Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2

Bimabet
Mananti detik2 terakhir nafas gilang yg sekarang sedang terbaring lemah di Rumah Sakit Harapan Kita .. Bangsal kencana no.12 A Lantai 2 kamar paling ujung sebelah ruang penjaga dg waktu besuk jm 5 sore s/d jm 7 malam 😲
 
lek ngene iki sing njancukiii,

kalau gilang dimatikan sekarang kemungkinannya ada sih dan joko yanng akan melanjutkan perjuangan gilang karena masih banyak PR dalam mengejar impiannya. Atau apakah judul impian itu hanya sebatas impian karena tokoh utamanya di matikan ???????

Kalau gilang hidup dia akan menjadi lebih wise dan menghargai hidup ini lebih lagi, dan semua orang akan menjadikannya panutan sebenarnya

wes lah ngono wae, sedih
 
Waduuuhhh biyuuung,,lha kok POV Zaki disini kontradiktif sekali dengan cerita disebelah.bikin pusing pala stepen.
1. Kalau ternyata Zaki sebaik itu,,apakah hanya gara2 dia anggota seven devils dan juga penghuni kos blackhouse? (Nasehatnya Zaki itu lho,,,ga nguati sebagai antagonis).
2. Kalau ternyata Gilang memang mati (dan sesuai prediksi ane) berarti tokoh utama beralih ke perjalanan Joko? (Jadi masuk akal kalau seandainya Joko beneran jadi antagonis di cerita matahari)
3. Jancuuuuuukkkk suhu kok bisa mikir sampai ceritanya seperti ini,,saluuuttt
Kalau Gilangnya mati yaa selesai maas ... TAMAT ... Gak usak pakai mikir 🤣
 
Mungkinkah joko semakin jauh masuk dalam prasangka kesalah pahaman tentang org" yg sebenernya sudah membantu gilang (keluarga jati & ranajaya) hingga akhirnya timbul dendam panjang ke keluarganya (Sandi keturunan jati & ranajaya)
Hanya suhu @Kisanak87 yg bisa menjawab semua, cuma bisa menunggu update selanjutnya semoga segera terjawab semuanya
 
lek ngene iki sing njancukiii,

kalau gilang dimatikan sekarang kemungkinannya ada sih dan joko yanng akan melanjutkan perjuangan gilang karena masih banyak PR dalam mengejar impiannya. Atau apakah judul impian itu hanya sebatas impian karena tokoh utamanya di matikan ???????

Kalau gilang hidup dia akan menjadi lebih wise dan menghargai hidup ini lebih lagi, dan semua orang akan menjadikannya panutan sebenarnya

wes lah ngono wae, sedih
Saya tegaskan sekali lagi yaaa ....
Nek gilang wis mati yo wis rampung titik ... Ora usah kakehan mikir ...
Wong lakon kok mati ... Yo wis bubar tho???
 
Mungkinkah joko semakin jauh masuk dalam prasangka kesalah pahaman tentang org" yg sebenernya sudah membantu gilang (keluarga jati & ranajaya) hingga akhirnya timbul dendam panjang ke keluarganya (Sandi keturunan jati & ranajaya)
Hanya suhu @Kisanak87 yg bisa menjawab semua, cuma bisa menunggu update selanjutnya semoga segera terjawab semuanya
Sependapat sama pemikirannya om. Joko ini kalau sudah meledak ledak emosi tidak bisa di kontrol, di cerita ini hanya Gilang yg bisa menenangkan Joko meredam emosinya. Seandainya Gilang meninggal di cerita ini, gak bisa kebanyang kemarahan Joko bakal menakutkan. Apalagi dia selalu punya berprasangka buruk kepada keluarga Jati dan Pondok Merah. Peluang Joko jadi antagonis kedepannya sangat besar sekali apalagi dia berteman dekat dengan Zaky, Zaky yang sangat dekat dengan Black House bisa aja mempengaruhi Joko dari orang baik menjadi orang jahat. Apalagi kalau Cakra yang turun langsung buat mencuci otaknya Joko mengerikan sekali dah. Tapi ini pendapat saya sih semoga kecurigaan saya gak terjadi. Sedih saya Gilang yang masih muda mendapatkan cobaan yang begitu berat semoga dia bisa sembuh.
 


BAGIAN 38
SAKITNYA LUAR BIASA



Hujan semakin deras dan dikuti dengan angin yang berhembus sangat kencang. Pohon – pohon besar yang berada digerbang hutan terlarang, bergoyang kekanan dan kekiri. Alam seperti sangat tidak ramah dengan kedatanganku kali ini dan ingin menunjukan kemurkaannya kepadaku. Entah kenapa seperti itu, tapi yang jelas itu tidak mengurangi sedikitpun niat yang ada didalam diriku. Rasa takut dan juga keraguan, aku singkirkan jauh – jauh dari pikiranku. Suasana seperti ini, justru semakin menantangku untuk masuk kedalam.

Hiuutttfff, huuuuu.

Aku tarik nafasku dalam – dalam, setelah itu aku keluarkan perlahan. Aku bersihkan wajahku yang dipenuhi air hujan dengan telapak tanganku, lalu aku menatap lurus kedepan.

Jalan masuk kedalam hutan terlarang masih tertutup dan aku belum menemukan petunjuk sedikitpun.

Burung rajawali dengan bulu berwarna hitam pekat dan mata yang berwarna merah, tetap hinggap disalah satu ranting pohon besar. Burung rajawali itu terus melihat ke arahku dan aku menemukan keanehan disana. Pohon yang dihinggapi burung rajawali itu, tetap tegak berdiri dan tidak bergoyang sedikitpun. Itu sangat berbeda dengan pohon – pohon lain yang ada disekelilingnya. Pohon lainnya bergoyang dan melambai, mengikuti kencangnya angin yang berhembus.

Apa ini salah satu petunjuk.? Kelihatannya aku harus berjalan ke arah pohon yang tidak bergerak itu, untuk memastikan petunjuknya.

Clap, clap, clap.

Kilatan petir yang terlihat ditengah hutan, tidak di ikuti dengan suara yang menggelegar. Cahaya kilatan petir itupun, sempat menerangkan sejenak hutan yang sangat gelap itu.

Aku lalu berjalan ke arah pohon yang tidak bergerak itu, dengan langkah yang sangat mantap sekali. aku juga tidak menoleh ke arah belakangku, karena itu pasti akan membuat langkahku ragu dan itu bisa saja menyesatkan aku.

Dan ketika aku sudah didekat pohon yang tidak bergerak itu, muncul seekor macan kumbang dari balik pohon. Macan itu berwarna hitam dan bola matanya berwarna bening yang bersinar terang. Tatapan macan itu terlihat buas dan mengerikan. Macan itu seperti sedang kelaparan dan ingin memangsa tubuhku.

Lalu tiba – tiba dibelakang macan kumbang itu, berdiri sesosok bayangan hitam yang menggunakan jubah. Mahluk itu berdiri dan juga menatap ke arahku dengan tajam.



Macan Kumbang

“AUURGMMMMMM.” Auman macan itu menggelegar.

Mulutnya terbuka lebar dan menunjukan taring – taring giginya yang sangat tajam sekali.

Aku lalu menghentikan langkahku dan macan itu tetap berdiri didekat pohon.

Cok. Aku belum pernah melihat macan kumbang itu dan juga makluk dibelakangnya, selama aku bermain didalam hutan sana waktu itu. Apakah kedua makluk ini penjaga pintu gerbang hutan terlarang.? Tapi kenapa aku tidak pernah mendengar kisahnya.? Ahhh, persetanlah. Tidak ada jalan lain dan tidak mungkin aku menghindari macan kumbang itu. Aku harus berjalan ke arahnya dan aku harus bersiap melawannya, kalau dia menerkamku.

Aku laku memejamkan kedua mataku, sambil merentangkan kedua tanganku ke arah bawah. Aku tarik nafasku dalam – dalam dan aku mengumpulkan semua kekuatan yang ada didalam diriku.

Hiuuffttt, huuuu.

“Jadi kamu sudah membulatkan tekatmu, untuk melepaskan kekuatan yang ada didalam dirimu.?” Terdengar suara dari seseorang dan aku langsung membuka kedua mataku.

Simbah bermata hitam penjaga Desa Banyu Bening, berdiri dihadapanku dan kami berada jauh dari hutan terlarang.

“Iya Mbah.” Jawabku dengan tenangnya.

“Apa kamu tau resikonya kalau kekuatanmu ini kamu lepaskan.?” Tanya Simbah.

“Resikonya pasti lebih ringan, dibandingkan kalau aku tetap mempertahankan kekuatan ini didalam tubuhku Mbah.” Jawabku.

“Ada atau tidak ada kekuatan itu didalam tubuhmu, kalau sudah waktunya musibah untuk datang, ya tetap datang le.” Ucap Simbah.

“Tapi setidaknya, bukan mendatangkan musibah dengan cara disengaja, apalagi sampai mengorbankan orang – orang yang kita sayangi.” Ucapku.

“Terus kalau sampai kekuatanmu lenyap, apa itu tidak makin membahayakan keluargamu.? Kalau sampai terjadi sesuatu, apa kamu bisa melindungi mereka, dengan kekuatanmu yang seadanya.?” Tanya Simbah lagi.

“Segala sesuatu yang terjadi pada diriku, pasti sudah diperhitungkan oleh Sang Pencipta. Tidak mungkin Sang Pencipta mendatangkan suatu perkara kepadaku, melebihi batas kemampuan tenaga atau pikiranku Mbah.” Jawabku.

“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu untuk mempertahankan kekuatan yang ada didalam dirimu. Itu adalah hakmu dan semua keputusan ada ditanganmu.” Ucap Simbah.

“Terimakasih Mbah.” Ucapku.

“Simpan ucapan terimakasihmu, karena saat ini kamu belum melepaskan kekuatan yang ada didirimu. Dan itu berarti, kita akan bertemu lagi.” Ucap Simbah dan tiba – tiba, cahaya yang sangat terang muncul dari tubuhnya dan itu membuat kedua mataku silau.

Aku menolehkan wajahku sambil menutup kedua mataku dengan lengan kananku, lalu beberapa saat kemudian aku membuka kedua mataku lagi, sambil menurunkan lengan kananku.




“AUURGMMMMMM.” Suara macan kumbang itu mengaum lagi dan membuatku langsung terkejut.

Aku lalu melihat ke arah macan itu dan makluk itu mulai berjalan ke arahku dengan pelan. Tatapan mata nya sangat tajam dan terlihat sangat marah sekali.

Cok. Aku akan melawan makluk menyeramkan ini, sekuat tenagaku. Entah dia beneran macan kumbang ataupun makluk jadi – jadian.

Hiuuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku tatap makluk itu sambil mengepalkan kedua tanganku dengan kuat, lalu aku bersiap untuk berlari ke arahnya.

“SEMONGKO.!!!” Teriakku lalu aku berlari ke arah makluk itu dan dia juga berlari ke arahku.

“AUURGMMMMMM.” Macan itu berlari sambil mengaum.

Dan ketika sudah berdekatan, aku meloncot sambil mengarahkan kepalan tanganku ke arah jidat macan kumbang itu. Macan kumbang itu juga meloncat, dan.

BUHHHGGGG.

“HUUUPPP.” Nafasku terasa sesak dan dadaku sangat sakit sekali.

Pukulanku yang mengarah ke jidat kumbang itu belum sampai mengenai sasaran, tapi kedua kaki depannya sudah menghantam dadaku dengan keras. Tubuhku melayang kebelakang dengan kedua kakinya yang terus menginjak dadaku.

BUMMMMMM.

Punggung dan kepala belakangku menghantam ke tanah dengan keras dan itu membuat pandanganku gelap sesaat, lalu kepalaku berkunang - kunang.

“Hup, hup, hup.” Nafasku terasa sakit dan berat, karena macan itu menginjak dadaku.

Aku terlentang ditanah dengan pandangan berbayang dan derasnya hujan terus membasahi wajahku.

“Auurgmmmmmm.”: Macan itu mengaum pelan, sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Hembusan nafasnya sangat terasa diwajahku dan terlihat sekali dia ingin segera memakanku.

Bajingan. Apa hanya sampai disini perjalananku dan apa hanya segini kekuatanku.? Apa aku sudah takluk, padahal aku belum masuk kedalam hutan sana.? Apa itu berarti aku gagal dan itu berarti aku akan kehilangan Bapakku.?

Djiancok. Aku tidak boleh menyerah dan aku harus cepat bangkit, untuk mengalahkan macan kumbang ini.

Tapi bagaimana caranya.? Macan kumbang ini sangat kuat dan pasti sangat sulit untuk ditumbangkan.

Oh iya. Kekuatanku kan masih ada dan aku bisa menggunakannya, untuk melawan makluk ini. Aku akan menggunakannya untuk yang terkahir kali, sebelum aku melepaskannya nanti.

Tapi bagaimana aku memanggil kekuatan itu.? Apa kedua makluk itu masih mau membantuku, padahal tujuanku kehutan ini untuk membuangnya.?

Tiba – tiba aku merasakan sakit yang sangat luar biasa didadaku. Kulitku dadaku disayat dan sangat perih sekali.

“Arrgggghhhhh.” Ucapku yang menahan rasa sakit ini.

Aku lalu melirik ke arah dadaku. Kaki kiri bagian depan macan itu tetap menginjak dadaku, sementara kaki kanannya mencakar dadaku dari atas lalu turun kebawah. Kuku – kuku tajam macan kumbang itu merobek pakaian yang aku kenakan, sampai menembus dan menggores kulit dadaku.

Goresan itu menimbulkan sakit yang sangat luar biasa, sampai kedua air mataku mengalir.

“AARGGGGHHH.” Aku berteriak kesakitan dan darah sudah memenuhi dadaku.

Macan kumbang itu terus menatapku dengan buas dan terus menyiksaku.

Rasa sakit ini membuat pandanganku semakin kabur dan kembali aku berteriak dengan kuatnya.

“ARRGGGHHH.” Aku berteriak dengan emosi yang mulai terbakar dan pandangan mataku yang berbayang mulai menghitam.

Seluruh tubuhku tiba – tiba memanas dan darahku seperti terbakar. Ragaku menjerit dan itu membangkitkan jiwa kegelapan di dalam diriku. Aku ingin membantai makluk yang ada dihadapanku ini, sekarang juga.

“ARRGGGHHH.” Teriakku lagi, sambil mengarahkan kepalan tangan kananku, ke arah wajah macan kumbang yang menunduk tepat diwajahku ini.

BUUHGGG.

Macan kumbang itu terdorong ke arah kiriku, sehingga injakan dan cabikannya didadaku terlepas.

Aku lalu bangun dari tidurku dan berdiri perlahan. Pakaian yang aku kenakan sobek memanjang ke arah bawah, membentuk garis – garis yang panjang. Darahku mengalir dan memenuhi pakaianku, tapi aku tidak merasakan sakit lagi.

Emosi yang menguasai diriku ini, membuatku menjadi seperti bukan manusia. Aku seperti menjadi iblis dan aku hanya mempunyai satu rasa, rasa ingin membunuh.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku berat dan memburu, begitu juga macan kumbang itu.

Dia sangat emosi sekali dan dia ingin menyerangku lagi.

“Sepertinya aku tidak usah membuang waktuku. Kamu akan aku bunuh sekarang juga.” Ucap Makluk berjubah yang datang dari arah belakang macan kumbang.

Makluk itu langsung membelai kepala macan kumbang itu, sambil menatap ke arahku.

“Tidak usah banyak bicara. Aku yang akan membunuhmu terlebih dahulu, bersama kucing peliharaanmu itu.” Ucapku dengan suara yang parau dan pandangan mata yang menghitam.

“Baru sekali memukul macan kumbang ini saja, kamu sudah sombong sekali. Ingat, nyawamu dipertaruhkan ditempat ini dan aku yang akan mengambilnya.” Ucap makluk itu dan terdengar dia menahan emosinya.

“Pergi dan berjuang dengan taruhan nyawa, pulang dengan tawa. Kamu taukan artinya.? Hahahaha.” Ucapku lalu aku tertawa dengan kerasnya.

“Angkuh sekali kau anak muda.” Ucap makluk itu sambil mengangkat tangannya dari kepala macan kumbang itu, lalu dia menunjuk ke arahku.

“AUURGMMMMMM.” Macan kumbang itu mengaum dengan keras, lalu berlari ke arahku.

“ARRGHHHHHHH.” Teriakku yang tidak kalah keras dan aku juga berlari ke arah macan kumbang yang sudah meloncat ke arahku.

Dan ketika macan kumbang itu sudah berada didekatku, dia mengarahkan kuku – kukunya ke arah wajahku. Aku menghindar ke arah samping kiri, sambil mengarahkan kepalan tanganku ke arah dada macan kumbang itu.

BUHHGGG.

“ARRGGHHHH.” Macan kumbang yang terbang itu berteriak kesakitan, setelah pukulanku mengenai dadanya dengan telak.

Tubuh macan itu melayang kebelakang dan terjatuh tepat dihadapan makluk berjubah itu.

“BAJINGANNN.” Teriak makluk itu, lalu dalam sekejap dia terbang ke arahku.

BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH.

Makluk itu memukul wajahku bertubi – tubi dengan tubuhnya yang melayang diudara.

BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH.

Pukulannya cepat dan kuat, sehingga membuat seluruh wajahku terluka dan berdarah.

Aku dengan cepat melayangkan pukulanku ke arah dadanya dan,

WUTTT.

Tubuhnya menghilang, lalu.

BUHHGGG.

Tiba – tiba dia muncul dibelakangku dan dia menginjak punggungku, sampai aku terdorong kedepan.

Akupun langsung membalikan tubuhku, sambil melakukan tendangan ke arah mahluk tadi menginjakku.

WUTTT.

Lagi – lagi dia mengilang dari pandanganku, sehingga tendanganku hanya mengenai angin saja. Bajingan.

Aku memutarkan tubuhku ke segala arah, untuk mencari keberadaan mahluk berjubah itu. Pandanganku semakin menghitam dan hujan semakin deras saja.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan mataku menatap tajam.

Lalu tiba – tiba,

TAPPP.

Telapak kakiku dicengkram dari bawah tanah, lalu tubuhku terdorong ke atas. Aku melayang ke udara dan makluk berjubah itu, langsung melemparku dengan kuat.

WUTTT.

Tubuhku berjungkir balik diudara, lalu.

BUHGGG.

Mahluk itu muncul di hadapanku dan menghantam dadaku dengan kuatnya.

“HUUPPPP.” Aku terlempar kebelakang dengan nafas yang terhenti dan mata yang melotot.

BUUMMM.

Tubuhku terhempas dan terlentang ditanah. Assuuu.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku berat dan pandanganku lurus ke arah langit.

Derasnya hujan membasahi wajahku dan diantara air hujan yang turun dari langit itu, sebuah bayangan telapak kaki mengarah kewajahku.

Aku lalu cepat berguling kesamping, dan.

BUUMMM.

Telapak kaki itu menghantam tanah dan aku langsung berdiri dengan cepatnya.

“Hahahaha. Ternyata lemah sekali kemampuanmu anak muda.” Ucap makluk itu mengejekku dan posisinya, dia memunggungi aku.

“Aku bukannya lemah, tapi kamu yang terlalu pengecut dengan seranganmu.” Jawabku.

“Jangan terlalu naïf anak muda. Ini adalah keahlianku dan tidak mungkin kamu bisa menghadapinya.” Ucap makluk itu, sambil membalikan tubuhnya.

“Memakai ilmu apapun, aku pasti mendapatkan celah untuk membantaimu.” Ucapku dan dia langsung tersenyum dengan sinisnya.

“Pejamkan kedua matamu dan baca serangannya dengan mata hatimu.” Ucap Simbah yang mendengung ditelingaku.

Aku mengikuti saran Simbah dan aku langsung memejamkan kedua mataku perlahan.

Suara derasnya hujan dan ranting pohon yang tertiup angin, sedikit mengacaukan pikiran dan pendengaranku.

BUHGG, BUHGG, BUHGG, BUHGG, BUHGG.

Beberapa pukulan makluk itu langsung mendarat diwajahku, dikepala belakangku, didadaku, dipunggungku, maupun diwajah sampingku.

Tubuhku melayang ke depan, kesamping dan kebelakang.

BUHGG, BUHGG, BUHGG, BUHGG, BUHGG.

Aku terus menerima pukulannya dan aku tetap memejamkan kedua mataku. Di sela emosiku yang terbakar ini, aku bersabar menerima pukulannya. Aku mempelajari semua gerakannya, agar aku bisa membalas pukulannya yang bertubi – tubi ini.

Memang sangat berat memfokuskan pikiran disaat seperti ini. Selain karena suara hujan dan bunyi pepohonan yang tertiup angin, gerakan makluk itu sangat cepat dan pukulannya sangat kuat sekali.

“Kesabaran sangat dibutuhkan dalam setiap menghadapi suatu masalah. Tapi kesabaran tidak akan cukup, kalau tidak dibarengi dengan keikhlasan.”

“Lepaskan semua yang ada didalam dirimu. Amarah, dendam, kebencian dan nafsu. Semua hanya akan menambah beban hidupmu dan kamu pasti akan kalah, ketika semua itu masih ada didalam hatimu.” Suara Bapakku mendengung ditelingaku dan mata hatikupun langsung terbuka.


Aku yang sedang memfokuskan pikiran ini, menjadi tertolong dengan ucap – ucapan Bapak yang entah bagaimana, bisa terdengar ditelingaku.

WUTTT, WUTTT, WUTTT, WUTTT.

Aku mulai bisa menghindari serangan makluk ini, dengan mata yang terpejam. Aku memiringkan wajahku kekanan, kekiri, kedepan, kebelakang dan sesekali aku memutarkan tubuhku. Pikiranku benar - benar terfokus, jadi aku bisa mendengar setiap makluk itu bergerak. Jangankan gerakannya, hembusan yang keluar dari mulutnya, aku juga bisa merasakannya.

WUTTT, WUTTT, WUTTT, WUTTT.

Aku terus menghindari serangan makluk itu, sambil mencari celah untuk membalas serangannya.

WUTTT, WUTTT, WUTTT, WUTTT.

Dan ketika aku merasakan ada gerakan dibelakangku, aku langsung membalikan tubuhku, sambil menunduk dan mengayunkan pukulanku ke arah wajahnya.

BUHHGGGG.

Pukulanku masuk dengan telak ke arah wajahnya dan aku mengayunkan pukulanku dari arah bawah keatas.

Aku lalu mengayunkan kedua tanganku dengan cepat dan bergantian, ke arah perut, dada dan wajahnya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Pukulanku cepat dan terarah, sehingga makluk itu tidak sempat menghindar atau menghilang dari hadapanku.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku terus menghantamnya, tanpa memberikan kesempatan makluk itu untuk membalas seranganku.

Aku lalu membuka kedua mataku, sambil memutarkan tubuhku. Aku arahkan tendangan balik ke arah leher bagian kanannya, dengan tumit kaki kananku sekuat tenagaku.

“ARRRGGHHHH.” Aku berteriak sekuat tanagaku, untuk menambah kekuatan tendangan balikku.

BUHGGGGGG.

Makluk itu melayang ke arah kiri dan tubuhnya langsung terhampas ketanah dengan kuatnya.

BUMMMMMM.

Melihatnya tergeletak ditanah, aku lalu meloncat sambil mengarahkan injakan kakiku ke arah wajahnya.

BUMMMMMM.

Aku hanya menginjak jubahnya, sementara makluk itu menghilang entah kemana.

Aku melihat ke arah sekelilingku dan sekarang jubahnya juga ikut menghilang seperti dutiran debu, beserta macan kumbang yang aku kalahkan tadi.

Hujan tidak berhenti dan aku langsung melihat ke arah jalan digerbang hutan terlarang. Jalan yang tadinya tertutup, sekarang sudah bisa terlihat. Burung rajawali yang ada dipohon tadipun, menghilang entah kemana.

Aku lalu melangkah ke arah gerbang hutan terlarang, dengan langkah yang agak tertatih. Wajahku dipenuhi darah dan luka, begitu juga dadaku.

Air hujan ini hanya mampu membasuh sedikit darahku, tapi tidak bisa menghilangkan semuanya.

Dengan pandangan yang masih menghitam, aku terus melangkahkan kedua kakiku. Tapi ada sedikit yang aneh dengan diriku. Aku tidak merasakan sakit sedikitpun ketika seluruh lukaku ini terkena air hujan.

Pintu gerbang hutan terlarang tinggal beberapa langkah lagi dan langkahku langsung terhenti. Aku seka wajahku yang dipenuhi air hujan bercampur darah dari lukaku, menggunakan telapak tanganku

“Cukup sampai disini aku menemanimu dan sekarang lanjutkan sendiri perjalananmu.” Bisik Simbah, tapi wujudnya tidak terlihat disekitarku.

Aku menundukan wajahku sejenak, setelah itu kembali aku melangkahkan kakiku. Dan ketika kaki kananku sudah masuk kedalam gerbang hutan terlarang, nafasku terhenti sesaat dan aku merasa sesuatu yang keluar dari tubuhku.

Pandanganku langsung kembali normal dan di ikuti rasa sakit yang sangat luar biasa dari sekujur tubuhku. Luka yang ada diwajah dan didadaku terasa sangat perih terkena air hujan, Tulang – tulangku terasa ngilu akibat perkelahian tadi dan tubuhku langsung menggigil kedinginan.

“Uhhhhh.” Ucapku yang menahan rasa sakit dan perih.

Aku lalu menarik nafasku lagi dan mulai berjalan dengan sangat lambat. Kalau tadi langkahku tertatih, sekarang langkahku terasa sangat berat. Sakit ini benar – benar sakit dan aku tetap memaksakan berjalan. Bajingan.

Jadi rasa sakit yang tidak terasa tadi, karena aku dikuasai makluk mata hitam.? Terus setelah makluk itu pergi dari tubuhku, aku jadi seperti manusia biasa, yang mempunyai rasa sakit dan juga keletihan.? Gila.

Darah dari wajah dan dadaku tidak berhenti mengalir, seiring dengan langkah kakiku ini. Angin masih bertiup kencang, hujan masih turun dengan deras dan kilatan petir terus menyambar.

Jalan yang aku lewati ini semakin licin dan itu membuat langkahku semakin berat saja. Tenggorokanku kering dan aku sangat – sangat kehausan sekali. Beberapa kali aku menelan air liurku, untuk sekedar membasahi tenggorokanku. Kalau saja tidak ada larangan dari Bu Nyoto, mungkin aku akan mendangakkan kepalaku dan membuka mulutku, untuk meminum air hujan.

“Om.” Tiba – tiba aku mendengar suara anak kecil dibelakangku dan dia mengikuti jalanku. Tubuhku langsung merinding dan aku tidak berani menoleh kebelakang. Ini pasti halusinasi hutan ini dan anak kecil ini pasti akan menyesatkan aku.

Tidak mungkin ada anak kecil dihutan seperti ini, malam – malam begini. Akupun yakin dia bukan anak dari desaku ataupun dari tetangga desa sekitar, karena tidak ada anak kecil yang memanggil om untuk orang yang lebih tua.

“Om, tolong aku om.” Ucap anak kecil itu dan aku tetap tidak menghiraukannya.

“Antar aku pulang Om. Antar aku pulang. Ayah Ibuku pasti mencariku om. Hiks, hiks, hiks.” Ucap anak itu dan dia langsung menangis.

Aku terus berjalan sambil menahan rasa sakit dan sesekali aku menyeka wajahku.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Anak itu terus menangis dan mengikuti dibelakangku.

“Om, Om.” Panggil anak itu lagi dan jujur itu menggangu konsentrasiku.

Suasana yang gelap, hujan yang sangat deras, angin yang berhembus kencang, jalan yang mulai menanjak dan sangat licin, membuat perjalanan ini sangat berat sekali. Belum lagi dengan kondisi tubuhku yang terluka dan rasa haus yang luar biasa, membuat kedua kakiku sangat berat melangkah.

Dan tiba – tiba,

Krak.

Aku menginjak ranting pohon yang ada ditanah dan itu membuat keseimbanganku terganggu. Tubuhku limbung ke arah kiri dan aku langsung terjatuh kesamping.

JEDUKKK, BUMMMM.

Kepalaku bagian samping kiriku mengantam tunggul kayu, lalu tubuhku menggelundung.

Duk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk.

Posisi tanah yang miring ini, membuatku terus terguling kebawah.

Kepala, dada, punggung, perut, dan kakiku menghantam pohon bergantian.

“Argh, argh, argh, argh, argh.” Teriakku setiap bagian tubuhku menghantam sesuatu.

Cok. Kalau gak salah, dibawah sana itu air terjun pertama tempat aku mandi tadi. Kalau aku terus menggelundung tanpa berpegangan sesuatu, aku pasti bisa jatuh dan aku bisa terhantam batu – batu besar dibawah sana.

Duk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk.

Dan ketika aku melihat ada sebuah pohon yang tidak begitu besar dibawah sana, aku lalu bersiap untuk menggapai pohon itu.

Duk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk.

Lalu, Tap.

Aku menangkap pohon ini dengan kedua tanganku, lalu aku merangkulnya.

Sreetttt, jeduk.

“Huuup.” Aku menahan nafasku dan merangkul pohon ini dengan kuatnya.

Dadaku menghantam dinding jurang dengan keras dan pohon ini ternyata pohon terakhir ditanah miring ini. Kedua kakiku telah menjuntai dibawah jurang dan dadaku menggesek ditanah keras yang basah.

“ARGGHHHH.” Dadaku semakin sakit dan aku berusaha menyeimbangkan tubuhku.

“Sakit Om.?” Tiba – tiba seorang anak kecil muncul dari balik pohon dan dia rupanya anak yang menangis tadi.

Anak itu membawa kayu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya dan dia menatapku dengan tajam. Wajahnya terlihat pucat, mata, hidung dan mulutnya mengeluarkan darah yang mulai menghitam. Bajingan.

“ARGGGHHH.” Aku berusaha keluar dari jurang ini dan kedua kakiku langsung menapak ke dinding jurang yang keras ini. Akupun tidak menghiraukan kehadiran anak ini dan aku tetap merangkul pohon ini dengan kuat.

Tiba – tiba anak itu mengangkat kayu yang dipegangnya, lalu.

Buhg, buhg, buhg, buhg, buhg.

Dia menumbuk jari – jari tangan kananku dengan ujung kayunya dan dengan sekuat tenaganya.

“ARRGHHHH.” Aku berteriak kesakitan dan rangkulan tangan kananku terlepas dari pohon ini. Tangan kananku menjuntai kebawah dan sekarang aku hanya bertumpu kepada tangan kiriku dipohon. Kedua kakiku yang menapak didingpun, sekarang menjuntai kebawah jurang lagi dan itu membuat dadaku menghantam ke dinding jurang lagi.

“URGHHHHH.” Sakitnya sangat luar biasa, sampai kedua mataku terpejam.

Bajingan. Rupanya makluk dihutan ini bukan hanya menyerang melalui halusinasi yang mengganggu pikiran, tapi juga menyerang fisik. Djiancok.

Buhg, buhg, buhg, buhg, buhg.

Sekarang giliran tangan kiriku yang ditumbuk dan aku langsung membuka mataku.

Aku tatap mata anak kecil itu dengan tajam, sambil mengatur nafasku.

“Hu, hu, hu, hu.”

Aku mengangkat tangan kananku, lalu merangkul pohon ini dengan kuatnya. Kedua kakiku aku tapakkan didinding lagi dan anak itu terus menumbuk tangan kiriku.

“PERGI DAN BERJUANG DENGAN TARUHAN NYAWA, PULANG DENGAN TAWA. SEMONGKO.!!!” Teriakku sambil melotot ke arah anak itu dan dia langsung menghentikan tumbukannya.

Aku langkahkan kedua kakiku di dinding jurang ini sambil menggerakan tangan kanan dan kiriku ke arah atas pohon. Aku berusaha bersusah payah, untuk keluar dari jurang ini, tanpa memikirkan rasa sakitku.

Dan ketika kaki kananku sudah berada diujung tepi jurang, aku miringkan tubuhku kekanan dan aku dorong pinggulku keatas, sampai sebagian tubuh naik keatas tanah.

“ARRGGGGGHHHH.” Aku berteriak sambil menghentakan tubuhku dan berguling ke arah tanah.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku terlentang disebelah pohon, dengan hujan yang menghantam wajah dan seluruh tubuhku.

Aku lalu menutup rapat mulutku, agar air hujan tidak terminum olehku. Rasa haus ini sangat menyiksaku, tapi aku terus berusaha menahannya.

Cok. Mengerikan juga tempat ini. Ini semua diluar dugaanku, karena sebelumnya tempat ini sangat ramah dan tempat yang cocok untuk menenangkan diri. Tapi sekarang, tempat ini seperti neraka yang tidak ada belas kasihan sedikitpun. Bajingan.

Cukup, cukup sudah aku mengeluh. Aku harus segera bangkit lagi dan melanjutkan perjalananku.

Aku lalu memiringkan tubuhku ke arah kiri, setelah itu aku bangun sambil memegang dada kiriku yang sangat sakit sekali. Darah, air hujan dan butiran tanah, terasa menyatu dikulit dadaku yang terluka.

Aku berdiri dengan tubuh yang sempoyongan dan aku langsung berpegangan kepada pohon yang ada didekatku.

Anak kecil itu masih berdiri dihadapanku dan dia tetap membawa kayu ditangannya. Aku berjalan tertatih - tatih ke arahnya, setelah itu aku menghentikan langkahku tepat dihadapannya.

Aku membungkukan wajahku dan aku dekatkan wajahku ke arah wajahnya. Matanya yang mengeluarkan darah itu tidak membuatku takut sama sekali.

“Kalau kamu mau aku antarkan ke orang tuamu, tunggu aku dipintu gerbang hutan terlarang. Tapi kalau hanya ingin mengganggu perjalananku, lebih baik pergi dari hadapanku.” Ucapku sambil menatap dalam matanya, setelah itu aku menghusap rambutnya dengan lembut.

Anak itu langsung menunduk, setelah itu dia menggeser tubuhnya ke arah kiri. Aku hanya meliriknya sambil menegakkan tubuhku.

Aku lalu menatap ke arah lurus dan jalur yang menanjak, sudah menanti untuk perjalananku selanjutnya. Aku harus mengikuti arah jalur dimana aku terjatuh tadi, untuk menemukan jalan setapak yang menuju ke sumber mata air.

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, setelah itu aku mulai melangkahkan kakiku. Jalur yang menanjak membuatku kesulitan untuk berjalan. Aku berjalan tertatih dan aku berpegangan pada pohon – pohon kecil yang aku lewati.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memberat dan sekujur tubuhku terasa sangat sakit sekali.

Berkali – kali aku mau terjatuh, tapi aku langsung memegang batang pohon untuk aku jadikan tumpuan berdiri.

Beberapa saat kemudian, jalan setepak tempat awal aku terjatuh tadi, akhirnya aku temukan.

“Hu, hu, hu, hu.” Aku membungkukan tubuhku dengan kedua tanganku bertumpu pada kedua lututku.

Aku menundukan kepalaku sejenak, lalu aku menyapu wajahku.

Aku tegakkan tubuhku lagi, lalu aku berjalan pelan.

Clap, clap, clap, clap.

Kilatan petir menuntunku diperjalanan ini. Suara derasnya hujan dan gesekan ranting pepohonan, menemani perjalananku. Perlahan aku juga sudah mulai terbiasa, dengan rasa perih dan sakit yang berasal dari lukaku yang terus mengeluarkan darah.

Clap, clap, clap, clap.

Cahaya kilatan petir kali ini, memperlihatkan pondok kedua didekat air terjun kedua, tidak jauh dari hadapanku.

Suasana terlihat makin menyeramkan, ketika aku sudah sampai dibelakang pondok tua tersebut. Air terjun yang lebih besar dari air terjun dibawah tadi, menimbulkan suara yang cukup keras.

Aku terus berjalan ke arah air terjun itu, untuk mandi lagi sesuai dengan perintah Bu Nyoto.

“Mas.” Tiba – tiba terdengar suara seorang wanita, ketika aku melewati pondok tua ini.

Aku lalu menoleh ke arah pondok tua itu dan terlihat seorang wanita cantik duduk dibalai – balai bambu. Wanita itu menoleh ke arahku dan itu membuatku langsung terkejut.

Emery Naila Unna. Ya, wanita yang memanggilku itu adalah Mery. Tatapan matanya, hidungnya, bibir manisnya, rambut indahnya dan semua yang ada diwanita itu, memperlihatkan dengan jelas kalau dia itu adalah Mery.

Argghhh. Ini pasti bukan Mery, bukan. Dia tadi sudah balik ke Kota Pendidikan bersama Rendi dan tidak mungkin dia kembali. Kerumahku saja tidak mungkin, apalagi ditengah hutan terlarang ini.

Djiancok. Kenapa halusinasi hutan ini, harus memperlihatkan wanita yang mampu meluluhkan hatiku, lewat tatapan matanya itu.? Tidak adakah wajah wanita lain dan kenapa harus dia.? Bajingan.

Akupun langsung mengalihkan pandangan mataku ke arah air terjun dan kembali aku melangkahkan kakiku. Tidak terlihat jalan setepak menuju ke sumber mata air, yang biasa aku lalui. Jalanan itu tertutup oleh pepohonan dan aku hanya bisa menarik nafasku dalam – dalam.

“Jahat banget sih Mas Gilang ini. Katanya Mas Gilang cinta sama Mery, kenapa cuek begitu.?” Ucap wanita itu dengan suara yang menggoda sekali dan suaranya benar – benar mirip sekali dengan Mery.

Aku tidak menghiraukannya dan aku terus berjalan. Aku baru menghentikan langkahku, ketika aku sudah berada dipinggir sungai didepan air terjun.

“Mas. Dingin banget disini. Mery takut Mas, takut.” Ucap Wanita itu dan suaranya terdengar bergetar dan ingin menangis.

Aku tidak menghiraukannya dan aku bersiap untuk masuk kedalam sungai.

“Jangan ganggu laki – lakiku.” Terdengar suara seorang wanita yang sangat aku kenal dan sangat kucintai.

Aku lalu membalikan tubuhku dengan refleknya dan melihat ke arah suara itu.

“I, I, Intan.” Ucapku dengan terbata.

Intan melihat dan tersenyum dengan manisnya, sementara makluk yang berwujud Mery, berdiri dan menatap tajam ke arah Intan.

“Pergi kau wanita jalang.” Ucap Makluk berwujud Mery itu, lalu tubuhnya melayang dan terbang ke arah Intan.

Makluk itu mencengkram leher Intan, sampai tubuh Intan juga ikut melayang, lalu terhantam pohon besar dibelakangnya.

“INTAN.” Teriakku.

Kaki Intan dan makluk berwujud Mery itu sudah menapak tanah, dengan posisi makluk itu mencekik leher Intan dan menyandarkan ke pohon.

“To, to, tolong Intan yang, tolong Intan.” Ucap Intan memohon, sambil menahan cengkraman tangan makluk berwujud Mery itu. Wajahnya terlihat kesakitan dan ketakutan.

“Bajingan.” Makiku dan aku langsung berlari ke arahnya.

Makluk berwujud Mery itu langsung melihat ke arahku, sambil menunjukku menggunakan tangan kirinya.

Lariku langsung terhenti dan kedua kakiku tidak bisa aku gerakkan. Seluruh tubuhku kaku dan tiba – tiba leherku terasa seperti dicekik. Makluk berwujud Mery itu membuat gerakan seperti mencengkram leherku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus mencekik leher Intan.

“ARGHHHH.” Leherku sangat sakit sekali dan aku kesulitan bernafas.

Makluk yang berdiri agak jauh dari aku itu langsung mengangkat tangan kirinya keudara. Tubuhku ikut melayang, mengikuti gerakan tangannya. Leherku pun semakin sakit, karena makluk itu membuat gerakan mencengkram leherku.

“ARRGGHH.” Ucapku dengan mata yang melotot. Aku tidak bisa menghentikan cengkraman yang tidak menyentuh kulit leherku sama sekali ini dan aku juga tidak bisa berbuat apa – apa.

Wajah Intan juga terlihat makin kesakitan dan dia mencoba melepaskan cengkraman tangan kanan makluk itu.

Makluk itu memutarkan tangan kirinya ke arah bawah dan tubuhku juga ikut terputar. Posisi kepalaku sekarang berada dibawah dan kakiku berada diatas, dengan ketinggian beberapa meter dari atas tanah.

Lalu tiba – tiba, makluk itu membuat gerakan membanting kebawah dan membuat tubuhku langsung terhempas ketanah.

BUUUMMMM. KRAKKK.

Aku sempat membungkukan tubuhku dan aku terjatuh dengan posisi punggungku menghantam tanah dengan keras.

“ARGGHHHHH.” Ucapku yang kesakitan.

“HEUUKKKKK.” Darah segar langsung keluar dari mulutku.

“SAYANGG.” Teriak Intan, lalu.

Gelap.

Djiancok.!!! Aku roboh dan aku tidak sempat melakukan perlawanan sedikitpun. Rupanya aku terlalu lemah, apalagi sudah menyangkut dengan permasalahan perasaan hati ini. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih dan aku mudah sekali dipengaruhi. Bajingan.

“Jadi kamu sudah kalah.?” Tiba – tiba terdengar suara dari sesosok makluk.

Akupun langsung membuka kedua mataku dan terlihat kakek bermata bening berdiri dihadapanku. Aku lalu bangkit dari tidurku dan duduk bersila.

“Ahhhhh.” Ucapku sambil menggerakan kepalaku kekanan dan kekiri.

Tubuhku terasa ringan dan tidak ada luka sama sekali disekujur tubuh ini.

“Aku belum kalah Kek. Aku hanya butuh waktu untuk bangkit dan membalas setiap serangan makluk itu.” Jawabku.

“Sudah lemah tidak berdaya seperti ini, kamu masih angkuh saja. Terus kamu mau melanjutkan perjalananmu dan melepaskan kedua kekuatan yang ada di dirimu.? Mau jadi apa kamu.?” Ucap Kakek mata bening dengan sinisnya.

“Oh iya, kamu kan gak bisa melanjutkan perjalananmu kesumber mata air, karena kamu sudah kalah. Jadi apa yang harus dilepaskan dari dirimu.?” Tanya kakek mata bening dan sekarang nadanya terdengar sangat meremehkan aku.

“Hahaha. Selagi nyawa ini masih ada didalam tubuhku, tidak ada kata menyerah, apalagi kata kalah didalam kamus ku Kek.” Jawabku.

“Angkuh dan sangat sombong sekali. Pantas kamu terbantai dan pantas kamu mendapatkan kekalahan yang menyakitkan.” Sahut si Kakek.

“Kekalahan yang menyakitkan bagiku itu, bukan kalah karena menghadapi makluk alam lain atau manusia manapun. Tapi kekalahan yang menyakitkan bagiku itu, ketika aku tidak bisa menunaikan janjiku dan menjerumuskan keluargaku dalam masalahku.” Ucapku.

“Janjimu itu sebenarnya tidak perlu kamu ucapkan dan kamu harusnya bisa menyelesaikan semua masalahmu, dengan kekuatan yang kamu miliki saat ini.” Ucap si Kakek.

“Masalah itu ada, justru ketika aku mempunyai kekuatan ini Kek. Kalau saja dari awal aku tidak menerima kekuatan ini, mungkin masalahku akan lebih ringan dan aku bisa hidup dengan tenang.” Jawabku.

“Sudahlah Kek. Percuma Kakek mempengaruhi pikiranku, karena itu pasti tidak akan bisa. Lebih baik Kakek pergi sekarang juga dan aku akan melanjutkan pertarunganku.” Ucapku.

“Dasar keras kepala.” Ucap si Kakek, lalu dia mengibaskan jubah yang dipakainya ke arah wajahku.

Kibasan itupun menimbulkan angin yang cukup kencang dan aku langsung menutup kedua mataku dengan lenganku.




Tes, tes, tes, tes, tes.

Rintik hujan membasahi kepalaku dan aku langsung membuka kedua mataku. Posisiku sekarang tertelungkup dan Makluk yang berwujud Mery itu masih mencekik leher Intan.

“Djiancok.” Makiku sambil mengepalkan kedua tanganku, lalu aku arahkan ketanah untuk aku jadikan tumpuan berdiri.

“Huuppp.” Aku berdiri perlahan, sambil menatap makluk yang melihat ke arahku itu.

“Kamu akan aku bunuh sekarang juga.” Ucap Makluk itu sambil melepaskan cengkramannya dileher Intan dan Intan langsung jatuh terkulai.

“PERGI DAN BERJUANG DENGAN TARUHAN NYAWA, PULANG DENGAN TAWA. SEMONGKO.!!!” Ucapku yang mengulangi kata – kata penyemangat itu, untuk membangkitkan semangatku sendiri.

“Banyak bicara kamu.” Ucap Makluk itu dan dia langsung melayang ke arahku.

Kedua kakinya masuk ke samping pinggangku dan langsung mengunci dipunggungku. Tangan kirinya menjambak rambutku lalu memiringkan kepalaku ke arah kanan, dan tangan kanannya menahan pundakku agar tetap tegak. Posisi sekarang, aku seperti menggendongnya didepan dan dia siap menerkam leher bagian kiriku.

TAPPP.

Aku langsung memegang kedua pipinya dan mendorongnya kebelakang, agar mulutnya menjauh dari leherku.

“AARGGHHHH.” Ucapku sambil berteriak dan wajah makluk itu sekarang berada tepat didepan wajahku.

“Kubunuh kamu, kubunuh.” Ucap makluk itu, lalu perlahan wajahnya yang seperti Mery berubah menjadi menyeramkan.

Wajahnya terlihat sangat tua, hidungnya membesar, mulutnya melebar dan empat gigi taringnya memanjang. Kuku – kuku jarinya juga ikut memanjang dan disertai bau yang sangat busuk sekali.

Kedua tanganku langsung reflek melepaskan pegangan dipipinya dan dia langsung tertawa dengan suara yang menyeramkan.

“HIHIHIHIHIHI.”

Kedua kakinya yang mengunci pinggangku, semakin dikuatkannya dan membuat tulang – tulang pinggangku terasa remuk. Kedua tangannya diarahkan kebelakang, lalu kuku – kukunya yang panjang dan tajam itu, perlahan menyentuh punggung bawahku. Ditekannya kuku itu agak dalam, sampai merobek pakaian yang aku kenakan dan menembus kulit punggungku.

Ditariknya kuku – kuku itu keatas sehinga kulitku terasa di iris oleh pisau yang tajam.

“ARGGHHHHHHH.” Teriakku kesakitan dan aku berusaha mendorong tubuh makluk tua ini, agar terlepas dari gendonganku.

Jepitan kakinya semakin kuat dan rasa sakit yang aku rasakan semakin luar biasa.

Rasa sakit yang luar biasa itu, langsung membangkitkan amarahku disisi lain jiwaku. Pandanganku pun perlahan berubah menjadi jernih dan berbayang, seperti air sungai yang sangat bersih sekali.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan sekarang aku sedang dikuasai kekuatan mata bening.

Sakit yang ada disekujur tubuhku tidak terasa sama sekali dan aku seperti memiliki tambahan tenaga, serta kekuatan yang sangat luar biasa.

Kedua tanganku aku arahkan kedagunya, setelah itu aku mendorongnya kedepan dengan kuat, sambil mengangkat lutut kananku.

“AARRGGGHHHH.” Aku mendorongnya sambil berteriak dengan kuat, sampai punggungnya tersandar dipahaku yang terangkat dan kuku – kukunya terlepas dari punggungku.

Punggungnya yang tersandar dipahaku dan kepala belakangnya yang tersandar dilututku, membuat dagunya terdanga. Kedua kakinya masih mengunci punggungku dan aku langsung melepaskan kedua telapak tanganku yang ada didagunya.

Aku kepalkan tangan kananku, lalu aku hantam dagunya dengan sekuat tenagaku.

BUHGGGGGG.

Tubuh makluk itu langsung melayang kedepan dan kuncian dipinggangku langsung terlepas.

BUUMMMMM.

Makluk itu jatuh tergulung dihadapanku dan dengan cepatnya dia menahan tubuhnya, lalu berdiri dengan wajah yang terlihat terkejut dan juga emosi.

Aku langsung berlari ke arahnya, lalu aku mengarahkan tendanganku ke arah dadanya.

BUHGGGGGG.

“Huuppppp.” Makluk itu termundur dan aku langsung melayangkan kepalan tangan kanan dan kiriku bergantian ke arah wajahnya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Makluk itu termundur lagi, karena seranganku yang bertubi – tubi ini.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku menghantam wajah, dada dan perutnya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku lalu menghentikan seranganku, sambil membalikan tubuhku dan mengarahkan tendangan balik ke arah wajahnya.

BUHGGGGG.

Tubuh makluk itu melayang kebelakang, lalu dia terjatuh ditanah dengan posisi terlentang.

JEDUKKKK.

BUUMMMM.

Aku berlari ke arahnya, lalu meloncat dan mengarahkan injakan kakiku ke arah wajahnya.

BUHGGGGGG.

Injakanku mengenai tanah dan dia menghilang seperti butiran debu, seperti makluk berjubah digerbang hutan terlarang tadi.

Hiuffffttt, huuuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam dan hujan juga masih belum berhenti.

Aku lalu melihat ke arah Intan yang tergeletak ditanah. Tubuhnya perlahan melayang dan terbang diudara. Wajahnya langsung berubah menyeramkan dan lebih mengerikan dari pada makluk yang aku kalahkan barusan.

Bajingan. Halusinasi hutan ini juga menghadirkan Intan, lewat makluk biadap ini.

Aku akan membantainya, aku akan membantainya. Djiancok.!!!

“Kamu yang akan terbantai ditempat ini.” Ucap Makluk itu dengan suara yang serak dan menyeramkan.

Tubuhya tetap melayang dan kedua tangannya terlentang. Dan dari telapak tangannya yang terbuka itu, tiba – tiba muncul pusaran angin yang kecil dan peralahan mulai membesar.

Ranting pohon yang kecil maupun yang besar, tersedot dalam pusaran angin yang semakin lama semakin membesar itu.

“HIHIHIHIHI.” Makluk itu tertawa sambil menatap ke arah mataku.

Air hujan yang ada disekitarku dan juga air terjun yang ada disana, berubah arah menuju kepusaran angin yang sangat kecang itu. Tubuhku pun sempat terseret ke arah pusaran itu, sebelum aku menguatkan pijakanku.

Bajingan, mengerikan juga kekuatan makluk itu. Kalau kedua pusaran angin yang ada diatas telapak tangannya itu mencapai puncak dan dihantamkan ke arahku, aku pasti terlempar dan tidak menutup kemungkinan, tubuhku akan hancur berkeping – keeping.

Ini menjadi buah simalakama bagiku. Kalau aku tertarik kepusaran angin itu, tubuhku pasti akan remuk didalam sana. Kalau aku diam dan dihantam pusaran angin itu, tubuhku pasti hancur. Assuuu

Aku harus menghentikan semuanya sebelum terlambat dan aku harus mencari titik lemah makluk itu.

Aku lalu melihat ke arah makluk itu, dengan sangat teliti. Pusaran angin dan benda – benda yang berterbangan, agak mengganggu pandanganku. Aku melihat dari ujung kakinya, sampai ujung kepalanya dan aku tidak menemukan satu petunjukpun.

“Fokuskan pandanganmu, maka kamu akan menemukan sesuatu.” Terdengar suara yang samar – samar, tapi entah dari mana.

Aku lalu menatap tajam ke arah makluk itu dan tiba – tiba, ada sesuatu yang ada dibawah leher makluk itu, menarik perhatianku. Posisi tepatnya itu dibawah batang leher dan diatas tulang dada. Bagian tubuhnya itu berkedut tapi samar – samar. Pandangan dari kekuatan mata bening yang sedang mempengaruhi aku ini, benar – benar bisa menajamkan suatu benda yang jaraknya agak jauh.

“HIHIHIHIHI.” Makluk itu tertawa lagi dengan keras, sambil mendangakkan kepalanya.

Pusaran angin itu sudah sangat besar dan siap untuk dihempaskan.

Aku lalu berlari ke arahnya dan pusaran angin yang menarik tubuhku ke arahnya, sedikit membantuku. Dan ketika sudah berada tidak jauh dari bawah makluk yang melayang itu, Aku langsung meloncat dan tubuhku melayang ke arahnya.

Makluk itu terus tertawa, sambil mendangakkan kepalanya. Telapak tanganku aku buka, lalu aku satukan jari – jariku dengan posisi tegak lurus. Aku arahkan ujung jari – jariku itu tepat di bawah batang lehernya dengan sekuat tenagaku.

“ARRGGGHHHH.” Aku berteriak dengan kuatnya dan makluk itu langsung menegakkan kepalanya dengan wajah yang terkejut.

JRABBBBB.

Tanganku menembus tubuh makluk itu dan tubuhnya langsung menjadi butiran debu, lalu menghilang bersama derasnya hujan.

BUHHHGGG.

Kedua kakiku menyentuh tanah, bertepat dengan benda – benda yang berterbangan tadi jatuh ketanah.

“Hu, hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku cepat dan memburu.

Aku lalu menegakkan tubuhku sambil merapikan rambutku yang terurai didepan wajahku.

Tempat ini sangat berantakan dan anehnya, pondok tua itu tetap berdiri tegak dan tidak ada kerusakan sedikitpun.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku mengatur nafasku, sambil melihat ke arah sekeliling.

Kedua makluk yang menggangguku itu telah pergi dan aku juga tidak melihat jalan setepak yang menuju ke sumber air.

Aku langsung berjalan ke arah air terjun. Aku tidak ingin berlama – lama disini, karena aku harus melanjutkan perjalananku ke sumber mata air. Semoga setelah aku mandi di air terjun, jalanan setepak ke arah sumber mata air akan terbuka.

Hiuufftt, huuuu.

Tubuhku tidak terasa sakit sama sekali, padahal luka – lukaku bertambah dan darahnya tercecer dimana – mana. Apa ini karena pengaruh kekuatan mata bening yang menguasai diriku.? Sudahlah. lebih baik aku cepat mandi, agar aku bisa melanjutkan perjalanan.

Dan ketika kakiku sudah masuk ke dalam sungai, terdengar suara kakek mata bening yang mendengung ditelingaku.

“Lanjutkan ritualmu dan selesaikanlah perjalananmu. Aku hanya bisa menemanimu sampai disini dan setelah ini berjuanglah seorang diri.” Ucap si Kakek dan aku langsung menundukan kepalaku sejenak.

“Huppp.” Aku menarik nafas panjangku, karena aku merasa ada sesuatu yang keluar dari tubuhku.

“Huuuuuuu.” Ucapku sambil mengembuskan nafas panjangku.

Tubuhku melemah dan rasa sakit itu datang lagi. Bekas cakaran macan kumbang didada dan bekas cakaran kuku makluk tadi dipunggung, sangat perih sekali. Belum lagi rasa sakit dari luka – luka disekitar wajah dan seluruh tulang – tulangku yang terasa remuk, membuat rasa sakit ini semakin menggila.

