Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Orang tua Pulang ziarah


Setiap hari aku dan Amira rutin melakukan hubungan badan paling banyak 3 kali serta paling sedikit 2 kali dalam sehari. Baik disaat mandi bareng berawal dari sabunan, lalu dilanjutkan ngentot sambil berdiri dengan sebelah kaki Amira di angkat dan aku dari belakang menggenjotnya. Kadang Amira dilantai beralaskan handuk lalu aku menyetubuhinya dengan gaya misionaris, gaya ini paling aku sukai karena lebih dalam kontolku menekan mulut rahimnya.


Saat di dapur ketika Amira sedang memasak, terlebih dahulu aku memeluknya dari belakang, lalu aku bantu adikku memasak seperti sepasang suami istri yang baru menikah penuh perhatian. Sebelumnya aku tidak berani melakukannya meskipun dulu hanya pura-pura memijiti pundaknya saja. Amira langsung mengomeliku dengan bilang nyari kesempatan. Tapi kini Amira diam saja meskipun aku meremas payudaranya.


"Lagi masak apa istriku?" Kataku sambil merangkul pinggangnya yang ramping. Tidak ada salahnya aku memanggilnya istri kerena kami sudah melakukan hubungan selayaknya suami istri.


"Masak tumis toge, kak.."


"Wah! Bagus tuh buat menambah hormon.. kakak bantuin ya?" Kataku menawarkan diri.


"Iya, boleh. Ternyata kakak tau juga ya? toge bisa menambah hormon? Kirain gak tau nutrisi makanan? Hehee!" Ucap adikku menyindir. Kali ini aku tidak menganggap serius ejekannya, malah aku anggap sebagai candaan yang membuat suasana menjadi semakin akrab.


"Kalau masalah vitamin dan nutrisi buat kejantanan mah kakak tahu, dek. Itu sangat penting.. " jawabku sambil mencubit pipinya dengan gemas. Seperti pengantin yang baru menikah aku romantis romantisan dengan Amira. Amira memiliki daya tarik yang sangat kuat, sehingga hawanya itu selalu saja ingin terus berdekatan bahkan selalu menjurus ke arah seksual.


Lalu aku menghentikan sebentar aksiku meremas payudaranya dan memilih membantu membersihkan piring yang kotor di sampingnya. Amira sempat melemparkan senyuman manis kepadaku tatkala aku ikut membantu pekerjaan rumahnya.


Ketika masakannya sudah matang, satu momen yang tidak pernah aku dapatkan semenjak kami pisah kamar adalah Amira menganggap ku benar-benar ada untuknya. Kami semakin lengket dan saling menghargai sejak melakukan persetubuhan itu. Sampai-sampai hal sepele seperti dia meminta pendapatku untuk mencicipi tentang rasa masakannya, membuatku merasa Amira pandai sekali membuat hatiku senang


"Kak, ini cobain masakan aku gimana rasanya?" Ucap Amira menyodorkan sesendok kuah yang sebelumnya dia tiupin terlebih dahulu olehnya.


"Hhmm.. enak sayang. Kamu pandai banget memasak.." kataku sambil membelai rambutnya yang lurus dan hitam. Adikku Terlihat sangat senang dimanjakan seperti itu, sambil tersenyum dia menggeser dari posisinya berdiri agar tubuhnya mendekat denganku.


"Amira tidak pernah sebahagia ini sebelumnya kak, sejak kita melakukan itu, Amira gak mau jauh dari kakak. Amira merasa nyaman didekat kakak." Ucapnya menoleh ke arahku yang berada disampingnya. Amira menjadi semakin manja, padahal adikku ini sudah bukan anak kecil lagi. Dia sudah dewasa. Usianya beda 4 tahun denganku.


"Kakak juga berpikir begitu, dek. Merasakan hal yang sama. Kakak terharu kamu baik sekali sama kakak yang sudah memberikan kakak mahkota berharga kamu. Kakak janji akan berubah demi kamu." Kataku lalu mengecup kepalanya sebagai bentuk dari rasa sayangku padanya.


Rupanya perlakuan spesialku menyentuh hati Amira, setelah masakannya matang dan dimatikan kompornya. Amira membalikkan tubuhnya lalu meraih leherku, "kak, Amira menyesal, kenapa gak dari dulu kita begini? Aku capek kalau ribut terus, kak.." Ucap Amira merapatkan tubuhnya kepadaku. Bibirnya terlihat sedikit menganga lalu berdiri dengan jari kakinya, Amira memegang kedua pipiku lalu diciumnya bibirku beberapa saat. Aku pun semakin menahan pinggangnya agar Amira semakin merapat.


"Iya kakak juga menyesal, sayang. Mungkin ini sudah saatnya kita saling memahami. Belum terlambat kok untuk berubah." jawabku yang langsung mengecup bibirnya. Lalu Amira pun membalas ciumanku lagi hingga terjadilah apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang kakak adik.


Meskipun sedang di dapur. Birahi kami langsung terpancing dengan nafsu yang meluap-luap hingga aku dan Amira melakukan persetubuhan lagi. Lantai yang bersih dijadikan sebagai tempat kami memadu kasih menanamkan benih-benih cintaku. Amira terlihat bahagia ketika aku melepaskan banyak sekali sperma yang mengisi rahimnya. Dia membalasku dengan pelukan hangat serta ciuman yang lembut lalu mengucapkan terima kasih.


Di lain hari ketika di ruang tamu pun saat nonton tv kami melakukannya lagi, Amira duduk di pangkuanku saling berhadapan dengan alat kelamin kami saling menyatu. Tidur pun kami tidak lagi di kamar yang berbeda, aku dan Amira akan tidur bersama. Kami sudah seperti sepasang pengantin baru yang haus akan kehangatan dan nafsu seks yang tinggi. Tidak peduli dengan resiko yang akan menimpa kami berdua, kami akan tetap hidup bersama dan akan terus melakukannya.


Ketika kedua orang tua kami datang. Aku, Amira bertingkah seperti biasanya untuk menghilangkan rasa curiga dari ayah dan ibu. Kami tidak memperlihatkan kemesraan apalagi berhubungan badan. Karena bagaimanapun menurut saya sebagai pelaku incest itu benar, tetap saja dimata kedua orang tuaku salah besar. Demi menjaga nama baik keluarga terutama Amira, kami berdua berusaha menjaga rahasia besar ini.


"Ayah ibu udah datang? Sama siapa? Kok gak ngasih kabar?" Kataku pada ibu lalu membawa barang bawaannya. Padahal dalam hati aku berharap mereka lama berziarah nya.


"Ayah sama ibu dipesanin ojol oleh panitia, di. Tadinya mau menghubungi kamu takut kamu nya lagi sibuk. Kasian nanti adik kamu kenapa-kenapa sendirian dirumah." Jawab ibu yang terlihat kelelahan lalu kami duduk di ruang tengah.


"Gimana? Kamu sama Amira, gak ribut kan?" Tanya ayah kepadaku yang kebetulan Amira pun datang menyuguhkan air minum untuk mereka.


"Tidak, yah. Amira dan kak Ardi baik-baik aja kok. Kalau kak Ardi usil, gak bakalan Amira kasih lagi.." ucap adikku yang membuat kedua orangtuaku kebingungan.


"Di kasih apa Amira?" Tanya ibu penasaran apa maksud dari perkataannya itu. Aku pun sempat kaget. Kok bisa keceplosan begitu.


"Itu... Mmmm.. nasi goreng buatan Amira Bu. Sejak ibu gak ada, kak Ardi minta terus!" Jawab adikku mencari alasan yang membuat ibu dan ayah tidak menangkap maksud omongannya. Namun kedua orang tuaku menganggap tidak terlalu penting ucapan adikku itu.


"Ohh.. kirain apa. Tapi Amira, ibu perhatikan kamu agak berbeda ya? Kayak kurang darah.. iya kan yah??" Tanya ibu meminta pendapat ayah setelah memperhatikan Amira yang berbeda.


"Iya .. memang terlihat pucat. Mau diperiksa ke dokter Amira?" Tanya ayah menyarankan.


"Akh! Gak usah yah. Cuman kurang darah makan daun singkong juga sembuh.." jawab Amira santai.


"Ya sudah, ayah mau istirahat dulu. Cape jalan-jalan terus!" Kata ayah bangkit dari kursi lalu masuk ke kamarnya.


"Amira? Yakin kamu gak apa-apa nak?" Kata ibu memastikan dan merasa khawatir. Naluri seorang ibu memang sangat peka kepada anaknya.


"Beneran Bu. Ibu tidak liat amira sedang bahagia begini? L" Ucap Amira yang menghampiri ibu lalu memeluknya manja.


"Wah! Syukurlah kalau kamu bahagia Amira. Ibu juga ikut senang. Ternyata itu hanya perasaan ibu aja berpikir yang aneh-aneh. Oiya, kamu gak di apa-apain kan sama Ardi?" Tanya ibu masih menginterogasi. Padahal tadi ku kira sudah selesai ibu ngomongnya.


"Di apain apanya Bu? Gak di apa-apain kok. Selama kita berdua di rumah Kakak baik sama Amira.. iya kan kak Ardi?" Tanya Amira kepadaku agar membantu meyakinkan ibu.


"Iya Bu. Ardi gak ngapa-ngapain Amira." Kataku menjelaskan.


Ibu tidak melanjutkan lagi obrolannya yang sebenarnya membuatku takut jika ibu merasa ada sesuatu yang janggal. Untungnya semua baik-baik saja, sampai seminggu setelah orang tuaku ada di rumah. Aku tidak bisa menyetor sperma kepada adikku, karena ibu selalu ada di rumah menonton tv juga duduk di teras depan sebentar lagi masuk ke dalam. Kalau pun aku memaksa untuk melakukannya, bisa saja ibu pulang lalu memergoki aku yang sedang menyetubuhi Amira. Pahitnya aku bisa dipenjara 15 tahunan untuk kasus ini. Akh!


Sedangkan ayah mencari nafkah menjadi tukang cukur di pasar. Buka jam 9 pagi pulang jam 8 malam. Kadang tak menentu jika sedang tidak ramai yang datang atau sedang tidak enak badan. Penghasilan jadi tukang cukur di pasar lumayan besar, sehari ayah bisa mengantongi uang 200 ribu. Saat sedang ramai nyampe juga 500 ribu perharinya.


Jadi aku saat sedang dirumah hanya curi kesempatan saja paling mencium Amira, meremas payudaranya serta meraba belahan memeknya terus bekasnya aku pindahkan ke kontolku.


Adikku hanya tersenyum saja melihat tingkahku yang terlihat lucu dimatanya. Kadang dia suka usil, sengaja memperlihatkan belahan pantatnya setelah mandi dengan mengangkat bagian bawah handuknya sampai pinggul, lalu dia melenggak-lenggok didepan ku terus berlari ke kamarnya sambil tertawa.


Andai saja ibu tidurnya dikamar setiap malam, mungkin aku punya kesempatan untuk bersetubuh dengan adikku. Aku pun baru sadar, sejak kapan kedua orang tuaku jarang tidur bersama. Pernah suatu waktu ketika aku masih di ruang tengah menonton film di tv tabung 24 inchi yang sudah jadul. Ibu keluar kamar dengan penampilan yang berantakan, serta berkeringat. Padahal di kamarnya ada kipas angin. Ibu melewati ku dan menyapaku dengan raut wajah yang datar seperti ada yang dipendamnya, kejadian itu sudah sangat lama, sampai suatu malam terulang lagi momen itu.


"Ardi. Kamu belum tidur? Tumben tidak biasanya kamu gak kelayapan malam?" Sapa ibu kepadaku yang sedang menonton tv. Ku lihat penampilan ibu seperti biasa berkeringat, berantakan dengan kain sarung yang dililitkan di tubuhnya.


"Belum ngantuk Bu. Iya Ardi sedang tak ingin berbaur dengan teman-teman." Jawabku pada ibu yang sebenarnya aku sedang mumet hanya ingin ngentot sama Amira, adikku.


"Tapi sekarang ibu perhatikan kamu sedikit berubah, di. Sudah lebih baik dari sebelumnya. Apa yang membuatmu berubah seperti ini, di?" Tanya ibu yang biasanya ke kamar mandi malah duduk disamping ku. Karena duduknya terlalu dekat, kedua payudaranya ibu terlihat berkilauan diterpa sinar lampu neon yang menerangi ruang tengah. Saking putih dan padatnya urat-urat payudara ibu sampai terlihat menghiasi keduanya.





"Ini semua karena Amira, Bu. Ardi sebagai kakaknya harus memberi contoh yang baik aja. Ngomong-ngomong ibu kenapa? Tiap kita bertemu seperti ini dan terus berulang, ibu terlihat tidak bersemangat?" Tanyaku pada ibu yang sesekali ku lihat ibuku menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, seakan menerima atau pasrah dengan masalah yang sedang dihadapinya. Namun ibu selalu tidak memberitahukannya masalah itu dan ibuku hanya menganggap aku belum mengerti terhadap masalah yang di pendam nya.


"Ibu gak apa-apa, di. Ini hanya masalah pribadi ibu dan ayahmu saja.. rasanya aneh jika ibu membicarakannya sama kamu." Keluh ibu yang seperti ditahan perasaan itu.


Namun, tiba-tiba aku seperti mendapat ide gila yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Kesempatan ini, yaitu masalah ibu akan aku manfaatkan untuk mendapat perhatiannya. Aku akan menjadi lebih respek dan menjadi pendengar yang baik untuk ibu.


"Mungkinkah aku bisa menyetubuhi ibuku sendiri? Seperti di cerita-cerita sedarah yang pernah aku baca.." batinku dalam hati sembari melihat lekuk tubuh ibuku yang menurutku lumayan jika di coba.


"Kalau Ardi boleh tahu masalahnya itu ada di ayah atau di ibu sendiri Bu? Maaf kalau lancang, Ardi anak ibu juga tidak tega kalau hanya ibu sendiri yang menanggung derita itu. Kapan-kapan kita saling bercerita dilain waktu ya Bu? Mudah-mudahan beban di hati ibu menjadi ringan dengan berbagi..." Kataku membujuk ibu yang sesekali terlihat menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Sambil tersenyum dan menggelengkan kepala ibu menoleh kepadaku.


"Benar dugaan ibu. Kamu udah beda sekarang udah berubah, di. Lebih mengerti apa yang ibu rasakan. Jangan-jangan kamu salah minum obat ya? Jadi perhatian begini sama ibu??" Ucap ibuku sambil menyentuh keningku dengan bagian belakang telapak tangannya. Dikiranya aku sakit panas atau over dosis gara-gara salah minum obat, sehingga aku dianggap gangguan jiwa. Akh! Parah nih ibuku!.


"Lha?! Emang ibu gak tau dari dulu Ardi perhatian lho sama ibu? Ibu gak merasa emang?" Mulai aku menggoda ibuku yang masih tetap teguh pada prinsipnya jika pada diriku ada yang aneh.


"Nggak! Kamu sering melawan omelan ibu. Mana mungkin kamu perhatian sama ibu? Kalau dikasih tau malah ngelawan ibu.. Terus kamu susah di nasehatinnya kalau jangan main kelayapan malam sama teman-teman mu itu." Keluh ibu panjang lebar mengatakan sebagian dari beban masalahnya itu kepadaku.


Aku sempat merenungi apa yang barusan dikatakan ibu ternyata ada benarnya juga. Aku terlalu mementingkan kawan-kawan ku yang selalu menemani mereka mabuk-mabukan. Sehingga ibu mengira aku tidak memperhatikannya.


"Iyaa Ardi salah, selalu menyusahkan ibu. Ardi paham sekarang Ardi tidak memperhatikan ibu. Maafin Ardi ya Bu? Ardi menyesal, Ardi akan berubah mulai hari ini." Kataku yang langsung memegang tangannya lalu menciumnya. Tangan ibu mengusap kepalaku lalu ibuku berkata dengan lembut.


"Gpp. Manusia pasti berubah, di. Ibu senang sekali kita sudah lama tidak mengobrol seperti ini. Rasanya beban dipikiran ibu sedikit terasa ringan ada kamu yang mendengarkan" ungkap ibu yang terlihat mulai tenang.


"Sama Bu. Jika ibu berkenan dan ada kesempatan untuk curhat. Ardi siap berbagi masalah dengan ibu, intinya Ardi ada di pihak ibu.." Mulai aku menggoda ibuku sedikit demi sedikit.


Ehh.. ibu malah mencubit hidungku sambil tertawa ibuku berkata tanpa melepaskan cubitannya.


"Kamu Ardi. Dari mana kamu belajar merayu ibu? Heh! Dasar anak nakal. Bukannya sama pacarnya malah ibunya juga yang di godain. Ardi... Ardi...! Kamu lucu." Kata ibuku menggeleng kepala sambil tersenyum manis.


"Emang rayuanku gak mempan ya, Bu? Padahal udah mati-matian itu. Tapi kena dong sedikit di hati ibu? Hehee!" Jawabku sambil nyengir menggaruk kepala yang tidak gatal.


"Hmmm...🤔 Menyentuh sih dikit!🤏 Astaghfirullah ardi! Ibu lupa belum bersihin mem.." kata ibu tidak melanjutkan omongannya sambil pergi ke arah kamar mandi. Sekilas aku lihat bagian pantat ibu basah, tapi bukan air namun seperti lendir.
 
Sudah 9 hari aku tidak melakukan persetubuhan dengan adikku, rasanya seperti mau pecah kepala ini menahan gejolak nafsu yang lama ditahan. Selama itu pula aku rutin mengkonsumsi racikan madu, telor, susu yang dicampur menjadi satu gelas. Serta memakan buah-buahan yang bisa memproduksi sperma agar subur dan banyak. Ini sengaja aku lakukan agar pas nanti tempur dengan adikku akan menjadi ajang balas dendam yang seru.


Salutnya yang membuatku kagum saat adikku Amira mengetahui aku mengkonsumsi racikan itu semua. Dia membantuku membuatkannya. Amira mungkin masih kelas 2 SMA. Namun pikirannya memang aku akui sudah dewasa dan mengerti yang sedang aku perjuangkan. Yaitu demi kenikmatan bersama nantinya. Kami pun semakin akrab dan romantis seperti sepasang kekasih. Bukan, malah lebih mendekati sepasang pengantin baru yang sedang diikat cinta yang suci.


Ayah ibu pun semakin heran dengan kelakuanku yang berubah total yang tadinya pembangkang, bandel dan keluyuran malam kumpul mabukan. Kini menjadi pribadi yang lebih bisa di andalkan dan diharapkan oleh keduanya. Perubahan ini, ibu sudah mengetahuinya dariku waktu itu. Entah ibu sendiri sudah memberitahu ayah atau tidak, aku tidak mengetahuinya.


Ngobrol di ruang tengah...


"Ardi, ayah perhatikan kamu sudah banyak yang berubah. Sampai-sampai ayah sendiri rindu pengen mukulin kamu dengan pukulan cinta dari ayah." Ucap ayah bercandanya kebangetan sambil menepuk pundakku dihadapan ibu dan Amira.


"Ardi juga sebenarnya hampir lupa rasanya pukulan gagang sapu ayah, namun perubahan ini tak pernah Ardi menduganya. Ardi berharap bisa menjadi lebih baik lagi kedepannya" jawabku mantab ingin terlihat baik didepan ayah.


"Bagus! Ayah bangga sama kamu. Tapi kamu tidak jualan obat aneh itu lagi kan? Ingat! Kamu pernah ditahan gara-gara mengedarkan trama*** obat setan itu! Dan ayah harus mengeluarkan uang banyak untuk melepaskan kamu?!" Ungkit ayah mengingatkan masalalu ku yang dulu ada Cepu sialan yang iri dengan kesuksesanku menjual obat itu.


"Sudah tidak lagi dan tidak akan mengulangi lagi, yah. Ardi sudah berhenti." Kataku memastikan kebulatan tekadku pada ayah.


"Baiklah. Kalau begitu. Ayah percaya sama kamu Ardi." Puji ayah membanggakan ku.


Saat kami berkumpul di ruang tengah berbincang-bincang, tiba-tiba ponsel ayah yang masih 3110 itu berdering.


"Assalamualaikum pak Burhan? Ini saya Haris.?" Kata yang ditelpon itu mengenalkan diri. Kebetulan suara ponsel itu ketika menelpon samar-samar terdengar jelas percakapannya. Saya pun yang duduk paling dekat dengan ayah mendengarnya juga.


"Waalaikumsalam, ada apa Ris? Suara kamu terasa berat. Ada masalah apa?" Tanya ayah yang ikut merasa panik.


"Itu... Pak Burhan... Tuti meninggal tadi saat melahirkan di rumah sakit!"


"Apa?!! Innalilahi. Kenapa bisa begitu Haris?" Terlihat ayah terkejut mendengar kabar duka itu. Ibu serta adikku juga ikut kaget saat ayah mengatakan kalimat sakral itu yang diucapkan ketika mendengar kematian seseorang yang dikenal.


"Kata dokter kehilangan banyak darah aku sendiri belum dapat informasi yang jelas, intinya saya ingin mengabari pak Burhan saja."


Lama berbicara dengan pak Haris yang ditelpon itu, ayah mengambil keputusan.


"Begini saja, ris. Saat ini saya akan berangkat melayat karena bagaimanapun Tuti adalah saudara ku juga."


"Baik pak Burhan, saya Menunggu kedatangan pak Burhan. Assalamualaikum.."


"Waalaikumsalam.."


Telpon pun ditutup dan ayah terlihat shock mendengar kabar saudaranya itu meninggal dunia. Sedangkan Haris yang menelpon ayah itu adalah suaminya yang tiga tahun lalu menikahi bi tuti. Setelah menenangkan diri sejenak, ayah mulai menyampaikan apa yang baru saja terjadi. Kami bertiga ikut merasa berduka cita atas kehilangan saudara kandung ayah yang sedang berada di luar kota itu.


Setelah itu ayah berniat akan pergi melayat tanpa di temani ibu, karena ibu sendiri sering mabuk perjalanan. Saat ziarah pun ibu sempat pingsan karena kelelahan, pantas saja waktu mereka pulang ibu terlihat pucat dan lelah.


"Ardi, berhubung ibumu tidak ikut. Ayah titip keluarga ini kepadamu selama ayah pergi. Mungkin sekitar 4 hari atau seminggu ayah disana, karena ayah pasti disana ikut pengajian dulu. Setelah semuanya selesai baru ayah akan pulang.." ucap ayah titip pesan kepadaku.


Siangnya ayah pun berangkat diantarkan olehku ke terminal lalu membeli tiket bus jurusan kota X. Sebelum berangkat ayah tidak lupa menitip pesan bahwa agar aku menjaga mereka selama ayah di luar kota.


Aku menunggu sampai ayah pergi dan bus itu pun menghilang di kejauhan.


Kini aku pulang ke rumahku yang terletak tak jauh dari kecamatan. Di tempat tinggalku saat ini terhampar persawahan yang luas dan banyak pepohonan tinggi yang menghijau. Tak lupa juga aku untuk kebiasaan yang satu ini tidak bisa ditinggalkan yaitu membeli dua kantong Anggur Gold untuk dibawa pulang ke rumah. Untungnya Amira sudah mengerti kebutuhanku tentang minuman ini, aku menjelaskannya kalau aku mengkonsumsinya sebagai jamu, bukan untuk menghilangkan kesadaran alias mabuk.


Sesampainya di rumah, aku mendapati hanya ada ibu di rumah. Aku menanyakan keberadaan adikku pada ibu itu yang entah kemana perginya.


"Kemana Amira, Bu?" Tanyaku pada ibu yang sedang menonton tv acara Bu Dedeh dengan tema 'bahaya zina'.


Dalam hati aku berkata, "aduh! Semakin sulit aja kalau begini mah untuk meruntuhkan keteguhan ibu dalam menjaga tubuhnya. Lagian kenapa harus nonton itu sih?? Gak guna banget temanya" Gerutu aku dalam hati.


"Tadi temennya Amira, Andini kesini menjemput. Katanya sih persiapan pertandingan olahraga antar sekolah. Tapi Amira titip pesan sama ibu kalau maaf gak minta ijin dulu sama kamu. Aneh-aneh aja itu anak kayak ke suami aja ijin ijinan. Ada hubungan apa dengan kamu sampai seperti itu, di?" Tanya ibu melirik ke arahku seakan ingin menggali informasi.


"Sudah jelas dong Bu, kita kakak beradik yang saling menyayangi. Masa suami istri Hehee!". Kataku memberikan jawaban yang sudah jelas tidak bisa di ubah statusnya, emang aku dan Amira kakak adik.


"Iyaa ibu juga tau kalau itu, di. Hanya tidak biasanya tuh Amira menganggap kamu bak pemimpin yang di hormati. Biasanya juga kalian saling usil? Iya kan" tanya ibu lagi.


"Akh ibu, perasaan kalau masalah ini udah pernah dibahas. Namanya juga kita saling percaya saling memahami Bu. " jawabku pada ibu yang ternyata kalimat terakhir yang barusan aku katakan begitu menyentuh hati ibu. Sehingga suasana hatinya kini menjadi kepikiran masalahnya itu.


"Saling perhatian ya? Saling memahami ya? Kalian sudah seperti suami istri saja, di. Tapi...kok ibu merasa cemburu, aneh atau gimana ya? Sulit menjelaskannya.." ucap ibuku yang seraya duduk bersandar ke kursi sofa tempatnya duduk sekarang. Pembicaraan ini ternyata membuat ibu tertarik, dan inilah kesempatanku untuk balik menggali informasi tentang belakangan ini ibu sering terlihat lesu tak bersemangat. Mumpung ayah sedang tidak ada di rumah.


"Suatu saat Ardi akan menikah juga Bu. Ardi belajar memahami apa yang diinginkan Amira. Karena Amira wanita, Amira pun mengerti yang aku inginkan. Sehingga kami berdua saling menghargai saling memahami." Ucapku memberikan penjelasan singkat langsung ke intinya.


"Ibu aja yang sudah bertahun-tahun menikah ayahmu belum bisa membaca kebutuhan ibu, kok kamu sudah kepikiran ke arah itu?" Tanya ibu singkat.


"Intinya kami saling sayang, Bu. Ini misal ya Bu? Ardi perjelas lagi misalkan, ibu jangan marah dulu karena ini hanya contoh. Aku dan Amira melakukan hubungan suami istri. Lalu aku sering keluar duluan padahal Amira belum klimaks. Sampai kebiasaan Ardi itu terus berlanjut. Tentu ardi egois kan? Mau enaknya aja. Coba kalau keluarnya berbarengan atau Amira duluan yang keluar. Intinya komunikasi Bu." Kataku mencoba menjelaskan yang entah kenapa aku memilih contoh aneh itu. Tapi aku merasa ibu mengalami masalah seksual dengan ayah.


"Mendengar kata-kata kamu barusan, ibu pengen menceritakan hal sensitif sama kamu, di. Tapi jangan bilang ayah atau Amira ya? Hanya kamu saja?!" Ucap ibu mulai terbuka hatinya, sementara aku mengecilkan suara tv agar ibu nyaman bercerita dan aku fokus mendengarkan isi hati ibu yang sudah tersimpan sangat lama.


"Baik Bu, Ardi berjanji masalah ibu akan menjadi rahasia kita berdua." Jawabku dengan sikap yang tenang.


"Sudah 6 tahunan ibu memendam masalah ini, di. Ibu sebagai istri merasa tidak puas dengan nafkah batin dari ayahmu. Seperti yang kamu ceritakan tadi tentang memahami dan saling mengerti. Rasanya ayahmu tidak paham itu."


"Ibu hanya ingin merasakan kembali kenikmatan itu saat pertama kali ibu menikah. Pernah ibu mengalami yang orang bilang disebut orgasme. Ibu rindu rasa itu, kadang ibu saat dikamar mandi pun pernah melakukan masturbasi. Apa ibu sebagai istri salah, di? Apa ibu tidak berhak mendapatkan kebahagiaan? Apa ibu tidak berhak mendapatkan kepuasan?" Ucap ibuku mengungkapkan semua masalah di hatinya kepadaku tanpa ibuku sembunyikan lagi masalahnya.


Aku pun sempat kaget! Rupanya itu suka melakukan masturbasi di kamar mandi untuk melampiaskan nafsu syahwatnya.


"Terus apakah ibu mendapatkan kepuasan itu Bu? Misal ibu mendapatkan orgasme saat melakukannya?" Tanyaku lebih jelas lagi.


"Huft! Itulah masalahnya ibu kadang tidak mendapatkan kepuasan saat melakukannya meskipun ibu pernah juga orgasme saat melakukan masturbasi, di." Keluh ibu yang merasa tidak puas ketika menceritakan pengalamannya saat masturbasi di kamar mandi.


Mendengar curahan hati ibu yang selama ini memendam keinginan yang sulit didapatkan. Membuatku bingung juga harus memberikan solusi apa. Tapi aku berusaha sebisa mungkin menenangkannya dengan pengetahuan yang aku pelajari langsung dengan Amira saat berhubungan intim.


Dengan isyatatku aku meluruskan kedua kakiku didekat ibu sembari ikut bersender didekatnya. Aku persilahkan ibu untuk tiduran di pahaku, dan ibu pun menurut paham yang aku isyaratkan.


"Yang Ardi tahu ibu tidaklah salah, tapi bukan berarti Ardi menyalahkan ayah."


"Contohnya tadi tanpa berkata aku menyuruh ibu tiduran di pahaku tanpa berkata hanya dengan isyarat saja, tapi ibu ternyata paham maksud dari bahasa tubuh yang aku perlihatkan bukan?. Bagaimana rasanya Bu? Ketika kita saling memahami itu?" Kataku pada ibu yang menyimak penjelasan ku.


"Sederhana namun membuat ibu senang, di. Tidak bertele-tele dan tidak ribet tinggal lakukan saja" Jawab ibu singkat, sambil memperhatikan ku tentunya.


"Sebelumnya agar ibu tidak marah ke Ardi, Ardi akan memberikan contoh juga agar ibu memahami. Gimana boleh Bu?" Tanyaku memastikan. Karena jika tidak meminta ijin dulu bisa-bisa ibuku salah paham dengan penjelasan ku.


"Iya ibu tidak akan marah..." Jawab ibu mulai tertarik dengan penjelasan ku.


"Kita terbuka aja ya? Jangan dipendam. Kita saling percaya aja, soalnya udah terlanjur saling tahu juga kan? Seperti masturbasi di kamar mandi tadi" Kataku mengingatkan rahasia ibu yang barusan di ucapkannya.


"Gpp di. Ibu juga merasa nyaman bercerita sama kamu, lanjutkan aja..." Ucap ibu menginjinkan ku untuk melanjutkan.


"Hmmm... Sebelum hubungan kelamin. Hmm.. maaf ya Bu, jangan marah. Apa memek ibu dijilati atau di ciumi ayah? Atau pemanasan di colok pake telunjuk gitu?" Mendengar itu ibu terkejut, sempat berekspresi akan marah dan malu. Namun karena ingat janjinya agar tidak marah, ibu pun tidak malu lagi atau sungkan untuk memberitahu rahasianya.


"Tidak pernah di. Kamu tahu tidak? Didalam lemari ada botol kecil mirip kalpanax? Itu cairan kental agar memudahkan penis ayahmu masuk, di." Kata ibuku polos.


"Jadi, tidak pernah dijilat Bu?" Kataku memastikan. Ibu hanya mengangguk pelan lalu memandang langit-langit, tidak ke arahku. Mungkin malu.


"Wah! Sayang sekali ya Bu?"


Dan bagusnya. Ibu pun terpancing terbawa arus arahanku.


"Iya, di. Sayang sekali. Padahal ibu suka kalau...Mmmm.. punya ibu dimanjain, dielus, dijilat. Enak deh pokoknya di". Ucap ibu yang mulai tak canggung lagi. Aku melihat tangan ibu mengelus-elus vaginanya saat tiduran di pahaku dengan posisi telentang. Ahh.. ingin sekali aku membaui aroma vaginanya itu walau hanya di luarnya saja.


"Terus apa yang kurang dari ayah Bu saat berhubungan kelamin?" Kataku mengendalikan arus obrolan ke arah yang paling sensitif lagi.


"Kalau menurut ibu sih, mungkin ayahmu kena ejakulasi dini. Di. Coba aja kamu bayangkan, masa baru beberapa gerakan udah keluar? Mending kalau dijilati dulu kek punya ibu agar keluar lah ibu duluan. Ehh.. malah di tetesi cairan bening itu dulu agar lobang ibu licin. Gimana gak kesel coba??" Keluh ibu sesalkan kelakuan ayah yang tidak menjilati dulu lobang kenikmatan ibu.


"Terakhir Bu. Gimana menjelaskannya ya? Ardi bingung takut ibu tersinggung.."


"Katakan aja, di. Ibu tidak akan marah kok? Udah nanggung juga ibu blak-blakan sama kamu" Ucap ibu semakin tertarik dan terbawa suasana.


"Mmmm.. Ardi akan memperlihatkan penis Ardi pada ibu. Lalu ibu bandingkan dengan yang punya ayah gimana? Ibu mau menilainya gak? Gak mau juga gpp kok..?" Kataku gugup karena sudah terlalu jauh penjelasannya mulai kemana-mana.


"Apa hubungannya masalah ibu dengan Mmm.. ibu harus liat penis kamu Ardi?" Ucap ibu menatapku serius.


"Sebagai perbandingan aja Bu, biar masalahnya Ardi juga mengerti. Tapi Ardi gak maksa ibu.." kataku beralasan mulai tidak berharap banyak.


Ibu hanya terdiam membisu, arah matanya melihat TV yang masih membahas 'Bahaya Zina' itu Akh! Lalu melihat sekeliling dan terakhir menatapku seakan bahasa tubuhnya ibu mengatakan, 'haruskah aku melihatnya?'


"Hanya melihat aja kan, di?" Tanya ibu antara penasaran dan ragu.


"Iya Bu. Hanya melihat saja, nanti biar ibu sendiri yang menilainya.." bujukku pada ibu singkat.


"Baiklah. Ibu mau melihatnya."


Ibu pun bangkit dari tidurannya dipahaku, lalu aku tanpa ragu melepaskan celanaku sampai sebatas lutut hingga terlihatlah batang kontolku yang mulai bangkit dari pertapaannya.


Ini pertama kalinya aku memperlihatkan batang kekar kontolku pada ibu. Sedikit demi sedikit dari lemas menjadi semakin tegak, keras dan membesar. Ibu menyaksikannya dari awal lemas sampai kontolku bengkak didepan matanya. Kontolku yang panjang 16cm dengan ukuran sebesar gagang pengki tegak didepan ibuku membuat ibuku terkesima melihatnya.


Ibu begitu serius melihat ukuran kontolku yang sudah 9 hari dikasih nutrisi sayuran, buah-buahan juga ramuan herbal buatan Amira. Namun belum pernah dipakai sejak aku meminum ramuan itu. Sehingga terlihat berwibawa dan membuat ibuku menelan ludah.


"Bagaimana Bu? Menurut penilaian ibu..?" Kataku yang membuyarkan lamunan ibu.


"Bagaimana apanya di?" Wajah ibu terlihat memerah dan tangannya terlihat gemetar. Entah karena bingung atau menahan gejolak nafsunya.


"Penilaian ibu tentang penis Ardi?"


Sebelum menjawab. Ibu berusaha untuk tenang dan menormalkan pernapasan.


"Mmm.. sejujurnya ibu tak percaya melihatnya. Punya kamu lebih besar dan terlihat keras, di. Tapi, lama gak keluarnya di?" Jawab ibu memberikan penilaian terhadap penisku.


"Mau Ardi buktikan Bu? Keras dan tahan lamanya?" Tantangku pada ibu.


"Caranya?"


"Gimana ya? Kalau Ardi ngocok sendiri takut ibu gak percaya, gimana kalau dikocokin ibu? Ibu mau gak Bu? Biar ibu yakin" Kataku menantangnya lagi. Namun apakah ibuku berani melakukannya.


"Iya coba ibu yang kocokin penis kamu, tapi takut ada orang masuk di? Gimana?" Jawab ibu khawatir.


"Kita ke kamar Ardi aja yuk, Bu? Biar aman.. bisa bahaya juga kalau ada orang masuk" kataku mengajak ibu untuk membuktikannya di kamarku.


Ibu pun akhirnya setuju untuk melihat secara langsung ketahanan penisku dikamar ku. Setelah kami berdua bangkit dari ruang tengah. Aku mengunci pintu depan lalu menuntun ibu ke dalam kamarku. Tampak ibu sedikit ada keraguan dibenaknya, namun aku yang sudah terpancing birahi berusaha membuat ibuku nyaman bersamaku.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd