Sebulan kemudian...
Perut Amira semakin terlihat membesar, kandungannya sekarang sudah berusia 4 bulanan, juga di susul hamilnya ibu yang mengagetkanku. Bagaimana tidak? Ibu sama sekali tidak pernah memberitahukanku jika ibu telat bulan dan hamil dari benihku.
Ibu beralasan sengaja tidak memberitahu karena ingin memberikan kejutan spesial untukku. Tentu saja aku sangat senang mendengar kabar bahagia itu, terutama Amira yang mengetahui bahwa ibu kini sudah mengandung anakku ikut merasa senang sekali. Sekarang ibu akan memiliki keturunan seorang anak sekaligus sebagai cucunya sendiri.
Namun kebahagiaan ini tidak bertahan lama. Tetangga dekat pun kini sudah mengetahui bahwa Amira hamil tanpa seorang ayah dan sekarang menjadi perbincangan hangat para tetangga. Tak jarang sekarang mereka membicarakan kejadian ini saat ngumpul beli sayur, teras rumah mereka atau saat ada teman bergosip. Aku pernah melihat dan mendengar sendiri ketika ibu hendak menghampiri mereka saat ngumpul beli sayuran yang awalnya pada bergosip mulai diam. Lalu diantara mereka berkata pada ibu dengan nada mengejek.
"Dengar-dengar si Amira anak ibu Halimah hamil diluar nikah. Apa tidak malu anaknya lahir tidak ada bapaknya?" Ucap si Erni ibu gendut tetanggaku.
Ibu terlihat menarik napas panjang ketika mendengar celetukan dari salah satu ibu-ibu itu, "Itu memang benar Bu Erni. Amira meskipun hamil tanpa suami, saya sebagai ibunya tidak merasa menyesal sama sekali. Mungkin ini cobaan untuk keluarga kami..." Jawab ibu yang terlihat tenang.
Aku yang melihat ibu berjuang melawan ejekan dan gunjingan para tetangga ingin rasanya menghajar mereka semua. Tapi aku berusaha menahan diri karena akan memperpanjang masalah kedepannya.
Namun, dari sekian banyak ibu-ibu yang berkumpul di situ hanya ibu Erni saja yang mulutnya comel mirip knalpot paralon. Selain ibu Erni, mereka sepertinya memahami masalah yang di hadapi ibuku.
"Bu Halimah. Maafkan kami yang mungkin menyakiti hati Bu Halimah. Kami sesama wanita memahami masalah Bu Halimah, semoga Amira baik-baik saja ya Bu.." salah satu tetangga menyemangati.
"Iya Bu Halimah. Bukan maksud kami memojokkan Bu Halimah. Bu Halimah tahu sendiri saya pun dulu hamil di luar nikah. Mungkin itu cobaan buat Bu Halimah sendiri.." kata mereka para ibu-ibu yang mendukung ibuku. Dari beberapa ibu-ibu aku mengenali mereka karena bertetangga, aku sangat bersyukur karena tidak kebanyakan dari mereka mencemooh keluarga kami.
*
Masalah demi masalah sudah mulai teratasi, sejak amira hamil sampai sekarang ibuku yang juga hamil. Para ibu-ibu tetangga yang mulai risih aku kira tidak akan menjadi masalah yang serius. Untuk ayah sendiri walau pun masih ragu akan bantuannya Bu Yati penjual kopi, aku berusaha bersikap tenang dan yakin bahwa masalah tabu ini akan baik-baik saja.
Hari ini setelah selesai makan, aku mengantarkan ayah ke tempat cukurnya yang ada di pasar dengan menggunakan motor kesayanganku. Diperjalanan awalnya kami hanya diam saja tanpa adanya percakapan. Namun karena aku melajukan kendaraannya pelan dengan mempertahankan arah jarum di angka 30. Aku mulai memberanikan diri memulai percakapan.
"Yah.. maafkan Ardi karena sudah menghamili Amira. Ardi bingung entah harus bagaimana menghadapi masalah ini.." kataku pada ayah sambil tetap fokus arah pandanganku ke depan.
"Bukankah masalah itu sudah kita bahas di. Ayah tidak akan mempermasalahkan hal itu lagi. Yang penting kamu harus bersikap seperti layaknya seorang suami yang bertanggung jawab. Apa yang kamu pikirkan? Bekerja saja. Nafkahi adik juga anakmu itu." Jawab ayah yang membuat pikiranku merasa terbuka dan sepertinya aku mendapat dukungannya.
Lalu aku melanjutkan pembicaraan ke arah topik lain.
"Hmm.. ayah juga tahu kalau sekarang ibu hamil?". Tanyaku lagi memberitahu keadaan ibu saat ini.
"Ayah tahu. Ibumu sendiri yang ngasih tahu ayah. Ayah senang tapi juga sedih... Karena ayah sendiri tahu jika anak yang ada didalam rahim ibumu bukanlah anak ayah."
"Maksud ayah?" Tanyaku deg-degan.
"Apa ibumu tidak pernah cerita atau kamu lupa apa yang menimpa ayah dulu ketika Amira sudah lahir? Kamu tahu ayah kecelakaan dan membuat testis ayah terbentur sesuatu yang menyebabkan ayah saat itu juga oleh dokter divonis mandul." Ucap ayah mengingatkan kembali kejadian waktu itu.
Lalu ayah berkata lagi, "Sekarang ini ibumu bercerita kalau sekarang sedang hamil. Jika dihubungkan dengan kejadian awal tadi tentang vonis dokter, tidak mungkin bukan lelaki mandul bisa membuat istrinya hamil? Lalu menurutmu siapa yang menghamili ibumu?" Ayah bertanya balik kepadaku.
Ketika ayah melontarkan pertanyaan seperti itu membuat kendaraan yang aku kendalikan sedikit bergoyang tidak stabil karena pertanyaannya yang membuatku panik. Beberapa kali aku menelan ludah disertai detak jantung yang berdebar kencang. Aku bingung. Apakah pertanyaan itu karena ayah tidak tahu atau pertanyaan yang diajukan oleh ayah kepadaku hanya untuk mengetes kejujuran ku.
Dengan perasaan yang berkecamuk juga napasku yang sedikit sesak. Aku agak melambatkan laju kendaraanku agar lebih tenang saat mengobrol dengan ayah. Mau tak mau terpaksa aku harus berkata yang sebenarnya dengan akibat juga resiko yang akan aku hadapi nantinya.
Sambil menarik napas panjang aku berkata kepada ayah, "Maaf ayah. Sebenarnya.. hamilnya ibu karena Ardi. Ardi yang membujuk ibu untuk melakukannya. Untuk masalah hamilnya ibu, itu karena kesadaran ibu sendiri yang ingin memiliki anak sekaligus cucu. Masalah ini Ardi serahkan pada ayah, terserah ayah mau melaporkanku atau membunuhku, Ardi terima hukuman itu..." Kataku tidak enak hati mengatakan yang sebenarnya. Semua sudah terjadi dan aku tidak bisa mengembalikan waktu dimana saat itu aku juga Amira membujuk ibu untuk melakukan hubungan layaknya suami istri. Aku hanya pasrah dan akan menerima apapun akibatnya.
Ayah tidak berbicara beberapa saat hanya diam. Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi ayah saat mendengar keterangan ku karena aku membelakanginya.
"Sudah ayah duga memang kamu pelakunya. Jika seandainya kamu punya rumah tapi ada orang yang mengacak-acak isi rumahmu, bagaimana kamu menyikapinya Ardi?" Tanya ayah.
"Tentu aku akan marah ayah dan akan memberikan hukuman yang layak untuk dia ayah.." jawabku jujur. Aku tidak sempat kepikiran apa maksud ayah sebenarnya karena keduluan rasa takut.
"Begitu juga ayah. Mendengar ibumu tiba-tiba hamil oleh orang dalam sendiri yang melakukannya. Ayah marah Kesal Sedih. Tapi...melihat ibumu yang sama sekali tidak menyesal, dan terlihat bahagia. Kali ini ayah terpaksa maafkan kamu. Tapi jika kamu tidak mau bertanggung jawab dan menelantarkan mereka. Ayah tidak akan memaafkan kamu. Ingat itu Ardi." Jawab ayah dengan nada yang serius.
"Baik ayah. Ardi janji sama ayah akan bertanggung jawab, menjaga mereka juga membahagiakannya.." kataku dengan perasaan penuh kebahagiaan. Akhirnya ayah tidak mempermasalahkan masalah tabu itu. Apakah ini mimpi atau anugerah yang diberikan untukku? Tadinya sempat aku berpikir bahwa bisa saja aku di maki ayah lalu di laporkan ke pihak berwajib. Tapi ayah malah merestui hubunganku dengan Amira juga ibu. Sungguh aneh memang, apakah ini ada hubungannya dengan ibu Yati yang dulu membuat ilmu peredam sukma agar mereka yang bertentangan dengan ku takluk?.
Kabar bagus ini tentu saja aku beritahukan kepada Amira juga ibuku. Mereka berdua serta aku sangat senang sekali mendengar kabar yang aku sampaikan itu. Untuk merayakannya aku dan ibu melakukan persetubuhan didalam rumah di manapun. Air mani berceceran dimana-mana karena mereka meminta spermaku disemprotkan ke wajah mereka. Kami bertiga sangat puas melakukan persetubuhan ini, rasanya benar-benar membuat kami bertiga bahagia dengan sambil tiduran di lantai.
Meskipun hubungan tabu aku dan ibu sudah direstui ayah. Aku tidak serta merta menyetubuhi ibu langsung didepan ayah, aku tetap menghormatinya sebagai ayah yang harus dihargai dan dihormati, karena bagaimanapun juga ayah punya perasaan cemburu.
Namun sesekali ketika kami ngumpul di ruang keluarga, ibu duduk dilahunanku atau Amira secara bergantian. Kami bercanda, tertawa bersama serta membahas nasib keluarga ini ke depannya. Menjadi kepala keluarga bagi ibu juga adikku membuat pikiranku terbuka kedepan. Membangun keluarga tidak hanya tentang bersetubuh dan bersetubuh, tapi harus juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karena setiap hari mengantarkan ayah ke pasar, aku bekerja apapun agar bisa menghasilkan uang. Baik itu sebagai jukir atau ojol. Uang hasil kerja apapun itu aku belikan susu untuk ibu juga adikku. Masalah yang aku perbuat menjadikan diriku sadar bagaimana harus mencari nafkah dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup anak istri, meskipun yang aku perjuangkan ibu dan adikku sebagai pelampiasan nafsu seksual ku.
Sebagai tulang punggung keluarga, ayah pun membantu dan mengarahkan bagaimana aku menjadi lelaki yang bertanggung jawab juga memberikan perhatian pada keluarga. Termasuk ayah juga sangat mendukungku menabung sedikit demi sedikit uang untuk kelak aku membuka warung jamu tradisional yang tak jauh dari sekitar kecamatan. Karena selain dekat dan menjanjikan, aku juga bisa pulang pergi dari kecamatan ke rumah tanpa menempuh perjalanan jauh.
Ayah sangat mendukung cita-cita ku juga tanggung jawabku pada keluarga, sehingga membuat hati ayah lunak tidak mempermasalahkan apapun yang aku lakukan didalam rumah. Melihat reaksi ayah yang bersikap acuh itu aku mencoba melakukan hal-hal aneh kepada ibuku, seperti sering memeluknya dari belakang sambil menekan kontolku dipantat ibu, menghalangi ibu masuk ke kamar sehabis mandi lalu mencium memeknya saat ada ayah. Ayah hanya mengataiku anak cabul, si muka sange yang membuat ibu ikut tertawa dan mendesah ketika mendengar ayah mengatakan itu di depan ibu.
Semakin kesini lambat laun aku dan ibu semakin berani berpelukan, berpegangan tangan bahkan menindih ibu sambil nonton tv. Hanya saja kami berdua tidak telanjang masih memakai baju celana namun sempat juga menggoyang sedikit sambil ditekan-tekan.
Sebenarnya aku kasihan juga sama ayah, masa aku saja yang enak-enakan menindih ibu dan bermesraan sendiri. Sedangkan ayah tidak melakukan yang aku lakukan secara terang-terangan. Ayah hanya lebih suka di kamar berdua saja dengan ibu tanpa ada orang lain yang melihat.
Karena kasihan, aku pun berinisiatif dan memikirkan ide gila.
"Ayah, sesekali pangkulah Amira. Masa iya Ardi aja yang menindih ibu? Amira duduklah di pangkuan ayah..." Kataku menyarankan ide itu pada ayah serta menyuruh Amira untuk duduk di pangkuan ayah.
Awalnya ayah menolak untuk itu, namun karena demi rasa keadilan usul itu ayah setujui juga. Akhirnya tanpa rasa canggung Amira pun duduk dipangkuan ayah dan ayah mengusap-usap perut Amira yang sudah membesar dengan usia kandungannya sekitar 5 bulanan.
Aku dan ibu yang tadinya nonton tv sambil menindihnya, merasakan kehangatan dari kedua selangkangan yang membuat aku dan ibu saling berpandangan mesra. Aku tahu hawa hangat itu berasal dari kedua kelamin kami yang saling bersentuhan meskipun ada penghalang diantara keduanya.
"Ibu merasakannya juga?" Tanyaku dengan kedua kening saling bersentuhan.
"Iya. Tubuh ibu serasa ingin menyatu dengan kamu Ardi. Panas." Jawab ibu dengan tatapan yang diliputi gairah nafsu birahi.
"Lebarkan pahanya Bu, aku entot ibu sekarang.."
Ibu pun mengangguk sambil tersenyum manis kepadaku, aku pun melorotkan celana kolor ku dan tanpa pemanasan mengarahkan ujur pusaka ku ke belahan vagina ibuku sembari di gesek-gesek nikmat. Dari awal memang ibuku sengaja tidak memakai celana dalam karena sudah menjadi kebiasaan setelah aku merasa ayah acuh tak acuh ketika aku dan ibu sering bermesraan. Setelah agak licin barulah aku tekan kontolku untuk membelah dan membenamkan kontolku ke dalam.
Aaahhh...!
Perlahan kontolku memasuki tubuh ibuku dibagian memeknya yang membuatku melenguh nikmat. Berkat cairan lubrikasi dari memeknya itu, kontolku terjun bebas kedalam lobang kenikmatan ibu menghujam dasar memeknya.
Uugghhh!
Jepitan dan remasannya otot vagina bagian dalamnya begitu mencengkram batang kontolku disertai denyutan yang teratur. Aku merasakan hawa hangat dan kebahagiaan menyertaiku juga ibu. Perasaan cinta dan sayang yang diliputi birahi incest mengikat kami berdua. Aku benar-benar sangat mencintai ibuku berkat kenikmatan yang aku dapatkan hingga kami saling berciuman.
Darahku serasa bergejolak mengalir deras menyusuri aliran darahku, detak jantung semakin bergetar kencang juga tubuhku dengan ibu merasa ada hawa panas yang membuat tubuh kami langsung gairah.
Semakin lama semakin licin lobang vaginanya ibu, aku semakin tak mau lepas dari kenikmatan ini. Aku ingin selamanya menyetubuhi ibuku.
Hentakan demi hentakan aku lakukan sampai berulang kali menyundul mulut rahim ibu. Ibu ingin mengerang keenakan namun mulutnya aku kunci dengan mulutku, yang terdengar hanyalah suara erangan yang tertahan juga napas yang menderu kencang tak beraturan mengisi ruangan ini.
Tanpa di duga ketika aku mengangkat kepalaku, aku melihat sendiri ayah menyingkapkan daster yang dikenakan Amira dan mengelus-elus permukaan memeknya. Bahkan aku sempat melihat jemari ayah menusuk lobang memek Amira disertai desahan napas Amira yang tersengal-sengal sembari meremas payudaranya sendiri.
Melihat ini aku sangat senang sekali, kebahagiaan seakan menyelimuti keluarga ini. Aku sungguh sangat bersyukur. Lalu tanpa di duga ayah menciumi dan menjilati vagina Amira dengan penuh nafsu sampai membuat Amira mengalungkan kedua kakinya di pundak ayah.
Perhatianku kembali kepada ibu yang ternyata terus memandangiku dengan tatapan yang penuh kasih sayang juga birahi yang memuncak. Ibu langsung meraih leherku lalu menciumiku dengan penuh nafsu, tentu aku pun membalas ciuman itu dengan nafsu juga. Hingga tak berapa lama aku memuntahkan cairan kental menyembur didalam memeknya ibu. Ibu pun memelukku erat disertai denyutan kencang dan kuat. Lalu aku merasakan ada sesuatu yang menyembur dari memek ibu, ternyata ibuku orgasme, orgasme yang lumayan hebat sampai-sampai tubuh ibuku bergetar lalu menengadah dengan mata terpejam. Tidak berapa lama ibu membuka matanya sehingga aku dan ibuku saling memandang dengan tatapan penuh kepuasan.
Ibu tersenyum bahagia lalu mengecup bibirku lagi dengan lembut dan hembusan napasnya yang masih tidak beraturan.
Setelah melepaskan birahi dan bertukar lendir, aku dan ibu mendengar suara erangan yang aneh hingga melirik ke arah sumber suara itu. Ternyata ayah sedang menyetubuhi Amira di kursi. Ayah berdiri dengan kedua lututnya sedangkan kedua kaki Amira dilebarkan sampai mengangkang.
Ayah berulangkali memaju mundurkan pantatnya sembari mereka berdua berciuman, persetubuhan mereka sungguh luar biasa sampai saling berangkulan. Hingga hentakan semakin kencang dan ayah membenamkan penisnya disusul erangan hebat dari mulut ayah. Rupanya ayah berhasil mengeluarkan spermanya didalam vagina Amira hingga ayah mencabutnya dan keluarlah sperma itu dari kemaluan Amira.
Setelah bersetubuh itu ayah berkata, "ayah tidak pernah merasakan persetubuhan yang begitu nikmat selain menyetubuhi anak sendiri.. pantas saja kalian begitu ketagihan melakukannya.." ucap ayah kepada kami bertiga setelah kami menghentikan persetubuhan.
Kami pun tertawa bahagia karena ada yang lucu di sela-sela obrolan. Dengan tubuh kami telanjang bulat tanpa busana kami tidak merasa malu lagi ketika melakukan persetubuhan di ronde kedua dengan berbarengan.
Sejak kami sekeluarga melakukan hal yang paling tabu itu, usaha ayah semakin maju dan terus berkembang pesat hingga merekrut beberapa karyawan. Sampai waktu yang ditunggu-tunggu Amira pun melahirkan anak lelaki yang tampan sepertiku. Ayah ibu sangat senang karena keluarga ini bertambah satu. Tinggal menunggu ibu yang beberapa bulan lagi dapat cucu baru.
*
Hari ini aku ingin berkunjung ke rumahnya ibu Yati penjual kopi yang sudah menolongku menundukkan hati ayah juga para tetangga yang mengusik ketenangan kami. Meskipun aku lebih sering menyetubuhi ibu dan Amira, setiap 2 minggu sekali aku menyetor sperma kepada ibu Yati. Memeknya masih lumayan enak dan masih seret, aku sudah sangat ketagihan dengan kenikmatan yang di dapatkan dari Bu yati.
Bu Yati kini sedang mengandung anakku, aku seperti memiliki tiga istri yang harus aku perlakuan selayaknya seorang suami yaitu memberi nafkah lahir batin. Sebenarnya tetangga yang ada disekitar rumah Bu Yati merasa risih dengan keadaan Bu Yati yang hamil diluar nikah. Tapi mereka sepertinya merasa takut jika menyinggung sedikit saja perasaan Bu Yati, karena yang sudah-sudah saja menyinggung sama dengan sakit, bangkrut usahanya atau mati.
Ngeri juga Bu Yati ini.
Setelah bersetubuh di rumahnya, aku membelikan Bu Yati susu juga kebutuhan bayiku kelak. Kini kondisi ekonomi keluargaku sudah mulai berkembang dan tidak kekurangan. Jadi aku sudah tidak merasa terbebani lagi untuk memberi bantuan kepada Bu Yati.
Saat dikamar dalam keadaan tanpa busana Bu Yati menyender di pelukanku sambil duduk diatas kasur yang berantakan. Aku mengelus-elus perutnya yang sudah terlihat uratnya dibawah kulit.
"Ardi. Ibu pengen ngomong sesuatu sama kamu. Sebelum bayi kita lahir dan ibu masih kuat berjalan, ibu akan bertapa di gunung yang tidak boleh disebut namanya untuk menambah kekuatan ilmu ibu. Tapi, anak kita ini harus ibu korbankan untuk persembahan. Ibu harap kamu tidak keberatan di.." ucap Bu Yati ikut mengelus perutnya.
"Kenapa harus anak kita bu? Apakah tidak ada syarat lain? Lalu kapan ibu akan ke gunung kalipati?" Tanyaku terkejut mendengar keinginan Bu Yati yang menurutku terlalu memaksa dan aneh.
"Tiga hari dari sekarang, di. Itulah alasan kenapa ibu mau di hamili oleh kamu. Sebenarnya untuk persembahan ini. Jujur meskipun awalnya untuk tujuan itu, tapi ibu sendiri merasa kamu lelaki yang paling ibu kagumi. Tapi demi ilmu ibu ini, ibu mengesampingkan perasaan itu." Ucap Bu Yati menjelaskan semua maksud dari semua ini.
"Ardi antar ya Bu? Takut nanti Bu Yati kenapa-napa?" Kataku mengajukan diri.
"Tidak, di. Ibu harus datang sendiri. Karena tempat itu sangat dirahasiakan. Bertahun-tahun ibu menunggu momen ini. Ibu harap kita akan bertemu lagi dan kamu menghamili ibu lagi..." Pinta Bu Yati kepadaku dengan penuh harap.
"Baiklah. Kalau itu memang keinginan Bu Yati. Semoga Bu Yati tambah sakti."
"Terimakasih, di." Ucap Bu Yati dengan tulus mengucapkannya. Lalu sebelum aku pulang kami pun bersetubuh lagi sampai 3 ronde. Penisku sudah lemas di siksa terus didalam vagina Bu Yati yang sempit. Setelah itu aku pamit pulang pada Bu Yati dan tidak lupa Bu Yati memberikan jimat yang dibungkus kulit yang di jahit yang katanya untuk perlindungan. Lalu aku pun pulang meninggalkan Bu Yati dalam keadaan hamil besar untuk terakhir kalinya.