Baju yang aku kenakan sobek dibagian depan dan belakang. Aku lalu melepas bajuku dan terlihat luka didadaku yang berbentuk garis – garis lurus kebawah. Mungkin luka – luka dipunggungku juga sama seperti ini.

Aku lalu menyebrang sungai yang tingginya sebatas lututku. Kedua kakiku terasa berat ketika melangkah dan tubuhku sudah sangat letih sekali. Belum lagi tenggorokanku yang terasa sangat kering, membuatku tidak bertenaga.

“ARRGGHHH.” Ucapku yang merintih kesakitan, ketika aku sudah berada dibawah air terjun yang cukup deras ini. Luka disekujur tubuhku semakin terasa perih dan aku menahannya sekuat tenaga.

Aku lalu duduk bersila diatas batu dan kedua tanganku bertumpu pada kedua lututku. Aku pejamkan kedua mataku perlahan, sambil menarik nafasku dalam – dalam. Aku berusaha memfokuskan pikiranku di sisa perjalananku, sambil menahan rasa sakit.

“Hemmm.” Aku keluarkan nafasku pelan, sambil mengepalkan kedua tanganku dengan kuat.

Setelah beberapa saat aku berdiam diri dan pikiranku tenang, aku berdiri dari tempatku, lalu berjalan menuju tepi sungai.

Aku keluar sungai dan melanjutkan perjalananku, hanya menggunakan celana panjang, tanpa menggunakan baju dan alas kaki. Bajuku telah sobek dan percuma juga kalau dipakai lagi. Untuk alas kaki, aku baru menyadari kalau sandalku hilang waktu aku terperosok ditepi jurang tadi.

Hiuufftt, huuuuu.

Tubuhku sekarang terasa sedikit segar, tapi rasa hausku belum berkurang. Luka – lukaku juga masih mengeluarkan darah, tapi tidak sebanyak tadi.

Beberapa saat kemudian, aku menghentikan langkahku. Sudah tidak ada jalan lagi dihadapanku, karena tertutup pepohonan.

Aku menatap pepohonan yang ada dihadapanku dan semua pepohonan itu bergoyang ditiup angin kencang.

Dan tiba – tiba burung rajawali hitam datang lagi dan hinggap disalah satu pohon. Pohon itupun berhenti bergoyang, sementara pohon yang lain tetap meliuk – liuk ditiup angin.

Aku pejamkan kedua mataku sesaat, lalu aku membukanya lagi dan melihat ke arah pohon itu. Jalan setapak ke arah air terjun terlihat lagi dan aku langsung melangkahkan kakiku. Aku melirik keatas pohon dan burung rajawali hitam itu sudah pergi entah kemana.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku menggigil kedinginan, karena tubuhku terus dibasahi air hujan dan terkena tiupan angin yang kencang.

“Mau kemana kamu.?” Tiba – tiba seorang laki – laki setengah baya yang sangat aku kenal, berdiri dihadapanku.

Aku yang terkejut ini pun langsung menghentikan jalanku, karena yang berdiri dihadapanku saat ini adalah Bapaknya Joko. Beliau berdiri sambil menatapku dengan penuh kebencian.

“Bapak.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan tubuhku merinding dibuatnya.

“Kamu bukan anakku. Anakku hanya Joko.” Ucap beliau sambil menahan emosinya.

“Ma, ma, maaf Pak.” Ucapku terbata.

“Sampai kapan kamu akan memberikan masalah untuk anakku.” Tiba – tiba Ibunya Joko muncul dari arah belakang suaminya.

“I, I, I, Ibu.” Ucapku.

“Kamu itu bukan sahabat Joko, apalagi saudara dari anakku.” Ucap Ibu Joko dan itu membuatku langsung terdiam.

“Kamu selalu membuat masalah untuk putra tersayangku. Gara – gara kamu dia belajar mencuri, supaya dia bisa kuliah bersamamu. Gara – gara kamu dia mengenal seorang wanita yang sangat dicintainya, lalu akhirnya wanita itu meninggal dengan cara yang mengenaskan. Gara – gara kamu dia tidak bisa melihat detik – detik kepergian kami. Gara – gara kamu kami berpisah tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal. Belum lagi dia belajar mengamen, padahal keluarga kami sangat berkecukupan.”

“Kamu memang pembuat masalah dan kamu pembawa bencana untuk anakku.” Ucap Ibu Joko dengan suara yang bergetar dan air mata yang keluar bercampur derasnya air hujan.

Cok. Semua yang dikatakan Ibunya Joko ini benar dan itu langsung membuat aku sangat terpukul sekali. Entah yang berdiri dihadapanku ini halusinasi hutan ini atau beneran kedua orang tua Joko, tapi yang jelas kata – katanya sungguh sangat menyayat hatiku.

Aku menjerumuskan Joko kepada semua masalahku dan aku tidak pernah memberikannya kebaikan. Hidup sahabatku itu sekarang sebatang kara dan aku salah satu penyebab dia menjadi menderita. Bajingan.

Apa semua ini pengaruh dari kekuatan yang aku miliki.? Jadi bukan hanya keluargaku saja yang akan menderita, tapi juga orang – orang terdekatku.? Sebegitu besarkah penderitaan yang aku buat untuk orang – orang yang sudah menyayangi aku.? Bangsat sekali aku ini. Asuuu.

Kepalaku langsung tertunduk dan air mataku mengalir dengan derasnya. Rasa sakit dari sekujur tubuhku, tidak ada apa – apanya, dibandingkan rasa sakit dihatiku ini. Rasa kecewa didalam hatiku begitu besar dan rasa penyesalanku begitu mendalam. Aku benar - benar tidak berguna dan aku hanya menjadi pembawa bencana. Djiancok.!!!

“Kamu tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi.” Ucap Bapaknya Joko.

“Ya, kamu tidak perlu menyesalinya.” Sahut Ibu Joko dan aku langsung menegakkan kepalaku.

“Kamu hanya perlu melakukan satu hal.” Ucap Bapaknya Joko.

“A, a, a, apa itu Pak.?” Tanyaku terbata.

“Basuhlah hatimu dan bersihkan dosa – dosamu menggunakan air didalam sumber mata air sana.” Ucap Ibunya Joko.

“Minumlah dari sumber mata air, untuk menenangkan jiwamu dan juga menenangkan jiwa kami yang telah pergi.” Ucap Bapak Joko.

“I, I, I, Iya Pak, Bu. Gilang akan meminum air disana, bukan untuk Gilang tapi untuk ketenangan Bapak dan Ibu.” Jawabku dengan refleknya.

DUAARRRR.

Kali ini kilatan petir disertai dengan suara yang menggelegar.

“Baiklah. Aku percaya dengan ucapanmu dan semoga kamu benar - benar melakukannya.” Ucap Ibunya Joko dan Bapaknya Joko hanya mengangguk pelan.

Perlahan tubuh beliau berdua menghilang dari pandanganku.

Akupun langsung berjalan lagi dengan tetesan air mataku yang terus mengalir. Aku mengutuk diriku sendiri, disetiap langkah kakiku. Penderitaan dan rasa sakit Joko, tidak akan mungkin bisa aku sembuhkan. Mungkin dengan meminum dari sumber mata airpun, juga tidak bisa mengurangi penderitaannya.

Aku terus berjalan dengan tatapan mata yang kosong dan entah siapa yang menuntun jalanku, aku sekarang sudah berdiri didepan sumber mata air yang keramat itu. Tidak ada gangguan lagi disisa perjalananku tadi dan aku tidak merasakan sakit sama sekali.

Hujan semakin deras dan angin semakin kencang berhembus, ketika aku berdiri dipinggir sungai tempat sumber mata air yang mengalir. Kilatan petir terus menyambar dan menerangi tempat ini.

Kaki kananku aku masukan kedalam sungai, lalu aku mulai berjalan ke arah sumber mata air. Kedua kakiku sangat ringan ketika melangkah dan kedalaman sungai ini hanya sebatas mata kakiku.

Dan sekarang, sekarang aku sudah berdiri dibawah sumber mata air yang mengalir. Sumber mata air ini tingginya diatas kepalaku dan airnya sangat segar sekali.

Aku lalu membungkukan tubuhku dan menyuci kedua lenganku sebatas sikutku. Setelah tanganku bersih, aku menadahkan kedua telapak tanganku yang menyatu. Aku tampung air itu ditelapak tanganku, lalu aku basuhkan diwajahku dan aku lakukan sebanyak tujuh kali. Setelah membasuh wajahku, giliran rambut, telinga dan kakiku yang aku bersihkan.

Dan yang terakhir, aku menampung air itu lagi ditelapak tanganku lalu aku meminum air itu. Bukan karena aku kehausan, tapi aku melakukannya karena aku sudah berjanji dengan kedua orang tua Joko. Aku juga tidak perduli larangan dari Bu Nyoto, karena mungkin hanya dengan cara ini, aku bisa membasuh sedikit penyesalan di dada.

Air yang sangat segar ini membasahi tenggorokanku yang kering dan langsung menyatu didalam tubuhku.

Beberapa saat kemudian, tubuhku bergetar dengan hebatnya. Aku merasa darahku mendidih dan tubuhku memanas. Aku seperti direbus dan air hujan yang sangat deras inipun, tidak mampu mendinginkan tubuhku.

“ARGGHHHHHH.” Aku berteriak kesakitan, sambil menegakkan tubuhku dan mendangakan kepalaku kelangit.

“ARGGHHHHHH.” Aku terus berteriak kesakitan dan aku seperti melihat bayangan iblis pencabut nyawa, melayang diatas kepalaku.

Iblis yang berwajah seram itu, meletakkan telapak tangannya dikeningku. Tubuhku semakin bergetar dengan hebatnya dan aku merasa nyawaku seperti tertarik oleh sentuhan tangan iblis itu.

“ARGGHHHHHH.” Sakit, sakit dan sangat sakit sekali.

Aku merasa sesuatu menjalar dari dalam tubuhku, mulai dari ujung kakiku, kelutut, paha, perut, dada dan terhenti ditenggorokanku. Sesuatu itu seperti terganjal ditenggorokanku dan sakitnya sangat luar biasa.

Sesuatu yang menjalar itu, rasanya seperti goresan silet disetiap inchi bagian tubuh yang dilewatinya.

Bajingan. Apakah ini proses nyawaku yang sedang dicabut.? Apakah prosesnya sesakit ini.? Apakah aku akan benar – benar mati.?

“ARGGHHHHH.” Aku berteriak sekencang – kencangnya, sambil terus mendangakkan wajahku kelangit.

Dan tiba – tiba.

“HOORRGGG.” Dua bulatan cahaya berwarna hitam dan bening, keluar bergantian dari mulutku.

Dua bulatan cahaya itupun masuk kedalam telapak tangan iblis itu dan dia langsung menghilang seketika.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Nafasku cepat dan memburu, tenggorokanku terasa lega dan aku langsung menegakkan kepalaku lagi.

Cok. Rupanya ini proses keluarnya dua kekuatan yang ada didalam diriku dan ini berarti aku sudah terbebas dari dua kekuatan itu.

Kepalaku langsung pusing, pandanganku berkunang – kunang dan tubuhku mulai sempoyongan. Aku menggoyangkan kepalaku kekanan dan kekiri, agar aku tetap tersadar dan aku bisa keluar dari hutan ini secepatnya

“HAHAHAHA.” Terdengar suara yang menyeramkan dari arah sumber mata air di atasku.

Aku lalu mendangakkan kepalaku dan terlihat sesosok makluk yang luar biasa menyeramkan. Dipandanganku yang mulai berbayang ini, terlihat tubuhnya sangat besar dan kekar, wajahnya mengerikan, dua tanduk disamping kanan dan kiri atas kepalanya, satu tanduk dijidatnya, bola matanya seperti ada api yang terbakar, lobang hidung yang besar dan rata dengan wajah, gigi – gigi taring yang keluar dari mulutnya dan dia membawa tombak dengan tiga mata diujungnya, menggunakan tangan kiri.

Makluk menyeramkan itu langsung mengangkat tangan kanannya, lalu mengepalkannya dengan kuat, setelah itu dia meloncat ke arahku dan mengarahkan tinjuannya ke dadaku.

BUHHGGGGG. KRAKKKKK.

“ARRGGHHHHH.” Aku berteriak kesakitan dan tubuhku melayang kebelakang, lalu punggungku menghantam batu yang sangat besar dan aku langsung terduduk terkulai.

Tubuhku terasa remuk redam dan.

“HUEKSSSSSS.” Aku memuntahkan darah segar yang sangat banyak sekali.

“GILANGGG.” Terdengar seseorang berteriak dan aku langsung melihat ke arah suara itu.

Bayangan lima orang berdiri didekat pondok dan,

Gelap.

Uhhhhh.



Pukulan makluk itu sangat kuat dan aku yakin beberapa tulang didadaku pasti ada yang patah.

Aku meraba dadaku dan anehnya tidak ada goresan luka. Rasa sakitpun tidak terasa dan tulangku juga tidak ada yang patah.

Aku lalu membuka kedua mataku dan terlihat langit yang biru serta awan putih diatas sana. Aku tidur terlentang di sebuah taman dan di atas rumput yang agak tebal.

Aku langsung duduk dan melihat situasi disekitarku. Aku duduk ditengah padang rumput dan cuacanya sangat cerah sekali pada siang hari ini.

Cok. Dimana aku ini.? Apa aku sudah mati dan sekarang berada disurga.? Apa aku sudah mati akibat pukulan dari makluk berwajah menyeramkan itu.? Terus bagaimana nasib keluargaku.? Apa ritualku sudah berhasil dan diterima, jadi keluargaku terhindar dari bencana.? Ahhh. Bajingan.

“Kamu sudah berhasil dengan ritualmu dan kamu sudah melepaskan semua kekuatan yang ada dirimu.” Ucap seseorang yang ada dibelakangku dan aku langsung melihat ke arah belakangku.

Simbah dari Desa Jati Bening dan Kakek dari Desa Sumber Banyu, duduk bersila bersila dibelakangku sambil menghisap rokok klobotnya.

“Mbah. Kek.” Ucapku sambil memutar tubuhku dan duduk menghadap beliau berdua.

“Apa aku sudah mati.?” Tanyaku.

“Pertanyaan itu tidak pantas dan tidak perlu kamu tanyakan.” Jawab Kakek Mata Bening.

“Maaf.” Ucapku.

“Tapi kenapa aku ada disini ya Kek.?” Tanyaku kepada si Kakek..

“Untuk merayakan perpisahan kita.” Simbah yang menjawab.

“Perpisahan kita Mbah.?” Tanyaku lagi, kali ini kepada Simbah.

“Kamu kan sudah melepaskan kekuatanmu dari dirimu, jadi kami berdua akan pergi darimu selamanya.” Jawab si Kakek.

“Sampean berdua ini kenapa sih.? Kenapa aku bertanya pada Kakek, Simbah yang menjawab.? Aku bertanya kepada Simbah, Kakek yang menjawab.? Sampean berdua marah sama aku kah.?” Tanyaku dengan nada yang agak meninggi.

“Gak ada untungnya kami berdua marah sama kamu.” Jawab Simbah.

“Iya.” Sahut si Kakek.

“Terus kenapa kalau aku bertanya harus yang lain menjawab.?” Tanyaku.

“Hidupmu itu ribet banget sih. Yang penting kan dijawab dan jawaban itu gak ngelantur. Tinggal mendengarkan aja, banyak protesnya.” Ucap Simbah.

“Cok.” Gerutuku pelan dan kami bertiga langsung diam beberapa saat. Beliau berdua tampak asyik dengan rokoknya masing – masing, sambil melihat ke arah yang berlawanan.

“Mbah.” Panggilku.

“Hem.” Jawab Simbah sambil melihat kearaku.

“Kek.” Panggilku ke Kakek.

“A.” Jawab si Kakek sambil menoleh ke arahku juga.

“Kenapa sampean berdua membantuku diperjalanan tadi, padahal tujuanku ingin melepaskan kekuatan yang ada pada diriku.?” Tanyaku sambil melihat beliau berdua bergantian.

“Karena kami tau alasanmu untuk melepaskan kekuatanmu.” Jawab si Kakek.

“Kalau sampean berdua tau tentang alasanku melepas kekuatanku, berarti sampean tau akibatnya kalau aku menerima kekuatan dari sampean berdua.?” Tanyaku dan beliau berdua hanya menatapku.

“Kenapa sampean berdua tetap memaksa aku menerima kekuatan itu.? Sampean berdua sengaja, agar keluargaku menerima akibatnya.?” Tanyaku dan nadaku kembali meninggi.

“Kalau kami tidak memaksamu menerima kekuatan dari kami berdua, mau jadi apa kamu melawan makluk mata putih itu.? Mau mampus ditempat itu.? Atau kamu tidak ikut bertarung dan membiarkan Irawan Jati dikeroyok dua makluk bermata putih.?” Tanya Simbah dengan nada yang ikut meninggi.

“Enak sekali hidupmu anak muda. Kamu yang buat masalah, malah Irawan Jati yang disuruh menyelesaikan masalahmu.” Omel si Kakek dan aku langsung terdiam, mendengar dua orang tua ini berbicara.

“Kamu sendiri yang ingin membalas dendam atas kematian Hendra, Intan dan Denok, kok sekarang malah bertanya kepada kami. Gimana sih.?” Ucap Simbah.

“Iya, maaf.” Ucapku sambil menunduk dan aku sangat merasa bersalah sekali.

“Aku kira setelah dua kekuatanmu kamu lepaskan, kamu akan kembali menjadi bijak dalam melihat suatu permasalahan. Tapi ternyata.?” Ucap Kakek dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Sekarang tujuanmu sudah tercapai dan kami berdua sudah tidak punya hak lagi atas dirimu. Kembalilah menjadi manusia yang normal dan kembalilah menjadi dirimu sendiri yang seperti dulu.” Ucap Simbah dan aku langsung mengangkat kepalaku lagi.

“Terimakasih Mbah, terimaksih Kek. Terimakasih atas waktu yang singkat dan berjuta pelajaran serta pengalaman ini. Terimakasih juga telah banyak membantuku dan terimakasih telah menjagaku.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

Beliau berdua hanya diam dan menatapku, sambil menghisap rokok kelobotnya.

“Dan sebelum kita berpisah, izinkan aku bertanya dua hal lagi.” Ucapku dan beliau tetap diam.

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Yang pertama, siapa sebenarnya wanita yang memberikan aku petunjuk pada saat aku akan masuk kedalam gerbang hutan terlarang.? Apa benar dia Bu Nyoto, atau dia salah satu makluk penghuni hutan terlarang ini.?” Tanyaku.

“Dia benar Bu Nyoto.” Jawab Simbah, lalu beliau menghisap rokok klobotnya lagi.

“Huuuu.” Simbah mengeluarkan asap tebal dari mulutnya dan aku menunggu beliau melanjutkan penjelasannya.

“Bu Nyoto itu jelmaan dari wanita penghuni sungai Desa Sumber Banyu, tempat dimana kamu sering mandi.” Ucap Simbah yang langsung membuatku merinding.

“Dan Bu Nyoto yang kamu temui tadi, jelmaan dari wanita yang bernama Dara.” Sahut si Kakek.

“Ada juga wanita penjaga sungai yang membelah Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening. Untuk generasi yang sekarang bernama Gadis dan generasi sebelumnya bernama Dayang.” Ucap Simbah yang langsung membuatku bingung.

“Wajah mereka semua sama, karena berasal dari satu aliran sungai yang sama. Tapi yang jelas, mereka mempunyai tugas masing – masing dan cukup sampai disini aja yang perlu kamu ketahui.” Ucap Simbah lagi.

“Sudah cukup jelaskan jawaban dari kami.?” Tanya Si kakek.

“Cukup jelas Kek. Walaupun masih ada yang mengganjal dipikiranku, aku tidak akan bertanya tentang wanita – wanita itu lagi. Aku sekarang sudah melepaskan kekuatanku dan aku tidak punya hak lagi, untuk bertanya lebih dalam tentang wanita – wanita itu lagi, terutama Bu Nyoto atau nama lainnya Dara.” Ucapku.

“Tinggal satu lagi pertanyaanku. Apa yang terjadi kepada diriku saat ini atau esok hari, karena aku sudah melanggar arahan dari Bu Nyoto, dengan meminum air di sumber mata air.?” Tanyaku.

“Sudahlah, tidak usah kau tanya masalah itu dan jalani saja sisa kehidupanmu ini sebagai manusia normal.” Jawab si Kakek.

“Kenapa Kakek gak mau menjawab.?” Tanyaku lagi.

“Karena tidak semua hal perlu kamu ketahui saat ini. Jalani saja kehidupanmu dan semuanya akan kamu ketahui sendiri, seiring dengan berjalannya waktu.” Jawab Simbah lalu berdiri dan diikuti oleh si Kakek.

“Terus.?” Tanyaku dan aku juga ikut berdiri.

“Kita pergi aja. Pusing aku hadapin manusia satu ini. Terlalu banyak tanya.” Ucap si Kakek dan Simbah langsung tersenyum.

“Selamat tinggal Le.” Ucap Simbah.

“Tapi Mbah.” Ucapku terpotong, karena cahaya putih yang terang benderang, langsung muncul dari tubuh Kakek dan Simbah.

Aku pun langsung menutupi wajahku dengan lengan kananku, sambil memejamkan kedua mataku.




Pop Orang Ketiga

Pukul 04.00 dini hari, disebuah rumah didesa Jati Bening.

Lima orang laki – laki sedang duduk diruang tengah, sementara seorang wanita sedang membuat ramuan di dapur.

Lima laki – laki itu bernama Ranajaya (Tuan rumah), Jati (Besan dari Ranajaya), Warji (Ayah dari Darman dan kakek dari Gilang), Darman (Bapaknya Gilang) dan Sastro (Mertua Darman dan keluarga dari Ranajaya). Sementara seorang wanita yang membuat ramuan didapur, adalah istri dari Ranajaya.

Lima laki – laki itu baru saja keluar dari hutan terlarang, dengan kondisi hujan yang sangat lebat dan angin kencang, sambil menggotong seorang pemuda yang terluka parah dan sedang sekarat. Pemuda itu bernama Gilang Adi Pratama.

Pemuda itu sekarang terbaring lemah disalah satu kamar, dengan tubuh yang dipenuhi luka. Luka ditubuh pemuda itu ditutupi daun - daun yang telah dicampur ramuan. Untuk ramuan luka dalam, istri dari Ranajaya sedang membuat ramuannya.

Oh iya. Hujan deras dan angin yang sangat kencang itu baru berhenti, ketika mereka semua telah keluar dari hutan terlarang.

“Terimakasih Kangmas. Sampean berdua sudah banyak membantu menyelamatkan cucuku.” Ucap Warji kepada Jati dan Ranajaya.

“Iya Kangmas, terimakasih banyak. Kalau Kangmas Jati tidak mengirimkan rajawali hitam, mungkin Gilang akan tersesat dihutan terlarang. Dan kalau Kangmas Ranajaya tidak segera memberikan ramuan obat – obatan, kami gak tau bagaimana nasib Gilang.” Ucap Satro kepada Jati dan Ranajaya, sementara Darman hanya diam, karena yang dihadapinya ini orang – orang tua dari Desa Sumber Banyu, Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening.

“Tidak usah berbicara seperti itu Dimas. Gilang itu manusia yang kuat dan hebat. Jarang sekali ada orang yang bisa menembus sampai ke sumber mata air dihutan terlarang, ketika mempunyai suatu tujuan tertentu.” Ucap Jati. (Kangmas = panggilan untuk kakak, Dimas = panggilan untuk adik)

“Apa yang kami lakukan ini, tidak ada apa – apanya dibandingkan dengan perjuangan dari Gilang sendiri.” Sahut Ranajaya.

“Anak itu memang mempunyai kemauan dan niat yang kuat, ketika sudah memiliki satu impian. Dia akan memperjuangkannya, tanpa memperdulikan resikonya.” Ucap Warji sambil melirik ke arah Darman.

“Maafkan anak saya, karena sudah merepotkan dan menyusahkan panjenengan semua” Ucap Darman dengan nada bicara yang sangat santun sekali. (Panjenengan = anda)

“Sudahlah Man. Tidak usah berbicara seperti itu. Yang terpenting saat ini, kita memikirkan bagaimana cara menyembuhkan Gilang secepatnya.” Sahut Jati sambil melihat ke arah Darman, lalu melihat ke arah Ranajaya.

“Untuk luka luarnya, atas ijin dari sang pemilik hidup, istriku kemungkinan bisa menyembuhkan lewat ramuan – ramuannya Kangmas.” Ucap Ranajaya ke Jati.

“Tapi untuk luka dalamnya, istriku hanya bisa mengurangi rasa sakitnya dan tidak bisa menyembuhkannya dengan total. Kalau saja Gilang tidak meminum air dari sumber mata air itu, luka dalamnya kemungkinan bisa disembuhkan.” Ucap Ranajaya dan itu membuat Warji, Satro dan Darman, menundukan kepalanya.

“Begitu ya.?” Ucap Jati sambil mengambil rokok kelobotnya, lalu membakarnya.

Suasana menjadi tegang dan kelima orang itu langsung terdiam dengan lamunan masing – masing.



Pop Gilang.

“Ahhhhhh.” Aku membuka kedua mataku perlahan dan aku terbangun disebuah kamar yang sangat asing bagiku.

Aku langsung duduk dan melihat ke arah sekelilingku. Kepalaku agak pusing dan dadaku terasa sangat sakit sekali.

Cok. Ada apa dengan diriku dan dimana aku ini.?

Aku lalu mencoba mengingat kejadian – kejadian yang aku alami dan perlahan aku teringat sesuatu.

Aku masuk kehutan terlarang dan melakukan ritual untuk membuang kekuatanku. Kondisiku saat itu sangat parah dan tubuhku penuh dengan luka.

Aku lalu menarik ujung kerah pakaian yang aku kenakan dan terlihat luka bekas cakaran macan kumbang yang sudah sembuh.

Siapa yang mengobati lukaku dan siapa yang membawaku kemari.?

“Sudah bangun le.?” Tanya seorang perempuan tua yang masih cantik dan anggun.

Perempuan tua itu membawa secangkir minuman dan beliau tersenyum kepadaku. Beliau adalah Eyang Putri, istri dari Eyang Kakung Ranajaya. Seluruh penduduk desa ini memanggilnya seperti itu, karena selain beliau berdua orang yang terpandang, beliau berdua juga sudah mempunyai cucu.

“I, I, I, iya Eyang.” Jawabku terbata.

“Minumlah ini dulu.” Ucap Eyang Putri sambil menyodorkan cangkir yang dibawanya ke arahku.

“Minuma apa ini Eyang.?” Tanyaku sambil memegang cangkir minuman itu.

Aroma ramuan dedaunan dan rempah – rempah pun, langsung tercium dari arah cangkir yang aku pegang ini.

“Minumlah.” Ucap Eyang Putri dan aku tidak bertanya lagi.

Sruupppp.

Aku menyeruput minuman panas yang rasanya pahit ini beberapa kali, setelah itu aku memegangnya.

“Ahhhhhh.” Ucapku dan dadaku terasa sangat hangat.

Kepalaku tidak sepusing tadi dan sakit didadaku langsung berkurang.

“Jadi Eyang yang mengobati luka Gilang.?” Tanyaku dan beliau hanya tersenyum kepadaku.

“Terus siapa yang membawa Gilang kerumah ini.?” Tanyaku lagi.

“Gak usah banyak tanya dulu. Harusnya Eyang Putri yang tanya, bagaimana kondisimu sekarang.?” Tanya Eyang Putri.

Hiuufftttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, setelah itu mengeluarkannya perlahan.

“Gilang sehat Eyang.” Ucapku lalu aku menyeruput ramuan ini lagi.

Sruupppp.

“Syukurlah.” Ucap Eyang lalu beliau duduk dikursi, didekat kasur tempat aku duduk berselonjor ini.

Aku lalu menggeser dudukku dan duduk dipinggir kasur, dengan kaki yang menjuntai kelantai. Aku minum ramuan ini sampai habis dan Eyang Putri langsung menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

“Terimakasih Eyang.” Ucapku sambil menyerahkan cangkir yang sudah kosong kepada Eyang Putri dan beliau langsung tersenyum, lalu meletakan cangkir di meja.

“Bukan hanya untuk ramuan ini, tapi juga untuk semua obat – obatan yang membuat Gilang pulih seperti ini Eyang.” Ucapku dengan nada yang sangat sopan sekali.

“Memangnya sudah tidak terasa sakit lagi.?” Tanya Eyang Putri.

“Iya Eyang. Luka – luka Gilang sudah sembuh dan dada Gilang juga tidak sesak. Kalau bukan karena ramuan Eyang, gak tau bagaimana nasib Gilang saat ini.” Ucapku.

“Bukan karena Eyang Le. Eyang itu hanya perantara dan ramuan obat yang Eyang buat itu hanya medianya saja. Kondisimu sekarang itu, berkat izin dari Sang Pemilik Hidup dan semangat dari dirimu sendiri.” Ucap Eyang.

“Iya tetap saja Eyang. Perantara dan media yang dikirim Sang Pemilik Hidup untuk Gilang, sangat luar biasa. Jadi wajar dong kalau Gilang mengucapkan kata terimakasih. Kata terimakasih untuk perantara dan medianya, kata Syukur untuk Sang Penciptanya.” Ucapku.

“Ternyata, orang yang sekolahnya tinggi, pintar memainkan kata - kata ya.” Ucap Eyang sambil menatapku dengan anggunnya.

“Bu, bu, bukan begitu Eyang.” Ucapku yang salah tingkah, karena ditatap perempuan yang auranya sangat luar biasa ini.

“Sudahlah. lebih baik Gilang istirahat lagi aja.” Ucap Eyang Putri dan beliau mengucapkannya sambil berdiri.

“Untuk apa Gilang beristirahat lagi Eyang.? Gilang sudah sembuh.” Ucapku dan aku juga ikut berdiri dengan agak sempoyongan.

Cok. kenapa kepalaku goyang ya.? Memangnya berapa lama aku dirumah Eyang Ranajaya ini.? Kenapa kok kedua kakiku juga agak gemetar.? Atau jangan – janagn aku belum sembuh sepenuhnya.? Bajingan.

“Duduk dulu Le.” Ucap Eyang Putri, sambil memegang pundakku dan aku langsung duduk kembali.

“Kenapa kedua kaki Gilang agak kaku dan gemetaran Eyang.? Memang berapa lama Gilang terbaring disini.?” Tanyaku ke Eyang Putri.

“Sudahlah, istirahat aja dulu. Jangan terlalu banyak pikiran.” Ucap Eyang Putri.

“Enggak Eyang. Gilang sudah sembuh dan Gilang harus cepat kembali ke Kota Pendidikan, karena Gilang mau ujian akhir.” Ucapku.

“Tapi Gilang belum sembuh total.” Ucap Eyang yang mencoba menahanku.

“Sudah eyang, Gilang sudah sembuh. Gilang hanya butuh perenggangan otot, setelah itu Gilang pasti bisa berjalan seperti biasa.” Ucapku.

“Tapi Le.” Ucap Eyang Putri terpotong, karena aku menatap wajah beliau dengan wajah yang memelas.

“Baiklah kalau Gilang memaksa. Eyang akan buatkan Gilang ramuan, untuk dibawa ke Kota Pendidikan.” Ucap Eyang Putri.

“Terimakasih Eyang.” Ucapku dan beliau langsung keluar dari kamar ini.

Aku lalu menunduk sejenak sambil meluruskan kedua kakiku dilantai.

“Ahhhh.” Ucapku sambil mendangakkan kepalaku keatas dan kedua tanganku berada diujung dipan kasur ini.

Ada apa dengan diriku ini.? Seberapa parah sih lukaku, sampai aku seperti ini.? Terus berapa lama aku ada disini.?

Sudahlah. lebih baik aku merenggangkan otot – ototku dulu, setelah itu aku pulang kerumah untuk pamit kepada keluargaku, lalu aku berangkat ke Kota Pendidikan. Ujianku sudah dekat dan aku harus mempersiapkannya, agar nilaiku bagus dan lulus tepat waktu.

Aku lalu mengangkat pinggulku dan kedua telapak tanganku bertumpu kepada dipan. Setelah itu aku jongkok dengan kedua tangan masih tetap berpegangan pada ujung dipan.

“Hiuuufftttt.” Ucapku yang menahan nafas, lalu dengan bertumpu pada kedua tanganku, aku langsung mengangkat tubuhku dan duduk lagi di dipan kasur.

“Huuuuuu.” Aku hembuskan nafas panjangku dan aku ulangi gerakan itu sebanyak tiga kali.

“Ahhhhh.” Aku berdiri dari tempat tidur sambil mendangakkan kepalaku, setelah itu aku menegakkan kepalaku lagi.

Aku satukan jari – jari tangan kanan dan kiri, lalu aku arahkan kedepan, setelah itu aku luruskan ke atas kepalaku.

“Huuuuu.” Kepalaku sudah tidak berkunang – kunang dan kedua kakiku sudah tidak sekaku tadi.

Aku berjalan ke arah pintu kamar pelan, setelah itu aku melangkah keluar kamar. Tubuhku sedikit bergoyang, tapi aku mampu menyeimbangkan lagi.

“Sudah sehat Le.?” Tanya Eyang Ranajaya yang duduk dikursi goyangnya.

Aku yang terkejut langsung melihat ke arah beliau, yang duduk sambil menggoyangkan kursinya dan menghisap rokok klobotnya.

“Sudah Eyang.” Jawabku sambil mengangguk pelan dan aku menyatukan kedua tanganku didepan selangkanganku.

“Terus.?” Tanya beliau lagi tanpa melihat ke arahku dan kembali beliau mengisap rokoknya.

“Saya pamit pulang Eyang, saya mau kembali ke Kota Pendidikan.” Jawabku.

“Hidup itu bukan hanya sekedar mengejar impan, yang penuh dengan ambisi Le. Hidup itu juga tentang perjalanan untuk kembali kepadaNya.” Ucap Eyang Ranajaya yang langsung membuatku terdiam.

“Tidak ada puasnya ketika kita mendapatkan apa yang di impikan dan tidak ada habisnya ketika kita mengejar yang lain lagi.”

“Berjalanlah semampumu, tersenyumlah seihklasmu, berjuanglah sekuatmu dan jangan pernah memaksakan diri.”

Aku tetap diam mendengarkan beliau berbicara, karena semua yang diucapkan, mengena dihati.

“Aku tau tujuanmu dan aku hanya mengingatkanmu. Kamu boleh mengejar impianmu tapi jangan lupa jalan untuk pulang.” Ucap Eyang Ranajaya dan aku langsung mengangguk pelan.

“Terimakasih nasehatnya Eyang. Sekarang Gilang pamit dulu.” Pamitku dan Eyang Ranajaya hanya mengangguk pelan.

“Kok main langsung pergi aja.” Ucap Eyang Putri sambil membawa sebotol ramuan dengan kedua tangannya.

“Oh iya Eyang.” Ucapku kepada Eyang Putri.

“Bawa ramuan ini dan minum setiap pagi hari, setengah gelas kecil.” Ucap Eyang Putri, sambil menyerahkan botol ramuan itu kepadaku.

“Terimakasih Eyang.” Ucapku sambil mengambil botol ramuan itu, lalu aku meraih tangan kanan beliau dan menciumnya.

“Gilang pamit Eyang.” Pamitku dan beliau langsung membelai rambutku.

“Hati – hati dan jangan lupa pesan Eyang. Jangan sampai telat, apalagi lupa meminum ramuan ini.” Ucap Eyang Putri dan beliau mengucapkannya dengan suara yang bergetar.

Terlihat kesedihan yang amat mendalam dimata beliau, tapi beliau berusaha menutupinya. Entah apa yang membuat beliau bersedih. Apa karena aku masih sakit dan beliau tidak mau berkata jujur.? Entahlah. Aku juga tidak ingin bertanya, dari pada aku tidak di ijinkan pulang dan disuruh menunggu sampai sembuh total.

Akupun langsung mendekat ke arah Eyang Ranajaya yang melihat ke arah taman, melalui jendela rumahnya.

“Gilang pamit Eyang.” Pamitku sambil membungkuk dan meraih tangan kanan beliau, lalu aku menciumnya.

Aku lalu menatap wajah beliau dan beliau tersenyum sambil membelai rambutku.

Aku tegakkan tubuhku lagi, setelah itu aku menganggukan kepalaku pelan, lalu aku melihat ke arah Eyang Putri dan aku juga menganggukan kepalaku pelan.

Aku lalu pergi dari rumah Eyang Ranajaya, dengan berjuta pertanyaan dikepala. Aku merasa ada yang disembunyikan oleh Eyang Ranajaya maupun Eyang Putri. Entah apa itu, tapi aku tidak berani bertanya kepada orang yang paling dihormati di Desa Jati Bening itu.

Hiuuufffttt, huuuuu.

Aku terus berjalan ke arah jalan utama penghubung desa, lalu aku menumpang salah satu kendaraan penduduk desa ini, untuk menuju ke Desaku. Ketika sampai digerbang desaku dan turun dari kendaaran yang aku tumpangi ini,

TINN.

Bunyi klakson dari sebuah mobil dan aku langsung menoleh ke arah belakangku.

“Jiancok. Bisa – bisanya sepuluh hari kamu gak balik kekampus. Ngapain aja kamu disini.?” Tanya Rendi dengan mata yang melotot ke arahku.

Ha.? Sepuluh hari.? Berarti aku tidak sadarkan diri selama sepuluh hari dan selama itu aku terbaring dirumah Eyang Ranajaya.? Bajingan. Parah baget dong aku.? Assuuu.

“Ditanya kok malah diam aja, kutinju biji matamu baru tau rasa kamu.” Ucap Rendi sambil berjalan ke arahku.

“Kamu itu kenapa marah – marah sih.?” Tanyaku dan aku mencoba menenangkan diriku, karena jujur aku sangat bingung dengan keadaanku saat ini.

Aku tidak sadarkan diri selama sepuluh hari dengan luka yang pastinya sangat parah dan setiap hari aku harus meminum ramuan pemberian Eyang Putri.

“Bagaimana aku gak marah, kamu bilang sendiri kalau kamu mau persiapan ujian semester akhir. Tapi kenapa kamu malah menghilang selama sepuluh hari.?” Ucap Rendi dengan nada yang tinggi.

“Yang menghilang itu siapa.? Kan kamu yang antar aku kesini.” Ucapku.

“Ya harusnya kamu itu bilang kalau kamu lama disini, bukan diam saja.” Ucap Rendi.

“Kamu itu kenapa sih.? Kamu kangen sama aku ya.?” Tanyaku.

“Taik.” Ucap Rendi sambil mengambil rokoknya, lalu membakarnya.

“Sama siapa kamu kesini.?” Tanyaku sambil melihat ke arah mobil.

“Sendirilah. Aku itu nekat kesini, soalnya aku nyari kamu kemana – mana gak ketemu.” Jawab Rendi lalu dia menghisap rokoknya.

“Ooooo.” Ucapku dengan cueknya, lalu aku berjalan ke arah mobilnya sebelah kiri dan membuka pintu bagian depannya.

“Bangsatt.” Maki Rendi dan aku langsung masuk kedalam mobilnya dan menutup pintu mobilnya.

Rendi membuang rokoknya, lalu dia berjalan ke arah mobil dan membuka pintunya.

“Aku itu marah sama kamu, kok kamu malah masuk kemobil.?” Tanya Rendi dan dia berdiri sambil memegang pintu mobil yang terbuka.

“Kamu itu kayak perempuan loh Ren. Ngomel aja kerjaannya.” Ucapku dengan santainya.

“Anjingg. Kalau bukan sahabatku, sudah kubuat berdarah itu mulutmu.” Ucap Rendi.

“Sudahlah, gak usah ngomel terus. Kamu kesini mau jemput akukan.? Cepat naik mobil.” Ucapku sambil melirik ke arahnya.

“Anjingg, anjingg.” Gerutu Rendi sambil masuk kedalam mobil, lalu menutupnya dengan kuat.

BRAKKK.

“Kalau kamu gak ikhlas, ngapain kamu datang kesini.?” Tanyaku dengan nada suara yang sangat santai.

“Diam kamu Lang. Kalau enggak, kubuat berdarah beneran itu mulutmu.” Ucap Rendi dan aku hanya tersenyum, melihat tingkahnya yang seperti anak kecil itu.

Aku tau sahabatku ini sangat perhatian kepadaku dan sengaja aku mengajaknya bercanda, supaya dia gak terlalu banyak bertanya tentang keadaanku didesa ini.

Rendi lalu menyalakan mobilnya, setelah itu menjalankannya, tanpa bersuara lagi.

Kembali pikiranku melayang dan aku mencoba mengingat, apa saja yang telah terjadi sepuluh hari ini. Apakah aku hanya terbaring saja atau aku pernah tersadar.? Apakah keluargaku tau dengan kondisiku.? Terus siapa yang membawaku kerumah Mbah Ranajaya ya.?

Aku terus terdiam dan terus mencoba mengingat segalanya.

“Masih melamun kamu.?” Tanya Rendi yang mengejutkanku dan aku langsung tersadar, kalau mobil ini telah berhenti.

Mobil ini berhenti dipinggiran Desa Banyu Bening dan didekat jalan yang menuju ke arah sungai. Rumah Bu Nyoto juga terlihat dari tempat ini, walaupun agak kejauhan.

“Ngapain kita disini Ren.?” Tanyaku Kepada Rendi.

“Aku mau ngobrol sama kamu.” Jawab Rendi singkat, sambil mematikan mesin mobilnya.

“Ngapain juga disini.? Kenapa gak dirumahku aja.?” Tanyaku lagi.

“Gak disini, tapi disungai sana.” Ucap Rendi sambil menunjuk ke arah sungai.

“Oh ya sudah. Kalau begitu aku titip ini disini ya.” Ucapku sambil mengangkat botol ramuan pemberian Eyang Putri tadi.

“Minuman apa itu.?” Tanya Rendi.

“Obat kuat.” Jawabku singkat, sambil membuka pintu mobil, lalu meletakan botol ramuan dikursi.

“Bangsat.” Maki Rendi, lalu dia turun dari mobilnya.

Kami berduapun langsung menyusuri jalan setapak menuju ke arah sungai. Rendi mengeluarkan rokoknya, lalu mengambilnya sebatang dan menyerahkan bungkusan rokoknya kepadaku.

“Tumben Mery gak ikut.?” Tanyaku lalu aku membakar rokok pemberian Rendi.

“Dia lagi persiapan ujian.” Jawab Rendi, lalu dia menghisap rokoknya.

“Oooo.” Ucapku, sambil menganggukan kepala pelan.

Beberapa saat kemudian, kami sudah sampai dipinggir sungai. Kami berdua lalu duduk diatas batu besar, sambil melihat ke arah sungai dan juga hutan terlarang diseberang sana. Hutan terlarang terlihat indah, tenang dan begitu sejuk dipandang mata. Itu berbeda sekali ketika aku masuk kedalam sana sepuluh hari yang lalu. Gila.

“Kamu baru masuk kedalam sana ya Lang.?” Tanya Rendi yang mengejutkanku dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Ha.?” Ucapku lalu aku berusaha menenangkan diriku.

“Anjingg. Padahal aku tadi itu asal ngomong aja loh. Tapi setelah melihat ekspresimu seperti ini, aku jadi yakin kalau kamu baru masuk kedalam sana.” Ucap Rendi sambil menoleh ke arahku lalu wajahnya mendekat ke arahku.

“Kamu mau ngapain.?” Tanyaku ketika wajahnya dekat dengan wajahku.

“Berkelahi dengan siapa kamu didalam hutan sana.? Kok wajahmu ada bekas lukanya.?” Tanya Rendi.

“Kamu itu kenapa sih Ren.? Sok tau banget.” Ucapku sambil memalingkan wajahku, melihat ke arah hutan lagi.

“Taik. Jadi kamu gak mau cerita ya.?” Ucap Rendi dan dia juga melihat ke arah hutan juga.

“Gak ada yang perlu diceritakan, karena memang gak ada yang menarik tentang apa yang terjadi dengan diriku.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku dalam – dalam dan mematikan puntung rokok yang sudah dekat dengan filternya.

“Jancok.” Ucap Rendi pelan, lalu dia mematikan rokoknya juga.

“Nikmati hidup itu dengan cara sendiri, tanpa perlu melihat orang lain Ren.” Ucapku dan Rendi langsung melihat ke arahku.

“Terus apa keinginan terbesarmu saat ini.?” Tanya Rendi.

“Segera pergi dari kampus teknik kita, dengan membawa sejuta kenangan dari orang – orang yang aku sayangi.” Jawabku.

“Bukan hanya kamu yang akan mengenang orang – orang, tapi kamu juga akan dikenang dengan segala perubahan yang telah kamu lakukan dikampus teknik kita. Suka – atau tidak suka, kamu akan dikenang dengan semangatmu dan kamu akan dikenang karena telah memberikan inspirasi kepada kami semua.” Ucap Rendi.

“Tidak ada yang aku lakukan dan tidak ada yang aku rubah dikampus teknik kita. Semua bisa terjadi karena kebersamaan dan semangat dari seluruh mahasiswa kampus teknik kita.” Ucapku.

“Aku tidak ingin dikenang dan aku ingin pergi bersama kesunyian. Aku ingin ketika melangkahkan kakiku keluar dari Kota Pendidikan, semua orang melupakan Gilang Adi Pratama.” Ucapku lagi.

“DJIANCOK.!!!” Terdengar makian seseorang dari arah belakang kami dan kami berdua langsung melihat ke arah orang itu.

“Koen iku nangdi ae cok. sepuluh dino gak ono kabare. Assuuu.” (Kamu itu kemana aja cok.? Sepuluh hari gak ada kabar. Anjingg.) Ucap Orang itu dengan emosinya dan dia adalah Joko Purnomo, sahabatku yang gila. Dia tidak sendiri, dia datang bersama Zaky yang berdiri disebelahnya.

Aku dan Rendi langsung berdiri, lalu turun dari batu. Kami berdua berjalan ke arah mereka berdua dan Rendi langsung melirik ke arah Zaky. Zakypun membalas tatapan Rendi dan mereka berdua seperti sedang memendam sesuatu.

“Koen iku lapo muring – muring cok.?” (Kamu itu kenapa marah – marah cok.?) Tanyaku ke Joko.

“Koen minggat gak ono kabar cok. nggatheli.” (Kamu pergi gak ada kabar cok. menjengkelkan.) Ucap Joko.

“Seng minggat sopo cok.? Aku loh nde kene ae.” (Yang pergi siapa cok.? Aku loh disini aja.) Ucapku

“Koen ngerti assuu a.?” (Kamu tau anjing kah.?) Tanya Joko.

“Assu iku gak wani njenggong lek ambe seng dikenal, lah terus lapo koen wani njenggong nang aku cok.?” (Anjing itu gak berani menggonggong kalau sama yang dikenal, terus kenapa kamu berani menggonggong ke aku cok.?) Tanyaku dan sengaja aku mengajak Joko bercanda, supaya dia gak marah lagi.

“Hahahahaha.” Rendi dan Zaky langsung tertawa mendengar ucapanku ini.

“Oooo. Kirekkk.” (Oooo. Anjingg.) Maki Joko dengan jengkelnya.

“Hahahahaha.” Aku pun tertawa, lalu aku berjalan melewati Joko dan Zaky, untuk pulang kerumahku.

“Nangdi koen su.” (Mau kemana kamu njing.) Tanya Joko.

“Muleh.” (Pulang.) Jawabku singkat sambil terus berjalan.

“Bajingan.” Ucap Joko.

“Gak ada otak Gilang itu.” Ucap Zaky dengan nada yang terdengar jengkel.

“Ada, tapi nyempil dihidung.” Sahut Rendi.

Aku tidak menghiraukan ucapan mereka bertiga dan aku terus berjalan menyusuri jalan setapak.

Ketiga orang yang itu terdengar mengomel dan terus memakiku, sambil berjalan ke dibelakangku.

Dan didepan jalan setepak sana, terpakir dua mobil. Mobil pertama yang aku tumpangi bersama Rendi dan mobil yang kedua, kelihatannya mobil yang ditumpangi Joko dan Zaky.

“Melu nang omahku ta.?” (Ikut kerumahku kah.?) Tanyaku kepada Joko dan Zaky.

“Dia ini memang gila kah Jok.? Kita ini masih marah sama dia, tapi dia kok nyantai aja.?” Tanya Zaky.

“Gak bisa ngomong aku Ky.” Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Lalu tiba – tiba wajah Joko melihat ke arah Bu Nyoto dan kami bertiga juga melihat ke arah sana.

Terlihat Guntur keluar dari rumah Pak Nyoto bersama Kinanti, lalu mereka berdua naik sepeda motor dan Kinanti memeluk Guntur dengan mesranya.

“Cok. enak itu.” Ucap Joko sambil melirik ke arahku.

“Emang kenapa Jok.?” Tanya Rendi.

“Itu mantannya teman kita, terus sekarang mau nikah sama Guntur.” Jawab Joko sambil melirikku dengan pandangan yang mengejek. Dia seperti ingin membalas dendam, karena aku mencuekinya tadi.

“Uhhhhhhh. Pasti sakit banget itu.” Ucap Zaky sambil memegang dadanya dan terlihat dia juga mau mengejek aku.

“Waktu sakit, datang dengan air mata. Giliran bahagia, malah sama si dia. Djiancok.!!!” Ucap Joko dan lagi – lagi tampangnya membuatku sangat jengkel sekali.

Sebenarnya sih aku biasa aja melihat kemesraan antara Kinanti dan Guntur. Walaupun sebenarnya ada sedikit rasa sakit dihati, tapi itu gak seberapa. Yang membuat sakit hatinya semakin membesar, justru ucapan Joko ini. bajingan.

“HAHAHAHA.” Joko, Rendi dan juga Zaky, tertawa dengan kerasnya.

“Bajingan.” Gumamku.

“HAHAHAHA.” Tawa mereka bertiga semakin keras dan aku hanya bisa menggaruk kepalaku.



#Cuukkk. Ternyata rasa sakit akibat pertempuran itu, tidak seberapa dibandingkan mendengar kata - kata mantan yang akan menikah. Sakitnya luar biasa cok. Bajingan.!!!
Kireeeekkk.. Asyuuuuuu


Keren cerita nya...

Apakah epek dari minum dari mata air atau air terjun tadi yak?


De best lah gilang

Pokus pada impian dan mempunyai orang yg sangat peduli sama keadaan dia


Salut suhu @Kisanak87 🦅🦅🦅💦💦
 


BAGIAN 39
KABAR BURUK



Pop Orang Ketiga

Disebuah rumah dipinggiran Kota Pendidikan, tujuh orang berkumpul dan sedang memutar minuman. Tujuh orang itu adalah Black, Joni, Budi, Adri, Saipul, Supri dan Alwi.

“Jadi bagaimana.? Kalian berenam tidak bisa merayu Zaky untuk bergabung dengan kita.?” Tanya Black kepada ke enam anggotanya dan semua yang ditanya itu, tidak ada yang menjawab.

“Hem. Lemah.” Ucap Black dengan nada yang sangat sinis sekali.

“Bukan seperti itu bos. Bos tau sendiri kan Zaky itu seperti apa.?” Ucap Jono.

“Iya, aku paham. Cak Herman sendiripun, tidak bisa memaksa anaknya untuk bergabung dengan kita. Tapi kalian semua kan dekat sekali dengan Zaky, masa kalian tidak bisa merangkul untuk bergabung dengan kita.?” Ucap Black lalu dia menghisap rokoknya.

“Bos, saya kan sudah pernah kasih informasi, kalau Zaky sekarang dekat dengan anak kampus teknik kita dan jarang berkumpul dengan kami lagi.” Sahut Adri.

“Iya, aku ingat itu dan Itulah yang aku takutkan. Kalau Zaky dekat dengan kampus teknik kita, apalagi dengan pondok merah, itu akan mengacaukan semua rencana kita.” Ucap Black lalu dia menuangkan minuman kegelas, setelah itu dia meminumnya.

“Ahhhhh.” Ucap Black setelah dia menghabiskan minumannya.

“Pondok merah sudah cukup lama menguasai kehidupan dunia bawah tanah seluruh kampus yang ada di Kota Pendidikan ini. Dan beberapa tahun ini, kita sudah bisa mulai menggeser dan membagi ‘daerah jajahan’ dengan mereka. Mereka dengan keluarga Jati yang ada dibelakangnya dan kita dengan aliansi selatan yang dipimpin Cak Herman.” Ucap Black sambil menuangkan minuman kegelas lagi, lalu menyerahkan kepada Budi.

“Apa cuman Cak Herman aja yang ada dibelakang kita Bos.?” Tanya Budi sambil menerima gelas dari Black, lalu dia meminumnya.

“Enggak. Kalau cuman Cak Herman, kita pasti tidak ada disini.” Jawab Black dan semua orang yang ada diruangan itu, langsung terkejut.

“Benar dugaanku.” Ucap Budi sambil menyerahkan gelas kosong kepada Black.

“Terus siapa Big Bos kita.?” Tanya Saipul.

“Cak Cakra, musuh bebuyutan dari Irawan Jati.” Jawab Black.

“Cok. Makanya kita bisa melenggang sejauh ini. Rupanya yang ada dibelakang kita setara dengan Irawan Jati ya.?” Ucap Alwi.

“Iya, Pantas aja aliansi selatan bisa sedikit mengimbangi kelompok keluarga Jati.” Sahut Supri dan Black hanya mengangguk sambil terus memutarkan minuman.

“Terus kenapa kita harus terus merayu Zaky masuk dikelompok kita, kalau kita sudah ada kekuatan besar dibelakang kita.?” Tanya Budi.

“Karena Zaky itu memiliki kekuatan yang tersembunyi dan lebih besar dari pada Ayahnya, Cak Herman.” Jawab Black.

“Tau darimana Bos.?” Tanya Budi.

“Dari Cak Cakra dan beliau yang terus memaksaku untuk merekrut Zaky.” Jawab Black.

“Begitu ya Bos.” Ucap Joni sambil menganggukan kepalannya pelan.

“Terus bagaimana tindakan kita selanjutnya Bos.?” Tanya Supri.

“Zaky sekarang dekatnya dengan Gilang dan Joko, yang bukan anggota pondok merah.” Adri yang menjawab pertanyaan Supri.

“Kamu tau dari mana kalau Gilang dan Joko bukan anggota dari pondok merah Dri.?” Tanya Alwi.

“Mereka berdua tinggal dikos berhantu yang melegenda dikota ini dan mereka berdua focus dengan kantor yang mereka kelola.” Jawab Adri lalu dia meminum jatah minumannya.

“Gilang itu terlalu focus dengan pekerjaan dan kuliah, jadi dia tidak mungkin memikirkan masalah dunia bawah tanah.” Ucap Adri lagi.

“Tapi bukan berarti dia tidak kita waspadai. Bisa aja dia anggota pondok merah, tapi tidak kos dipondok merah, seperti Bendu.” Ucap Alwi.

“Iya. Takutnya Zaky malah terbawa oleh permainan Gilang yang tidak kita ketahui.” Sahut Joni.

“Terus bagaimana enaknya.?” Tanya Adri.

“Sebentar dulu Dri. Kamu tadi bilang Gilang dan Joko mempunyai kantor. Apa nama perusahaan mereka itu, PT Biola Sapa Semesta.?” Tanya Black.

“Iya, kok bos tau.?” Adri bertanya balik.

“Aku tau informasi ini dari teman – teman. Kata mereka ada sebuah perusahaan konsultan yang sedang naik daun dan tidak ikut dibawah aliansi selatan ataupun keluarga Jati.” Jawab Black.

“Apa perlu kita mainkan perusahaan itu.?” Sahut Joni dan semua yang ada diruangan ini langsung tersenyum dengan bengisnya.

“Berani kalian sentuh perusahaan itu, aku yang akan kalian hadapi.” Tiba – tiba Zaky muncul diruangan itu dan membuat seisi ruangan terkejut.

Zaky langsung berjalan ke arah mereka dengan tatapan tajam, sambil menikmati rokoknya.

“Zaky sang predator.” Ucap Black kepada Zaky.

“Black. Gilang dan Joko itu, tidak mau mengurusi hal – hal yang tidak penting, seperti yang kalian ributkan ini. Merekapun tidak ada hubungannya dengan pondok merah, makanya aku mau berteman dengan mereka berdua. Mereka hanya pemuda dari desa yang berkuliah sambil mencari sesuap nasi. Jadi jangan sekali – kali kalian menyentuh Gilang, Joko ataupun kantor mereka.” Ucap Zaky sambil menatap Black, lalu menatap keenam temannya bergantian..

“Aku hanya bercanda aja tadi Ky.” Ucap Jony.

“Candaanmu itu gak lucu dan aku risih sekali mendengarnya.” Ucap Zaky,

“Santai Ky, santai. Minum dulu.” Ucap Black lalu tersenyum, untuk mencairkan suasana yang tegang itu,

“Terimakasih Black. Sebenarnya aku tadi kesini, mau bersenang – senang dengan kalian. Tapi ketika mendengar pembicaraan kalian, aku jadi gak mood.” Ucap Zaky, lalu dia menghisap rokoknya lagi, setelah itu dia pergi meninggalkan teman – temannya itu.



Pop Gilang.

“Bagaimana Lang.? Kamu sudah siap dengan judul untuk tugas akhirmu.?” Tanya Pak Tomo yang sekarang sudah menduduki jabatan sebagai Wakil rector urusan kemahasiswaan.

“Judul sudah siap Pak dan saya juga sudah menyelesaikan PKN saya. Setelah ini saya akan mengajukan seminar judul untuk tugas akhir saya.” Jawabku.

“Baguslah. Oh iya, kamu PKN di proyekmu yang ada dikota sebelah ya.?” Tanya Pak Tomo.

“Iya Pak. Dan rencananya untuk tugas akhir saya, saya juga akan mengambil data – data yang ada diproyek itu.” Jawabku.

“Itu bagus, tapi lebih bagus lagi kalau kamu juga membawa teman – teman seangkatanmu.” Ucap Pak Tomo.

“Mohon maaf Pak, yang sudah PKN itu baru saya dan Ratna. Dan rencananya kami juga akan mengambil tugas akhir bareng dengan proyek yang sama, tapi berbeda judul. Ratna akan mengambil manajemen kontruksi, sedangkan saya akan mengambil pondasi strukturnya Pak.”:Ucapku.

“Hem.” Ucap Pak Tomo sambil menganggukan kepalanya pelan.

“Tapi saya akan tetap membantu teman – teman yang rencananya semester depan baru akan PKN Pak. Ada beberapa proyek baru saya yang akan jalan dan datanya bisa digunakan teman – teman.” Ucapku lagi.

“Rupanya kantormu sudah banyak proyek ya.?” Tanya Pak Tomo.

“Iya Pak. Itu semua berkat bantuan Bapak, Ibu Damayanti dan orang – orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Berkat dari orang yang baik dan berkat dari orang yang penuh kasih sayang.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Berkat perjuanganmu, berkat kerja kerasmu dan berkat kegigihanmu. Kamu memulainya dari nol dan kamu menginspirasi banyak orang.” Ucap Pak Tomo menyambung perkataanku.

“Tapi kamu jangan berbangga hati dulu Kamu masih punya hutang janji denganku.” Ucap Pak Tomo terpotong dan aku langsung mengangguk pelan.

“Iya Pak. Saya paham itu dan saya pasti akan menunaikan janji saya.” Ucapku dan maksud dari Pak Tomo ini, tentu saja aku harus lulus tepat waktu. Aku akan menunaikan janji itu dan aku akan lulus secepatnya.

“Tapi ngomong – ngomong, kamu sehat Lang.?” Tanya Pak Tomo sambil menatapku dengan serius.

“Sehat Pak, emang ada pa ya Pak.?” Tanyaku dengan agak kebingungan.

“Wajahmu agak pucat.” Ucap pak Tomo.

“Ooohh. Saya kurang istirahat Pak. Semalam saya bergadang.” Jawabku.

“Jaga kesehatanmu anak muda. Silahkan kejar semua targetmu, tapi kamu juga harus memperhatikan kesehatan pikiran dan kesehatan tubuhmu.” Ucap Pak Tomo.

“Iya Pak.” Jawabku singkat dan Pak Tomo hanya menatapku saja.

Tatapannya agak berbeda dan itu membuatku sangat canggung sekali. Kelihatannya aku harus pergi sekarang, dari pada pembahasannya bisa melebar kemana – mana.

“Oh iya Pak, mohon maaf. Saya ijin pamit dulu, karena saya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan Pak.” Pamitku ke Pak Tomo.

“Hiuufftt, huuu.” Pak Tomo menarik nafas panjangnya, lalu beliau menganggukan kepalanya, tanpa berbicara sedikitpun.

Akupun langsung berdiri sambil menganggukan kepalaku, lalu aku keluar ruangan Pak Tomo.

Hiufftt, huuu.

Hari ini sudah beberapa bulan terlewati, semenjak kejadian dihutan terlarang. Aku sudah menyelesaikan ujian akhirku dan aku juga sudah menyelesaikan PKN ku. Seluruh mata kuliahku juga sudah selesai, termasuk tugas besar dan praktikum. Saat ini fokusku hanya di tugas akhir dan beberapa pekerjaan kantor.

Beberapa bulan kemarin, aku sangat – sangat disibukan oleh urusan kampus dan hari ini baru agak longgar. Aku ingin istirahat satu atau dua hari ini dulu, sebelum berjuang lagi untuk tugas akhir dan kantorku.

Setelah kejadian dihutan terlarang waktu itu, aku juga selalu meminum ramuan dari Eyang Putri Ranajaya dan ketika ramuan habis, pasti ada saja yang mengantarkan ramuan itu kepadaku.

Tapi ngomong – ngomong, hari ini aku lupa meminum ramuan itu, karena aku terburu – buru berangkat kekampus.

Gak apa – apalah, cuman hari ini aja aku gak minum ramuan itu. Besok aku akan meminum ramuan itu lagi.

Hiuuffttt, huuuuu.

Setelah sampai didepan ruangan Pak Tomo, aku ambil rokokku sebatang, lalu aku membakarnya dan menghisapnya.

Cok. kenapa rokok ini terasa hambar dan gak enak banget ya rasanya.? Apa rokok ini sudah kadaluarsa.? Ahhh, masa kadaluarsa.? Memang beberapa hari ini, rokok yang aku hisap tidak enak dan mulutku terasa pahit.

Sudahlah. Mungkin aku lagi ga enak badan aja.

Aku menghisap rokokku lagi dan ketika aku akan melangkahkan kakiku, aku melihat seorang wanita keluar dari gedung sebelah dengan membawa setumpuk dokumen yang dimasukan kedalam kerdus. Wanita itu tampak gugup ketika melihatku dan entah kenapa, kedua kakiku langsung melangkah ke arahnya.

“Kamu mau kemana Ndhis.?” Tanyaku ketika aku sudah berdiri dihadapannya. Akupun tidak memanggilnya dengan sebutan Mba, seperti biasa ketika dikampus.

Gendhis tidak menjawab pertanyaanku dan dia hanya menarik nafasnya dalam – dalam.

Cok. Kok sikap Gendhis agak aneh ya.? Ada apa ini.?

“Mba, kok dibawa sendiri sih.? Sini Jaya bantuin.” Ucap seorang laki – laki muda yang datang dari arah belakangku.

“Oh iya De.” Ucap Gendhis dan laki – lak yang bernama Jaya itu, langsung mengambil kerdus yang dibawa oleh Gendhis.

“Jaya tunggu diparkiran ya Mba.” Ucap Jaya.

“Iya De, tunggu disana sebentar ya. Mba masih ada urusan sebentar.” Sahut Gendhis.

“Iya, tapi jangan lama – lama. Entar Mba ketinggalan pesawat loh.” Ucap Jaya dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Iya.” Jawab Gendhis pelan lalu dia melihat ke arahku.dan Jaya pun langsung pergi meninggalkan kami.

“Kamu mau kemana Ndhis.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Aku mau bertemu Ibuku di Ibukota negara.” Jawab Gendhis.

“Oohh. Kamu kangen sama Ibumu ya.?” Tanyaku dan sekarang nada bicaraku sudah agak santai.

“Iya, aku kangen banget sama Ibuku.” Jawab Gendhis.

“Hiuffttt, huuuu.” Giliran aku yang menarik nafas panjangku, karena entah kenapa aku takut dia pergi dan tidak kembali lagi.

“Selain itu, aku juga ingin pamit dengan Ibuku.” Ucap Gendhis dan detak jantungku tiba – tiba terasa berhenti sesaat.

“Pa, pa, pamit kemana.?” Tanyaku terbata.

“Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan keluar negeri.” Jawab Gendhis dengan suara yang pelan dan bergetar.

Jawaban Gendhis ini seperti menusuk gendang telingaku dan mencabik – cabik seluruh isi dalam tubuhku.

“Ke, ke, ke, keluar negeri.?” Tanyaku dan kedua mataku langsung berkaca – kaca. Rokok ditanganku langsung terlepas, karena tanganku gemetaran.

“Iya.” Jawab Gendhis dan perlahan dia bisa menguasai dirinya.

Cok. Kok jadi seperti ini sih.? Kenapa dia gak pernah bicara dengan aku, kalau mau melanjutkan pendidikannya keluar negeri.? Memang benar kami gak memiliki ikatan hubungan. Tapi setidaknya dengan semua yang pernah kami lewati, apa salahnya mengucapkan kata pamit beberapa hari yang lalu.? Gak dadakan seperti ini.

Beberapa bulan ini sikap Gendhis memang sangat dingin kepadaku dan aku ingin memperbaikinya, dengan mengajukan dia sebagai salah satu pembimbing tugasku. Tapi rupanya semesta berkehendak lain dan aku harus kehilangan dia, disaat aku benar – benar ingin memperbaiki semuanya.

Niatku hanya ingin memperbaiki saja kok. entah hasil akhirnya kami akan menjadi kekasih atau hanya sebagai sahabat. Aku gak ingin dia bersikap dingin terus kepadaku dan aku ingin lulus dari kampus ini, tanpa meninggalkan ganjalan sedikitpun. Tapi sekali lagi semesta berkehendak lain. Gendhis yang ‘lulus’ duluan dan rencanaku hancur berantakan.

.hiuufftt, huuuuu.

“Apa kamu berencana pergi tanpa berbicara kepadaku ya Ndhis.?” Tanyaku dan aku mencoba menguasai diriku.

“Maksudnya.?” Gendhis bertanya balik.

“Kita bertemu sekarang ini kebetulan kan.? Kalau seandainya kita gak bertemu hari ini, kamu akan pergi begitu saja, tanpa ada sepatah kata buat aku kan.?” Tanyaku sambil menatap matanya.

“Tidak ada yang kebetulan didunia ini Lang. Sang Pencipta sudah mengaturnya dan kita dipertemukan saat ini, ditempat ini.” Jawab Gendhis.

“Ya berarti kita bertemu sekarang, bukan karena keinginanmu, tapi karena Sang Penciptakan.?” Tanyaku.

“Kalaupun aku ada keinginan untuk berpamitan, tapi Sang Pencipta tidak mengijinkan, kamu mau apa.? Mau menyalahkan Sang Pencipta.? Dan kalau saat ini Sang Pencipta menginkan kita bertemu, walaupun kita tidak merencanakan, apa bisa ditolak.?” Tanya Gendhis dan tiba – tiba dadaku terasa sangat sakit sekali.

Sakit ini datang, disaat yang tidak tepat. Aku menahannya sekuat tenaga dan aku tidak ingin menunjukannya dihadapan Gendhis.

“Sekuat apapun kamu berjuang, tapi Sang Pencipta tidak merestui, semua akan sia – sia. Sekuat apapun kamu berlari, tapi Sang Pencipta mentakdirkan untukmu, kamu gak akan bisa menghindar.”

“Terdengar kejam, tapi itulah kenyataan.” Ucap Gendhis dan kembali nada suaranya terdengar bergetar.

“Huft, hu, hiuft, hu.” Aku mengatur nafasku pelan dan perlahan.

Aku berusaha untuk tidak membuat Gendhis curiga dan aku menahan sakit didadaku ini sekuat tenagaku.

Hatiku terasa diremas oleh sakit yang kuderita dan jantungku terasa ditikam oleh kata – kata Gendhis. Tenggorakanku cekat, pikiranku buntu dan perasaanku luluh lantak.

“Sudahlah Lang. gak akan ada habisnya kalau kita berdebat. Waktuku sudah sangat mepet dan aku harus pergi sekarang juga.” Ucap Gendhis sambil melihat ke arah yang lain dan aku tetap diam sambil terus melihat ke arahnya.

“Hiufftttt, huuuuu.” Tarikan nafas Gendhis terdengar berat dan sekarang terlihat dia sedang menahan rasa sedihnya.

“Aku pamit.” Ucap Gendhis tanpa melihat ke arahku, lalu dia berjalan meninggalkan aku dengan linangan air mata yang mulai jatuh dipipinya.

Tap.

Aku memegang dada bagian kiri bawahku, ketika Gendhis sudah berjalan melewati aku.

“Hu, hu, hu, hup, hup, hup, hup.” Aku mencoba menarik nafasku, tapi tidak bisa sama sekali.

Jantungku terasa berhenti berdetak dan aliran darahku terasa berhenti mengalir.

Sakit didada dan kecewa yang begitu mendalam, menyatu ditubuhku. Aku tidak bisa berbuat apa – apa, selain diam sambil terus meremas dadaku dengan kuatnya.

Apa hanya seperti ini saja perpisahan kami berdua.? Tanpa ada pelukan.? Tanpa ada jabat tangan.? Atau setidaknya saling menatap untuk yang terakhir kali.

Kalaupun hati kami tidak bisa saling berpelukan, biarkan jabatan tangan yang mewakilkan. Kalaupun semua itu tidak bisa, biarkan tatapan mata kami yang saling berbicara.

Sakit, ya memang sakit kawan.

Ketika seorang wanita yang menjadi pengisi hatimu pergi dan kamu tidak bisa berbuat sesuatu, itu sangat perih sekali kawan.

Ketika seorang wanita yang jelas – jelas mencintaimu dan kamu tidak bisa membuat keputusan, itu sangat pedih sekali kawan.

Ketika kamu mencintai wanita itu dan kamu tidak sanggup memperjuangkannya, itu sangat sakit sekali kawan.

Perih tapi tak sanggup merintih, itu sangat menyiksa kawan.

Pedih tapi tak sanggup menangis, itu sangat mencekik kawan.

Sakit tapi tidak berdarah, itu bisa membunuh perlahan kawan.

Rasa ini benar – benar membunuh jiwaku, tapi tidak ragaku. Aku seperti hidup tapi tak bernyawa.

Dan tiba – tiba.

Tap.

Tubuhku dipeluk seseorang dari arah belakang. Dada orang itu menempel dipunggungku sangat erat, sampai dadanya menggncet punggungku. Dada seorang wanita tentunya.

Kedua tangan wanita itu masuk disela – sela ketiakku, lalu dia mengelus dada bagian atasku dan turun perlahan. Tangan kananku yang meremas dada bagian bawahku disingkirkannya perlahan, lalu dia menyentuh kebagian yang sakit dengan sangat lembut sekali.

Pelukannya terasa hangat dan sentuhannya terasa menenangkan jiwa. Nyeri didadaku yang teramat sangat sakit ini, perlahan mulai mereda. Setiap sentuhannya ini, terasa diikuti dengan cinta dan kasih yang sangat luar biasa.

Hiuufftt, huuuu.

Akhirnya Gendhis memelukku dan pasti dia tidak akan pergi selamanya, sebelum semuanya berakhir dengan baik.

“Hiuuffttt, huuuuu.” Aku menarik sedikit nafas panjangku dan kembali jantungku mulai berdetak agak cepat.

Terimakasih Sang Pencipta, terimakasih. Kau tidak membiarkan perpisahan kami, menjadi sangat menyedihkan. Walapun akhirnya kami tetap berpisah, tapi setidaknya sakit ini bisa agak berkurang.

“Hiuuuuffttt, huuuuuuu.” Aku menarik nafas panjangku dan dadaku benar – benar sangat lega sekali.

Aku lalu menunduk dan melihat pergelangan tangan wanita yang memelukku ini. Jam tangan logam yang mungil, melingkar di pergelangan tangan kanan wanita ini. Dan pemilik jam tangan ini adalah Ratna.

Ratna.? Jadi yang memelukku dari belakang ini Ratna, bukan Gendhis.? Arrgghhhh.

“Tenangkan hati dan pikiranmu Lang.” Ucap Ratna dengan sangat lembut dan terasa wajah sampingnya menempel dipunggungku

Ratna terus membelai dadaku sangat lembut dan aku tidak menghentikannya. Sebenarnya aku sangat ingin mengejar Gendhis, tapi sisi lain dalam hatiku mencegahnya. Kedua kakiku terasa kaku dan aku tidak bisa menggerakannya.

“Bersabarlah, karena hidup itu gak selamanya indah. Ikhlaslah, karena itu yang bisa mengembalikanmu kejalur ke kehidupan yang indah. Kuatlah dan percayalah, kalau kamu mampu melewatinya.” Ucap Ratna dengan suara merdunya dan aku langsung menegakkan kepalaku lagi.

“Hiuuuuffttt, huuuuuuu.” Kembali aku menarik nafas panjangku dan Ratna langsung mengendurkan pelukannya.

Diangkat wajahnya yang menempel dipunggungku dan perlahan dia melepaskan pelukannya.

Aku langsung membalikan tubuhku dan senyum Ratna langsung menyambutku.

“Apa ada cinta yang akan mendampingi aku, untuk menemukan indahnya kehidupan.?” Tanyaku sambil menatap matanya.

“Tanyakan pada hatimu, karena hanya dia yang bisa menjawabnya.” Ucap Ratna, sambil menunjuk ke arah bagian hatiku dengan sentuhannya yang lembut.

Aku langsung menundukan kepalaku sejenak, lalu aku menegakan kepalaku lagi sambil melihat ke arah sampingku. Aku tidak sanggup menatap mata Ratna lebih lama, karena ada cinta disitu dan aku takut menyakitinya.

Dan ketika aku menoleh itu, terlihat Pak Tomo berdiri diseberang gedung sambil menghisap rokoknya. Tatapannya datar dan dia langsung membalikan tubuhnya, lalu berjalan masuk kedalam gedung lagi.

“Lang, Gilang.” Tiba – tiba dari arah belakang Ratna, Gandi berlari ke arah kami. Wajahnya terlihat babak belur dan darah keluar dari hidung serta mulutnya.

“Gandi. Kenapa kamu.?” Tanya Ratna yang membalikan tubuhnya, lalu berdiri disebelah kiriku. Gandi langsung berhenti dihadapanku dan nafasnya tersengal – sengal.

“Ada anak mahasiswa baru yang menghajar teman – teman kita. Hu, hu, hu.” Ucap Gandi, lalu dia membungkuk dan kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya. Gandi melihat ke arah Ratna, lalu melihat ke arahku.

“Terus kenapa kamu cari Gilang.?” Tanya Ratna, sambil merangkul tangan kananku. Dia seperti menahanku dan tidak ingin aku mencampuri masalah yang dibawa Gandi ini.

“Kalau dia masalahnya dengan kami, aku tidak akan mencari Gilang Rat.” Ucap Gandi sambil menegakkan tubuhnya lagi.

“Terus.?” Tanya Ratna sambil menguatkan rangkulannya dilenganku.

“Mahasiswa baru yang bernama Alan itu, mencari Gilang sang legenda. Kalau sampai Gilang gak datang, dia akan menghabisi semua angkatan kita yang laki – laki.” Jawab Gandi dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Lang.” Panggil Ratna dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Aku harus kesana, karena dia mencariku.” Ucapku ke Ratna, sambil memegang punggung tangan kanannya yang merangkul tangan kiriku.

“Tapi Lang.?” Ucap Ratna terpotong, karena aku meremas punggung tangannya dengan lembut.

“Aku janji tidak akan berkelahi.” Ucapku lalu aku tersenyum.

“Tapi kalau dia memukulmu.?” Tanya Ratna dengan wajah yang sangat khawatir.

“Kamu percaya sama akukan.?” Aku bertanya balik ke Ratna dan Ratna langsung menghela nafas panjangnya.

“Aku ikut kesana.” Ucap Ratna dan dia tidak melepaskan rangkulannya.

Aku langsung menganggukan kepalaku pelan, setelah itu aku melihat ke arah Gandi.

“Kita kesana Gan.” Ucapku ke Gandi.

“Ayo.” Ucap Gandi sambil membalikan tubuhnya dan kami bertiga langsung menuju ke gedung kuliah jurusan teknik sipil.

Dan pada saat kami berjalan, kami berpapasan dengan sebuah mobil. Kami berjalan disebelah kanan dan kaca mobil bagian kiri terturun sedikit, sehingga memperlihatkan penumpang wanita yang duduk disebelah kiri depan.

Wanita itu adalah Gendhis dan dia melirikku dengan tatapan yang datar. Ratna menatap lurus kedepan dengan tetap merangkul tanganku dan dia tidak mengetahui kalau wanita yang ada didalam mobil itu adalah Gendhis.

Cok. Jadi mobil yang ditumpangi Gendhis parkir di parkiran samping dan baru saja keluar. Kenapa.? Apa dia ada keperluan yang lain atau dia sengaja menungguku untuk menemuinya.? Bajingan.

Mobil itu terus berlalu dan aku hanya bisa menangis didalam hati ini saja. Kakiku terus melangkah dan tatapan mataku kosong seketika.

PAK, BUHG, PAK, BUHG, PAK, BUHG, PAK, BUHG.

Suara baku hantam dari arah lapangan yang ada didepan gedung kuliah teknik sipil, langsung menyadarkan aku.

Seorang mahasiswa baru menghajar Naryo dan belasan teman – temanku tergeletak ditengah lapangan.

Mahasiswa baru itu menggila dengan serangannya dan dia membantai Naryo yang sudah berdarah – darah itu.

Kami bertiga menghentikan langkah dan Ratna langsung mengeratkan rangkulannya di lenganku.

“Rat. Aku mau menyelesaikan masalahku sebentar ya.” Ucapku sambil memegang punggung tangan kanan Ratna lagi.

“Lang.” Ucap Ratna sambil menetapku dengan mata yang berkaca – kaca.

“Kalau aku gak menghentikan anak itu, kasihan Naryo dan teman – teman kita yang lain.” Ucapku dengan tenangnya.

“Tapi Lang.” Ucap Ratna yang ketakutan.

“Kamu percaya aku kan.?” Tanyaku sambil meremas punggung tangannya pelan.

Ratna langsung melepaskan rangkulannya dilenganku, diiringi dengan butiran air matanya yang mulai terjatuh.

“Aku janji tidak akan berkelahi.” Ucapku sambil menghusap air mata Ratna dan Ratna langsung memejamkan kedua matanya sesaat.

Aku lalu melihat ke arah mahasiswa baru itu dan dia masih menghajar Naryo.

PAK, BUHG, PAK, BUHG, PAK, BUHG, PAK, BUHG.

Aku berjalan ke arahnya, sambil mengambil rokokku dikantong belakang. Aku lalu menghentikan langkahku sebentar, untuk membakar rokokku. Setelah aku mengantongi rokokku dikantong belakang, aku berjalan lagi sambil menghisap rokokku yang kembali terasa hambar ini.

BUHHGGG, BUHHGGG. BUUMMMM.

Sebuah pukulan dan diakhiri tendangan ke arah wajah Naryo, membuat temanku itu langsung tergeletak dilapangan dengan bersimbah darah.

“MANA YANG NAMANYA GILANG.? MANA.?” Teriak mahasiswa baru yang bernama Alan itu.

“Kenapa kamu cari Gilang.?” Tanyaku kepada Alan, sambil menghentikan langkahku tidak jauh darinya.

“Kamu Gilang atau bukan.? Kalau kamu bukan Gilang, lebih baik kamu pergi atau kubantai kamu sekarang juga.” Ucap Alan sambil menunjuk wajahku.

“Kalau aku Gilang.?” Tanyaku dengan tenangnya.

“Kamu akan tetap kubantai dan pasti akan lebih parah.” Ucap Alan dengan emosinya.

“Kenapa.? Apa aku punya masalah sama kamu.?” Tanyaku lalu aku menghisap rokokku yang semakin lama semakin tidak terasa enak ini.

“Jadi kamu yang namanya Gilang.?” Tanya Alan sambil berjalan ke arahku.

“Iya, emang kenapa.?” Tanyaku dan entah kenapa, aku tidak emosi menghadapi pemuda satu ini.

Aku sangat tenang dan aku ingin berbicara sebentar dengannya. Sebenarnya aku tidak ada niat melawan anak ini, kalau dia langsung datang menemui aku. Walaupun dia membantaiku, aku mungkin tidak akan melawannya. Aku sudah tidak mau berkelahi dan aku mau menikmati sisa – sisa kuliahku dikampus ini dengan tenang. Tapi karena dia sudah membantai teman – temanku, mungkin aku akan memberikan sedikit pelajaran untuknya.

“Aku mau beduel dengan kamu, karena menurut informasi yang kudapat, aku harus melawan kamu dulu sebelum lawan Mas Pandu.” Jawab Alan.

“Apa hubungannya aku dengan Mas Pandu.?” Tanyaku.

“Karena orang itu yang bantai aku waktu ospek kemarin.” Jawab Alan.

“Terus hubungannya sama aku apa.?” Tanyaku sambil menatap matanya.

“Kamu salah satu orang terkuat di teknik sipil dan namamu telah melegenda. Kalau aku bisa mengalahkan kamu, berarti aku bisa melawan Mas pandu.” Jawab Alan sambil membalas tatapanku.

Tatapan mata anak ini, mengisyaratkan kalau dia sebenarnya anak baik. Tapi mungkin karena kegiatan ospek terlalu keras dan Mas Pandu kelewatan, akhirnya dia nekat seperti ini.

“Aku itu bukan siapa – siapa dan aku tidak mau berkelahi. Tapi karena kamu sudah membantai teman – temanku, mau tidak mau aku harus melawan kamu.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Persetanlah.” Ucap Alan sambil mengarahkan sebuah tinjuan ke arah wajah sebelah kiriku, tepatnya ditulang dekat mata kiriku.

BUHGGGG.

“ARGGHHH.” Aku merintih kesakitan dan rokokku langsung terjatuh entah kemana.

Aku oleng kekanan dan tubuhku terasa melayang. Aku mau roboh dan seseroang langsung menangkap tubuhku.

Cok. Kok aku jadi lemah seperti ini sih.? Dulu menahan pukulan seperti ini bahkan lebih keras lagi, aku masih berdiri tegak. Tapi kenapa terkena pukulan seperti ini tubuhku langsung oleng.? Apa mata hitam dan mata bening membawa semua kekuatan yang ada didiriku.? Bajingan.

“GILANG.” Terdengar teriakan Ratnya yang sangat histeris.

“BANGSAT.” Terdengar makian dari arah belakangku dan orang itu langsung berlari ke arah Alan dengan cepatnya.

BUHGGGG.

“ARRGGHHH.” Teriak Alan kesakitan, setelah sebuah tendangan mengenai dadanya dengan telak dan Alan langsung terlempar kebelakang. Alan langsung jatuh terlentang dan dia langsung terguling – guling sambil memegangi dadanya.

Dan orang yang menendang dada Alan itu adalah Rendi Van Gerrit, sementara yang memegangi tubuhku adalah Bendu. Bendu terlihat sangat emosi sambil terus memegangi tubuhku.

“Kamu mau jadi preman ya.?” Tanya Rendi sambil mendekat ke arah Alan yang terguling – guling, lalu Rendi memegang kerah baju Alan dan menariknya sedikit keatas.

“Bajingan.” Ucap Rendi yang terlihat tenang tapi dia tidak bisa menyembunyikan emosinya.

BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG.

Rendi menghantam wajah Alan dengan brutalnya, sambil terus memegang kerah baju Alan.

“ARRGGHHH.” Alan merintih kesakitan dan wajahnya langsung berdarah – darah.

BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG.

Rendi terus menghajarnya, tanpa memberikan kesempatan Alan untuk bangkit.

BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG.

Wajah Rendi terlihat ingin membunuh Alan yang sudah tidak berdaya itu.

Akupun langsung melepaskan pegangan tangan Bendu yang masih menahan tubuhku.

“Bantai dia Lang, bantai.” Ucap Bendu sambil melepaskan pegangannya.

Aku tidak menghiraukan ucapan Bendu dan cukup sudah Rendi menghajar Alan. Dia sudah sangat parah dan melebihi parahnya teman – temanku yang dibantainya. Kalau aku tidak menghentikan kebrutalan Rendi, bisa – bisa Alan mati dilapangan ini.

BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG.

Alan sudah tidak bergerak lagi dan wajahnya dipenuhi darah.

“Ren. Cukup.” Ucapku sambil memegang pundak Rendi dan Rendi langsung menghentikan serangannya, sambil melihat ke arahku.

“Kamu yang bantai atau aku yang bunuh bajingan satu ini.?” Tanya Rendi sambil melepaskan peagangannya dikerah baju Alan dan Alan langsung terlentang dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

“Dia sudah cukup mendapatkan balasan Ren.” Ucapku dan Rendi langsung memalingkan wajahnya ke arah Alan, sambil mengangkat kaki kanannya.

Rendi terlihat semakin emosi dan ingin menginjak wajah Alan. Aku pun langsung menarik tubuh Rendi dengan cepat.

“Cukup Ren.” Ucapku sambil menariknya kebelakang, lalu aku menahan dadanya.

“Dia berani mukul kamu, berarti dia menyakiti aku Lang.” Ucap Rendi dan emosi masih terpancar dimatanya.

“Anak itu sudah cukup mendapatkan balasan dan aku sudah memaafkan dia.” Ucapku yang mencoba menenangkan Rendi yang ingin menggila lagi.

“Tapi aku gak memaafkan dia Lang.” Ucap Rendi.

“Kalau begitu, aku aja yang kamu bantai.” Ucapku sambil melepaskan telapak tanganku yang menahan dada Rendi.

“COK.” maki Rendi sambil menggelengkan kepalanya.

“Dia anak baik Ren. Kamu percaya sama aku kan.?” Ucapku ke Rendi, sambil memegang pundaknya dan Rendi hanya menatapku.

Aku langsung merangkul pundak Rendi dan mengajaknya berjalan ke arah pinggir lapangan.

“Kalau kamu menganggap aku sahabat atau saudaramu, tenangkan dirimu.” Ucapku sambil terus merangkulnya.

“Itupun kalau kamu menganggap aku saudara atau sahabatmu. Tapi kalau enggak, ya udah, lanjutkan lagi kegilaanmu.” Ucapku sambil menghentikaan langkahku dan melepaskan rangkulanku dipundak Rendi.

“Taik kamu itu Lang.” Gumam Rendi, tapi dia tidak kembali ke arah Alan.

“Pikiranmu gak boleh kalah sama emosimu. Kamu boleh menggunakan kepalan tanganmu, tapi otakmu jangan kamu tinggalkan. Bertindak sambil menggunakan otak, itu lebih elegan untuk Rendi calon panglima pondok merah.” Ucapku sambil menepuk pundaknya pelan.

Rendipun langsung menunduk, sambil menggelengkan kepalanya.

Aku langsung melihat ke arah lapangan dan semua teman – temanku yang terbantai, sudah bisa berdiri sambil merintih kesakitan. Sedangkan Alan, Alan masih tergeletak dilapangan dan dia masih belum bergerak.

“Lihat aku kawan, lihatlah. Orang yang katanya menjadi legenda dan banyak yang mencari, tapi ternyata lemah. Aku tidak bisa berbuat apa – apa ketika kalian semua terbantai dan aku tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi seorang mahasiswa baru. Terus untuk apa orang – orang menjadikan aku legenda.?” Ucapku sambil melihat ke arah teman – temanku bergantian.

“Legenda itu orang yang patut dijadikan panutan, bukan orang yang bisanya hanya menyusahkan dan menjerumuskan dalam permasalahan.”

“Tidak ada yang pantas di diri Gilang Adi Pratama untuk dijadikan panutan.”

“Kalianlah legenda – legenda yang sebenarnya, dengan segala yang ada di diri kalian sendiri.”

“Aku adalah aku, dan aku hanya butiran debu dikebesaran dan keagungan kampus teknik kita ini.”

“Maaf kawan, aku mohon maaf dan ini dari dalam hatiku yang terdalam.”

“Aku mohon maaf kepada kalian semua.”

“Maafkan aku, karena aku kalian jadi seperti ini. Maafkan aku, karena aku hanya membuat masalah bagi kita semua. Maafkan aku, karena harusnya aku yang terbantai, bukan kalian semua.” Ucapku dan satu persatu wajah teman – temanku langsung tertunduk.

“Rasa sakit kalian semua, sudah dibalaskan oleh Rendi. Jadi aku mohon masalah ini selesai sampai disini dan tidak ada dendam yang mengganjal.” Ucapku dan tidak ada yang menyahut ucapanku ini.

“Aku juga minta maaf sama kamu Ren.” Ucapku sambil melihat ke arah Rendi dan dia langsung mengangkat wajahnya.

“Dan kalau boleh aku meminta, tolong jadikan dia keluarga pondok merah.” Ucapku sambil menunjuk ke arah Alan yang masih tergeletak.

“Tapi Lang.” Ucap Rendi yang terkejut dan terpotong.

“Gunakan pikiranmu dengan tenang, maka kamu akan bisa menilai seseorang itu seperti apa. Aku yakin kamu bisa, karena kamu akan menjadi orang yang hebat.” Ucapku sambil menepuk pundak Rendi, lalu aku berjalan meninggalkannya.

“Bangsatt.” Gumam Rendi pelan dan aku tidak menghiraukannya.

“Ndu, tolong dirawat anak itu ya.” Ucapku kepada Bendu, ketika aku melewatinya.

“Tapi Lang.” Ucap Bendu dan aku juga tidak menghiraukannya.

“Djiancok koen iku Lang.” (Djiancok kamu itu Lang.) Maki Bendu.

Aku terus berjalan dan pandanganku lurus ke arah depan, melihat Ratna yang menatapku dengan senyum menyedihkan.

Kedua tangannya diarahkan kepadaku dan dia langsung berjalan ke arahku.

“Gilang.” Ucapnya dengan mata yang berkaca – kaca dan Ratna langsung memelukku dengan sangat erat.

“Sudahlah Rat. Gak pantas seorang wanita sebaik kamu, mengkhawatirkan aku sipembuat masalah ini,” Ucapku sambil membalas pelukan Ratna dan aku langsung mengelus punggungnya pelan.

“Kamu hebat Lang, kamu hebat. Walaupun kamu tidak mau menggap dirimu sebagai panutan, tapi bagiku kamu segalanya.” Ucap Ratna sambil mengendurkan pelukanya dan dia menatap wajahku.

“Kamu panutanku dan kamu yang membuat aku bisa berdiri dikampus ini sampai saat ini. Kamu dengan segala yang ada dirimu, mampu membawaku terbang tinggi dikampus teknik kita.” Ucap Ratna sambil melepaskan pelukannya, lalu dia membelai pipi kananku.

“Kampus teknik yang katanya sangat sulit menembus titik tertinggi yang bernama kelulusan, kamu bisa mendobraknya dan kamu membawaku selangkah lagi untuk lulus tepat waktu. Gila gak.?” Ucap Ratna dengan mata yang berkaca – kaca.

“Aku yang awalnya sempat minder dan tidak percaya diri ketika masuk dikampus yang gila ini, langsung percaya diri ketika bertemu denganmu pertama kali dulu.” Ucap Ratna sambil memundurkan tubuhnya, lalu dia menujulurkan tangan kanannya ke arahku.

“Panggil aja Ratna Mas, Ratna Silvi Juwita.” Ucap Ratna dan kata – kata itu sama persis ketika kami pertema kali bertemu dan berkenalan.

Aku lalu menjulurkan tangan kananku dan menjabat tangan Ratna dengan sangat lembut. Ratna langsung tersenyum dan senyumnya itu sangat – sangat manis sekali.

Ratna menarik tanganku pelan, lalu dia memelukku lagi dengan erat.

Dada kami yang merapat ini, mampu menenangkan seluruh tubuhku dan membuat pikiranku diselimuti kesejukan serta kedamaian.

Aku membelai rambutnya pelan dan Ratna mengelus punggungku dengan lembut.

“Bangsatt.” Gerutu Rendi yang berjalan melewati kami dan dia bersama Bendu, memapah Alan yang belum sadarkan diri.

Ratna langsung melepaskan peluakannya dan berdiri disampingku.

“Ikhlas.” Ucapku singkat kepada Rendi dan juga Bendu, yang sudah beberapa langkah didepan kami.

“Ikhlas lambemu iku.” (Ikhlas mulutmu itu.) Sahut Bendu dan mereka berdua tidak menoleh ke arahku.

“Sudah Lang, sudah. Jadi orang kok usil banget sih.” Ucap Ratna sambil merangkul tangan kiriku.

“Bukannya usil, tapi menyisipkan sebuah pesan ditengah candaan itu gak salahkan.?” Ucapku.

“Pesan.? Emang kamu mau kemana.?” Tanya Ratna sambil melihat kearahku.

“Kan aku mau lulus.” Jawabku dan aku juga melihat kearahnya.

“Seminar judul aja belum, kok bahas lulus.” Ucap Ratna sambil menarik tanganku pelan dan kami berdua berjalan ke arah luar kampus.

“Terus kita mau kemana ini.?” Tanyaku.

“Kita nongkrong dicafe aja yuk. Entar pulang dari café, kamu antar aku balik.” Ucap Ratna.

“Jangan ah. Kita balik aja dulu kerumah untuk pamitan, biar kamu gak dicari.” Ucapku.

“Boleh juga.” Ucap Ratna dengan senangnya dan kami terus berjalan.

“Tapi kita naik angkot ya. Aku gak bawa kimba.” Ucapku.

“Iya gak apa – apa.” Ucap Ratna dan tiba – tiba ada sebuah mobil dari arah belakang kami berhenti didekatku.

Kaca mobil bagian depan sebelah kiri terturun, sampai memperlihatkan si pengemudi yang ternyata Pak Tomo. Kami berdua terkejut dan Ratna langsung melepaskan rangkulannya ditanganku.

“Om.” Ucap Ratna dan Pak Tomo langsung melihat ke arah Ratna.

“Pak.” Sapaku dan Pak Tomo tidak melihat ke arahku.

“Kita pulang bareng.” Ucap Pak Tomo ke Ratna.

Aku dan Ratna saling melihat sejenak, lalu melihat ke arah Pak Tomo lagi.

“I, I, I, iya Om.” Jawab Ratna tanpa berani menolaknya.

Ratna langsung membuka pintu mobil sebelah kiri dan dia langsung masuk kedalam mobil. Pak Tomo langsung melihat ke arah depan dan tidak melihat ataupun menyapaku sama sekali.

Ratna melihat ke arahku dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

Mobil lalu berjalan dan aku langsung menarik nafas panjangku.

Hiuufftt, huuuu.

Aku berjalan ke arah kosan dan tulang sebelah kiri didekat mataku, terasa nyut - nyutan akibat dipukul Alan tadi.

Cok. hari yang sangat melelahkan dan sangat menguras emosi pikiran. Marah, senang, benci, dan cinta, datang silih berganti.

Ini semua pasti rencana Sang Pencipta, untuk jalan hidupku kedepan. Aku yang tidak ingin orang mengenangkanku dikampus teknik kita, harus bertemu dengan Alan. Walaupun jalannya dengan menyakiti teman – temanku dan aku sangat menyesali itu, tapi aku yakin itu akan mempermudah jalanku, untuk sedikit menghilangkan ingatan orang – orang tentang aku yang dulunya pernah bringas dalam bertarung.

Orang – orang akan menganggapku lemah dan aku pasti akan terlupakan dengan sendirinya.

Hiufftt, huuuu.

Aku terus berjalan dan kembali aku mengeluarkan bungkusan rokokku. Aku bakar rokok ditanganku dan rasanya tetap saja tidak enak.

Aku sengaja berjalan melewati kos Barbara dan berharap bertemu dengan Gendhis, untuk yang terakahir kalinya. Tapi ketika aku melewati kosan Barbara, mobil yang dinaiki Gendhis tidak terlihat dan dia pasti sudah menuju ke arah bandara.

Rasa kecewa yang begitu mendalam kembali hadir didalam hatiku dan aku berusaha untuk menenangkan diriku.

Hambar dan perutku terasa mual, ketika aku menghisap rokokku lagi. Aku lalu membuang rokokku yang masih agak panjang, karena rasanya sangat menyiksa tenggorokan.

Kembali aku berjalan kekosan dan ketika aku sampai di dekat kosanku, terdengar suara seseorang didekat pagar kosanku. Aku lalu menghentikan langkahku dan orang itu ternyata Zaky yang sedang menelepon seseorang menggunakan hpnya.

“Aku sudah bilang sama kamu Black, jangan ganggu perusahaan temanku. Tapi rupanya kamu mau melihat keseriusanku ya.?” Ucap Zaky yang berdiri memunggungi aku dan dia tidak sadar aku berdiri dibelakangnya.

“…..”

“Aku gak perduli dan kita harus bertemu secepatnya. Kamu sendiri ataupun bersama teman – temanmu yang lain, aku tidak akan gentar sedikitpun.” Ucap Zaky yang terdengar emosi.

“…..”

“Persetan. Aku gak butuh penjelasanmu.” Ucap Zaky lalu dia menutup Hpnya, setelah itu dia berjalan ke arah pintu kosanku dan dia tetap tidak mengetahui kedatanganku.

Cok. Sangar juga Zaky kalau marah. Tapi ngomong – ngomong, dia ini kuliah nyambi keamanan perusahaan ya.? Kok dia marah sama orang yang ditelponnya.? Wahh, preman kelas kakap juga Zaky ini.

Aku lalu berjalan ke arah pintu kosanku dan terdengar teman – temanku sedang ngobrol diruang tengah. Joko, Mas Candra, Mas Jago dan juga Zaky.

“Bajingan. Siapa sih yang berani ganggu proyek kita.?” Terdengar suara Joko yang sangat emosi.

Waw. Siapa yang berani ganggu proyek kami ya.? Ada masalah apa mereka dengan kami.? Kami tidak pernah mengganggu ataupun merebut proyek orang lain, tapi kenapa ada yang ganggu.? Bajingan.

“Apa perlu orang – orang bayaranku bantu keamanan proyekmu.?” Terdengar suara Mas Jago yang sangat santai sekali.

“Gak perlu Mas. Aku sendiri yang akan mencari orang – orang itu.” Ucap Joko.

“Sudahlah, gak usah dibahas lagi. Mereka itu pasti cuman menggertak dan besok – besok tidak akan menggangu proyek kalian.” Ucap Zaky dan aku langsung terkejut dibuatnya.

Apa tadi Zaky menelpon orang yang mengganggu proyek kami.? Kalau iya, berarti Zaky kenal dengan mereka dong. Kira – kira siapa ya.?

“Di Kota ini hanya ada dua kelompok yang bermain didunia keamanan proyek. Yang pertama kelompok keluarga Jati dan yang kedua aliansi selatan. Kalau kita berlindung disalah satu kelompok itu, proyek kita akan aman – aman saja.” Ucap Mas Candra.

“Dan itu berarti kita harus memberi upeti ya.?” Tanyaku yang berdiri didepan pintu dan mereka semua langsung melihat ke arahku.

“Pastilah.” Jawab Mas Candra.

“Enggak Mas, aku paling anti sama hal yang seperti itu. Orang – orang seperti itu, biasanya hanya mencari keuntungan saja. Kalau tidak ada masalah dengan proyek kita, mereka – mereka juga yang akan membuat masalah, lalu yang lain datang mencoba menjadi penyelamat.” Ucapku sambil berjalan ke arah mereka.

“Aku sepakat sama Gilang. Kalau menurutku, mereka itu hanya menggertak saja. Mereka hanya menakut - nakuti dan kalau kita larut dalam permainan mereka, mau tidak mau akhirnya kita bergabung dengan mereka.” Ucap Zaky dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Justru itu Ky. Gertakan mereka jangan dilawan dengan gertakan. Gertakan mereka harus dilawan dengan kepalan tangan, supaya menjadi efek jera bagi yang lain.” Ucap Joko sambil mengepalkan tangan kanannya.

“Tenang Jok, tenang. Kita harus bermain cantik.” Ucap Mas Candra.

“Gak perlu cantik – cantikan Mas. Langsung bantai saja, biar kita gak dianggap remeh.” Ucap Joko yang ngotot.

“Santai Jok, santai. Aku setuju dengan apa yang diucapkan Mas Candra.” Ucapku yang menenangkan Joko.

“Cok. Kok kamu kembali tenang gitu sih.? Padahal kemarin – kemarin kamu senang dengan yang namanya aroma geger geden (ribut besar).” Ucap Joko dan aku hanya tersenyum saja.

“Iya. kok aku ngerasa ada yang berbeda sama Gilang, semenjak dari desa Sumber Banyu waktu itu ya.?” Ucap Mas Jago sambil menatapku dengan penuh selidik.

“Gak ada yang berubah dari saya Mas. Saya cuman gak ingin ada keributan. Itu saja.” Ucapku sambil meraih bungkusan rokok Mas Jago dan aku ingin merasakan rokok yang lain dari punyaku. Apakah rasanya sama aja dengan rokokku yang hambar atau waktunya aku ganti rokok.?

“Assuuu. Angel wes lek arek iki ngomong ngono. Gak iso dibantah.” (Anjingg. Susah sudah kalau anak ini bicara seperti itu. Gak bisa dibantah.) Gerutu Joko.

“Sudah – sudah. Gak usah dibahas lagi. Lebih baik kita bahas masalah pekerjaan dilapangan.” Ucap Mas Candra.

“Ini kan juga salah satu masalah dilapangan Mas.” Sahut Joko.

“Jok. Masalah itu gak usah dibahas lagi. Masih banyak masalah lain yang harus perlu kita bicarakan.” Ucapku lalu aku membakar rokok yang aku pegang, setelah itu aku menghisapnya.

Rokok yang kuhisap ternyata rasanya sama – sama hambar dan justru makin gak enak saja. Dadaku pun terasa nyeri karena isapan rokok ini dan aku langsung meletakkan batang rokok diasbak.

“Sakarebmu.” (Terserah kamu.) Ucap Joko dengan nada yang sangat tidak ikhlas.

“Hahaha. Joko Jinaknya sama Gilang aja. Hahaha.” Ucap Mas Jago lalu tertawa dengan senangnya.

“Jinak.? Lah dikiro aku kirek.?” (Jinak.? Lah dikira aku anjing.?) Tanya Joko ke Mas Jago.

“Duduk kirek tapi guguk.” (Bukan anjing tapi guguk.) Sahut Mas Jago dengan entengnya.

“Hahahaha.” Kami semua tertawa dengan senangnya.

“Bajingan.” Maki Joko dan dia langsung melihat ke arah rokokku yang belum mati diasbak.

“Kenapa gak kamu hisap rokokmu Lang.?” Justru Zaky yang bertanya kepadaku.

“Iya. Masa bakar rokok dibiarkan begitu aja.” Ucap Joko.

“Mulutku hambar.” Jawabku.

“Ya ga usah merokok cok.” Ucap Joko sambil mengambil rokokku diasbak, lalu dihisapnya.

“Terus bagaimana ini.? Kita bahas perkembangan masalah proyek kita gak.?” Tanya Mas Candra dan kami semua langsung mengangguk.

“Kalau begitu aku pergi aja ya.” Ucap Zaky.

“Gak usah Ky. Gak ada yang dirahasiakan dikantor kami. Kamu duduk aja disini.” Ucapku yang menahan Zaky.

“Iya. santai aja Ky.” Ucap Mas Candra dan Joko langsung mengacungkan jempolnya ke arah Zaky.

“Oke, jadi begini. Kantor kita tahun ini mendapatkan keuntungan yang lumayan banyak, karena kita gak perlu mengeluarkan biaya tambahan, contohnya seperti keamanan dan menyogok kanan kiri - kiri. Tidak ada kendala yang berarti ketika proyek kita berjalan. Mungkin hanya cuaca yang sering hujan, jadi pekerjaan kita sedikit terhambat.” Ucap Mas Candra.

“Tapi hambatan itu bisa diatasi kan Mas.?” Tanyaku dan Mas Candra mengangguk pelan.

“Berarti gak ada masalah teknis yang terlalu berat ya Mas.?” Tanya Joko dan Mas Candra kembali mengangguk.

“Cok. Mantuk – mantuk ae koen cok. Koyo manuk kuntul ae. Bajingan.” (Cok. Angguk – angguk aja kamu cok. Kaya burung bangau aja. Bajingan.)” Ucap Mas Jago.

“Matamu iku.” (Matamu itu.) Gerutu Mas Candra.

“Hahahaha.” Joko dan Zaky langsung tertawa dengan kerasnya.

“Manuk kuntul iku mantuk – mantuk a Mas.?” (Burung bangau itu angguk – angguk kah Mas.?) Tanyaku.

“Emboh. Delok’en manukmu a.” (Gak tau. Lihat burungmu lah.) Jawab Mas Jago dengan cueknya.

“Asuuu.” Makiku.

“Hahahahaha.” Kembali Zaky dan Joko tertawa bersama.

“Lambene rusak arek iki.” (Mulutnya rusak anak ini.) Ucap Mas Candra.

“Hahahaha.” Mas Jago lalu tertawa sambil mengeluarkan tiga buah kotak dari dalam tas yang dibawanya.

“Untuk merayakan keberhasilan kalian. Aku ingin memberikan kalian semua hadiah.” Ucap Mas Jago dan membuat kami semua terkejut.

“Waw. Hp baru.?” Tanya Mas Candra dengan senangnya dan dia sudah tidak jengkel dengan Mas jago.

“Assuuu. Hahahaha.” Maki Joko lalu tertawa dengan senangnya.

Akupun langsung melihat ke arah kotak Hp yang diletakkan diatas meja oleh Mas Jago. Terlihat gambar Hp berbentuk kotak, tipis, layarnya tertutup dan berantena. Merek Hp itu joni ereksi.

“Wah keluaran terbaru ini. Keren - keren. Sudah ada nomornya kan Mas.?” Tanya Zaky ke Mas Jago.

“Ya pastilah. Tapi kamu gak kukasih loh Ky. Kamu kan sudah punya.” Jawab Mas Jago lalu menyerahkan Hp itu kepadaku, Mas Candra dan Joko.

“Santai Mas.” Jawab Zaky sambil mengeluarkan Hp dari kantongnya.

“Suwon Mas.” (Terimakasih Mas.) Ucap Joko sambil menerima kotak Hp dengan senangnya.

“Kenapa sampean kasih ke kami Mas.?” Tanyaku sambil membolak – balikkan kotak Hp ini.

“Hp ini belum beredar dinegeri ini dan kebetulan Papahku yang akan menjadi distributornya. Anggap aja aku promosi, supaya Hp ini bisa dikenal dikota ini lewat kalian bertiga.” Jawab Mas Jago.

“Ooo.” Ucapku sambil membuka kotak Hp dan aku mendapatkan Hp yang berwarna biru, Joko kuning dan Mas Candra hitam.

“Gimana cara makainya ini mas.?” Tanya Joko sambil memutar – mutarkan Hpnya.

“Dicas dulu baterainya.” Sahut Zaky.

“Tadi sudah kucas sebelum kesini.” Jawab Mas jago.

“Luar biasa sekali persiapan sampean Mas. Gak nanggung – nanggung kalau memberi sesuatu.” Ucap Zaky.

“Aku kok.” Ucap Mas Jago sambil menepuk dada kirinya pelan.

“Sudah ngobrolnya. Sekarang itu kasih tau cara pemakaian Hp ini.” Ucap Joko.

“Sabar cok.” Ucap Mas Jago dan Joko langsung tertawa.

“Hahahaha.”

Kami bertiga lalu mendapatkan kursus singkat, tentang penggunaan Hp baru ini. Kami berlima juga saling bertukar nomor, dengan di iringi canda tawa.

Oh iya, karena Zaky sering bermain kekosan kami, dia juga berteman akrab dengan Mas Candra maupun Mas Jago. Sedangkan untuk Rendi, dia jarang bermain kekosan kami dan seringnya bertemu dikampus. Rendi juga baru sekali bertemu dengan Zaky ketika kami di Desa Sumber Banyu. Aku tau mereka berdua pasti ada masalah. lebih tepatnya sih yang bermasalah itu pondok merah dan blackhouse.Tapi mereka berdua waktu itu mencoba berusaha untuk bersikap biasa, ketika ada aku dan Joko. Tapi sekuat apapun mereka menutupi, sesekali tatapan mereka pasti bertemu dan seakan mereka mau saling mencakar satu sama lain. Bajingan.

“Kita nongkrong ke kafe yuk.” Ajak Zaky.

“Duh, aku dan Jago ada janji mau ketemu orang. Kalian pergi aja bertiga.” Ucap Mas Candra.

“Oke Mas. Entar kalau ada apa – apa, kita telpon – telponan aja.” Ucap Joko sambil mengangkat Hpnya.

“Sombong.” Ucapku kepada Joko.

“Masalah.? Wajar dong kalau aku sombong, sombong yang terhormat. Kita itu pasti orang pertama yang mempunyai Hp di Desa Sumber Banyu Lang. Pak Nyoto yang kaya raya aja, pasti belum punya. Apalagi Pak Tejo bapaknya Trisno yang kekayaan nya nanggung itu, pasti belum punya. Hahaha.” Joko tertawa dengan kerasnya.

“Asuuu.” Ucap ku sambil menggelengkan kepalaku.

“Berarti tingkat kehormatan didesamu, bisa diukur dengan Hp dong Jok.?” Tanya Mas Jago.

“Bisa dibilang seperti itu.” Ucap Joko dengan sombongnya, sambil memencet Hp yang dia pegang.

“Kalau begitu besok kamu buka toko Hp didesamu, biar kehormatanmu semakin tinggi. Nanti aku yang menyediakan Hpnya.” Ucap Mas Jago.

“Terus siapa yang mau beli siapa Mas.?” Tanya Zaky.

“Gak ada yang beli Ky. Hpnya kan dipajang aja, supaya orang – orang desaku bisa melihat kehormatan Lord Joko.” Jawabku dengan asalnya.

“Matamu cok.” Maki Joko kepadaku.

“Hahahaha.” Zaky, Mas Jago dan Mas Candra tertawa dengan kerasnya.

“Ooo. Asuuuu.” Gerutu Joko pelan.

“Lord Joko. Ooooo.” Ucapku, Zaky, Mas Jago dan Mas Candra, sambil mengangkat kedua tangan keatas, lalu kami membungkuk bersama seperti gerakan menyembah.

“Bajingan. Hahahaha.” Maki Joko lalu dia tertawa dengan kerasnya.



Pop Joko.


Gilang Adi Pratama. Satu kata untuk dia, nggatheli (menjengkelkan). Bagaimana gak nggatheli (menjengkelkan). Dia menghilang selama sepuluh hari dan entah kebetulan atau tidak, selama sepuluh hari itu aku disibukan dengan tugas kampus. Aku yang awalnya berencana bermalam tujuh hari distudio arsitek, harus tinggal lebih lama karena beberapa temanku meminta bantuanku.

Aku sempat pulang kekosan beberapa kali untuk berganti pakaian, tapi aku tidak curiga kalau Gilang menghilang. Aku menyangkanya Gilang sedang sibuk dengan persiapan tugas akhir dan rencana PKNnya.

Dan setelah menyadari kalau Gilang pergi dari kosan cukup lama, aku langsung mencari manusia gila itu. Aku mencari dia kemana – mana, tapi aku tidak menemukannya. Aku baru tau keberadaan Gilang, setelah aku bertemu dengan Rendi dan dia bertanya apakah Gilang sudah balik dari desa atau belum. Aku lalu berangkat ke Desa Sumber Banyu bersama Zaky yang kebetulan hari itu main kekosanku.

Aku sangat marah sekali dengan Gilang di hari itu. Dipikiranku hanya satu, kalau aku sudah bertemu dengannya, aku berniat akan meninju batang hidungnya sekuat tenagaku. Tapi ketika aku bertemu dengannya, niat itu langsung hilang seketika. Tatapan matanya dan tingkahnya itu, membuatku hanya bisa menggelengkan kepala dan mengeluarkan sedikit kata – kata mutira. Djiancok.

Oh iya. Aku merasa ada yang berubah dari diri Gilang. Gilang seperti mempunyai pribadi yang berbeda, ketika di Kota Pendidikan ini. Kadang emosinya meledak – ledak, kadang sangat sabar, kadang suka berkelahi, kadang kalem, kadang nggatheli, kadang njancoki dan sering kali menyimpan suatu rahasia dari aku. Arrgghhh, bajingan.

Kalau dulu waktu masih didesa, emosi anak itu stabil dan dia tidak pernah menutupi apapun dari aku. Ada apa dengan Gilang ya.?

Zaky. Kalau manusia yang satu ini, memang agak aneh. Tapi walaupun aneh, aku merasa cocok dengannya dan cara bersahabatnya terlihat sangat tulus. Selama ini aku merasa dia tidak memiliki tujuan apapun, kecuali pertemanan. Diapun tidak pernah aneh – aneh dan dia memberi warna lain dipersahabatan kami. Dia bertingkah sangat baik dan anaknya itu apa adanya. Jujur aku sangat menyayangkan, dia ikut dalam lingkaran permasalahan antara pondok merah dan black house. Aku yakin, kalau dia tidak kost di black house, dia tidak mungkin bermasalah dengan siapapun termasuk pondok merah.

Dan sekarang kembali lagi ke Gilang. Walaupun sekarang Gilang agak berubah, dia tetap sahabatku dan dia adalah saudaraku. Aku akan tetap menganggapnya seperti itu sampai kapanpun juga dan tidak mungkin aku akan meninggalkannya, apalagi memusuhinya. .

Hiuuufftt, huuuuu.

“Jadi gak nongkrong dicafe.?” Tanya Zaky.

“Jadilah. Aku ganti baju dulu ya.” Jawab Gilang sambil menoleh ke arah Zaky dan posisi Gilang dekat dengan posisiku.

Pandanganku langsung tertuju ke arah bagian tulang dekat mata kirinya yang agak membiru.

“Lapo iku bengep cok.?” (Kenapa itu lebam cok.?) Tanyaku sambil menunjuk ke arah wajah Gilang sebelah kiri.

“Kenapa itu Lang.?” Zaky ikut bertanya.

“Dicium pintu kampus.” Jawab Gilang dengan santainya dan aku sangat yakin kalau dia berbohong. Dia pasti habis berkelahi dan dia tidak mau bercerita kepada kami semua.

“Hahaha. Gilang – Gilang. Dicium kok sama pintu.” Ucap Mas Jago.

“Hahaha.” Zaky dan Mas Candra tertawa, tetapi tidak denganku. Aku terus menatapnya tanpa tersenyum sama sekali.

Gilang lalu masuk kedalam kamarnya, untuk berganti pakaian..

“Aku keluar dulu ya.” Ucap Mas Jago kepadaku dan juga Zaky.

“Iya Mas.” Sahutku.

“Aku juga.” Ucap Mas Candra sambil berdiri bersama Mas Jago.

“Oke.” Jawabku sambil mengacungkan jempolku ke arah mereka berdua.

“Lang, kami keluar dulu ya.” Ucap Mas Candra.

“Iya Mas, hati – hati.” Sahut Gilang dari dalam kamarnya.

Setelah Mas Jago dan Mas Candra keluar dari kosan, Gilang juga keluar dari kamarnya.

“Ayo.” Ucap Gilang kepadaku dan juga Zaky. Gilang mengatakan itu sambil berdiri didepan pintu kamarnya.

“Yo.” Sahut Zaky sambil berdiri dan aku juga ikut berdiri.

“Naik sepeda motor kan.?” Tanya Gilang.

“Naik mobilku aja.” Jawab Zaky.

“Wihhh. Punya mobil juga kamu Ky.?” Tanyaku.

“Iyalah.” Jawab Zaky sambil memutarkan kunci mobil ditangan kirinya.

“Sombong.” Ucapku kepada Zaky sambil berjalan ke arah luar kosan.

Kring, kring, kring.

Hp Zaky berbunyi, ketika kami sampai di pagar kosan.

“Halo.” Ucap Zaky sambil mengehentikan langkahnya.

“…….”

“Hem.” Ucap Zaky dengan wajah yang sangat serius.

“…….”

“Iya, aku kesana sekarang.” Ucap Zaky, lalu dia menutup telponnya.

“Duh. Maaf ya. kelihatannya kita gak jadi ke kafe.” Ucap Zaky dan wajahnya yang tadinya serius, sekarang jadi merasa bersalah kepada kami.

“Kamu mau balik Ky.?” Tanyaku.

“Iya. Ada temanku yang datang dikosanku.” Jawab Zaky.

“Ya sudah.” Sahut Gilang dengan santainya.

“Asuuu.” Makiku.

“Maaf ya.” Ucap Zaky lagi dan tiba – tiba, sebuah mobil berhenti didepan pagar kosan kami.

Sang pengemudi keluar dari mobil dan tersenyum dengan manisnya ke arah Gilang. Pengemudi itu seorang wanita cantik yang bernama Mery, pacar dari Rendi Bule.

“Hai Mas.” Sapa Mery ke Gilang dan dia terlihat sangat akrab sekali dengan Gilang.

Cok. Kok sepertinya Mery sangat dekat dengan Gilang ya.? Apa mereka sering bertemu.? Tapi kapan.? Atau jangan - jangan Gilang main gila dibelakang Rendi.? Wah ga bener ini, gak bener.

“Mer.” Ucap Gilang dengan wajah yang terlihat berbeda.

Dia seperti sangat terkjeut dan juga senang melihat kedatangan Mery yang tiba – tiba ini.

Gilang lalu mendekat ke arah Mery dan dia langsung menjulurkan tangan kanannya ke arah Mery.

“Mau kemana.?” Tanya Gilang dan Mery langsung menyambut tangan kanan Gilang, lalu dia mencium punggung tangan Gilang pelan.

Cuppp.

“Mau kekosan teman Mas.” Jawab Mery sambil melepaskan jabatan tangannya dan Gilang hanya diam terpaku menatap wajah Mery.

Bajingan. Mereka berdua pasti mempunyai suatu ikatan hubungan, sampai Mery berani mengecup tangan Gilang dan membuat Gilang terbuai seperti itu. Gila juga mereka berdua ini. Djiancok.

Mereka tidak menyadari status diri masing – masing dan itu resikonya pasti sangat luar biasa.

Gilang bersahabat dengan Rendi, tapi Gilang bermain hati dengan Mery.

Arrgghhh. Aku harus menghentikan kegilaan ini, dari pada terjadi pertumpahan darah dikampus teknik kita.

Bukannya aku takut kalau sampai terjadi gesekan dengan Rendi. Tapi gesekan ini pasti akan melebar kemana – mana. Pondok merah pasti akan ikut terlibat dan Zaky pasti akan melibatkan diri membantu kami, bersama anak – anak blackhouse. Kan tambah rumit masalahnya kalau begitu.?

Aku itu suka dengan pertempuran, tapi kalau pertempurannya hanya gara – gara bermain hati seperti ini, pasti gak lucu dong. Asuuu, asuuu.

“Mas Gilang.” Ucap Mery dengan tatapan mata yang seperti ingin menyadarkan Gilang, kalau ada aku dan Zaky disini.

“Oh iya.” Ucap Gilang sambil mengalihkan pandangannya ke arahku lalu melihat ke arah Zaky.

Tatapan Gilang ke arah Zaky agak berbeda dan aku juga langsung melihat ke arah Zaky yang menatap ke arah Mery. Wajah Zaky terlihat bahagia dan dia seperti sangat mengagumi wanita cantik ini. Mata Zaky berbinar dan senyum tipis mengambang dibibirnya. Terlihat juga di wajah Zaky kalau dia ingin mendekat dan berkenalan dengan Mery, tapi mungkin tidak enak dengan Gilang.

Sebentar dulu, sebentar. Sebelum dilanjutkan. apa Zaky menyukai Mery.? Apa Zaky mencintai wanita ini pada pandangan pertama.?

Djiancok. Kok tambah ruwet seperti ini sih.?

Memang harus aku akui, Mery ini wanita yang sangat cantik. Tapi kalau kecantikannya bisa mengacaukan segalanya, itu akan menjadi boomerang buat dia sendiri. Aku harus mencari cara untuk menghentikan semua ini, sebelum masalahnya semakin larut.

“Sudah ah. Mery mau pergi dulu.” Ucap Mery dan Gilang langsung melihat ke arahnya.

“Kok buru – buru Mer.?” Tanya Gilang dengan wajah yang sedikit kecewa.

“Mery ada janji Mas.” Jawab Mery sambil tersenyum dengan manisnya. Mery lalu membuka pintu mobilnya, setelah itu dia masuk dan menutupnya kembali.

Mery menurunkan kaca mobil bagian samping kiri dan dia melambai lagi ke arah Gilang yang terlihat kebingungan.

Aku lalu melihat ke arah Zaky dan wajahnya juga terlihat memendam kecewa yang sangat mendalam.

“Da Mas.” Ucap Mery.

“Hati – hati.” Ucap Gilang dan Mery mengangguk pelan, lalu dia menjalankan mobilnya.

“Cantik Mery itu.” Ucapku untuk memancing reaksi Zaky dan aku ingin mengetahui kebenaran tentang perasaannya kepada Mery.

Gilang membalikan tubuhnya dan melihat ke arahku, lalu melihat ke arah Zaky. Zaky terus melihat ke arah mobil Mery yang sudah berjalan agak jauh.

“Ky.” Gilang memanggil Zaky yang focus melihat mobil Mery.

“Eh. Iya Lang.” Jawab Zaky sambil melihat ke arah Gilang dan wajahnya terlihat malu sekali.

“Katanya kamu mau balik.?” Tanya Gilang tanpa berbasa - basi.

“Oh iya.” Ucap Zaky dan Gilang langsung berjalan ke arah pintu kosan.

Dan ketika Gilang sudah melewati kami berdua, Zaky langsung memanggil Gilang.

“Lang.” Panggil Zaky.

“Apa.” Jawab Gilang sambil membalikan tubuhnya ke arah kami.

“Maaf kalau aku tadi memandang pacarmu.” Ucap Zaky dengan nada yang sangat merasa bersalah dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Yang mana.?” Tanya Gilang dan terlihat dia kebingungan.

“Perempuan yang bernama Mery tadi.” Ucap Zaky dan Gilang langsung menggelengkan kepalanya pelan.

Cok. Berarti Gilang tidak main gila dengan Mery.? Tapi kenapa pandangan mata Gilang berkata lain.? Apa dia malu kepada kami berdua dan mencoba menutupinya.?

“Bukan. Itu pacarnya Rendi.” Sahutku dan sengaja aku mengucapkan ini, agar Zaky berpikir dua kali untuk mendekati Mery dan aku juga ingin mengingatkan Gilang tentang status Mery.

“Oooo. Baguslah kalau begitu.” Ucap Zaky dan wajahnya terlihat senang sekali.

“Emang kenapa sih Ky.?” Tanya Gilang sambil mengerutkan kedua alis matanya.

“Gak apa – apa.” Jawab Zaky lalu dia tersenyum.

“Kamu suka sama Mery ya.?” Tanya Gilang yang kelihatan sangat penasaran sekali.

“Dia bukan pacarmu kan.?” Tanya Zaky dan dia tidak menjawab pertanyaan Gilang.

“Jangan Ky.” Ucap Gilang yang paham arah pembicaraan Zaky.

“Kenapa.? Kamu takut kalau aku bermasalah dengan Rendi.?” Tanya Zaky.

“Bukan begitu Ky.? Tapi lebih baik jangan. Aku berteman denganmu dan aku juga berteman dengan Rendi. Aku tidak ingin melihat sesama temanku berkelahi.” Ucap Gilang.

“Santai ajalah. Kami berdua itu sudah bermasalah dari dulu. Dan kalau dulu masalah kami itu hanya sebatas pondok merah dan blackhouse, kelihatannya mulai hari ini ada masalah baru. Masalah hati.” Ucap Zaky dengan tenangnya dan dia seperti ingin memperjuangkan cinta nya kepada Mery.

“Ky.” Ucap Gilang dan suasana menjadi sangat tegang sekali.

“Maaf Lang. Kalau kamu mencintai Mery, aku akan mundur. Tapi kalau masalahnya hanya sekedar Rendi, itu tidak akan menyurutkan langkahku.” Ucap Zaky dan dia langsung membalikan tubuhnya, lalu berjalan ke arah mobilnya yang ada diseberang jalan.

Gilang sebenarnya ingin berbicara lagi dengan Zaky, tapi aku langsung merangkulnya dan berjalan masuk kedalam kosan.

“Sudahlah. Kalau sudah bicara masalah cinta, apalagi sama orang yang baru jatuh cinta, pasti tidak akan bisa.” Ucapku ke Gilang.

“Masalahnya itu, Rendi dan Zaky teman kita.” Sahut Gilang.

“Ya kita netral aja Lang.” Jawabku dan Gilang langsung duduk dikursi ruang tengah.

“Netral bagaimana.?” Tanya Gilang dan aku duduk diseberangnya.

“Itu bukan ucapanku loh ya, tapi kamu sendiri yang mengucapkannya. Aku hanya mengulang kata – katamu waktu itu.” Ucapku yang akhirnya terpancing dengan kata – kata Gilang.

Aku sebenarnya ingin jadi penengah dan mencari jalan terbaik. Tapi berhubung manusia gathel dihadapanku ini sulit diajak berkomunikasi dengan baik, mau gak mau dia harus dihadapi dengan nada yang sedikit tinggi.

“Tapi ini bukan masalah antara pondok merah dan black house cok.” Ucap Gilang.

“Sama aja. Manusianya itu – itu juga cok.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku, setelah itu aku mematikannya diasbak.

“Beda masalah cok.” Ucap Gilang.

“Terus maumu bagaimana.? Apa kamu mau ikut campur masalah percintaan mereka.? Kenapa masalah percintaan kamu mau ikut campur, tapi masalah lain enggak.? Atau jangan – jangan kamu suka dengan Mery juga.?” Tanyaku.

“Cok. Omonganmu kok ngelantur.?” Tanya Gilang sambil melotot.

“Sudahlah Lang, gak usah bahas masalah itu lagi.” Ucapku dan sikapnya sangat – sangat berubah, bajingan.

“Kamu itu makin aneh dan gak jelas.” Ucap Gilang lalu dia berdiri dan berjalan ke arah kamarnya.

Assuuu. Bukannya dia yang berubah dan bersikap aneh, kenapa malah aku yang disalahkan.?

“Bukannya kamu yang berubah ya Lang.?” Tanyaku dan Gilang langsung menghentikan langkahnya, tapi tidak menoleh ke arahku. Dia berdiri memunggungi aku dan dia tidak bersuara sama sekali.

“Aku gak tau ada apa denganmu, tapi aku merasa banyak hal yang kamu sembunyikan dari aku dan kamu sekarang lebih tertutup.” Ucapku lagi dan Gilang tetap tidak bersuara.

Tangan kirinya perlahan memegang kusen pintu dan tangan kanannya memegang bagian depan tubuhnya.

“Ada apa Lang.? Ada apa denganmu.? Aku berbuat salah apa sama kamu, sampai kamu berubah seperti ini.?” Tanyaku dan dia langsung menarik nafasnya, tapi tertahan. Tubuhnya sedikit bergetar, lalu tiba – tiba tubuh bagian kirinya tersandar dikusen pintu.

DUARRRRR.

Suara petir menggelegar dan aku langsung berdiri, karena Gilang seperti sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.

“Gilang.” Ucapku sambil berlari ke arahnya dan aku langsung memegang pundaknya.

“Hup, hup, hup.” Gilang kesulitan bernafas dan punggungnya langsung disandarkan kedadaku.

Wajahnya memucat, matanya melotot dan tangan kanannya meremas dada bagian kirinya dengan kuat.

“Ka, ka, kamu kenapa Lang.?” Tanyaku terbata dan aku menahan tubuhnya yang semakin tidak bertenaga.

“Hup, hup, hup, hup.” Dia tidak bisa bernafas dan aku langsung menggeretnya kekursi, lalu aku mendudukannya.

“Lang, Gilang.” Ucapku sambil menyandarkan punggungnya dikursi dan kepalanya langsung terdanga diatas sandaran kursi.

“GILANGG.” Teriakku dan mataku langsung berkaca – kaca, karena matanya makin melotot.

Plak, plak, plak, plak.

Aku menampar kedua pipinya dengan keras, agar dia tetap tersadar.

Lalu tiba – tiba terdengar suara hujan yang turun dengan sangat derasnya.

Aku harus membawanya kerumah sakit sekarang juga, kalau nggak, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi kepadanya.

Aku lalu membalikan tubuhku dan jongkok dihadapan Gilang yang masih tersandar dikursi.

Aku tarik kedua tangannya, sampai dia merangkul leherku. Aku tarik taplak diatas meja dengan kuat, sampai benda – benda diatas meja terhambur entah kemana. Aku ikat tangan Gilang yang ada dileherku agar tidak terlepas.

Kedua paha Gilang aku lingkarkan dipunggungku, lalu aku menahannya dengan kedua tanganku.

“HUPPP.” Aku berdiri perlahan dan posisinya sekarang aku sedang menggendong Gilang dipunggungku.

“Hup, hup, hup.” Nafas Gilang masih sesak dan dagunya tersandar dibahu kananku.

Dadanya yang sangat rapat dipunggungku, membuat detak jantungnya yang cepat, sangat terasa sekali.

“Sabar cok, sabar. Aku bawa kamu kerumah sakit.” Ucapku dan aku langsung berjalan ke arah luar kosan.

Awan yang tadinya cerah, sekarang terlihat menghitam. Panas yang tadinya menyengat, berganti dengan derasnya hujan yag turun. Angin yang tadinya sepoi – sepoi, berganti dengan badai yang menggila.

“Hup.” Ucapku membenarkan posisi paha Gilang yang agak melorot, dengan menguatkan peganganku di bagian bawah pahanya.

“Hup, hup, hup, hup.” Nafas Gilang memberat.

“SABAR COK. SABAR.” Teriakku lalu aku berlari menembus hujan yang sangat deras ini.

Clap, clap, clap.

DUARRRRR, DUARRRRR, DUARRRRR.

Kilatan petir dan disertai bunyi yang menggelegar, tidak menyurutkan kecepatan lariku.

“Hup, hup, hup, hup.” Tubuh Gilang mengejang dan rasa takut langsung membuat air mataku mengalir dengan deras.

“KUAT COK, KAMU HARUS KUAT.” Teriakku sambil berlari dan menoleh ke arah wajahnya yang berada dipundak kananku.

Crap, crap, crap.

Bunyi cipratan air yang aku injak ketika berlari.

Jalanan sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat. Aku terus berlari dibawah guyuran air hujan yang sangat deras, sederas air mataku yang mengalir. Djiancok.

Gilang. Sakit apa anak ini.? Kenapa sering kali dia sesak nafas, sambil meremas dadanya.? Apa sebenarnya dia tau penyakitnya dan sengaja menyembunyikan dari aku.? Atau memang dia tidak tau selama ini.? Bajingan.

Arrgghhh. Apapun itu, aku harus bisa menyelamatkan bajingan satu ini, bagaimanapun caranya. Aku tidak mau kehilangan dia, karena hanya dia satu – satunya orang yang membuatku bisa bertahan sampai detik ini. Dia alasanku tetap berada dikota ini, dia alasanku tetap melanjutkan kuliah, dia alasanku tetap mengejar impian dan dia alasanku untuk tetap menikmati kehidupan ini.

Banyak hal yang dilakukan manusia satu ini kepada diriku dan aku pasti tidak akan bisa membalasnya, walau sampai diakhir kehidupanku nanti. Aku tidak tau bagaimana dengan diriku, kalau seandainya terjadi apa – apa dengannya.

“Hiuft, hiuft, hiuft, Hu, hu, hu.” terdengar Gilang menarik nafasnya pendek, lalu dia mengeluarkannya perlahan.

“Kuat cok. kamu kuat.” Gumamku sambil terus berlari.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan aku tidak mengurangi sedikitpun kecepatan berlariku.

Clap, clap, clap.

DUARRRRR, DUARRRRR, DUARRRRR.

“AARRGGGGGGHHHHH.” Aku berteriak sekencang – kencangnya dan aku membalas gertakan suara petir yang menggelegar itu.

Crap, crap, crap.

Bunyi cipratan air yang genangannya semakin lama semakin agak tinggi diatas mata kakiku.

“Arggh, argghh, argghh.” Rintih Gilang yang kesakitan dan itu membuat air mataku semakin deras mengalir.

“KOEN KUDU KUAT COK. KOEN KUDU KUAT.” (Kamu harus kuat cok, kamu harus kuat.) Teriakku.

Entah sudah berapa jauh aku berlari, tapi rumah sakit pusat kota masih juga belum kelihatan.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku semakin memburu dan air mataku juga semakin deras mengalir.

“Ka, ka, kate nanggdi cok.?” (Ma, ma, mau kemana cok.?) Suara Gilang terdengar terbata.

“Ra usah ngomong koen cok. Menengo ae. Hu, hu, hu, hu.” (Gak usah ngomong kamu cok. Diam aja. Hu, hu, hu, hu.) Ucapku dan sengaja aku menyuruhnya diam, agar dia bisa mengatur nafasnya yang sesak itu.

“Uh, uh, uh, uh, assuuu.” Ucap Gilang dan disela nafasnya yang sesak itu, dia masih sempat memaki. Bajingan.

“HIUFFTTTT.” Ucap Gilang dan tubuhnya mengejang, sambil menguatkan rangkulannya dileherku dengan kuat.

Aku merasa saat ini sakitnya Gilang lebih menggila dan dia sangat tersiksa sekali.

“ARGHHHH.” Leherku kesakitan dan aku kesulitan bernafas, karena tangannya yang aku ikat itu menekan leherku dengan kuat.

“ARRGGHHHH.” Kembali aku berteriak, karena bukan hanya leherku yang kesakitan. Aku berteriak karena rintihan kesakitan Gilang, sangat – sangat menggores hatiku.

Clap, clap, clap.

DUARRRRR, DUARRRRR, DUARRRRR.

Kilatan yang di iringi suara petir yang menggelegar, sambung menyambung dan seperti menyambar diatas kepalaku.

“DJIANCOOOKKK.” Teriakku.

Dan tiba – tiba.

CITTTT.

Sebuah mobil langsung berhenti dan menghalangi lariku ini. Aku lalu berhenti, dengan nafas yang tersengal – sengal.

“KENAPA GILANG JOK.?” Teriak Zaky yang turun dari mobil dan langsung berlari ke arahku.

“Aku gak tau Ky, aku gak tau. Hu, hu, hu.” Jawabku dan Zaky langsung membuka pintu mobilnya bagian belakang.

“CEPAT MASUK.” Teriak Zaky sambil melotot.

Aku lalu membalikan tubuhku dan Zaky langsung menyambut tubuh Gilang. Aku buka ikatan kedua tangan Gilang dan Zaky langsung mendudukan Gilang kedalam Mobil.

Tanpa Banyak bicara Zaky langsung menutup mobilnya dan berlari ke arah depan bagian setir.

Kami berdua langsung masuk kedalam mobil dalam keadaan basah kuyub. Aku duduk dibelakang disebelah Gilang, sementara Zaky didepan langsung menginjak gasnya dengan kencang.

BRUUUMMM.

“Lang, Lang.” Ucapku sambil menepuk pipinya pelan, lalu aku membersihkan air yang membasahi wajah dan rambut Gilang.

Wajahnya semakin memucat, nafasnya memberat, kepalanya mendanga tersandar diatas sandaran kursi dan matanya melotot ke arah atas.

“Hup, uh, hup, uh, hup, uh.” Gilang tidak menjawab panggilanku dan dia berusaha untuk mengatur nafasnya.

“Kenapa Gilang tadi itu.?” Tanya Zaky sambil melihat ke arahku, lewat spion bagian tengah dan wajahnya terlihat panik.

“Gak tau aku Ky, gak tau.” Jawabku.

“Bangsat. Kenapa kamu gendong dia disaat hujan deras begini.?” Tanya Zaky dengan nada yang meninggi.

“Terus mau naik apa.? Gak mungkin naik kimba cok. Angkot aja gak ada yang lewat. Bajingan.” Ucapku dan dengan nada yang tidak kalah tinggi.

Bukannya aku marah dengan Zaky, bukan. Aku marah dengan kondisi saat ini dan aku tidak bisa berbuat apa – apa. Sahabatku merintih kesakitan, sementara aku hanya bisa melihatnya dengan air mataku yang terus mengalir.

Untuk apa air mata ini mengalir.? Untuk apa.? Apakah air mataku bisa membuat Gilang bernafas seperti biasa.? Gak bisa cok, gak bisa.

Terus kenapa air mata ini tidak bisa berhenti mengalir, kalau tidak bisa mengubah keadaan.? Bajingaann.

“Kamu kan bisa telpon aku, gak perlu berhujan – hujanan seperti ini.” Ucap Zaky dan nada bicaranya mulai merendah.

“Djiancok.” Gumamku pelan dan aku baru teringat, kalau aku mempunyai Hp baru.

Aku lalu merogoh kantong celanaku bagian depan dan aku langsung mengambil Hp joni ereksiku yang baru ini.

“Assuu.” Makiku lagi, ketika melihat Hp ini tidak menyala.

“Aku lupa Ky.” Ucapku sambil menggengam Hp ini dengan kuatnya.

“Sudahlah, gak usah diperpanjang lagi pembahasan ini. Sekarang itu yang penting Gilang harus segera sampai rumah sakit.” Ucap Zaky dan dia semakin melajukan kendaraannya.

Hujan semakin deras mengalir, petir tidak berhenti menyambar dan angin juga semakin kencang berhembus.

Beberapa saat kemudian, kendaraan masuk kedalam area rumah sakit dipusat kota dan langsung menuju ruangan UGD.

CIITTTT.

Mobil berhenti tepat didepan pintu ruangan UGD dan kami berdua langsung keluar dari mobil. Zaky langsung masuk kedalam ruang UGD, sementara aku berdiri didepan pintu mobil sambil memegang tubuh Gilang.

“SUS. TOLONG SAUDARA SAYA SUS. TOLONG.” Terdengar teriakan Zaky didalam ruangan sana.

“Sabar Lang, sabar. Kita sudah sampai dirumah sakit.” Ucapku sambil meraih tangan kiri Gilang, lalu aku rangulkan dileherku. Tangan kananku aku arahkan dipunggungnya, lalu tangan kiriku aku arahkan dibagian bawah pahanya.

“Hup.” Aku membopong tubuh Gilang dan sekarang dia mulai terkulai lemas.

Aku membalikkan tubuhku dan Zaky berjalan ke arahku, sambil mendorong brankar (Tempat tidur dorong.)

“Tidurkan disini Jok.” Ucap Zaky dan dia datang bersama dua orang suster.

“I, I, iya.” Ucapku sambil menidurkan Gilang diatas tempat tidur dan dibantu oleh Zaky.

Tubuh Gilang sudah tidak sekaku tadi, tapi dia tidak bergerak. Matanya sedikit lagi terpejam dan nafasnya masih memberat. Wajahnya semakin memucat dan tubuhnya basah kuyub, akibat kehujanan bersamaku tadi.

“Lang, Gilang.” Ucapku sambil menepuk pipinya pelan.

“Mas berdua urus administrasi aja dulu, biar kami tangani teman sampean ini.” Ucap salah satu suster dan suster yang satu, langsung mendorong blankar kedalam ruang UGD.

“Iya sus.” Jawab Zaky.

“ARGHHHH, DJIANCOKK.” Ucapku dengan emosinya dan air mataku belum berhenti mengalir.

“Tenang Jok, tenang. Kamu disini dulu, biar aku yang urus administrasinya.” Ucap Zaky lalu dia menuju keruang administrasinya.

Akupun hanya terdiam dan tidak tau harus berbuat apa. Tubuhku aku sandarkan didinding dan aku langsung duduk diteras UGD sambil menjambak rambutku.

Hatiku benar – benar kacau dan aku sangat takut kehilangan Gilang. Akupun tidak tau harus bagaimana menyampaikan kabar kepada keluarga Gilang, kalau sampai terjadi apa – apa dengan sahabatku itu.

Arrgghh. Kenapa aku harus berpikiran ada apa – apa sih.? Gilang itu kuat dan dia pasti bisa bertahan. Gilang itu sehat dan mungkin kurang enak badan aja. Bodoh sekali sih aku ini.? Bajingan.

Akupun langsung membersihkan sisa air mataku, sambil menarik nafas panjangku.

Hiuufftt, huuuu.

“Jok, tenangkan dirimu. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk Gilang.” Ucap Zaky yang baru datang dan mencoba menenangkan aku. Zaky langsung duduk disebelahku sambil menyandarkan punggungnya didinding.

“Aku ini gak berguna banget ya Ky.?” Tanyaku sambil menatap kearah lurus kedepan..

“Siapa yang bilang.? Kamu itu sudah melakukan yang terbaik dan kamu itu sahabat yang paling luar biasa.” Ucap Zaky sambil menepuk pundakku pelan.

“Kamu dan Gilang itu panutanku. Persaudaraan kalian berdua itu sangat mengagumkan dan jujur aku sangat iri sekali melihatnya. Kalian saling mendukung dan saling menutupi kekurangan masing – masing. Aku salut sekali Jok. Aku salut.” Ucap Zaky dengan suara yang bergetar.

“Apa arti persaudaraan dan persahabatan kami, kalau aku saja tidak bisa menjaga Gilang dengan baik Ky. Lihat kondisi Gilang sekarang, lihatlah. Apa aku tau yang dia derita dan dia simpan dalam kesakitannya.? Enggak Ky, aku gak tau itu.” Ucapku sambil menggeleng pelan.

“Saudara macam apa aku ini Ky,? Saudara macam apa.? Saudara macam tai.? Begitu ya.? Djiancok.” Ucapku dengan emosinya, lalu.

BUHHGGGG.

Aku menghantam lantai dengan keras, untuk melampiaskan emosi yang ada dikepala.

“Jok, Jok, Jok. Tenang Jok.” Ucap Zaky yang mencoba menenangkan diriku.

“Mas Joko.” Panggil seorang wanita dari arah pintu ruangan UGD.

“I, I, I, iya Mba.” Ucapku sambil menoleh dan yang memanggilku itu seorang suster.

Aku langsung berdiri dan bejalan cepat kearahnya.

“Bagaimana kondisi saudara saya Mba.? Dia baik – baik saja kan.?” Tanyaku dengan gugupnya, ketika aku sudah berdiri dihadapan suster itu.

“Mas Joko masuk aja, biar dokter yang menjelaskan.” Jawab Suster itu dan langsung membuat jantungku serasa berhenti berdetak beberapa saat.

Rasa takut yang sangat luar biasa langsung menyelimuti diriku, karena tatapan suster itu terlihat seperti sedang menyimpan suatu kabar yang sangat buruk.

“Mas.” Panggil suster itu.

“I, I, I, iya mba.” Jawabku terbata.

“Silahkan masuk.” Ucap Suster itu dan aku langsung melihat ke arah Zaky.

“Masuklah Jok.” Ucap Zaky dan kembali dia menepuk pundakku pelan.

Aku lalu melihat ke arah suster itu lagi dan suster itu langsung memberikan aku jalan untuk masuk kedalam ruang UGD.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Kedua kakiku gemetaran dan aku mulai melangkah pelan. Jantungku berdetak dengan cepat dan entah kenapa hatiku dikuasai rasa takut yang sangat luar biasa.

Tap, tap, tap, tap.

Langkah kakiku yang lambat, langsung disambut dengan suasana yang mencekam di dalam ruangan UGD. Hawa dingin didalam ruangan ini, membuat tubuhku merinding. Pakaianku yang masih basah inipun, membuat seluruh tubuhku gemetaran.

TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT.

Bunyi alat ventilator yang terdengar ditelingaku, langsung membuat kepalaku reflek menoleh ke arah sumber suara tersebut. Seorang pemuda terbaring lemah dengan wajah yang memucat dan berbagai selang yang menancap ditubuhnya.

Pemuda itu adalah sahabatku, Gilang Adi Pratama. Pakaiannya telah diganti dengan pakaian rumah sakit dan dia masih belum sadarkan diri.

Gilang. Kamu itu sakit apa sih cok.? Kenapa kamu bisa kesakitan seperti itu dan kenapa kamu tidak pernah memberitahu aku.? Bajingan.

TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT.

Bunyi alat ventilator itu sangat menggangguku dan ingin rasanya aku mengambil alat itu, lalu membuangnya jauh – jauh.

Hiuufftt, huuuu.

“Mas.” Panggil suster itu, ketika aku akan melangkah mendekat ke arah Gilang.

“Sudah ditunggu dokter.” Ucap Suster itu lagi dan aku langsung melihat ke arahnya.

Kami berdua melangkah lagi, menuju ke arah ruangan dokter.

“Dok, ini saudara dari pasien yang bernama Gilang.” Ucap Suster itu, ketika kami sudah sampai depan meja dokter itu.

“Oh iya. Terimakasih sus.” Ucap Dokter itu kepada sang suster.

“Iya dok. Kalau begitu saya pamit dulu.” Pamit sang suster dan dia langsung meninggalkan kami berdua.

“Silahkan duduk Mas.” Ucap dokter itu kepadaku.

“Iya dok.” Jawabku dan aku langsung duduk dihadapannya.

“Siapa namanya Mas.?” Tanya dokter itu.

“Joko dok.” Jawabku.

“Mas Joko ini punya hubungan apa dengan pasien yang bernama Gilang.?” Tanya dokter.

“Saya saudaranya dan sekarang kita langsung saja ke pokok pembahasan. Gilang sakit apa dok.?” Tanyaku dan aku sudah sangat tidak sabar dengan keadaan ini.

“Sabar Mas. Sabar dan saya harap sampean juga tenang, sebelum kita melanjutkan obrolan.” Ucap dokter itu dengan nada bicara yang santai, tapi cukup tegas.

“Hiiuufftt, huuu.” Aku menarik nafas panjangku, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Baiklah dok.” Ucapku pelan sambil menatap mata dokter itu dan dokter itu tersenyum dengan sangat dipaksakan.

“Pasien yang bernama Gilang, saat ini sedang kritis.” Ucap Dokter yang langsung membuatku terdiam.

Tenggorokanku langsung terasa kering, lidahku kaku dan bibirku bergetar. Seluruh tubuhku merinding dan kembali mataku berkaca – kaca.

“Organ didalam tubuh Gilang terluka parah, terutama di bagian hatinya. Permukaan hatinya kasar dan tidak halus seperti hati manusia pada umumnya.”

“Jujur saya heran dengan kondisinya yang seperti itu, Gilang masih bisa bertahan sampai detik ini. Kalau saya atau sampean yang ada diposisi Gilang, pasti sudah lewat.” Ucap Dokter itu dengan suara yang agak bergetar.

“Sa, sa, sakit apa Gilang dan apa yang bisa kita lakukan saat ini dok.?” Tanyaku dengan terbata.

“Gilang mengidap kanker hati stadium empat dan dia tidak mungkin bisa diselamatkan.” Jawab dokter.

Dan tiba – tiba.

DUARRRRR, DUARRRRR, DUARRRRR.

Suara petir menggelegar dan membuat dokter yang duduk dihadapanku ini terkejut dibuatnya. Tubuhnya seperti terhentak sesaat dan aku juga sangat terkejut.

Dokter terkejut karena suara petir, sedangkan aku terkejut mendengar ucapan yang keluar dari bibirnya. Ucapan dokter itu membuat isi kepalaku bergemuruh dengan hebatnya dan hatiku terguncang dengan hebatnya.

Bajingan. Ternyata selama ini Gilang mengidap penyakit yang sangat ganas dan bisa membunuhnya sewaktu – waktu. Entah dia tau atau tidak, tapi yang jelas aku menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Kenapa aku tidak menyadarinya dari dulu, ketika penyakitnya itu kambuh. Harusnya aku langsung membawanya kerumah sakit untuk memeriksakannya. Tapi kenapa aku tidak melakukannya.? Sahabat macam apa aku ini.? Djiancok.

“Apa tidak ada tindakan medis yang mampu menyembuhkannya dok.?” Tanyaku dan aku masih berharap, agar dokter ini melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Gilang.

Dokter tidak menjawab pertanyaanku dan dia hanya menatapku.

BRAKKK.

Aku menggebrak meja dengan keras, sampai dokter itu kembali terkejut dan wajahnya langsung memucat.

“Anda itu dokter. Harusnya anda bisa melakukan sesuatu, karena ini memang spesialis anda.” Ucapku dengan nada yang meninggi.

“Kalau anda tidak bisa menyembuhkan orang yang sakit, untuk apa anda bekerja disini.? Untuk apa.?” Ucapku dan mataku melotot ke arahnya, lalu aku berdiri dengan emosinya.

“Jok, Jok. Tenangin dirimu.” Ucap Zaky yang tiba – tiba datang dari arah belakangku, lalu dia merangkulku dan menarikku keluar ruangan dokter.

“Lepas Ky, lepas.” Ucapku sambil melepaskan rangkulan Zaky dan kami berdiri tidak jauh dari tempat Gilang tertidur dikasur UGD.

“Terus kamu mau apa.?” Tanya Zaky dengan suara yang sangat pelan, tapi matanya melotot ke arahku.

“Kamu mau marah.? Marah sama siapa.? Sama dokter.?” Tanya Zaky dan belum pernah aku melihatnya marah seperti ini.

“Gak ada gunanya Jok, gak ada gunanya kamu marah. Dokter juga manusia sama seperti kita. Hidup dan mati itu, Sang Pencipta yang mengaturnya, bukan manusia. Paham gak kamu.?”

“Ayolah Jok. Kamu jangan seperti ini. Kalau seandainya Gilang sadar dan melihatmu seperti ini, apa dia tidak akan kecewa kepadamu.?”

“Kamu lihat Gilang itu, kamu lihat. Dia berjuang untuk tetap bertahan hidup, tapi kamu malah seperti ini.” Ucap Zaky dan aku langsung menunduk, mendengar kata – katanya yang pelan tapi menusuk jantung itu.

“Dia saja bisa berjuang untuk tetap hidup, kenapa kita tidak membantunya.?” Ucap Zaky dan aku langsung melihat ke arah wajahnya.

“Mungkin rumah sakit ini tidak bisa membantunya, tapi entah diluar sana. Kita cari orang yang bisa membuat obat – obatan tradisonal atau kalau perlu lewat jalan yang non medis. Terserah apapun itu, yang penting kita berusaha dulu.”

“Memang benar yang mengatur hidup dan mati itu Sang Pencipta. Tapi kalau kita berusaha, mungkin Sang Pencipta bukan hanya memberi kesempatan Gilang untuk hidup sebentar, tapi lebih lama lagi.” Ucap Zaky.

“Sekarang mari kita Fokus pada prosesnya, jangan berpikir pada hasilnya. Serahkan semuanya kepada Sang Pencipta. Semoga Dia bermurah hati kepada kita dan juga Gilang.” Ucap Zaky dan kata – katanya itu, langsung membuka pikiranku yang kalut ini.

“Oke, oke Ky. Kalau begitu kita sekarang harus ke desa. Ada orang yang terkenal meracik ramuan – ramuan tradisional di desa Jati Bening.” Ucapku dan Zaky langsung mengangguk.

“Kita jalan sekarang. Mau dimanapun itu tempatnya, kalau ada harapan untuk Gilang, kita datangi malam ini juga.” Ucap Zaky

“Tapi siapa yang jaga Gilang disini.?” Tanyaku.

“Ada Mas Jago sama Mas Candra didepan. Tadi aku menelpon mereka berdua.” Jawab Zaky.

“Baguslah.” Ucapku sambil mengangguk pelan, lalu kami berdua melangkah ke arah pintu ruang UGD.

“Sabar Lang, sabar. Aku akan berusaha menyelamatkan kamu, bagaimanapun caranya.” Gumamku sambil menoleh ke arah Gilang.

Zaky. Untung dia datang dan menemaniku hari ini. Kalau dia tidak ada, aku gak tau bagaimana harus melewati hari yang sangat menjacukkan ini. Hari yang paling buruk dan di dalam mimpiku pun, aku tidak pernah mengalaminya.

Cukup sudah aku kehilangan kedua orang tuaku dan Denok wanita yang aku cintai. Aku tidak ingin kehilangan lagi orang yang mengerti aku dan orang yang menjadi panutan hidupku. Akupun tidak ingin berandai – andai Gilang pergi selamanya. Kalau sampai itu terjadi, akan aku guncangkan semesta ini dengan kemurkaanku.

Hiuuffttt, huuuu.

Malam sudah mulai menyapa dan sekarang kami berdua sedang dalam perjalanan ke Desa Sumber Banyu. Setelah tadi sempat berpamitan dan menitipkan Gilang kepada Mas Jago serta Mas Candra, Aku pergi dengan penuh harap kepada orang yang aku tuju ini.

Orang yang aku harapkan itu adalah Eyang Ranajaya dan Eyang Putri yang tinggal di Desa Sumber Banyu. Beliau berdua ahli obat – obatan yang terkenal dan pasti obatnya dapat menyembuhkan Gilang. Beliau pasti membantuku, karena Gilang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Eyang Ranajaya.

Hujan mulai mereda dan mobil yang dikendarai Zaky ini melaju kencang, dijalanan yang sepi ini.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami berdua sampai juga didepan rumah Eyang Ranajaya.

Suasana sepi, hening dan penuh dengan kedamaian, langsung menyambut kedatangan kami berdua. Tidak ada bekas hujan sama sekali didesa ini dan itu berbeda dengan Kota Pendidikan yang baru saja dilanda hujan badai.

“Kamu kenal dengan penghuni rumah ini Jok.?” Tanya Zaky ketika kami berdua sudah turun dari mobil dan berjalan ke arah rumah Eyang Ranajaya.

“Beliau terkenal di desa ini dan juga desa sekitar. Beliau juga ada hubungan keluarga dengan Gilang dan pasti kedatangan kita akan disambut dengan baik.” Jawabku sambil menoleh ke arah Zaky.

“Baguslah. Beliau pasti akan membantu Gilang dan semoga saja usaha kita ini mendapatkan hasil yang baik.” Ucap Zaky dengan wajah yang terlihat senang dan aku hanya mengangguk pelan.

Kami berdua lalu berjalan ke arah rumah dan aku terkejut, melihat Eyang Ranajaya duduk diteras rumahnya sambil menghisap rokok klobotnya.

“Permisi Eyang.” Ucapku menyapa Eyang Ranajaya.

Eyang Ranajaya hanya melirik ke arah kami dengan tatapan dingin dan tidak terkejut dengan kedatangan kami berdua.

“Duduk Le.” Ucap Eyang Ranajaya.

Aku dan Zaky langsung saling berpandangan dan kami berdua tetap berdiri ditempat kami ini.

“Mohon maaf Eyang. Kami berdua sedang terburu – buru.” Ucapku dengan nada bicara yang sangat sopan sekali.

“Tujuan kedatangan kami berdua ini, untuk memohon pertolongan dari Eyang Ranajaya dan Eyang Putri.” Ucapku tanpa basa – basi dan aku langsung kepada tujuanku

“Gilang sakit parah Eyang. Dia sekarang kritis dirumah sakit dan dokter sudah angkat tangan.” Ucapku lagi dan Eyang Ranajaya hanya mendengarkan setiap ucapanku dengan tenangnya.

“Saya mohon Eyang mau membantunya dengan ramuan obat – obatan tradisonal yang Eyang punya.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Maaf, aku tidak bisa membantunya saat ini Le.” Ucap Eyang Ranajaya dan langsung membuatku terkejut.

“Kenapa Eyang.? Eyang kan terkenal bisa membuat ramuan tradisonal yang sangat luar biasa, kenapa Eyang tidak mau membantu Gilang.?” Tanyaku dengan nada yang agak tinggi.

“Aku tau tujuanmu sangat baik, tapi jangan memaksakan kehendakmu.” Ucap Eyang Ranajaya.

“Bukan memaksakan Eyang, tapi saya memperjuangkan.” Ucapku dan entah mendapatkan keberanian dari mana, aku berani menjawab perkataan dari orang yang paling disegani didesa ini.

“Tidak ada manusia yang sempurna Le. Semua pasti mempunyai kelemahan dan pasti mempunyai batas kekuatan. Aku, kamu, ataupun sahabatmu.” Ucap Eyang Ranajaya.

“Kelemahan dan batas kekuatan itu, hanya diketahui ketika sudah berusaha Eyang. Tapi kalau tidak melakukan apa – apa, bagaimana kita mengetahui semua itu.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Apakah melakukan sesuatu itu harus diketahui banyak orang.?” Tanya Eyang Ranajaya.

“Lakukan apa yang bisa kamu lakukan, tanpa perlu diketahui oleh orang lain.” Ucap Eyang Ranajaya.

“Saya datang kemari untuk memohon pertolongan Eyang dan itu untuk sahabat saya. Tidak ada tujuan lain selain itu Eyang. Saya datang kemaripun tidak ada orang yang tau.” Ucapku dan Zaky langsung memegang pundakku.

Aku menoleh ke arahnya dan Zaky menganggukan kepalanya pelan. Dia seperti mongkodeku agar aku lebih tenang berbicaranya.

“Pulanglah Le. Maaf aku tidak bisa membantumu kali ini.” Ucap Eyang Ranajaya dan perlahan emosiku mulai menguasai kepalaku.

“Kalau Eyang gak mau membantu Gilang sebagai sahabat saya, tolong bantu Gilang karena dia keluarga Eyang.” Ucapku dengan nada yang memohon dan aku berusaha menahan emosiku.

Eyang Ranajaya langsung menatapku dengan tatapan yang sangat dalam dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

“Kita balik Jok.” Bisik Zaky dan aku tidak menghiraukannya.

“Hidup itu bukan hanya tentang mendapatkan apa yang kamu inginkan. Hidup itu juga mengajarkan tentang menghargai. Menghargai diri sendiri, menghargai orang lain dan menghargai semesta.” Ucap Eyang Ranajaya dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Baiklah Eyang. Kalau Eyang tidak bisa membantu, saya akan pergi sekarang juga. Tapi sebelum saya pergi, saya ingin bertanya satu hal dengan Eyang.” Ucapku dan Eyang Ranajaya hanya menatapku saja.

“Kalau seandainya penyakit yang sedang diderita Gilang ini, suatu saat akan dialami oleh keluarga terdekat Eyang, apa yang akan Eyang lakukan.?” Tanyaku.

“Hidup, mati dan rezeki itu, hanya Gusti Pengeran yang tau. Jangan berandai – andai tentang itu, karena sama saja kamu menghinaNya. Cukup jalani dan persiapkan semuanya, karena Dia bisa memberi dan Dia bisa mengambilnya sewaktu – waktu.” Jawab Eyang Ranajaya dan aku langsung membalikan tubuhku, meninggalkan Eyang Ranajaya yang hanya menatapku sambil menghisap rokok klobotnya.

Bukannya aku tidak sopan dengan Eyang Ranajaya, bukan. Aku hanya kecewa kepadanya, yang seolah – olah menyuruhku pasrah dengan semua ini.

Aku pergi dengan hati yang hancur berkeping – keping, karena harapanku satu – satunya pupus dan aku harus balik ke Kota Pendidikan dengan tangan hampa.

Aku sangat terpukul dengan keadaan ini dan aku sudah tidak punya harapan untuk kehidupanku selanjutnya. Entah bagaimana kehidupanku esok, karena aku sudah tidak punya semangat dan jiwaku telah mati saat ini.

Hiuuffttt, huuuu.

Dan sekarang, sebelum kembali ke Kota Pendidikan, aku dan Zaky duduk disebuah batu besar dipinggir sungai desaku.

Malam semakin larut dan malam yang tadinya dipenuhi bintang, perlahan ditutupi awan yang tebal. Kilatan – kilatan petir perlahan mulai terlihat menyambar, ditengah hutan terlarang yang ada disebrang sungai sana. Angin mulai berhembus kencang dan aku hanya diam sambil menghisap rokok kretekku.

“Kita balik ke Kota Pendidikan Jok.” Ucap Zaky sambil menoleh ke arahku.

“Untuk apa Ky.? Untuk melihat Gilang merintih kesakitan dan tidak ada harapan sembuh dari dia.?” Tanyaku dan pandanganku tetap kurus kedepan.

“Apa kita disini terus dan kita tidak berbuat apapun untuk Gilang yang masih bernafas.?” Tanya Zaky dan aku hanya diam saja.

“Ayolah Jok. Harapan itu masih ada, karena Gilang masih bernafas. Kita masih diberi kesempatan untuk mencari jalan, walaupun peluangnya sangat kecil.”

“Tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, selagi sukma masih menyatu diraga.”

“Semesta pasti akan mengutuk orang – orang yang hanya berdiam diri dan menikmati kesedihannya.” Ucap Zaky dan aku tetap diam, sambil menarik isapan rokokku dalam – dalam, lalu membuang puntung rokokku ketanah.

Aku lalu berdiri perlahan dan menatap kearah langit, yang mulai menurunkan rintik hujannya.

“Tuhan. Kenapa harus Gilang yang menanggung semua ini.? Kenapa bukan aku.? Begitu banyak orang yang menyayangi dan mencintai Gilang. Sedangkan aku, aku hanya sebatang kara didunia ini dan tidak ada yang memperdulikan aku selain Gilang Tuhan.” Ucapku sambil memandang ke arah langit.

Clap, clap, clap, clap.

DUARR, DUARR, DUARR, DUARR.

Kilatan petir yang tadinya tidak terdengar suara, sekarang langsung diikuti suara yang menggelegar.

“Berikan rasa sakit itu kepadaku dan aku akan menerimanya dengan ikhlas Tuhan. Aku akan menerimanya.” Ucapku dan butiran air mataku kembali mengalir.

Clap, clap, clap, clap.

DUARR, DUARR, DUARR, DUARR.

“Tuhan. Aku hanya memohon satu kali saja didalam sisa hidupku ini. Tolong jangan ambil nyawa sahabatku itu dan ambil saja nyawaku yang tidak berguna ini.”

Clap, clap, clap, clap.

DUARR, DUARR, DUARR, DUARR.

“SALAHKU APA TUHAN.? SALAHKU APA.? KENAPA KAU MEMBERIKAN AKU UJIAN SEBERAT INI.? KENAPA.? AMBIL NYAWAKU SEKARANG JUGA TUHAN, AMBIL NYAWAKU.” Teriakku dengan lantangnya.

Clap, clap, clap, clap.

DUARR, DUARR, DUARR, DUARR.

Dan tiba – tiba,

Kring, kring, kring.

Bunyi telpon Zaky dan aku langsung melihat ke arahnya. Dengan tangan yang bergetar, Zaky langsung mengambil Hpnya dikantong dan matanya langsung tertuju pada layar Hpnya.

“Ma, Ma, Mas Candra.” Ucap Zaky terbata dan Zaky belum mengangkat Hpnya.







#Cuukkk. Ada apa ini.? Kenapa Mas Candra telpon.? Apakah ada kabar buruk dari rumah sakit.? Djiancok.!!!
Ashuuuu


Sebegitu mengerikannya kah efek minum air dari mata air atau air terjun sumber banyu???

Salut dengan persahabatan gilang dan joko


Walaupun ngatheli, tp mereka ada saat sahabatnya sakit 😭😭😭


Semangat Suhu @Kisanak87 🦅🦅🦅💦💦💦
 
Bimabet
Membaca koment2 sedulur sumuanya dengan berbagai analisanya.. sungguh luar biasa
mbah e pepen @Kisanak87 senyum2 sendiri lihat analisa para sedulur semua
:ngacir: :ngacir: :ngacir: :ngacir: :ngacir: kaborrr dari pada dimarahin gadis
Kowe yo podo wae kakehan mikir cak ... Kok bisa2nya eloe tahu kalau @Kisanak87 sedang senyum sendiri ngenyek kon iku ... jangan2 eloe jg sekarang lagi senyum2 sendiri kl mbaca ini 🤣🤣🤣
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd