NANA BERSIAP DAN MENGERAHKAN HALIMUN CAKRAWALA sehingga auranya nampak sepenuhnya seperti orang biasa. Ketika dua pintu setinggi gajah itu di buka, Nana terus melangkah masuk setelah diberi tanda. Ketika ia melangkah, semua memandang, takjub melihat Homosk secantik itu! Melintasi setengah ruangan, tanpa disadari Nana berhenti ketika melihat orang yang berdiri di depannya.
Rajamoorpha adalah seorang Homosk berambut hitam keriting dan persis seperti orang India. Nana tidak menyangka akan menemui pria tinggi besar tegap bertelanjang dada dengan hiasan emas melingkari, dengan wajah ganteng, alis hitam lebat, rahang kuat, dan macho total! Untuk sesaat Nana terpana menatap lelaki ganteng dewasa itu.
Ruangan besar itu seperti ballroom, atau balairung. Rajamoorpha berdiri di depan kursi besar yang menempel ke dinding penuh hiasan dan bendera-bendera. Banyak orang di sebelah kiri dan kanannya, sebagian berambut pirang, Blendosk, dan sebagian lagi berambut merah, Akirosk. Semua memandang Nana dan Risi yang berjalan masuk. Nana dan Risi berdiri di depan Rajamoorpha yang nampak gagah bagaikan raja yang bertahta.
Nana memberi hormat dengan mengepalkan tangan di depan, wajahnya tegak memandang Rajamoorpha. Ia mengingat dirinya juga seorang Homosk, jadi tidak perlu menunduk menyembah.
Yang lain, termasuk Risi, semua menunduk dalam-dalam memberikan hormat sesuai tradisi Kriloga. Tidak ada yang bersuara.
"Selamat datang di Kota Tinggi," ujar Rajamoorpha sambil tersenyum kepada Nana. Matanya berbinar melihat kecantikan Nana yang berambut hitam, memakai kebaya hijau dengan tetek bulat besar yang menerawang di balik renda-renda, putingnya nampak mengintip dengan warna merah muda.
"Eh... salam hormat, Tuanku Rajamoorpha," kata Nana dengan kikuk, wajahnya terus menjadi merah. Sebagai perempuan 20 tahun, pertemuan semacam ini benar-benar membuatnya salah tingkah.
"Dan Tuanku Putri adalah....?" Selidik Rajamoorpha
"Oh... eh, nama saya Nana, Tuanku Raja..." Nana mengeluh dalam hati. Tidak ada yang memberitahunya bagaimana harus bersikap bertemu pemimpin Prefektur Ooki. Harus bagaimana? Ngomongnya apa? Yang nggak bikin malu tuh seperti apa?
"Salam kenal, Putri Nana," kata Rajamoorpha sambil masih tersenyum melihat kekikukan perempuan muda di hadapannya, "ada apakah datang ke Kota Tinggi?" tanyanya sambil terus duduk di kursi besar di belakangnya.
"Oh... umm... begini," Nana mengeluarkan plakat tanda penguasanya, "saya datang dari Lembah Kesuburan, beberapa bulan yang lalu mahluk-mahluk jahat telah berhasil memasuki. Mahluk jahat juga menguasai desa Rimba Hijau. Saya diberi plakat ini dan diminta oleh Lambas untuk memberi kabar ke Gua Panas, kemudian dari sana berangkat ke Kota Tinggi. Dan... eh, Respira di Gua Panas mengatakan kalau persenjataan di Gua Panas sudah berkurang, karena... eh, Veejay tidak mengelolanya dengan benar, dan minta kebijakan dari Tuanku Rajamoorpha," tutur Nana sambil mengingat-ingat pesan dari Respira.
Duh, aku ini ngomong apa? Keluh Nana dalam hati. Bayangkan ada pertemuan dengan pejabat tinggi dan ngomong belepotan seperti begini.
Rajamoorpha mengernyitkan keningnya dalam-dalam. Pancaran matanya yang semula cerah, mendadak menjadi gelap, wajahnya menjadi sangat serius. "Respira kita kirim berbulan-bulan yang lalu dan tidak memberi kabar apa-apa, siapa itu Veejay? Bukankah penguasa Gua Panas seharusnya Akhlik?"
"Eh... Veejay entah bagaimana datang dan menguasai Gua Panas dengan memakai ilmu pengikat sukma, Tuanku Rajamoorpha. Respira dan yang mengikutinya turut terikat, sedang penguasa Gua Panas sebelumnya, saya tidak bertemu dengannya," jawab Nana
"Dan di Lembah Kesuburan, ada Rambada yang menjaga dengan Tirai Arkanian, bukan?"
"Rambada ternyata dikuasai oleh mahluk jahat, dan ia terus mematikan Tirai, sehingga mahluk jahat menyerang, katanya dipimpin oleh Orompok."
"Astaga. Orompok! Itu penguasa para mahluk jahat!"
"Ya. Rambada dikuasai oleh Kilinoi, mahluk perampas sukma," sahut Nana, "tapi ia sekarang sudah mati. Lambas yang meminta saya untuk memberi kabar, karena Lambas juga terluka oleh pisau beracun Rambada."
"Lambas ini siapa ya? Penguasa Lembah Kesuburan memang Rambada, bukan?"
"Lambas ini seorang Blendosk, kawan main Rambada. Hanya, Rambada menjadi cendikia, sedang Lambas tidak suka pejabat, dia terus jadi pencari cakra"
Nana merasa ada yang aneh dengan pertanyaan Rajamoorpha, jadi ia hanya tidak menjelaskan seluruh peristiwa yang terjadi. Apakah Rajamoorpha mau mempercayainya?
"Reginar!" Seru Rajamoorpha. Seorang Akirosk tua terus bangkit dan menunduk di depan Rajamoorpha. "Bawa pasukan seratus orang ke Lembah Kesuburan. Lihat seperti apa keadaanya!"
Seratus orang? Nana mengingat ada lebih dari seratus Akirosk yang mati di Arkana. Buat apa seratus orang lagi pergi ke sana?
"Maaf, Tuanku Rajamoorpha, tetapi mahluk-mahluk jahat itu sangat banyak di Lembah Kesuburan," tukas Nana.
Rajamoorpha menoleh, wajahnya seperti tidak senang mendengar celetukan Nana.
"Tidak apa-apa, biar mereka mencari tahu dulu seperti apa situasinya," katanya dengan nada kesal. Nana berdiam diri, tidak menjawab.
"Rislika!" Seru Rajamoorpha lagi. Seorang Blendosk terus datang ke depan memberi hormat. "Rislika ajak Genori dan pasukannya ke Gua Panas. Bantu Respira untuk segera mengerjakan senjata lagi di sana."
"Siap, Tuanku Rajamoorpha!" jawab Rislika. Ia terus beranjak keluar.
Sedikit banyak, Nana terkesan. Tidak banyak pembahasan, tetapi Rajamoorpha ini bekerja cepat merespon beritanya.
"Nah, Putri Nana, mungkin kita harus menunggu beberapa bulan lagi sebelum mereka mengabarkan hasilnya. Sementara itu, silakan Putri Nana tinggal di Kota Tinggi," kata Rajamoorpha lagi, mendadak suaranya jadi ramah.
"Baiklah, kalau begitu saya mohon undur diri," sahut Nana lagi sambil memberi hormat. Rajamoorpha mengangguk. Nana terus berpaling dan berjalan mengarah keluar dari ruangan besar.
"Rinjan!" seru Rajamoorpha lagi, "tentunya Putri Nana perlu pengantar selama berada di Kota Tinggi, bukan?"
Seorang pria Blendosk terus berdiri dan memberi hormat. Nana mendengar itu terus berhenti dan berpaling kembali ke arah Rajamoorpha. Ia kembali mendekapkan kedua tangannya.
"Terima kasih, Tuanku Rajamoorpha"
"Hahaha, jangan sungkan, selamat bersenang-senang di Kota Tinggi!"
Blendosk bernama Rinjan itu terus memberi hormat kepada Nana. Mereka terus berjalan ke luar. Orang-orang yang melihat Nana semua menunduk memberi hormat sambil memperhatikan dengan penuh rasa penasaran.
"Mari, ke sebelah sini, Tuanku Putri," kata Rinjan dengan manis. Nana memperhatikan lelaki Blendosk di depannya, seorang yang masih nampak muda, mungkin belum tiga puluh tahun, dengan rambut pirang panjang sebahu. Wajahnya bersih dan tampan, tapi gerak geriknya kemayu. Seperti perempuan.
"Terima kasih, Rinjan," kata Nana dengan manis, "kalau boleh tahu, Rinjan ini... pencari cakra juga?"
"Aaahh, tidak, tidak Tuanku Putri. Saya hanya seorang cendikia saja, ya hanya cendikia" katanya dengan gaya lebay melambai.
Buset. Siapa bilang di Kriloga tidak ada waria?
"Mari, mari, kita jalan-jalan di Kota Tinggi," kata Rinjan lagi. Nana mengangkat sebelah alisnya, lalu terus melangkah mengikuti lelaki itu. Kota Tinggi ada di atas kaki gunung, ukurannya tidak terlalu besar, merupakan sebuah benteng alam yang kuat.
Nana tertarik melihat sebuah gedung yang berwarna merah muda, nampak menonjol di sebelah kiri jalan. "Apakah ini?" tanyanya kepada Rinjan.
"Oh, itu, itu adalah akademi Erostois"
"Akademi Erostois?"
"Ah iya, seperti yang biasa, anak-anak Glosk dan Edisk yang paling cantik dan berbakat dipilih dari semua wilayah di Prefektur Ooki untuk dilatih di akademi Erostois," ujar Rinjan, "mau melihat-lihat?"
Nana tiba-tiba teringat dengan Mirna, gadis kecil di Gua Panas. Ah, mengapa aku melupakannya sama sekali? Bagaimana keadaannya sekarang? pikir Nana. Para Glosk dan Edisk sedari kecil sudah dikumpulkan, terpisah dari orang tua mereka. Rupanya di Kota Tinggi juga sama, hanya mereka memilih dan membawa anak-anak terbaik.
Apakah Mirna juga seharusnya dipilih untuk ke mari, ya?
Nana melangkah masuk ke akademi Erostois.
Dalam banyak ruangan, nampak anak-anak kecil belajar membaca dan menulis. Ada juga yang belajar menari, juga bernyanyi. Di lapangan, nampak anak-anak Glosk berlarian bermain bola. Suasananya seperti di sekolah dasar.
"Anak-anak tinggal di asrama, tuh di sebelah sana," kata Rinjan. Ia terus mengajak Nana masuk lebih dalam, lalu naik tangga ke lantai dua. Di sini nampaknya jadi tempat anak-anak yang lebih besar, banyak anak remaja.
Salah satu kelas menarik perhatian Nana. Dari jendela kelas, ia melihat anak-anak remaja itu duduk dengan tertib tanpa bersuara, memperhatikan. Di depan kelas, sepasang Glosk dewasa bertelanjang bulat dan... bersetubuh. Guru mereka seorang Edisk menjelaskan langkah demi langkah: bagaimana meremas tetek. Bagaimana mengemut kontol. Bagaimana menjilat memek. Seperti apa posisi kaki mengangkang yang tidak menimbulkan cedera.
Anak-anak di kelas memperhatikan dengan tekun. Nana terpana memperhatikan itu semua.
"Yah... Begitulah, mereka belajar dengan tekun sebelum melakukan inisiasi. Ini belum seberapa, mereka juga harus praktek lho," kata Rinjan dengan senang memamerkan kelas persetubuhan.
"Praktek? Saya kira mereka harus inisiasi lebih dahulu?"
"Oh, tidak, tidak sampai benar-benar, hanya latihan rabaan saja."
Rinjan mengajak mereka berkeliling terus sampai di ujung, masuk ke dalam ruangan. Sang guru beserta anak-anak Glosk dan Edisk yang bertelanjang bulat semua berbalik dan terus memberi hormat.
"Ahhh... Ayo teruskan, teruskan," kata Rinjan sambil melambaikan tangan.
Anak-anak itu berbalik ke depan. Seorang gadis berambut ungu terbaring di atas ranjang besi setinggi pinggang. Kedua tangan dan kakinya diikat ke keempat tiang-tiang ranjang. Anak-anak lain bergantian maju, meremas tetek, mengelus memek. Nana melihat gadis itu wajahnya cantik, putih. Dadanya sudah membesar, juga bulu-bulu memeknya sudah cukup lebat. Memeknya basah oleh lendir.
Satu kelas itu berbaris satu per satu maju, baik lelaki maupun perempuan, dan melakukan sesuatu, kemudian berputar ke belakang barisan. Di rangsang seperti itu, anak gadis meronta merintih-rintih kuat, hingga akhirnya mengejang-ngejang, orgasme.
"Yak, Nelda sudah, turunkan dia. Berikutnya Yolvam, naik ke sini!" seru sang guru. Anak-anak membuka ikatan ke kaki tangan anak perempuan, yang dengan lemah terus turun dari ranjang, terus duduk di bangku samping.
Kini yang naik adalah seorang remaja lelaki. Kontolnya sudah mengacung keras. Ia naik ke atas ranjang, dan teman-temannya mengikat tangan dan kakinya. Kegiatan itu berlangsung lagi: mereka bergantian maju dan meremas kontol, mengelus puting.
Seorang gadis Edisk yang tinggi dan cantik, wajahnya merah dadu, teteknya bulat besar dengan puting merah muda, dengan bulu-bulu jembut ungu lebat, pinggang ramping, pantat bulat besar, melangkah naik. Anak lelaki yang terikat itu terkesiap. Baru saja gadis itu memegang kontolnya, CROOOTTTT... semburan maninya sampai ke langit-langit. Tak urung seluruh kelas tertawa dan bertepuk tangan.
"Hah, semua lelaki langsung ejakulasi begitu disentuh oleh Adel. Kalau begitu, berikutnya Adel yang naik!" seru si guru. Murid-murid lelaki bersorak. Tetapi Adel dengan tenang menerima tantangan, ia terus naik menggantikan anak lelaki itu, memberi tangan dan kakinya diikat terpentang. Mereka kembali beraksi. Adel meringis setiap kali anak lelaki berkesempatan, mereka langsung menyentuh memeknya, memelintir itilnya. Wajah gadis itu merah menahan birahi.
Rinjan mengajak mereka keluar dari ruangan praktek.
"Itu melatih mereka untuk bersetubuh dengan nikmat dan melayani para pejabat tinggi di Kota Tinggi," kata Rinjan lagi.
"Tapi mereka sendiri belum bersetubuh?"
"Oh tidak, mereka semua masih belum bersetubuh. Di Kota Tinggi, inisiasi biasa dilakukan di Rumah Hijau, dalam suatu pelelangan"
"Rumah Hijau?"
"Itu rumah utama di kawasan inti. Jangan kuatir, tempat tinggal Tuan Putri persis ada di sebelah Rumah Hijau, jadi nanti bisa lihat. Barangkali berminat juga?" goda Rinjan. Sambil bicara mereka terus pergi meninggalkan akademi Erostois.
Nana tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya perlahan. Rinjan terus mengajak mereka melihat pasar, melihat tempat hiburan, melihat kehebohan para putri berbelanja. Nana tiba-tiba menyadari sebuah masalah besar:
Dia tidak punya uang.