Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY IMMORTAL GIRL

Duckkler

Semprot Kecil
Daftar
11 Apr 2017
Post
94
Like diterima
923
Bimabet
lagi bosen abis. main game. berkhayal....

Nana mengernyitkan matanya yang sipit. "APA SIH RAHASIAAN SEGALA?!"

Anggia terkekeh. "Udah, elu duduk aja di sofa. Bentar lagi... umm... mabelas menit lagilah." Temannya yang gemuk bahenol sexy ini menggeser duduknya di sofa panjang, kakinya mengangkang. Ia rebahan di atas bantal, sembari tangannya menyambar sebutir strawberry di coffee table yang mewah. Kedua payudaranya yang besar nampak membusung, putingnya menonjol. Di villa ini, mana pernah Anggia memakai beha?

Nana memutar matanya. Ia agak menyesal kok mau diajak nginap oleh Anggia, dengan acara rahasia. Lagipula, apalagi sih yang rahasia dari Anggia? Sejak akrab di acara opspek waktu masuk kuliah, cewek ini menjadi teman dekatnya dan menjadikan dirinya tempat curhat dan cerita tentang bagaimana pengalaman ngentot dengan kakak-kakak tingkat. Mulanya Nana risih, tapi karena orang tua Anggia kaya raya sehingga anak itu juga royal bukan main, Nana mau saja berteman dan kecipratan duitnya. Sangat lumayan untuk menutupi kebutuhan bulanan. Ayahnya sudah pergi meninggalkan mereka sejak Nana masih bayi. Ibunya.... Nana tidak tahu bagaimana ibunya, dan kadang-kadang tidak ada transferan duit sama sekali selama sebulan. Kalau sudah begitu, Anggia selalu membantunya dengan senang hati, tanpa pernah bertanya buat apa. Cuman lima juta, katanya.

Cuman?!

Tapi ya gitu, anak ini cabul bukan main. Sedangkan Nana tidak pernah bermain dengan lelaki, tidak pernah pacaran. Tidak pernah ciuman. Apalagi ngentot!

Bukan berarti Nana berpenampilan buruk. Sebaliknya, kalau mau, dia mudah mendapatkan pekerjaan jadi foto model. Tubuhnya tinggi, kulitnya halus, matanya sipit, dadanya bulat besar. Bapaknya asli dari Palembang, tapi matanya sipit. Ibunya asli dari Manado, masih keturunan Portugis. Pantatnya bulat -- itu bagian yang paling membuat Anggia iri -- dengan kaki yang panjang, betis yang berisi. Pinggulnya ramping, jadi benar-benar bertubuh seperti gitar Spanyol. Dan kecantikan itu....

Begini, kalau ada perempuan mempunyai buah dada sebulat dan sebesar Nana, maka kebanyakan mata lelaki akan terpaku pada dadanya. Nenen. Tetek. Toket. Besar, tapi bulat, tidak seperti buah pepaya yang menggantung. Dengan puting yang menonjol, nampak dari baju walaupun Nana tidak pernah melupakan BH nya. Wajar kalau lelaki akan menatap ke dada, tapi di hadapan Nana, mereka akan terpukau dengan kecantikan wajah, dengan rambut hitam tergerai sebahu. Mata yang modelnya sipit seperti orang Tionghoa Palembang, tapi warna mata agak kehijauan seperti mata orang Portugis.

Dengan penampilan seperti itu, Nana tidak kekurangan lelaki yang mengejarnya. Tapi dia tidak mau lelaki -- ia dan ibunya sudah cukup menderita karena ayahnya yang mendadak jadi sok agamis kemudian terus menikahi perempuan lain. Nana juga menjadi sangat sinis dan sangat tidak percaya pada segala ajaran agama dari pihak ayahnya. Hah, disuruh pakai jilbab? Disuruh solat? Omong kosong, kelakuan masih bajingan seperti itu! Malah yang jadi pelakor itu perempuan berjilbab yang tidak tahu malu, kata ibunya. Nana belajar dari ibunya untuk tidak percaya pada lelaki, maka dari kecil sampai kuliah begini dia tidak pernah pacaran. Tidak ada lelaki yang berhasil mendekatinya.

Entah bagaimana, kok malah punya teman baik yang hobinya seks. Ya sudahlah. Nana memandang keluar dari balkon lantai dua yang penuh kaca, memandang ke arah lautan lepas dan matahari yang baru saja terbenam. Ia sudah beberapa kali menginap di villa Anggia, tetap saja terpesona dengan pemandangan matahari terbenam di balik cakrawala.

Lima belas menit kemudian, terdengar pintu bawah dibuka. Mata Anggia yang sebelumnya sayu mendadak berbinar-binar. "Asyik!" serunya. Ia terus melompat berdiri dari kursi.

Dari tangga muncullah dua orang pemuda yang gagah. Nana mengenali mereka sebagai senior dari jurusan geodesi.
"Hai Gia sayang!"
"Iiihh.... Dro baru datang sih! Ditungguin! Kangen!" lantas Anggia terus menyosor memeluk pemuda itu dan tanpa malu-malu mencium bibir pemuda itu. Pemuda yang bernama Indro terus memeluk gadis itu, tangannya meremas pantat Anggia yang hanya memakai celana super pendek dari kain tipis.

"Eh.... ada Nana juga. Halo Nana, saya Irfan," kata pendamping si Indro dengan berbinar. Ada cewek paling cantik di kampus mau main di sini juga?

Tapi Anggia buru-buru melapaskan ciumannya lantas menyanggah Irfan. "Eh, jangan gangguin Nana, pokoknya anggap aja dia kagak ada. Kita main aja bertiga di sini."

"Bertiga di sini?" tanya Indro
"Iyalah, gua udah sange banget nungguin kalian" jawab Anggia
"Terus ada Nana... kan...." kata Irfan termangu-mangu. Barangnya dah mengeras membayangkan bisa menggauli Nana.
"Gila lu Fan, dia sih duduk aja di sana gak bersuara. Biar nonton aja," kata Anggia lagi agak ketus. "Pokoknya kalian berdua gak boleh apa-apain Nana!"

"Sini sayang, cium gua aja...." kata Anggia sambil mendesah.
Indro menciumnya, sambil kedua tangannya meremas tetek Anggia yang besar. Jelas lebih besar dari Nana. Putingnya juga agak hitam besar.

Kalau tidak salah, dulu waktu SMA Anggia sempat hamil, tapi terus mengalami keguguran kandungan. Akibatnya, kedua nenennya besar dan berputing besar agak hitam -- tahu gak, kalau perempuan hamil tuh yang membesar lebih dulu adalah teteknya?

Sementara, Irfan berjongkok di belakang Anggia, terus memelorotkan celananya. Ia bernafsu melihat pantat yang kuning langsat bulat besar itu, yang hanya dibungkus oleh G-String. Hanya kain sebesar telapak tangan yang menutupi memek yang tembem dan nampak basah.

Sambil berjongkok, Irfan mulai menciumi dan mengigit pantat kuning langsat di depannya.

Nana melongo. Jadi, ini yang dibilang sebagai rahasia itu?

--sambung nanti ya--
 
Umur sembilan belas. Cantik. Pakai celana pendek jeans, dengan atasan T-Shirt, ditutup oleh Sweater tangan panjang yang ukurannya agak kebesaran, duduk santai di sofa.

Dua meter di depannya, Indro melucuti baju Anggia. Irfan melucuti celana, terus celana dalamnya. Kemudian gantian, Indro melepaskan baju dan celana. Batang kemaluannya keras dan kelihatan besar. Anggia membungkuk, mulutnya menyambar burung berkepala botak merah licin berlendir, mengulumnya dengan lahap. Karena membungkuk, memek Anggia yang tembem nampak merah muda, yang terus disambar oleh Irfan yang berjongkok, dengan puas menjilati dan menghisap.

Ugh, cara paling cepat buat pemanasan, mulut-mulut yang bekerja sambil mengeluarkan desahan-desahan. Anggia tidak pernah mengatakan sekeras apa dia mengerang, kini Nana tahu. Anak itu berusaha memasukkan kontol Indro seluruhnya menyumpal mulut, sambil berusaha mengerang keras setiap kali Irfan menghisap kelentitnya kuat-kuat.

Pemandangan itu membuat Nana pusing. Dia tahu, sebenarnya bisa saja ngeloyor pergi masuk kamar di lantai tiga di atas, habis perkara. Tetapi Nana masih perempuan muda yang normal dan sehat, maka semua hormonnya bergejolak liar, membuat celana dalamnya sendiri basah dan berdenyut-denyut. Ujung putingnya menjadi sangat sensitif, tekanan dari beha dan baju sweater tebal berat itu terasa menggelitik dan membuatnya gelisah.

Jelasnya, ini bukan penampakan pertama; sebelum ini Nana dan Anggia sudah bersama-sama menonton bokep di villa yang super bebas ini, tanpa gangguan, sambil cekikikan, dilanjut dengan Anggia mengobok-obok memeknya sendiri sampai orgasme. Nana juga terangsang, tetapi masih di bawah kendali pikirannya. Bagaimanapun, itu adalah film orang Jepang yang pasrah merintih-rintih, dan sebenarnya Nana merasa tidak suka dengan sikap perempuan sepasrah itu. Hei, perempuan juga ada martabatnya kan? Kalian perempuan Jepang kok bisa sepasrah itu?

Pikiran begitu, biasanya efektif mematikan rangsangan.

Tapi kali ini bukan tontonan di layar tv, ini adalah kegiatan live, di mana Anggia mengerang, merintih, mengejang-ngejang tidak bisa menahan orgasme pertama karena kelihaian Irfan mengoral memeknya.

"Masukin Fan... masukin...." desah Anggia. Irfan terus berdiri, dan kontolnya sudah keras. Panjangnya... 20 centi? Ah tidak, paling juga lima belas centi, bisik Nana dalam hati. Ia tidak berkedip melihat kemaluan keras itu menghujam kuat-kuat ke liangnya Anggia yang sudah basah, membuat gadis itu semakin kuat menyepong kontol Indro yang turut bergerak keluar masuk mulutnya.

"Gantian, Gi...." kata Indro. Rupanya ia juga ingin merasakan mengentot Anggia. Mendapat pesan itu, Anggia berhenti mengulum penis yang kini basah sepenuhnya. Irfan juga melepaskan kontolnya dari belakang Anggia. Indro terus berbarik di lantai berlapis karpet bulu tebal. Kontolnya mengacung tinggi. Anggia terus berbalik membelakangi dan berjongkok, mengarahkan kontol itu ke memeknya, kemudian menurunkan badannya yang bahenol, sambil memutarkan pinggang. Indro segera merasakan kontolnya dijepit memek yang masih sempit dan licin, sambil bergerak memutar.

Sambil melihat Anggia bergerak naik turun berputar, Irfan mengacungkan kontolnya ke muka dan terus disepong. Dalam keadaan begitu, malah Anggia yang mengerang duluan, sambil melesakkan seluruh kontol itu ke dalam memeknya, orgasme lagi. Irfan juga tidak bisa menahan ejakulasinya, terus dia menyemprot ke muka Anggia, sampai belepotan kena rambut yang dicat pirang model bob.

Sudah keluar, Irfan terus duduk di sofa di sisi seberang Nana. Sementara itu, Anggia terus berbaring terlentang, mengangkang, mengundang. Indro terus mengangkat kedua kaki Anggia ke bahunya, sambil menancapkan kontolnya lagi dalam-dalam.

"Enak banget Droooo.... tancepin Droooo.... Ohhhhh oohhhh ohhhh!" -- kelihatannya posisi itu paling pas membuat Anggia kembali naik dan mendapatkan puncaknya. Indro yang tidak tahan lagi, terus mencabut dan ejakulasi ke atas perut dan tetek Anggia. Peju putih memenuhi perut, tetek, dan mukanya. Tapi Anggia tersenyum lebar penuh kepuasan.

"Euhhh.... bentar Dro... gua ke kamar mandi dulu...." kata Anggia. Pemuda itu terus duduk saja di atas karpet bertelanjang bulat. Kontolnya menyusut mengecil. Anggia terus bangun berdiri dan ngeloyor ke kamar mandi di dekat tangga.

Nana merasa wajahnya sangat panas. Celana dalamnya basah semua, apalagi saat melihat Indro ejakulasi di atas perut Anggia, kontolnya begitu merah keras berurat. Pemandangan yang susah dilupakan, dan seperti membuat tubuhnya memberontak dari segala omongan dan ajaran ibu, karena turut menginginkan. Tapi, sekarang, kontol itu sudah mengecil.

Indro mengambil rokok dan korek dari saku celananya yang tergeletak di lantai, mengambil sebatang dan menyalakan, menghisap. Menghembuskan asap perlahan-lahan.

"Udah pernah? Enak lho Na," kata Indro sambil senyum manis kepada Nana.

Gadis perawan itu tidak tahu harus bagaimana. Memeknya gatal sekali sekarang, tapi bagaimana mungkin menggaruk memek di depan pemuda ganteng yang telanjang?

--sambung lagi nanti--
 
bertahankah nana dgn keperawannya yg selalu disuguhi live show oleh anggia
 
Nana menatap Anggia yang melangkah keluar dari kamar mandi tanpa busana sambil menenteng handuk. Dia menemukan dimensi baru tubuh sahabatnya: sexy. Sepasang payudara besar, membulat. Pinggang ramping. Pinggul dan pantat membulat, dengan bagian selangkangan nampak kemerahan. Anggia memang gemuk, tapi gendut? Perutnya tidak bergelambir, malah rata. Hanya memang tangan dan pahanya besar, tulangnya besar. Tubuh yang memancarkan aura perempuan dewasa yang baru melalui serangkaian orgasme memuaskan. Dan senyumannya cantik sekali.

Indra dan Irfan yang masih terduduk di lantai turut memandang dengan sorot mata menerkam, padahal kontol mereka masih lembek. Itu fase yang disebut periode Refractory, dan penampilan gadis se-sexy itu mampu membuat refractory menjadi lebih singkat dari biasanya.

"Hei, apaan sih? Kok kalian ngeliatin aku kayak gitu?" sergah Anggia
"Kamu sih...." Nana tidak bisa meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba suasana menjadi serba kagok.

Brak bruk brak bruk!
Suara barang jatuh dan langkah kaki orang naik tangga terdengar keras. Reflek, Anggia terus menutupi tubuh telanjangnya dengan handuk.

"Nona Anggia! Nona Anggia!" seru Pak Dadang, penjaga villa. Suaranya terdengar panik.
"Kunaon Pak Dadang?" tanya Anggia, ketularan rasa panik yang menjalar. Indra dan Irfan buru-buru mengenakan celana mereka lagi.

Pak Dadang muncul dari tangga diikuti oleh beberapa orang di belakangnya, dengan tubuh besar-besar. Seorang lelaki muda memakai jas berjalan persis di belakang Pak Dadang.

Anggia terkesiap memandang lelaki muda itu.
"Pak... Pak Brian...?" katanya dengan suara takut.

"Oh, bagus ya kamu kenali aku, Nona Anggia," kata lelaki bernama Brian itu. "Bagus juga kelakuan kalian memakai villa milik kantor buat pesta seks! Sungguh berani, ya? Apa Bapak kamu tahu, Anggia?" Brian bertanya dengan suara yang berat dan tenang, perlahan-lahan. Tapi setiap katanya membuat wajah Anggia menjadi semakin pucat.

"Ti... tidak, Pak Brian. Papah tidak tahu."
"Tapi Bapak kamu memberikan kunci villa ini padamu, kan?"
"Iya Pak Brian, tapi...."
"Tidak ada tapi. Bapakmu terbukti tidak bisa menjaga aset perusahaan."
"Aduh, bukan begitu Pak, maksud saya, ini..."
"Maksudmu apa, Anggia? Bapakmu mengijinkan kalian ngeseks di tempat ini?"

"Maaf Pak, tidak semua orang ngeseks di tempat ini," terdengar suara yang merdu menjawab pertanyaan itu.
"Kamu siapa?"
"Saya teman Anggia."
"Siapa yang mengijinkan kamu ada di sini?"
"Saya teman Anggia. Bapaknya Anggia mengijinkan kami memakai tempat ini."
"Itu membuktikan Bapaknya Anggia tidak bisa menjaga aset perusahaan."
"Dalam hal apa aset perusahaan tidak dijaga? Seluruh bangunan dan aset fisik tempat ini terjaga dengan baik."
"Tapi kalian ngeseks di sini!"
"Kami sudah dewasa, umur kami lebih dari 20 tahun. Kalau kami tidur saja, atau kami ngeseks, apa urusan dengan Bapak?"
"Ini aset perusahaan!"
"Ya, tapi perusahaan telah mendelegasikan aset ini kepada Bapaknya Anggia sebagai Direktur Utama, dan boleh dipakai oleh keluarganya. Tidak ada yang salah dengan tidur di sini."
"Siapa yang mengijinkan untuk ngeseks!" kata Brian dengan nada makin tinggi.
"Siapa yang harus minta ijin untuk ngeseks?" tanya Nana dengan suara tetap kalem. "Maaf, tapi Bapak siapa?"
"Ini perusahaan milik Ayah saya. Semua aset milik saya. Saya tidak mengijinkan ada perilaku mesum asusila di sini!"
"Bapak Anda telah memberikan penguasaan villa ini kepada Bapaknya Anggia, lantas Bapak memotong hak dan kewajiban yang sudah diberikan begitu saja?"

Wajah Pak Brian menjadi memerah. Suaranya makin tinggi.
"Saya tidak mengijinkan kalian ada di sini!"

"Wah, sebenarnya, Anda yang baru saja menerobos masuk ke sini, bukan? Apakah Anda mempunyai wewenang?" tanya Nana lagi, masih kalem. Dari dulu, Nana selalu menjadi semakin kalem ketika ia menjadi semakin marah dan berani.

"Na, udah Na... jangan diterusin," kata Anggia lirih. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya nanti. Pak Brian adalah anak Komisaris Utama, pemilik perusahaan yang baru saja pulang dari luar negeri. Anggia ingat, ayahnya pernah mengeluh tentang kedatangan anak muda pemilik usaha yang mengacaukan pola kerja perusahaan. Dan kini si Brian punya alasan lain untuk mengacau pekerjaan.

"Jangan kurang ajar, kamu!" seru Brian, merasa di atas angin karena Anggia ketakutan.
"Ayolah, kita pergi aja sekarang, Gi," ajak Nana. Mendengar itu, Indra dan Irfan yang paling sigap berpakaian lengkap dan bersiap minggat dari situasi mencekam ini.

"Siapa yang mengijinkan kalian untuk pergi?" sergah Brian
"Siapa yang boleh melarang kami untuk pergi?" tukas Nana
"Kalian masuk tempat ini tanpa ijin! Kalian pikir bisa pergi begitu saja?!" seru Brian.
"Kami masuk ke sini dengan ijin. Tentu saja kami bisa pergi begitu saja!" sahut Nana lagi.

Namun ketika Nana hendak melangkah, ada empat orang bertubuh besar menghadang jalan ke tangga.
"Pak, apa maksudnya ini?" tanya Nana.
"heh, kalau saya tidak kasih ijin, ya kalian tidak boleh kemana-mana!" kata Brian dengan senyum sinis. Bagaimanapun, ia menang karena memiliki anak buah berbadan besar, satpam pabrik yang kini menjadi bodyguardnya.

Hanya saja, kali ini yang mereka hadapi adalah Nana. Siapa Nana? Gadis muda yang dari kecil mengalami penderitaan karena ayahnya berselingkuh. Gadis muda yang menjadi tempat curhat dan justru melindungi ibunya, secara mental dan fisik. Semua itu membuat Nana memahami dan berusaha untuk membela diri, dan menghabiskan waktu bermainnya untuk berlatih Wushu. Nana malah menjadi juara tingkat provinsi Sanda, pertarungan tangan kosong modern, sepenuhnya fasih dengan jurus-jurus Tinju Utara, Chang Quan dan Tai Chi Quan. Olahraga rutin pula yang membuat tubuhnya indah mempesona.

Keempat orang di depannya memang berbadan besar, namun mereka bergerak dengan kaku. Mungkin selama ini mereka mengandalkan ukuran tubuh untuk menakut-nakuti para buruh. Tidak ada artinya bagi Nana.

"Kalau kami mau pergi, siapa yang bisa melarang?" tanya Nana semakin kalem. Ia mengatur nafas, mengumpulkan energi, seperti biasa dilakukan sebelum bertarung.

Anggia menjadi panik, lupa menutup tubuh dengan handuk. Tubuh telanjang bergegas mengambil celana dalam dan pakaian yang berserakan, terus dikenakan sebisanya.

"Kalau kamu nggak dihajar, emang kamu kurang ajar!" seru Brian sambil memberi kode. Keempat anak buahnya menyeringai, memandang Nana yang cantik seperti monyet melihat pisang. Mereka bermaksud meringkus Nana dan melakukan apa saja yang mereka bayangkan. Bagaimanapun, pemandangan Anggia yang telanjang sudah sangat merangsang. Dengan cepat, keempatnya mengulurkan tangan untuk menangkap Nana.

Tapi mereka kecele, karena tahu-tahu Nana menghilang dari tempat berdirinya. Yang satu terus terhuyung ke depan, sehingga menabrak meja kopi dari kaca. Pyaaar! Meja itu pecah tertimpa tubuh penjaga yang jatuh tersungkur.

"Wah, kalau begini, justru anak buah Bapak yang merusak aset perusahaan," kata Nana. Wajah Brian menjadi merah padam
"Ringkus dia!" serunya
Keempat orang itu menjadi makin beringas menyergap Nana. Namun, yang terjadi berikutnya diluar dugaan empat lelaki besar yang ternyata bodoh dalam perkelahian ini.

Yang satu ditendang lututnya, kemudian kaki yang indah itu menghajar dagunya sehingga terpelanting. Yang di sebelahnya terhantam telak di ulu hati oleh tinju Nana. Baru saja mereka terkaget-kaget oleh gebrakan pertama, Tinju Utara meluncur lagi dengan tiga rangkaian tendangan yang dilakukan sambil melompat salto ke depan. Seperti kena badai, tiga orang besar itu terpelanting ke kiri, kanan, dan belakang. Dalam gebrakan berikutnya, satu orang yang tersisa terjungkal jauh ke belakang, menghantam Pak Brian yang terkesima melihat anak buahnya bergelimpangan.

"Sialan! Ka..." Brian tidak bisa meneruskan teriakannya, karena tubuh besar itu membentur keras dan membuatnya menghantam rak kaca yang menghias dinding. Praaaannng! Rak itu pecah, isinya berjatuhan ke lantai. Anggia menjerit ketakutan. Ia, Indra dan Irfan, juga Pak Dadang, bergegas turun tangga, menghindari kekacauan hebat ini.

Nana, berdiri dengan kaki terpentang, kuda-kuda kokoh, tangan kiri telapak membuka sejajar wajah, tangan kanan terulur ke muka dengan tinju terkepal. Ia memandang musuh-musuhnya berusaha bangkit dari lantai. Bersiap untuk memberikan pukulan berikutnya.

Sebuah cakram serupa piring dari kuningan menggelinding dari rak kaca yang pecah, meluncur dan berhenti tepat di kaki Nana. Ia melirik ke bawah. Cakram dari kuningan dengan kaca warna warni di tengahnya, tepat di bawah kaki. Benda ini bisa mengganggu gerakannya, jadi tadinya ia mau menendang benda itu. Tetapi kuatir kakinya terluka, Nana terus berjongkok dan memegang cakram itu.

Dan kini giliran Nana yang terkejut setengah mati.

Bagian kaca berwarna warni di tengah benda itu menyala terang! Sangat terang! Nana memejamkan matanya, terlalu silau untuk melihat bola cahaya di tangannya. Refleks, Nana berusaha melemparkan cakram namun gagal. Benda itu seperti melekat kuat di tangannya. Sedetik kemudian, diri Nana diselubungi bola cahaya putih-biru-hijau. Brian dan keempat anak buahnya memakai tangan untuk menutupi wajah mereka.

BOOM! Bola cahaya itu meledak!
Seluruh lantai dua terhantam oleh ledakan hebat yang memecahkan semua kaca. Brian dan keempat anak buahnya hancur remuk tubuhnya, terus terlempar keluar bersama dengan segala barang. Seluruh rumah itu bergetar.

Anggia, Indro, Irfan dan Pak Dadang yang sudah sampai di lantai satu, semuanya tersungkur ke depan, tapi mereka selamat. Seluruh rumah itu terguncang hebat.
"Nanaaaaa!!!" pekik Anggia. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di atas.

Siapa yang menyangka, bahwa akhirnya akan seperti ini?
 
Nana mengerang. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Berdarah. Sweaternya robek besar di bagian depan, juga merobek sebagian T-Shirt. Celana jeansnya juga robek-robek, kena sayatan yang juga melukai kulit. Ia menjatuhkan piringan cakram begitu saja. Di telapak tangannya, kiri dan kanan, terbentuk luka bakar berbentuk bunga krisan, seperti bentuk ukiran hiasan cakram. Sakit sekali rasanya, merah membengkak.

Gadis itu memandang sekitarnya. Jelasnya, dia tidak berada di villa. Ia berdiri di pinggir lapang rumput, yang dikelilingi oleh pohon-pohon bambu, dan sebuah kolam di tengah. Tertatih menahan sakit, Nana melangkah ke tengah, menuju kolam. Mencari air untuk membersihkan tangan yang terluka. Jarak ke kolam itu seperti dekat hanya 3-4 meter, tetapi entah mengapa Nana merasa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dalam perjalanan yang sangat jauh, hingga terengah-engah. Nana merasa semakin pusing.

Tiba di pinggir kolam, ia takjub. Kolam ini bentuknya lingkaran sempurna, dengan air yang sangat bening. Di dalamnya ada dua ekor ikan, seperti ikan koi. Yang satu warnanya hitam, dengan bintik putih. Satu lagi warnanya putih, dengan bintik hitam. Nana berjongkok untuk melihat pemandangan ini lebih dekat. Ia mencelupkan kedua tangannya, bermaksud mengambil air kolam yang bening untuk minum, karena sangat haus.

Ketika kedua telapak tangannya yang luka berbentuk bunga itu terbenam dalam air, sinar terang kembali muncul dari pola bunga krisan. Air yang nampak tenang tiba-tiba saja bergejolak keras, terus menyembur ke seluruh tubuh Nana. Ia terpelanting, ke tanah berumput, jatuh tidak sadarkan diri.

Satu menit kemudian, sesosok tubuh nampak melayang turun dari atas puncak pohon bambu yang tinggi. Seperti daun kering, tubuh itu melayang dan mendarat di rumput, persis di sebelah Nana yang pingsan. Orang itu seorang lelaki berambut putih panjang, dengan janggut dan alis yang juga putih dan panjang, tetapi tubuhnya tidak seperti orang tua, sebaliknya masih kencang dan kekar. Pakaiannya dari kain kasar, model lebar dengan satu jahitan dari atas ke bawah. Memakai sandal yang dibuat dari jerami yang dikepang-kepang. Walaupun nampak seperti gembel, namun matanya nampak teduh sekaligus berbinar-binar -- mata yang tidak bisa ditatap, karena memiliki aura yang ajaib.

Lelaki itu melihat cakram tergeletak di pinggir lapangan, wajahnya dari heran menjadi terkejut. Ia terus mengambil cakram lalu kembali ke Nana yang masih tergeletak. Tubuh gadis itu dengan mudah diangkatnya dan dipanggul pada bahunya. Dengan satu enjotan ringan, tubuhnya melayang naik melewati pohon-pohon bambu terus meluncur dengan cepat membawa gadis itu pergi. Sepanjang jalan, Nana tetap tidak sadarkan diri.

Dalam alam bawah sadarnya, Nana berada di sebuah taman, dengan lapang rumput yang tebal dan pohon-pohon bunga mengelilingi. Ia terduduk di tengah, sepenuhnya telanjang, tapi tidak merasa kedinginan atau kepanasan.

Seseosok lelaki tegap yang juga telanjang, duduk di sebelahnya. Nana tidak mengenalnya, lelaki yang terasa sangat ganteng, sangat perkasa, namun Nana menginginkan, sangat menginginkan lelaki itu menyentuhnya.
Begitulah lelaki itu menyentuh bahunya, itu saja membuat Nana seperti tersetrum, menjadi kaku.
Tangan lelaki yang besar itu meremas buah dadanya yang bulat. Putingnya mengeras, menandakan tubuh yang menginginkan lebih.

Tubuh telanjang Nana bergerak sendiri, kaki yang jenjang panjang membelit, tangan memeluk. Kepala menengadah, mulut merekah. Mendesah. Kenikmatan datang dari leher, dari paha yang bergesekan, dari bahu yang dipeluk.

Dari batang keras yang menggesek-gesek bibir kemaluan yang tidak pernah tersentuh penis siapapun.
Nana tidak bisa berpikir. Orang tidak berpikir di dalam mimpi, bukan? Gesekan di kedua putingnya membuat Nana merasa semakin tinggi melayang.
Gesekan kontol itu mendorongnya ke bintang-bintang. Nana mengejang-ngejang, kaki dan tangan jadi lemah, gemetaran. Berkedut-kedut.

Tapi, Nana tidak pernah tahu seperti apa rasanya dimasuki lelaki. Mimpinya bersih dari penetrasi. Ia hanya merasakan sebagaimana yang pernah dilakukannya, menggunakan jari jemari menggesek-gesek itil, sampai dapat orgasme. Tetap saja Nana masih perawan, betapapun merasa memeknya berkedut-kedut terasa gatal di dalam.

Tidak pernah ada apapun yang masuk ke sana. Nana tidak tahu apa rasanya. Dan bayangan lelaki dalam mimpi itu seperti menjadi frustasi, menggeram. Menerkam. Namun toh tidak bisa penetrasi.

Gadis itu di dalam mimpinya berulang kali mengalami orgasme, dalam dunia yang penuh warna warni, antara nyata dan halusinasi, tidak tahu apa bedanya. Orgasme berulang itu melelahkan mental, membuatnya lemas, letih, tetapi rasa gatalnya justru meningkat. Ingin diulang lagi, merasakan remasan, merasakan jilatan bibir dan lidah di itil, di memek yang merekah. Nana mengangkang selebar-lebarnya, dan mengejang-ngejang kembali.

Hingga akhirnya dunia menjadi semakin gelap, dalam satu warna merah tua, merah darah, dan akhirnya menghitam. Gelap pekat.

Nana menyambut dunia yang gelap pekat dengan tangan terbuka dan paha mengangkang, tetapi lelaki itu berangsur-angsur lenyap, seperti uap. Gadis itu memeluk kegelapan, dan membiarkan diri hanyut tanpa ikatan...

--- sambung lagi nanti. ---
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd