Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Incest Story : Arti Keluarga (Update Terbaru)

Part 6

Tak terasa makan malam itu sudah lima tahun berlalu. Makan malam bersama ayah, yang sebelumnya aku bercumbu mesra terlebih dahulu bersama ibu di dapur.

Entah bagaimana aku dan ibu pada saat itu tidak ketahuan oleh ayah, entah kenapa pula tiba-tiba hal tersebut terbesit di dalam kepalaku. Aku sudah lulus SMA sejak empat tahun yang lalu, kini aku bekerja di Lawson. Gajinya memang tidak seberapa, tapi aku tidak mau kuliah. Lagipula masih ada Emma dan Adam yang harus namatin SMA nya.

"Aku pulang." kataku, sambil menutup pintu depan.

Aku tak mendengar ada satu suara yang menanggapi suaraku. Aku pun segera menuju kamar dan menyimpan tasku. Kemudian mengganti baju kerjaku dengan baju santaiku di rumah. Melegakan sekali rasanya.

Setelah itu, aku keluar dari kamarku dan menuju dapur. Kamar ibu terlewat olehku, ibu terdengar bahagia sekali saat berbincang bersama seseorang di telepon. Aku tidak menghiraukannya dan meminum sesuatu yang dingin dari dalam kulkas.

"Astaga Kak Alvin, kamu bikin ibu kaget aja sayang." kata Ibu begitu ia keluar kamar.

"Padahal aku udah salam dari pintu depan. Lagian ibu teleponan sama siapa?"

Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku. Wajahnya tersenyum, berseri-seri bahkan.

"Tadi ayah kamu nelepon. Begitu dia pulang nanti, katanya akan ngajakin ibu jalan-jalan. Senangnyaaaaa." jawab ibu kemudian.

"Kapan ayah pulang?"

"Besok Minggu."

"Aku gak ikut bu, berangkat kerja aku. Emma sama Adam juga pasti ada ekskul."

"Ihhhh, emangnya siapa yang ngajakin kalian. Ayah kamu cuma ngajakin ibu kok. Wleeeeee."

Ah. Sekarang aku malu.

"Tapi, hari Sabtu kok kamu masuk kerja kak?" tanya ibu.

"Ada yang izin, jadinya aku yang gantiin. Ibu anggap aja aku lembur."

"Tapi kamu juga jangan sampe kecapean... ya?"

"Iya."

Ibu mendekat lalu mengusap-usap rambutku. Meskipun aku jauh lebih tinggi dari ibu, entah kenapa ibu selalu berhasil untuk mengelus-elus kepalaku. Tinggi ibu 158cm, sementara aku 185cm. Sungguh menenangkan sekali rasanya ketika ibu mengelus-elus kepalaku.

"Kamu udah makan?" tanya ibu.

"Udah tadi sore. Sama indomi goreng."

"Itu tadi sore, sekarang malem. Ibu buatin telur dadar ya?"

Rasanya aku tidak bisa menolak kehendak Ibu.

"Iya…"

"Yaudah duduk yang manis dan tunggu ya?"

"Jangan samain aku sama Adam bu…"

"Hehehe…"

Kemudian Ibu menguncir rambutnya ke belakang, lalu segera membuatkanku telur dadar khasnya.

"Btw, Emma sama Adam kemana? Suara mereka gak kedengeran tumben."

"Mereka nginep di sekolah. Nanti Minggu pagi pulangnya."

"Ngapain mereka--- oh, kemah di sekolah itu ya?"

"Heem."

Tanpa kusadari, aku tengah memperhatikan bagian belakang tubuh ibu selagi kami mengobrol dan juga saat ibu tengah membuatkan telur dadar untukku.

Bagian belakangnya, dimulai dari lekukan punggung hingga ke pinggangnya, sampai ke bokongnya yang berbentuk meskipun tertutupi daster.

"Terus… ibu gimana dong?" kataku.

"Ibu kenapa?" tanya ibu, bingung.

"Emma sama Adam gaada, aku kerja, ayah kerja. Ibu kesepian di rumah."

Ibu selesai membuatkan telur dadar lalu menghidangkannya untukku dengan sepiring nasi hangat.

"Ibu gak kesepian kok sayang. Kamu kebanyakan nonton video yang begituan." ucap ibu seraya tersenyum.

Bukan begitu maksudku. Tapi memang itu sempat terpikirkan olehku. Aku tidak terima jika hal itu terjadi. Kemudian ibu duduk di hadapanku.

"Jangan-jangan kamu cemburu?" ucap ibu lagi.

"B-bukan gitu… maksudku…"

Sial, aku tidak dapat memikirkan alasan lain selain apa yang tadi telah diucapkan oleh ibu tentang NTR. Sementara aku melihat ibu yang tersenyum-senyum melihatku.

"Lucu banget deh anak ibu ini. Udah-udah, mendingan kamu makan dulu. Biar ibu ambilin minum buat kamu."

Aku menikmati makanan buatan ibu dan tak lama ibu menyimpan segelas air dingin untukku.

Begitu selesai, aku langsung mencuci piring dan semua perabotan yang tadi digunakan oleh ibu. Kemudian aku pergi ke kamar.

"Kak Alvin? Mau kemana?" tanya ibu yang duduk di sofa.

"Ke kamar bu."

"Habis makan langsung pergi ke kamar. Bagus."

Aku tidak senang mendengarnya, lagipula memang bukan hal yang bagus. Setelah makan langsung pergi ke kamar.

"Sini, duduk dulu temenin ibu" ucap ibu lagi.

Aku pun menghampirinya dan duduk tepat di sampingnya. Langsung ibu merangkulku dengan erat.

"Katanya kamu takut ibu kesepian, tapi kamu malah ninggalin ibu sendirian. Gimana sih~"

"Maaf…"

Ibu berulang kali mengusap-usap rambutku, menciumi kepalaku. Terasa nyaman sekali berada di dalam pelukan ibu seperti ini.

"Di tempat kerja kamu gaada masalah?" tanya ibu.

"Enggak bu, semuanya baik."

"Syukurlah."

"Oh iya tadi ada pekerja paruh waktu yang baru. Anak SMA, ada mungkin seumuran Emma."

"Oh ya?"

"Iya. Dia cantik, sopan santun pula. Aku diminta buat ngelatihnya, memastikan kalau dia dapat melakukan pekerjaannya dengan baik."

"Ooohhhhh… di tempat kerja pun jadi kakak yang ngurusin adiknya ya?~"

Rambutku diusap-usap lagi oleh ibu. Sehingga beberapa jam berikutnya yang pada akhirnya aku diperbolehkan ke kamarku dan ibu hendak tidur di kamarnya sendiri. Kukira, untuk sesaat. Ibu akan memintaku untuk tidur bersamanya. Ternyata tidak. Apa yang baru saja kupikirkan.

Keesokan harinya, aku pamit kepada ibu karena aku berangkat pagi untuk membuka Lawson sekaligus beres-beres sebelum waktunya buka. Akan tetapi sebelum aku pergi, ibu menciumku tepat di pipi. Lalu ia kembali tidur.

Jarak Lawson dari rumah hanya memakan waktu dua puluh menit perjalanan. Itulah mengapa manajer ingin aku yang memegang kuncinya, karena dekat dari rumah.

"Erina?" ucapku, karena aku melihat seorang gadis memeluk kedua lututnya tepat di depan Lawson.

Erina. Gadis berkulit cerah dengan rambut pirang pendek yang di ombre. Pertama kali aku melihatnya aku langsung berpikir kalau dia ada keturunan Rusia. Selain itu ia mengenakan jaket denim biru, seragam Lawson yang dikenakannya terlihat. Bagian bawahnya ia mengenakan rok dan di dalamnya ia mengenakan stocking hitam.

"Kak Alvin." ucapnya, lalu ia segera berdiri dan menghampiriku.

"Apa kamu gak terlalu kepagian datengnya?" tanyaku sambil aku turun dari motor.

"Enggak kok, aku terbiasa bangun jam segini kak."

"Lain kali gapapa gak dateng jam segini juga, kasian kamu nungguin di depan."

"Hehehehe… gapapa kok kak."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku seraya tersenyum, tanganku bergerak sendiri dan langsung mengusap-usap rambutnya. Untuk sesaat aku sempat mengira kalau dia itu Emma. Akan tetapi, mana mungkin Emma akan bangun sepagi ini.

"E-eh? Kak Alvin???"

"Ah, maaf maaf. Refleks."

"Kalo gitu kamu bisa bantuin aku beres-beres sebelum waktunya buka ya?"

"Baik Kak."

Erina segera mengambil tasnya yang di lantai, aku pun segera membuka rolling door tidak keseluruhannya. Hanya supaya aku dan Erina dapat masuk ke dalam. Lalu kami membersihkan dan merapikan bagian dalam Lawson untuk siap didatangi oleh pelanggan. Setelah merasa yakin bahwa Lawson sudah siap, aku pun membuka rolling door secara keseluruhan. Erina di bagian kasir counter, dan aku merapikan stok barang-barang di gudang. Terkadang kami berdua bertukar tugas.

Sesekali kuperhatikan Erina dalam berinteraksi dengan pelanggan, dia menjadi jauh lebih baik dalam melakukan tugasnya, bagaimana caranya mengoperasikan mesin kasir sampai ke menawarkan produk yang tengah promo.

"Ini kembaliannya, terima kasih banyak dan silakan datang kembali~" ucapnya, seraya tersenyum.

Pelanggan tersebut agak tersipu melihat senyuman Erina. Lalu ia mengambil belanjaannya dan segera melangkah menuju pintu keluar. Aku yakin, senyuman Erina akan terus berada di pikirannya paling tidak selama lima menit ke depan.

Begitulah keseharianku di tempat kerja. Hingga tiba saat shift kerjaku telah selesai pada pukul enam sore.

"Tadi pagi berangkat pake apa kamu Rin?"

"Pake Gojek kak."

"Oh. Kalo gitu pulangnya bareng aja sama aku."

"Eh?"

"Gapapa, tadi pagi bayar berapa pake Gojek?"

Erina terlihat enggan untuk menjawabnya, tapi pada akhirnya ia memberitahukan angkanya padaku.

"Dua belas ribu kak…"

"Dua belas ribu, lumayan bisa ditabungin. Udah yuk, bareng aja sama aku."

Langsung aku naik ke atas motor tanpa menunggu tanggapan dari Erina. Ternyata ia mengikutiku, sebelum ia duduk di jok belakang motorku, ia menghampiriku.

"Beneran gapapa? Takutnya nanti pacar kak Alvin marah loh… tahu jok belakang motor kakak didudukin sama perempuan lain…"

"Aku dikira punya pacar… Kenapa pula ibu yang terlintas di pikiranku ketika aku mendengarnya."

"Tenang, gaakan ada yang marah kok. Lagian aku gapunya pacar. Kamu kenapa bisa berpikiran kalo aku punya pacar?"

Erina tidak menjawab dan hanya tersipu malu. Entah kenapa, apa aku mengatakan sesuatu?

"Sudahlah, ayo naik. Kita harus segera pulang." kataku lagi.

Erina akhirnya naik di jok belakang. Aku memakai helm, kemudian menyalakan motorku, lalu bergabung bersama kendaraan lain yang ada di jalan raya.

Jalan raya senja itu cukup lenggang, belum lagi adzan maghrib yang terdengar dari kejauhan. Mungkin itu dikarenakan sebagian orang percaya kalau keluar rumah saat adzan maghrib menimbulkan malapetaka bagi mereka yang keluar. Entahlah.

Karena jalan raya cukup lenggang, aku memutuskan untuk mempercepat laju motorku. Begitu aku melakukannya, Erina cukup terkejut. Aku yakin ia mengatakan sesuatu tapi tak dapat kudengar, yang bisa kurasakan hanyalah kedua tangannya yang memelukku.

Sepuluh menit, akhirnya motorku berhenti di tempat yang dipikirkan oleh Erina.

"Yah, akhirnya kita sampai. Benar kan? Rumah kamu di daerah sini?"

"I…ya…"

"Rin? Kamu gapapa?"

"Ah."

Erina akhirnya turun dari motorku dengan perlahan, tubuhnya gemetaran.

"Maaf, hanya saja aku gak terbiasa dibawa ngebut hehehe…"

"Waduh, maaf maaf. Aku ceroboh."

"Ih gapapa kak, aku gak mempermasalahin. Anyway, makasih ya kak, udah nganterin."

"Santai. Udah ya, aku duluan."

"Hati-hati kak."

Aku kembali meluncur dengan motorku. Aku sama sekali tidak memikirkan apapun selain empuknya kasur di kamar.

"Aku pulang." kataku, sambil menutup pintu depan.

Aku berharap ada suara tanggapan dari ibu, tapi sama sekali tidak ada tanggapan dari dalam rumah.

"Bu? Ibu di rumah?" kataku lagi.

Aku terus berjalan menuju ruang tengah, tetap tidak terlihat ibu sejauh mata memandang. Lampu-lampu belum dinyalakan, maka aku pun langsung menyalakannya. Aku masih belum melihat ibu dimanapun. Kurasa aku akan langsung pergi ke kamar saja.

"Kak…? Kak Alvin…? Hiks hiks…"

Kemudian aku melihat ibu. Berasal dari sofa.

Ternyata ibu ada diatas sofa, meringkuk dan terlihat baru saja menangis. Aku langsung mendekatinya.

"Ibu??? Ibu kenapa hei… sssshhh sssshhhhh…"

Aku langsung memeluknya. Berusaha menenangkannya dengan mengusap-usap rambut bagian belakangnya.

"Ada apa bu…? Ibu baik-baik saja kan…?" tanyaku.

"Ayah kamu… Ayah kamu kak…"

"Ayah kenapa bu?"

"Ayah gajadi pulang katanya… huwaaaaaa…"

Hah?

Ibu memelukku erat. Begitu erat sampai-sampai aku sesak untuk bernafas.

"Katanya mau pulang malam ini… katanya mau ngajakin ibu jalan-jalan… huwaaaaaaaa…."

"Ibu… aduh duh… lepasin dulu dong… aku susah nafas ini…"

Akhirnya aku bisa melepaskan pelukan ibu, kuperhatikan lagi wajahnya. Bukan main, ibu benar-benar menangis.

"Sssssshhhhh ssssshhhhhh… Udah lah bu, masa cuma gara-gara begini doang nangis…"

"Hiks hiks…"

Ibu tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan berhenti menangis dalam waktu dekat. Aku harus melakukan sesuatu untuk menghiburnya.

"Yaudah yaudah… aku ajak jalan-jalan sekarang aja gimana? Ibu mau kan?"

Ibu tidak mengatakan apa-apa, ia masih terisak, akan tetapi kepalanya mengangguk-angguk.

"Aku ambilin mantel ibu ya?"

"Sssssshhhhh udah dong… jangan nangis lagi, padahal ibu yang sering bilang ke aku gaboleh nangis…" kataku lagi sambil mengusap air mata dari wajahnya.

Lalu segera aku ambilkan mantel dari kamarnya, kupakaikan ke ibu dan mengajaknya jalan-jalan keluar rumah. Bahkan aku sendiri tidak tahu harus kuajak ibu pergi kemana. Aku terus mengendarai motorku tanpa tujuan dengan kecepatan sedang.

Tak lama, aku melihat sebuah karnaval diadakan di alun-alun kota. Cukup meriah sekali kelihatannya. Mungkin tidak ada salahnya aku mengajak ibu kesana.

"Kita ke karnaval itu gimana bu?"

Ibu tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya berdeham malas. Kurasa itu berarti ‘iya’. Lalu aku segera memarkirkan motorku tak jauh dari sana.

"Sebaiknya kita pegangan tangan ya bu, bisa repot kalo aku kehilangan ibu." ucapku setelah menaruh helm di kaca spion.

Tanpa menunggu jawaban dari ibu, aku langsung menggenggam tangan ibu erat. Lalu kami berjalan menuju bagian dalam karnaval tersebut. Aku berusaha mengabaikan mereka yang memperhatikanku dan juga ibu.

Orang-orang terlihat sejauh mata memandang, lampu-lampu dengan warna yang berbeda dan berkelap-kelip memberikan nuansa yang menyenangkan, suara tawa anak-anak kecil berlarian sambil memegang jajanan. Para pedagang yang berusaha meyakinkan pengunjung untuk memperhatikan mereka dan membeli produk buatan mereka. Selain itu, ada banyak wahana menarik yang layak untuk dicoba. Salah satunya shooting prize.

"Ibu tunggulah disini, aku akan memenangkan sesuatu untuk ibu."

"Kayak yang bakalan menang aja."

Aku sempat menoleh ke ibu, siapa yang mengira. Setelah selesai mengurus ibu yang bersedih, aku harus berurusan dengan ibu yang sinis. Akan kuperlihatkan, kalau aku tidak main-main.

"Kan? Apa kubilang~" ucapku, seraya memberikan sebuah boneka kucing berukuran besar.

"Hmph, hoki aja itu kamunya." ketus ibu.

Meskipun ibu berkata demikian, ibu tetap memeluk boneka kucing yang baru saja kumenangkan. Apapun asalkan itu membuat suasana hatinya senang. Setelah itu aku membelikannya jus. Memang tidak seberapa, tapi setidaknya aku berusaha.

"Ibu mau naik komedi putar?" tanyaku, begitu komedi putar terlihat oleh mataku.

Mata ibu langsung berbinar-binar begitu melihat komedi putar yang kusebutkan. Langsung ia berjalan mendahuluiku.

"Ayo cepetaaaan." ucapnya, seraya menarik tanganku.

"Iya iya…"

Setelah membayar karcis, akhirnya aku dan ibu berada di atas komedi putar. Tidak memusingkan, karena benda ini berputar dalam keadaan sedang. Ibu duduk di atas unicorn yang terbuat dari plastik, sementara aku berdiri di sampingnya sambil berpegangan kepada salah satu tiang yang ada disana.

Baik itu ibu ataupun aku, tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Aku sengaja menutup mulutku supaya tidak menjadi korban sinisannya. Rasanya sakit sekali. Aku tidak terbiasa dengan ibu yang sinis.

"Ibu gamau pulang." ucap ibu tiba-tiba.

"Eh? Kenapa bu?"

"Ibu ada di rumah jadi inget ke ayah kamu. Si Ingkar Janji. Ibu jadi kesel sendiri dengan memikirkannya saja."

"Terus kita tidur dimana bu?"

"Di hotel."

Percuma saja berkata tidak, ibu yang sekarang ini tidak berpikir secara rasional. Ibu yang sekarang sepenuhnya dikendalikan dengan emosional. Aku tidak bisa berdebat dengannya sekarang ini.

"Kalo itu yang ibu mau, baiklah."

Ibu langsung tersenyum. Selama beberapa menit kemudian, kami menikmati komedi putar yang membawa kami berputar-putar. Apa yang sebenarnya kukatakan.

Setelah cukup lama, kami berdua pun turun dan segera menuju ke motor. Aku sebenarnya bingung, aku sendiri belum pernah masuk ke hotel dan bercengkrama dengan wanita resepsionis.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk singgah di hotel yang sering kulewati. Tidak terlalu mewah, hanya hotel bintang tiga. Kuharap ibu tidak keberatan dengannya.

Aku pun masuk dan memarkirkan motorku. Dengan refleks, aku menggandeng tangan ibu dan berjalan masuk ke lobi hotel. Aku gugup sebenarnya, itulah kenapa aku menggenggam tangan ibu. Sementara ibu, begitu tangannya digenggam olehku, malah menjadi merangkul lenganku. Aku terus penasaran apa yang dipikirkan oleh wanita resepsionis yang melihat kami berdua seperti ini.

Pada akhirnya, entah bagaimana aku berhasil berbicara kepada wanita resepsionis dan meyakinkannya bahwa kami akan menginap satu malam di hotel sehingga mendapatkan kamar.

"Jarang-jarang ibu ngeliat kamu cupu gitu." ucap ibu, sambil tersenyum sinis.

Ya Tuhan, aku ingin ibuku kembali. Aku tidak mau ibu yang antagonis seperti ini.

Tak lama, kami sudah tiba di kamar kami. Begitu di dalam, ibu hanya berdiri diam di depan pintu masuk. Tidak melakukan apapun.

"Ibu kenapa?" tanyaku, akan tetapi ia tidak menjawab.

Aku mulai tidak memikirkannya, terlebih lagi aku tidak suka ibu yang saat ini. Aku pun merebahkan diriku di atas kasur, sambil memikirkan. Uang menginap saat ini mungkin bisa digunakan untuk hal yang lain.

Kemudian, aku merasa tubuhku terasa berat. Kubuka mataku, ternyata ibu tengah duduk di atas perutku.

"Ibu??? Ngapain hehhh."

Bukannya menjawab pertanyaanku, ibu malah menciumku dengan penuh gairah terhadap bibirku.

Smooch~ Smooch~ Smooch~

"Hmmmppphhhh hmmmppphhhh…"

"Faaaahhhhh~"

"Haaaahhhh haaaahhhhh… ibu kenapa sih… aku udah gak ngerti lagi bu…"

"Tanya aja sama ayah kamu. Ini semua salah dia. Sekarang sini kamu." ucap Ibu, seraya menarik pipiku dengan kedua tangannya dan kembali mencium bibirku.

"T-tunggu sebentar bu--- hmmmppphhhhh."

Smooch~ Smooch~ Smooch~

Ibu terus memegangi pipiku dengan kedua tangannya, sementara lidah dan bibirnya terus menjamah mulutku. Kenapa harus aku yang harus menanggung kesalahan yang telah dibuat Ayah.

"A-aaaahhhhhh~"

"Paling suka kalo kamu udah mendesah gitu~"

"Bu… ayolah… ahhhhh~"

Selesai mencium bibirku, ibu kini tengah menjilati leherku. Bukannya aku terangsang atau apa, tapi rasanya geli sekali. Terkadang dari rasa geli itu mengarah ke penisku yang mengalami ereksi.

"A-aaaahhhhh~"

"Mana tangannya, sini. Lepasin baju ibu." ucap ibu, tangannya menggenggam tanganku supaya aku melepas bajunya.

Aku tidak ingin, tapi lebih baik aku menurutinya. Aku pun melepas mantel yang tengah dikenakannya, kulempar sembarang ke lantai. Lalu aku melepas kaus hitam dan branya sekalian sehingga tubuh bagian atasnya telanjang. Sementara ibu terus menciumi tubuhku, menjamahinya secara keseluruhan.

Smooch~ Smooch~ Smooch~

“I-ibu…??? Aaahhhh~“

“Kenapa sayang?~“

Smooch~ Smooch~ Smooch~

“Pernahkah ibu merasa ada yang aneh antara aku dan ibu sekarang ini…? Aaaahhhh~“

Begitu aku berkata demikian, ibu langsung berhenti menciumi leher dan bibirku. Lalu ia menatapku.

“Kamu merasa ini semua salah, karena aku melakukan hal seperti ini sementara aku adalah ibumu?“

Belum pernah aku mendengar ibu menyebut dirinya sendiri dengan kata ‘Aku’ kepadaku. Tapi aku langsung menganggukan kepalaku terhadap perkataan ibu.

“Baiklah, begini saja. Ibu mau kamu dengerin baik-baik.“ ucap ibu lagi, sementara aku terus memperhatikan wajahnya yang cantik.

“Mulai saat ini, disaat kita sedang berdua seperti ini atau tidak ada ayah kamu ataupun suami ibu. Aku ingin kamu memanggilku dengan namaku, siapa namaku?“

Seketika aku menelan ludahku, aku tidak terbiasa menyebut nama ibuku secara langsung.

“I-ibu… Ibu Julia…?“

“Nuh-uh, aku bukan ibumu. Siapa namaku?“ ucap ibu sambil menggelengkan kepalanya dan menempelkan jari telunjuknya di bibirku.

Sekali lagi aku menelan ludahku.

“J-Julia.“

Ibu tersenyum begitu mendengarku menyebut namanya. Sementara aku, entah kenapa aku ketakutan.

“Sekali lagi.“

“Julia…“

“Sekali lagiiiii.“

“Julia.“

“SEKALI LAGI.“

“JULIA, SEBENERNYA KENAPA--- HMMPPHHH.“

Dan lagi, mulutku dibungkam oleh bibirnya ibu.

“Ingat, saat ini aku bukan ibumu ya sayang?~“ ucap ibu, lalu mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik;

“Tapi pacarmu~“

Seketika aku langsung merinding begitu mendengarnya, belum lagi wajah ibu yang menyeringai. Cukup menakutkan, tapi kalau ibu memang sungguh-sungguh merasa senang dan jauh lebih baik dari sebelumnya, aku tidak masalah. Meskipun tetap terlintas di benakku kalau dia adalah ibuku, yang menyebut dirinya adalah pacarku. Aneh rasanya.

Baiklah kalau begitu, ibu sendiri yang minta.

Aku segera membalikan keadaan, kini aku ada di atas ibu dan ibu tengah berbaring. Ibu cukup terkejut begitu aku bertukar posisi dengannya.

Good boy~ show me a good time then~

I’ll show you a good time~

Aku langsung melepaskan celana panjangku, penisku sudah keras sejak ibu menciumiku. Dan dapat kulihat pula kemaluannya ibu sudah basah sedari tadi, banjir bahkan. Langsung saja kuarahkan penisku terhadap kemaluan ibu.

“Gaada Foreplay dulu atau apa? Kontol kamu gamau dijilatin dulu gitu?~“

No need~

Ujung kemaluanku sudah berada di ambang kemaluan ibu. Hanya dengan menggesek-gesekan kepalanya saja sudah membuat ibu mendesah.

“Ahhhh~“

Dalam satu gerakan, kudorong pinggulku supaya penisku masuk ke dalam kemaluan ibu. Desahan ibu terdengar begitu menggairahkan. Setelah itu, langsung aku memegangi kedua kakinya dan mulai menggerakan pinggulku ke depan dan ke belakang.

PLOK~

PLOK~

PLOK~


“Aaaaahhhh~ aaaahhhh~ aaaahhhh~“

“Cuma segini aja?~“

“Bersabarlah sayang, lagipula malam masih panjang~“

Aku merasa menjadi anak durhaka, akan tetapi ibu justru tersenyum begitu mendengar perkataanku barusan. Aku pun mempercepat tempo.

PLOK~ PLOK~ PLOK~

“AAAAAHHHHH AAAAHHHHH AAAAHHHHH~“

“PELUK AKU SAYANG, PELUKLAH AKU. AAAAHHH AAAAAHHHHH~“

Aku pun memeluk ibu dan sebaliknya, sementara pinggulku terus bergerak ke depan dan ke belakang. Penisku terus menusuk bagian dalam kemaluan ibu. Terkadang aku mencium bibirnya.

Smooch~ Smooch~ Smooch~

PLOK~ PLOK~ PLOK~


“AAAAAAHHHH AAAAAHHHH ALVIN AAAHHH~“

“Akan kubuat kamu hamil.“

“Hamili aku sayang~ hamili aku~ aaahh aaahhh~“

Aku terus mempercepat gerakan pinggulku, sehingga aku tak bergerak. Penisku memuncratkan sperma di dalam rahim ibu. Kedua kaki ibu mengunci tubuhku supaya aku tak dapat menarik keluar penisku selagi memuncratkan sperma.

“Haaaaahhhhh haaaahhhh haaahhhh…“

“Jangan pikir kamu bisa istirahat Julia sayang~“

Meskipun terengah-engah, mendengar aku berkata seperti itu tetap membuat ibu tersenyum. Setelah itu, aku terus menyetubuhi ibu sehingga ibu sendiri tak dapat mengingat lagi bahwa ia memiliki suami.

Who’s the good girl now?~“ tanyaku, sambil memasukkan jempolku ke dalam mulut ibu untuk dihisap olehnya.

I’m your good girl daddy~“ ucap ibu, lalu menghisap jempolku di dalam mulutnya.

Tanpa berhenti, penisku terus-menerus keluar masuk kemaluan ibu. Tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk rahimnya sudah disesuaikan hanya untuk penisku seorang. Persetan ayah, bahkan aku tidak ingat kapan ayah pernah menyetubuhi ibu di rumah.

Begitu pagi tiba, aku terbangun. Ibu berada tepat di sisiku, masih tertidur, menjadikan bahuku sebagai bantalnya. Bahuku akan mati rasa kayaknya nih.

Untuk sekilas aku melihat keadaan kamar. Begitu berantakan, bau sperma kering menjadi parfum utama di kamar ini. Sprei acak-acakan, bajuku dan baju ibu yang tergeletak dimana-mana. Sungguh kamar ini sebuah kekacauan. Aku turut kasihan kepada cleaning service.

“Bu, bangun bu. Bentar lagi kita harus checkout.“ ucapku.

“Hnnngggg… iya…“

Akhirnya ibu bangun dan meregangkan tubuhnya. Melihat ke sekitar sambil mengusap-usap matanya.

“Kenapa kamarnya berantakan…“

Aku hanya menghela nafas panjang begitu mendengar ibu berkata demikian.

“Sudahlah, ayo kita mandi. Mandi bareng lebih cepet, lebih cepet selesai, lebih cepet kita checkout.“ ucapku seraya menarik tangan ibu ke kamar mandi.

“E-eeehhhhh…“

Kami berdua mandi bersama. Tidak ada dari kami yang mesum, meskipun hawa nafsu tetap ada di dalam diriku. Akan tetapi, sepertinya sudah kuhabiskan semalam suntuk kepada ibu semalam.

Kuperhatikan tubuh ibu, begitu mulus sekali. Umur sudah mau menginjak 50 tahun akan tetapi kulitnya masih kencang, keriput saja hanya sedikit yang terlihat di beberapa bagian.

Dan juga cantik sekali parasnya. Aku jadi semakin cinta kepada ibu, bahkan tak rela kalau sebenarnya ibu terikat perkawinan dengan ayah. Hanya aku saja yang boleh memilikinya.

Setengah jam kemudian, kami berdua selesai mandi. Lalu mengenakan kembali pakaian kami yang berserakan di lantai. Setelah merasa rapi dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal, kami keluar dari kamar, berjalan menuju lobi.

Tanganku merasa hampa, kulihat tangan ibu. Langsung kugenggam saja tangannya.

“Eh?“ ucap ibu, seraya menoleh tangannya lalu menoleh kepadaku.

Aku tidak mengatakan apa-apa, pandangan lurus ke depan. Akan tetapi aku yakin, wajah ibu pasti memerah karena aku menggenggam tangannya.

Begitu sudah sampai di lobi, saat hendak menghampiri wanita resepsionis. Kami terlambat beberapa menit, sehingga wanita resepsionis diajak berbicara terlebih dahulu oleh seorang paruh baya dan wanitanya.

Kuperhatikan lekat-lekat pria paruh baya itu. Rasanya ada sesuatu yang tidak asing darinya, rasanya seperti aku telah mengenal lama pria itu.

Dan benar saja, begitu ia sempat menoleh. Wajahnya langsung kukenali, ternyata ayahku sendiri. Bersama wanita yang tak kukenal, bahkan aku yakin usianya tidak jauh berbeda denganku.

Perasaan apa ini, aku merasa kesal. Aku merasa ingin membunuh ayahku sendiri karena melihatnya. Apa yang akan terjadi kalau ibu mengetahui bahwa pria yang sedang berbicara di resepsionis itu adalah suaminya sendiri.

“Lama banget ya itu orangnya.“ ucap ibu.

Langsung aku menoleh kepada ibu, membawanya ke titik buta yang tak dapat terlihat dari resepsionis, sehingga ayah tak dapat melihat kami berdua. Lalu aku mencium ibu tepat di bibir. Mengalihkan perhatiannya.

Tidak ada yang bergairah dari ciuman ini, hanya kedua bibir kami yang saling bertemu. Akan tetapi, rasanya ciuman ini jauh lebih hangat dari semua French kiss yang pernah kulakukan bersama ibu.

“Hmmmmm~“

Tidak akan kubiarkan ayah mendekati ibu. Apapun yang terjadi aku akan melindungi ibu dari pria hidung belang seperti dirinya. Aku tidak percaya bahwa aku adalah darah daging dari pria menjijikkan seperti itu.

“Aku mencintaimu ibu…“ ucapku.

“Ibu juga sayang… ibu juga…“

Langsung kupeluk ibu dan kuusap-usap rambutnya. Sambil terus kuperhatikan ayah yang kini tengah berjalan keluar hotel sembari bercengkrama bersama wanita yang tidak kukenal.

Sejak hari itu, aku menjadi tulang punggung keluarga seutuhnya. Aku jauh lebih pantas untuk ibu dibandingkan pria yang selingkuh darinya itu. Memang sudah sebaiknya ibu menceraikannya. Emma dan Adam pada awalnya tidak percaya, akan tetapi begitu kuyakinkan mereka berdua. Mereka berdua percaya.

Lalu terkait mereka berdua, begitu duduk di bangku SMA. Mereka menjadi jauh lebih akrab dari yang pernah kuketahui sebelumnya, meskipun mereka tidak tahu, akan tetapi aku tahu apa yang terjadi di antara mereka berdua.



*TAMAT*
 
Serta untuk cerita yang akan datang apa mau Adam sama Emma? (Kemungkinan di lapak sebelah karena Usia Karakter) atau Bikin cerita baru? berharap masih incest (Bisa PM atau Comment dibawah pengennya kaya gimana) :Peace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd