka berdua berencana menjebakku… wah bisa lumpuh aku menghadai kedua cowok itu. Melawan salah satu dari mereka aja, aku kewalahan. Aku tersenyum dalam hati. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak menghiraukan pesan WA tersebut.

Sekitar 15 kemudian aku kembali ke mobil, tampak Dion udah gak sabar. Untunglah Lina dan Juwita masih didalam menunggu pesanan cemilan mereka resto cepat saji. Tak lama kemudian mereka keluar dan menghampiri mobil. Keduanya sempat bertanya-tanya di mana aku, karena dari tadi aku ngumpet nge-charge.

—--

“Kok kecil yah tempatnya, gak seperti yang ku pikirkan!” Kata Juwita ketika kita tiba di depan KJRI di sebuah gedung tua di upstate New York.

Tampak jelas kalo ia kecewa, mungkin karena pikirannya semua KJRI ini sebanding megahnya dengan yang ada di Ottawa, Canada.

“Kalo di Ottawa itu kan KBRI, sedangkan ini cuma konsulat doang, bukan kedutaan.” Aku menjelaskan kepadanya, kalo KBRI di Amerika berada di Washington, DC.

Kami masih terus bercakap-cakap ketika Dion dan Lina turun dari mobil dan singgah ke KJRI. Rencananya Dion akan menginap di sini, jadi ia segera menurunkan barang-barangnya. Setelah ini Dion akan mengantar kami ke rumah Kak Titien, lalu membawa mobil balik ke tempat ini. Dion memang didaulat untuk menjadi sopir kami, antar jemput selama kami liburan di New York sini.

Lina juga kelihatan sibuk membantu, tentu saja ia menunjukkan perhatian kepada pacarnya, dan mungkin aja sempat turun untuk melihat guest room yang akan ditempati cowok itu.

Sementara Dion dan Lina sibuk mengatur barang-barang mereka, aku melihat ada sebuah powerbank yang tercecer. Dengan cepat ku simpan dan ku charge hape-ku. Ini untuk balas dendam ulah usil Dion yang membuat charger mobil rusak.

Cukup lama Lina dan Dion singgah di KJRI, mungkin sekali mereka sempat ketemu kenalan dan diajak bercakap-cakap.

Wita udah gak sabaran, Ia kelihatan udah bosan menunggu mereka. Gerak-geriknya sudah ku hapal sejak berbagi kamar dengannya dua bulan lalu, dan untuk mencairkan suasana, aku mengajak dia bercakap-cakap.

“Bosan yah! Maklum aja Wit, mungkin mereka berdua lagi cari kesempatan untuk berdua!”

“Berdua?” Juwita kayak heran.

“Iya, maksudnya mungkin lagi bermesraan dulu. Kalo ada orang lain kan malu…” Aku tersenyum.

“Maksudmu quicky, gitu? Hahaha…!” Juwita tertawa.

“Ihh… kok larinya di mesum lagi…!” Aku juga ikutan tertawa. Dasar cewek ini, otaknya udah parah.

“Cher, aku gak nyangka yah Lina bisa jadian dengan cowok itu. Apa sih yg dilihat cowok itu ke Lina? Lina kan orangnya culun, biasa-biasa aja. Gak sangka gadis pendiam itu bisa merayu Dion.” Juwita mulai ngomong lagi.

“Maksudnya kamu cemburu, karena ia gak pilih kamu?” Aku meledeknya.

“Ihhh… gak deh euyyyy…” Juwita mengeluarkan lidahnya mencibir.

“Maksudnya, banyak kok gadis cantik sekelas dengan kita, kok bisanya ia pilih Lina?” Tanya Juwita, kayaknya masih penasaran.

“Mungkin aja ia suka yang model Lina, udah bosan dengan cewek-cewek yang suka berdandan norak yang udah mainstream!” Kataku lagi.

“Aku yakin itu cowok dijebak. Kali aja Lina itu diam-diam tapi binal.”

“Hush, Lina anak baik-baik! Kamu lihat sendiri sepanjang jalan ia gak mau sekamar cowok itu.” Kataku membela Lina.

“Iya sih, Lina bikin sesak tempat tidur aja. Kenapa soh ia masih gak mau sekamar cowoknya?” Kata Wita.

“Wita, gak selamanya pacaran harus sekamar. Mungkin aja Lina masih perawan!” Aku mengingatkannya lagi.

“Huh?” Juwita sampai terbatuk. Ia diam sejenak.

Aku tersenyum, kata-kataku telah mampu membuat Wita diam. Mungkin ia baru sadar kalo masih ada gadis yg berusia 23 tahun yg masih perawan.

“Kamu yakin Dion beneran suka sama Lina? Ato jangan-jangan ia hanya mengincar perawannya.” Tanya Juwita lagi.

“Maksud kamu?” Aku pura-pura terkejut.

“Kamu tahu kan cowok, kadang suka taruhan dengan teman2 soal cewek, kalo bisa dapat keperawanan cewek tertentu.”

“Emangnya ada kasus begitu?” Aku tersenyum, ingat cerita Keia kalo Aldo bolongin Wita dulu karena taruhan.

“Iya” Wita menangguk dengan semangat, seakan ingin menjelaskan kepadaku kalo hal itu biasa terjadi.

“Siapa? Ada yang aku kenal” Aku menatapnya sambil tersenyum jenaka. Juwita sampai menatapku bingung.

“Mungkin aku tanya deh ke Aldo!” Aku kembali memancingnya, dan terus menatapnya tersenyum. Kini Wita menyadari kalo aku mengetahui kisahnya dulu.

“Eh gak kok. Gak benar itu…. ihhhh!” Kata Wita menyangkal. Aku senyum lagi.

“Tadi kamu bilang ada, kok sekarang kamu menyangkal!”

“Ihhh….” Juwita jadi gemes sendiri. Pasti ia malu sekali. Aku langsung tertawa.

“Sudah bicara lain aja, kamu tahu kan Dion gimana orangnya. Kamu yakin ia sungguh-sungguh ke Lina?” Wita mencoba mengalihkan pembicaraan.

Aku menggeleng

“Aku juga gak yakin, masakkan didepan Lina sendiri dia sempat goda kamu di Montreal, pura pura gak sengaja udah colek pantat kamu kan?” Ternyata Wita lihat juga. Peristiwa dimana aku memarahi cowok itu di club.

“Iya sih…!”

Aku melihat senyum tersamar di ujung bibirnya, pasti menertawakan aku. Aku harus membalas. Bisa jatuh harga diriku didepannya.

“Aku juga lihat ia sempat lihat langsung ia grepe cewek lain, pas Lina lagi mandi!”

“Iya nakal ya…!”

“Iya, aku gak nyangka, kejadiannya baru kemarin lho, di kamar kita”

“Eh kapan kamu lihat?” Juwita jadi kaget ketika aku bilang kemarin. Wajahnya tampak lagi harap-harap cemas.

“Kemarin, pas di kamar motel pagi, Dion asyik aja grepe-grepe cewek lain, pake alasan pura-pura salah orang, lagi!” Ujarku menyudutkan Wita..

“Ihh, kamu lihat yah!”. Wita kini sadar aku bicara tentang dia.

“Aku lihat sih cewek nya udah pasrah di grepe-grepe!”

“Astaga! Ihhh, nakal… jadi kamu tahu yah? Dasar Dion, untung aja gak sengaja, kalo gak udah ku patahin tangannya yang nakal senggol dadaku.” Wita masih membela selembar harga dirinya.

“Cuma dada?”

“Eh anu, ihhh…!” Wita menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Aku lihat kok, tangan kirinya udah masuk di balik rok yang sudah terbuka.” Aku terus meledek Wita yang udah gak bisa mengelak lagi.

“Ihhh jijik!”

“Hahaha... tapi waktu itu kelihatannya kamu nikmati kok, pake merem lagi... hahaha. Kalo aku gak bersuara di balik pintu palingan kamu udah dapat big Ooo” Aku gak kasih dia kesempatan membela diri, terus memojokkannya, padahal aku hanya main tebak aja.

“Astaga, Cherie!” Wita teriak sambil tutup kuping gak mau dengar, pasti malu.ia mencibitku, aku tahu apa artinya kalo ia sudah begini

“Hahaha…” Aku langsung tertawa sambil menghindar. Tangan Wita sudah terjulur hendak mencubitku.

“Kring… kring… kring…!” Terdengar ringtone klasikku samar-samar. Aku sengaja pasang dengan volume rendah.

“Hallo…!” Tanpa melihat nama di layar, aku segera menyambungkan panggilan ke speaker, sambil terus menghindari dari cubitan tangan Wita yang nakal.

“Aldo… kok kamu?” Ternyata cowok itu.

“Cher, Titien lagi ada masalah, ia gak bisa terima tamu sekarang ini. Shaun dan Darla juga udah ke New York untuk bantu dia. Segera cari mereka, ketemu di hotel. Dengar baik-baik, jangan ke rumah Titien, bahaya!” Suara Aldo terdengar samar, soalnya cowok itu ngomong cepat-cepat, mungkin takut aku memutuskan telpon secara sepihak.

Aku jadi ragu-ragu, kata-kata Aldo terdengar sungguh-sungguh. Tak mungkin ia ngomong seperti itu kalo tidak ada kejadian apa-apa.

Belum sempat aku menjawabnya, tiba-tiba terdengar suara cewek di sampingku.

“Aldo, dasar cowok gak tahu diuntung. Gak usah ganggu rencana kami!” Kata Wita dengan kasar, lalu mematikan panggilan.

Aku terpana… speechless.

“Udah, gak usah hiraukan cowok bego itu! Pasti itu modusnya lagi. Udah biasa ia buat begitu.” Kata-kata Juwita terdengar begitu tegas, mungkin sekali masih ada rasa kecewa dengan hubungannya dengan Aldo di masa lalu.

“Kring… kring… kring…!” Tiba-tiba telpon berdering lagi. Ketika aku dan Juwita melihat nama pemanggil, kembali tertulis nama Aldo. Mau apa lagi cowok itu?

“Cher… dengarkan aku dulu!”

Belum sempat aku menjawabnya, suara Aldo langsung tertutup dengan lengking emosi dari teman dekatku. Juwita kembali marah-marah di telpon. Terlihat sekali ia ingin sekali menginap di rumah Titien. Dan ia tak mau cowok itu merusak rencananya.

Aku masih diam tapi Juwita sudah mematikan hape. Ia malah mematikan powernya supaya gak terganggu lagi dengan nada panggil milik cowok itu.

Aku masih terus memikirkan peristiwa itu. Ini sudah kesekian kalinya Aldo memberikan warning yang sama, mana Kak Titien lagi gak terima telpon. Pasti ada apa-apanya. Aku harus berhati-hati. Untung hapeku sudah hampir setengah terisi daya, sehingga cukup untuk hari ini. Aku menyetel hape ke posisi silent buat jaga-jaga.

Tak lama kemudian kami melihat Dion dan Lina sedang berjalan menuju mobil. Tapi ia tidak sendiri, di belakang mereka ada seorang bapak yang tubuh gempal mengikuti dari belakang.

“Lina, kok lama sekali!” Kata Juwita, gadis itu kayaknya udah gak sabar.

Dan belum juga Lina atau Dion berbicara, bapak yang dibelakang langsung menyapa kami dengan ramah.

“Hi girls, aku om Beni!” Demikianlah saapan seorang bapak yg gemuk, botak dan memiliki mata mesum yang datang bersama Dion dan Lina. Bapak ini sangat percaya diri, dengan supelnya ia membujuk kami untuk makan siang dulu.

“Nanti aku juga akan ikutan antar kalian. Tapi kita makan dulu, yah. Aku yang traktir semuanya. Yuk, restorannya di sebelah sana. Aku sudah pesan makanan Indonesia untuk kalian.”

Aku baru saja hendak menolak, tapi Juwita lebih dahulu mengiyakan ajakan bapak. Bikin malu aja…

Walaupun merasa gak nyaman, aku mencoba tersenyum. Om Beni ternyata gaul juga, ngomongnya nyambung dengan anak muda. Dan dengan segera Wita terlihat mengagumi sosoknya yang berkelas.

Dengan segera bapak itu akrab dengan Juwita, yang pinter melihat orang kaya. Dasar murahan…

Mau tak mau aku mengikuti mereka. Dekat sih, kita jalan kaki aja.

Om Beni mengajak untuk tour kota New York, nanti dia yang bayarin tiket masuk ke tempat-tempat wisata.

“Iya girls, kalian pesan apa aja, aku yang traktir!” Kembali kata-kata yang memikat serta sok akrab dikeluarkan. Mata jalangnya kembali menatap ke arah aku dan Wita di mobil dengan pandangan mesum. Langsung aku tahu model gimana Om genit ini.

Om Beni sempat kasih instruksi sama anak buahnya cowok yg kayaknya kerja di KJRI yang mengangguk pergi.

Aku gak nyaman

Lina duduk dengan kami, diam terus.

Om Beni buka suara, hanya ditanghapi oleh Wita, gadis yg sok akrab itu.

Rumah makan Indonesia katanya tapi dari luar gak ada sign sih. Pintu besi diketuk, terbuka. Dipersilahkan masuk seorang cewek muda yg cantik. Nama Nadya. Pak Beni sempat peluk dan grepe Nadya yg hanya tertawa.

Kami langsung turun tangga yang menurun ke basemen, yang remang2. Tapi didalam cukup berkelas kayak rumah makan mewah. Padahal dari luar gak tampak apa2.

Pak Beni kenal sama pemiliknya, seorang bapak dari Jawa, mereka bercqkap-cakap sebentar. Kayaknya RM ini lebih mirp mirip katering langganan KJRI NY. Ada barnya juga, lengkap dengan segala jenis minuman keras. Tapi kayaknya gak laris, udah mau tutup.

Satu sisi yg agak jauh dibuatin studio, green screen dan lampu boxlight beberapa biji. Sofa ditengah... agak gelap sih karena lampu belum nyala.

Aku gak nyaman. Tempat ini terasa pengap, padahal ada AC. Mungkin karena gak ada jendela...

“Cher, mau makan apa?” Pertanyaan Wita hampir tak terdengar.

“Eh iya… Pesan aja dulu, aku ke WC dulu…”.

Tadi aku sempat WA ke Rivo dan Deya bilang aku bersama Wita, Lina, Dion dan Pak Beni. Pas di lorong aku melihat ada mesin kopi dan snack, dengan cepat aku kesana. Ada beberapa cemilan yang sengaja aku beli, ini semua supaya aku ada alasan gak perlu makan.

Padahal Pak Beni sudah janji mau traktir, pesan apa aja, boleh katanya. Tapi entah kenapa aku kurang mempercayainya. Dan ketika Wita dan Lina pesan makanan, aku gak mau makan, denan alasan masih kenyang. Sambil menunjukkan cemilan yang aku beli, aku bilang aja kalo udah rindu dengan cemilan yang gak ada di Canada.

Tetapi usahaku sia-sia, aku tetap aja dipaksa makan. Pak Beni dan Dion berulang kali menawarkanku untuk makan rendang, yang menurut mereka sangat enak. Terpaksa aku ambil sedikit agar mereka tidak curiga, dan menaruhnya di ujung piring tanpa tercampur ataupun tersentuh.

Aku jadi cemburu melihat Wita dan Lina yang makan daging rendang dengan lahapnya. Banyak sih makanan di meja tapi aku gak berani sentuh. Apalagi melihat gaya makan Pak Beni yang sibuk bisik-bisik dengan Nadya dengan gaya mesum, membuat aku merasa makin gak nyaman.

Pasti nanti di rumah Kak Titien aku akan makan enak, balas dendam. Akhirnya benar juga, tak satupum makanan masuk dalam mulutku.

“Kring…kring…” Hapeku berbunyi, sebenarnya itu bunyi alarm, tapi sengaja ku pakai ringtone.

“Hallooo…” Actingku terdengar meyakinkan. Dion tampak agak bingung memikirkan bagaimana hape-ku masih berfungsi.

“Iya, aku sudah di New York, kamu kesini aja, bareng sama Dickhead. Bawa aja semua, makin banyak orang, tambah rame, kan? Aku sudah share loc via WA kan?” Kataku membuat mereka kaget. Tentu saja walaupun mereka sembunyikan, aku bisa melihat gerak gerik Pak Beni dan Dion yang kaget dengar penyampaianku. Mereka menyangka kalo teman-temanku akan datang dan kalo aku sudah share lokasi dari tadi.

Agaknya bluffing-ku berhasil. Sikap mereka menjadi lain.

“Cher, hape kamu masih ada batrei?” Tanya Dion penasaran.

“Tinggal sedikit sih, aku boleh nge-charge?” Tanyaku balik sambil menunjukkan chargerku.

“Eh, nanti aja, kita langsung ke rumah Titien kok!” Katanya bingung.

“Iya, sebaiknya kita cepat ke sana!” Tambah Pak Beni.

“Oke, baiklah.” Semua setuju, tanpa ia sadar, itulah yang ku mau. Pas Lina dan Wita sudah selesai makan.

Aku langsung pura-pura atur piring seusai makan, padahal tak satupun makanan masuk mulutku. Dan mereka tidak memperhatikan piringku lagi.

——

Di perjalanan Wita dan Lina tampak ngantuk, tertidur. Aku juga pura-pura ngantuk, dan tertidur, tapi pasang telinga baik-baik. Tadi mereka tanyakan soal kawan-kawanku, dan aku jawab aja kalo sudah ku sms, nanti ketemu langsung di rumah Titien.

Ketika keluar jalan besar, aku sengaja menurunkan jendela untuk jaga-jaga. Dion sempat protes, tapi aku bilang aja kalo pusing. Apalagi mobil Pak Beni dan Nadya terus membuntuti kami, bersama seorang sopir.

Begitu sampai di rumah Titien, hari sudah sore, dikit lagi sudah gelap. Memang kalo musim ini matahari makin cepat masuk. Kami gak perlu panggil lagi, karena gerbang lagi terbuka, sementara suara anjing terdengar keras mengonggong di dekat kolam. Untuk sekilas, tatapan ku terarah ke arah kolam, melihat beberapa anjing yang besar sedang menyerang dua orang cowok.

Ngeri juga kelihatannya.

Aku cepat-cepat keluar dari mobil, siapa tahu bisa membantu.

Sayang sekali aku kurang perhatian apa yang terjadi disekitarku. Tampak Kak Titien keluar rumah dikejar seorang cowok berkulit hitam. Begitu melihatku, ia tercekat dan berteriak kuat…

“Cherrie! Astaga” Hanya itu kata yang keluar. Ia kelihatannya kaget bercampur ketakutan.

Aku segera berpaling dan mulai berlari menyambutnya, sampai aku sadar ada orang dibelakangku. Orang itu kini memegang tanganku kuat-kuat.

“Pak Beni, ada apa ini?” Pak Beni sedang membidikkan sebuah pistol kepadaku. Tak lama kemudian aku melihat Kak Titien mengangkat tangan menyerah, dan langsung ditangkap oleh cowok berkulit hitam tadi.

“Astaga!” Segala sesuatu terjadi dengan cepat, butuh waktu bagi otakku untuk memprosesnya. Tapi yang pasti kami sudah tertawan oleh komplotan Pak Beni, dan Kak Titien sekarang di bawah kekuasaan cowok berkulit hitam tadi.

Terdengar pula suara Wita dan Lani yang protes, tapi kemudian mereka berdiam diri setelah diteriaki oleh Dion. Juga sopir Pak Beni ikutan memarahi mereka. Aku benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.

Ternyata Dion bagian dari komplotan mereka.

——

POV Marcos

“Tien hati-hati… jangan dulu!” Aku menasihati Titien yang ingin segera keluar ketika anjing-anjing menyerbu Boy dan Deni.

Tapi peringatanku tidak digubrisnya.

Titien justru berlari keluar ketika melihat dua mobil yang masuk. Dari jauh jelas isinya anak-anak muda, ada sepasang cowok dan cewek didepan, dan dibelakang ada dua cewek yang sedang tidur. Pasti habis jalan jauh, melihat begitu banyak barang yang mereka bawa.

“Itu Cherry…!” Katanya, sambil lari keluar.

Tapi, kenapa ada mobil kedua? Bukankah itu Pak Beni? Aku bertanya-tanya. Pasti ada sesuatu yang buruk. Dengan segera aku mengejar Titien.

“Titien… stop it, stay where you are!” Aku berteriak hendak mengejarnya dan menyuruhnya berhenti.

Apa yang kutakutkan terjadi, Cherrie keluar hendak menemui Titien, dan Pak Beni dengan cepat menangkap cewek itu lalu menodongnya. Titien langsung berhenti dan terdiam…

“Hohoho… you cannot run away, bitch!” Dengan cepat aku langsung acting untuk menangkapnya kembali. Dari cara aku lari, jelas aku sedang mengejarnya.

Titien menatapku kaget. Tetapi aku terus menjalankan actingku, hanya ini cara satu-satunya untuk menyelamatkan Titien. Apa lagi kedokku belum terbuka, kedua cowok yang dikejar anjing tadi tidak tahu kalo aku bersekongkol dengan Titien.

Terlihat juga seorang cowok menahan kedua cewek di mobil sedang sopir Pak Beni juga ikutan menyuruh mereka diam.

Setelah menangkap kembali Titien, dan menyeretnya rambutnya dengan kasar, aku melirik ke belakang melihat apa yang terjadi dengan Deni dan Boy. Mereka berdua masih berada dalam kolam, dan dikelilingi anjing-anjing yang ganas. Dari luka-lukanya yang cukup parah, kelihatan kalo keduanya sempat digigit oleh anjing-anjing tersebut.

Tak lama kemudian Dion mendekat dan hendak menolong mereka.

“Dorrr… dorrr… dorrr” Gak kuat sih kedengarannya, tapi efeknya fatal.

Tiga suara tembakan meletus dari senjata yang sudah berperedam tersebut. Dengan segera tiga ekor anjing yang mengelilingi mereka rubuh ke tanah dan mati. Sedangkan anjing-anjing lain langsung lari keluar ketakutan.

Dari jauh aku melihat wanita tua pemilik anjing itu menjauh sambil memanggil anjing-anjingnya. Pasti ia sedih sekali melihat tiga anjing miliknya harus tewas menggenaskan.

Apa dia akan bawa polisi kesini? Kayaknya gak juga sih. Soalnya anjingnya yang duluan menyerang ke dua cowok itu, sehingga penembakan anjing dapat dilihat sebagai tindakan bela diri.

Sementara Boy dan Deni masih tergeletak kesakitan. Kaki dan tangan mereka dipenuhi luka gigitan. Tak lama kemudian Pak Beni menyuruh sopirnya yang tadi membawa keduanya untuk dirawat. Sementara itu aku sudah membawa Titien ke dalam rumah.

“Marcos, selamatkan Cherry, itu adik iparku. Tolong dia supaya bisa lolos!” Kata-kata Titien yang lirih tidak didengar orang lain. Bukan main gadis ini, sudah dalam masalah besar, masih aja ingin menyelamatkan orang lain.

Tak lama kemudian Pak Beni bertanya-tanya kepadaku apa yang terjadi. Aku menceritakan kronologis bagaimana Edo bisa lolos, dan Boy serta Deni dijebak dengan anjing-anjing. Aku juga cerita kalo awalnya aku ingin ikut mengejar, tapi melihat kalo Titien hendak tutup dan mengunci pintu, maka aku berbalik dan kembali menawannya. Kami sempat berkejaran dalam rumah, dia sempat menipuku dan hendak lari keluar.

“Untung aja aku cepat datang… kalo tidak dia sudah lolos!”

“Gak mungkin, aku hanya dua meter dibelakangnya. Sebelum mencapai pagar, pasti aku sudah dapat mengejarnya.” Jawabku membela diri.

“Kamu harus lebih hati-hati lagi, gadis ini banyak akalnya. Lihat saja apa yang terjadi dengan Boy, terus Edo juga sudah lolos.”

Aku hanya diam tidak menjawab Pak Beni yang sudah emosi. Ia menganggap Boy dan Deni terlalu mudah dibodohi.

Tak lama kemudian Pak Beni menyeret Titien dengan kasar dan membawanya ke kamar. Jelas ia marah kepada gadis ini. Awalnya aku hendak ikut tapi dilarang. Selain itu tatapan Titien jelas menyuruhku menjaga gadis yang bernama Cherry.

——

POV Cherry

Di dalam rumah kami diperlakukan dengan kasar, dan dipaksa duduk dj kursi. Kami duduk dengan tegang. Menanti apa yang akan terjadi. Terdengar isak dari Lina.

Tak lama kemudian, terdengar suara keras di kamar, tempat Kak Titien disekap oleh Pak Beni. Jelas orang tua itu marah-marah kepada Titien yang dianggap sebagai penyebab Boy dan Deni harus cedera dan masuk RS. Pasti Kak Titien lagi dipukul dan diperlakukan dengan kasar, tadi aja dia disandera si cowok kulit hitam, yang memarahinya dengan kasar dan menjambaknya. Jelas masih ada bekas pukulan di wajahnya. Di depan Pak Beni Kak Titien masih juga di pukul oleh cowok berkulit hitam yang kejam itu.

Rasanya aku mau balas perbuatan cowok itu. Tapi apa dayaku… Oh yah, tadi diperkenalkan namanya Oz.

Tak lama kemudian cowok itu menyuruh kami berdiri lalu mengikat tangan kami di belakang. Sementara itu, tangan mereka berdua dengan nakal main colek sini sana. mereka memperhatikan kami dengan nafsu, malah sampai mengendus-ngendus dengan nafas memburu. Ia bahkan sampai mengendus leherku…ih, jijik.

Aku merasa stress, cowok kulit hitam itu kelihatannya tak mau melepaskanku. Tampangnya sangat menakutkan walaupun sebenarnya ia ganteng juga kalo tersenyum. Dengan kasar kami disuruh aku berputar seakan-akan mau melihat tubuh ku dengan jelas. Merasa belum cukup, mereka sampai mengelilingi kami seperti singa yg memilih-milih mangsa, eh, mungkin lebih tepat seperti budak yang dipamerkan untuk dijual.

Lina masih terisak, mungkin ia terpukul karena perlakuan Dion yang menjadi pengkhianat. Wita pun dari tadi dengan wajah tertunduk, sedangkan aku mengeraskan rahangku dan menatap mereka dengan berani. Aku mau menyampaikan pesan kalau aku tidak takut dengan mereka.

“Wah, cantik-cantik, kayak nya yang ini masih segar!” Suara Oz terdengar menakutkan. Sedangkan Dion mulai meraba-raba tubuh Lina pacarnya yang juga sudah terikat. Lina berteriak protes…

“Eh, jangan sentuh Lina. Perawannya itu milik Jefry.” Kata Pak Beni dari balik jendela. Mungkin sekali ia sudah kenal suara cewek itu. Aku memutar otak, agaknya mereka adalah komplotan penjaja wanita. Dan Lina yang masih perawan pasti mendapat harga yang tinggi.

Dion mengalihkan perhatian kepadaku, tapi dimarahi oleh Oz. Dengan mata yang tajam ia menantang Dion, sehingga cowok itu harus menjauh dan memfokuskan perhatiannya kepada Juwita.

Berarti aku harus melayani Oz malam ini. Aku bergidik memikirkan hal itu. Ini akan menjadi kali pertama aku main dengan cowok berkulit hitam… aku jadi ingat bokep yang pernah ku tonton dengan tajuk BBC. Apa miliknya sebesar itu juga? Ihhhh…

‘Cherrie… Cherrie… kok bisanya kamu terpikir sampai begitu. Kamu akan diperkosa, tahu! Dasar… apa mungkin karena aku sudah lama gak ngentot yah? Hihihi…

“Kenapa kamu senyum-senyum?” Suara Oz mengema didepanku membuat aku kaget. Tapi entah kenapaku tidak takut padanya, dan menganggap gertaknya kosong belaka. Tapi aku diam aja.

“Kau kurung dulu dia di kamar, sekalian atur barang-barang bawaan mereka. Aku mau mereka mandi dulu baru kita berpesta!” Kata Oz menyuruh Dion. Dengan segera Dion membawa Lina ke kamar, sementara Oz menjaga kami berdua.

Kami disuruh duduk sementara kedua cowok itu mengatur barang-barang.

Tak lama kemudian aku juga dibawa Oz ke sebuah kamar dan disuruh mandi. Koperku juga dibawa masuk, sehingga aku bisa ganti. Dengan enggan aku pergi mandi, mengikuti perintahnya. Bukannya aku tak mau melawan, tapi aku juga sudah ingin sekali mandi, setelah menempuh perjalanan jauh. Mungkin saja sehabis mandi otakku sudah dapat berpikir jernih mencari jalan keluar.

Ini semua salahku sendiri, nyesal aku tak dengar kata-kata Aldo tadi.

Eh iya, tadi sebelum mandi Oz sempat membuka ikatanku, supaya aku bisa mandi dengan enak. Ia juga mengijinkanku membawa pakaian ganti dan handuk. Begitu menutup pintu mataku langsung menjelajah di seantero kamar mandi. Mungkin ada sesuatu di kamar mandi yang bisa kujadikan senjata melawannya.

——

Aku keluar kamar mandi pelan-pelam, pintu sengaja ku buka dengan hati-hati agar tidak diketahui cowok itu. Aku mengintip dulu dan mendaptati kalo Oz sibuk menelpon seseorang. Entah siapa yang dihubunginya.

‘Ini mungkin saatnya…’ Aku melahkah mendekat sdari belakang tanpa ia sadari.

“Bruk” Aku mengayunkan tangakku memukul kepalanya dengan sekiat tenaga. Sayang sekali Oz mendengar gerakanku dan sempat mengelak. Namun pukulanku dengan ember sabun tetap mengenai bahunya.

“Aduhhh” Oz meringis, lalu berbalik menghadapku. Aku langsung deg-degan, apa ia akan marah lalu menyerangku balik

Aku mengayunkan lagi tanganku, mencoba memukul dia dengan tangan kosong, karena ember tadi sudah terlepas. Oz mengelak dan hanya melihatku, tidak berteriak apa-apa. Apa dia tidak rasa sakit dengan pukulanku? Aku mengamuk pukul dan tendang sekuat tenaga. Oz tidak melawan, hanya mengelak ataupun menangkis.

“Cher.. dengar dulu..!” Katanya tenang.

“Aku benci kamu” Teriak ku masih marah sekali karena melihat ia menyiksa Kak Titien tadi. Makian terus keluar

“Cher…” Ia memanggilku lagi, sambil menggiring aku ke sudut. Suaranya lembut sih, tidak mengancam, tapi aku belum mau ngomong.

Aku masih terus diam ketika Oz menelpon ke seorang bernama Hackie, ia sempat menjelaskan situasinya, dan minta ngomong dengan Edo.

“Cher, mungkin kamu tidak mengenalku, tapi aku Edo, teman baik Titien” Oz sengaja menaruh percakapan di speaker supaya aku dengar.

“Edo? Edo siapa?”

Tak lama kemudian Edo menjelaskan situasinya padaku. Awalnya aku masih ragu, tapi kemudian kata-kata Edo selanjutnya buat aku diam. Edo bilang, “Kamu nanti percaya kalo aku telpon Doni?”

Heloo, gak mungkin kan aku bilang ke Doni kalo lagi terjebak disini bersama cowok kulit hitam yang ganteng dengan onderdil ala BBC.

“Kamu kenal Doni?” Hanya itu yang keluar.

“Adik kandung Titien? Yah iya lah. Aku sambung ke Doni yah?”

“Gak usah... jangan.”

“Aku teman baik Titien. Kami semuq nerusaha agar pelaku dapat ditangkap. Titien sengaja berpura-pura tertawan, agar dapat mencari pelaku sebenarnya. Dickhead dan Darla juga sedang dalam perjalanan kesini.

“Kamu kenal mereka?”

“Shaun? Pastilah, udah ku bilang aku teman baik Titien. Darla itu pacarku. Terus, almarhum Nando adalah teman dekatku.” Jelas Edo. Kali ini aku tidak ragu lagi.

Oz langsung menutup telpon.

“Kalo begitu kamu jelaskan semua apa yang terjadi…” Kataku menuntut.

“Iya, beres. Tapi aku mandi dulu yah? Eh nama ku sebenarnya Marcos!” Kata Oz. Sejak itu aku memanggilnya Marcos, dan mau tak mau aku kini mempercayainya.

“Jadi kamu menyusup?” Aku bertanya setelah penjelasannya.

“Iya!”

“Siapa yang suruh?”

“Titien, ia teman baikku.”

“Tapi kenapa kamu kasar padanya? peke jambak dan pukul dia lagi!”

“Supaya samaranku tidak terbongkar! Aku harus tunjukan ke mereka kalo aku di pihak mereka. Titien sengaja menjebak dua cowok itu dengan anjing-anjing, lalu membuat Edo melarikan diri. Jadi dia kayaknya lagi dihukum.”

“Oh gitu, yah?”

“Iya, nanti ku jelaskan semua sehabis mandi. Eh, tadi aku bawa makanan untukmu. Makanlah, kamu butuh banyak tenaga.” Kata Marcos lagi.

Dan dengan kata-kata itu Marcos meninggalkanku, dan pergi mandi.

Aku baru sadar kalo cowok ini perhatian banget.

—-

Aku masih sementara makan ketika pintu kamar mandi terbuka, dan Marcos keluar.

Keluar kamar mandi, cowok itu hanya pake handuk doang, yang dililit di pinggangnya. Alasannya klasik, bajunya ada di kamar bawah, ada Pak Beni dan Titien. Gak mungkin pergi ambil.

“Kamu gak masalah kan?” Katanya sopan, mengingatkan aku akan kondisinya. Aku mengangguk saja.

Sebenarnya aku jadi stress, sih… Cowok BBC ganteng ini macho banget. Apa lagi dadanya yang kekar dan berotot bikin silau mata.

“Kamu tidur aja nanti aku jaga!” Ia memperhatikanku.

“Ok!” Dengan segan aku pergi ke tempat tidur.

Marcos perlakukan dengan myaman, menurutnya ia disuruh Titien jaga aku. Kak Titien gitu. Kalo tadi aku sempat waa-was kalo ini akan jadi BBC pertama, eh ternyata...

‘Apa aku kecewa? Hahaha…’

Aku melihat Marcos tertidur di sofa, ia juga butuh istirahat. Aku segera membangunkannya dan menyuruhnya tidur di tempat tidur.

“Tapi kamu?”

“Gak apa-apa Marcos, kan kasurnya besar!”

Aku pun langsung tidur disampingnya. Tak lama kemudian aku mendengar suara mendengkur halus, ia sudah tertidur. Sementara aku masih deg-degan tidur disamping orang kulit hitam. Mana cuma pake handuk yang menutupi bawahannya lagi.

“Eh…” Aku terpekik. Marcos berputar dan berguling ke arahku, ia malah mendekapku dengan tangan berotot, dan keharuman macho keluar dari tubuh telanjang ia. Ia masih tertidur. Aku membiarkan saja.

Setelah beberapa waktu dipeluk cowok itu, entah kenapa kini aku merasa nyaman.

Aku mulai memikirkan soal Kak Titien. Orangnya hebat, sengaja berpura-pura lemah dan takut, tetapi ternyata sudah menyiapkan pasukan untuk menyerang balik. Kak Titien banget.

Gak heran ia terkenal jago atur strategi. Aku jadi ingat cerita Doni kalo kakaknya pernah menjebak dan menghancurkan geng Kobe, bahkan mengalahkan pembunuh bayaran yang mengejar-ngejar kak Ryno. Aku makin respek kepadanya.

Marcos sudah nyenyak tertidur, aku gak boleh ganggu dia. Padahal aku sudah haus.

Pas ia berbalik, aku langsung bangun dan membuka pintu. Aku keluar kamar pelan2, cari kamar Kak Titien, siapa tahu aku bisa membantu. Tapi kemudian aku mendengar suara Kak Titien merayu Pak Beni, dan kayaknya Pak Beni sudah terkena kata-katanya. Kata-katanya keluar meyakinkan Pak Beni kalo ia akan kerja sama. Entah apa maksudnya.

Yang pasti Kak Titien ada baik-baik aja.

Aku pergi ke kamar lainnya, disini kayaknya Juwita lagi disekap. Mudah-mudahan ia baik-baik aja. Eh suara apa itu? terdengar suara cewek lagi mendesah.

Aku jadi penasaran lalu mencoba mengintip mereka. Kebetulan pintunya gak dikunci dan aku bisa membuka kecil…

“Astaga!” Aku jadi kaget melihat kelakuan Juwita dan Dion. Keduanya lagi ngentot, dan jelas ini perbuatan suka sama suka, tanpa ada pemaksaan.

Dion lagi berbaring, tangannya terus menjelajah dada Juwita yang sementara meliukkan badan dalam posisi WOT diatasnya. Keduanya hot banget…

Dengan lihainya Dion mengimbangi pergerakan cewek itu, dan ikut menusuk dari bawah. Jago juga cowok itu, Eh, onderdilnya cukup besar juga, sih. Aku jadi ingat milik Doni kekasihku... Pantesan Juwita ngak mendesah terus dari tadi.

Tak terasa memek ku mulai basah. Udah cukup lama milikku belum ketemu lawan, terakhir waktu di Las Vegas bersama Shaun dan Ryno. Ih…. aku jadi nafsu… benar-benar pingin ngesek. Eh, apa ku goda Marcos aja, hihihi. Dasar!

Dari pada stress aku langsung menutup pintu, dan sebelum balik kamar aku sempat pergi minum dari dispenser di ruang keluarga. Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki, dengan segera aku cepat-cepat naik.

Pas masuk kamar, kembali pemandangan Marcos tidur, gak pake baju terhampar didepanku. Kali ini ada yang mengintip di balik handuk yang mulai terbuka dikit. Ih, bikin menggoda banget!

Aku merasa pakaian yang kukenakan gak nyaman untuk tidur. Segera kubuka lemari di kamar, dan dapat daster tipis. Langsung saja aku ganti, gak pake bra lagi. Setelah itu aku tiduran lagi di tempat tidur, persis disamping cowok itu.

Aku merasa tubuhku agak panas, masih terbayang adegan panas Wita dan Dion tadi. Eh, apa aku terangsang yah! Entah kenapa tubuhku menggeliat, makin lama makin gak tahan. Gairah memenuhi tubuhku membuat aku kepanasan dan mulai menempelkan bagian-bagian tubuhku kepada cowok itu. Marcos yang tidur disampingku jadi terbangun.

“Cherry ada apa?”

“Eh gak!” Cowok itu menatapku dan memperhatikan dengan seksama. Apa ia tahu kalo aku sudah terangsang hebat.

“Kamu pergi minum air tadi?” Tanya Marcos.

“Iya… ahhhh” Jawabanku disertai desahan.

“Dispenser?”

Aku mengangguk… menutup mulutku erat-erat.

“Astaga!” Kata cowok itu. “Aku baru konsultasi dengan Havkie kemarin, dispenser udah ditaruh perangsang. Tadi disuruh minum air di dapur!”

Kami berdiam diri, sementara aku mencoba mencerna kata-katanya. Pantesan aku merasa sange, barusan minum perangsang dari dispenser. Aku kini menyadari nafsu sudah diubun-ubun ini butuh penyaluran.

“Marcos…” Aku menatapnya dengan nafsu. Tangannya aku genggam erat. Fix deh, cowok ini akan menjadi pengalaman BBC ku yang pertama.

“Kenapa?” Marcos balas menatapku, ada senyum di simpul bibirnya.

“Tolong aku?” Aku meremas tangannya, pasti ia mengerti.

“Cher, sebaiknya kamu tidur aja. Tahan yah, lama-lama perangsangnyanya akan hilang kok!”

“Tapi aku gak tahan!” Aku merem menahan nafsu, cowok ini kayak gak ngerti aja.

“Terus kenapa?” Cowok itu tersenyum menatapku.

“Ihhhh, gak peka!” Aku menarik tangannya di dada, pasti toket kenyal tanpa balutan bra itu dapat dirasakannya.

“Tapi janji jangan bilang ke Titien yah?” Katanya lagi.Aku mengangguk, dan Marcos tersenyum.

Tak lama kemudian tangan Marcos mulai meraba-raba dadaku, terasa banget. Aku langsung mendesah sambil mengutuki diri sendiri

“Dasar!”

BERSAMBUNG YAH!
 
Finally ada lanjutan nya.
Terima kasih hu updated nya, semoga berikut lancar" aja :ampun:
 
Kemarin lalu update muncul, dan berharap update berkala. . Ternyata PHP
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd