***
Pagi sekitar pukul sepuluh, Rani Asura mengunjungi Theo kembali. Kali ini Sang Maharani sendirilah yang bertugas memeriksa keadaan Theo karena Agnia telah memulai aktivitasnya untuk meracik obat.
Hanya memiliki waktu 4 hari sebelum luka di kaki Theo bertambah parah, Rani Asura mempercayakan perihal ini kepada Agnia. Meskipun rasanya berat sebelah, tapi hanya Theo yang memiliki kesempatan untuk hidup.
Rani Asura berjalan memasuki ruangan di mana Theo berada. Rupanya Sang Penyihir Putih sudah bangun, duduk di atas kasurnya dengan tatapan kosong. Mata biru si bengal memandang langit di luar jendela yang kala itu berawan. Sepertinya musim hujan akan tiba.
“Selamat pagi, Theo,” sapa Rani Asura.
Theo langsung menoleh ke arahnya. “Pagi, Tante Asura,” balasnya sembari tersenyum lemah.
Rani Asura sedikit tercengang melihatnya. Keadaan Theo sedikit berantakan dibandingkan dengan hari kemarin, lesu tak ada gairah. Namun, keadaan kamarnya lebih parah lagi. Wanita paruh baya itu melihat pecahan vas bunga berserakan di bawah jendela. Ia nyaris shock melihat pemandangan di ruangan Theo. Kelopak bunga mawar putih bertebaran di lantai.
“Theo, kenapa kamarmu berantakan begini?” Rani Asura bertanya sembari perlahan mendekatinya.
“Eh?” Theo mengerjap sebentar. Berusaha tenang. “Ehm .. itu ... semalam jendela kubiarkan terbuka, sih. Angin besar tiba-tiba masuk. Lalu vas bunga itu pun terhempas dan bunga mawarnya jadi jatuh,” paparnya, seraya menunjuk ke arah kepingan vas bunga.
“Begitukah?” Rani Asura sedikit bingung. Padahal, seingatnya tidak ada badai tadi malam meskipun hari ini agak mendung. “Ya sudah, nanti kupanggilkan penjaga untuk membersihkannya.” Rani Asura membuka mangkuk berisi bubur di tangannya. “Kau sarapan dulu, ya, Theo.”
Theo menggelengkan kepala. “Nanti saja, Tante, aku sudah kenyang. Baru saja aku menghabiskan buah-buahan dan sayuran yang diberikan Yami. Dan juga Agnia tadi malam membelikan aku bakso dan donat, hehehe.”
Rani Asura memperhatikan bungkusan bekas buah-buahan, bakso, dan donat yang tergeletak di meja sebelah Theo. Dan benar saja, semua isinya telah tandas.
Rani Asura menatap Theo dengan raut muka penuh rasa heran. Theo sedikit aneh hari ini.
“Baiklah kalau begitu.” Rani Asura meletakkan bungkusan yang dibawanya ke meja satu lagi. Memang ada dua meja yang mengapit kasur Theo, ia keluarkan semua isi bungkusan di dalamnya.
“Tante Asura, ada yang ingin kubicarakan padamu,” ujar Theo sembari menatap Rani Asura di sampingnya.
Sementara yang disebut namanya sedang sibuk dengan aktivitasnya sendiri. “Apa, Theo? Katakan saja,” sahutnya, ringan. Ternyata, Sang Maharani membawa obat luka bakar untuk Theo dari racikannya sendiri. Rani Asura menyimpannya ke dalam botol. Satu persatu dari tiga botol ja letakkan rapi di atas meja. Namun, ketika hendak meletakkan botol terlakhir …
“Aku … ingin mendonorkan jantungku untuk Ryan.”
PRANG!!!
Botol obat yang Rani Asura bawa terlepas dari genggaman tangan. Ia langsung menatap Theo dengan tubuh gemetaran. Bagai petir yang menyambar, Rani Asura tak bergeming. Seumur hidup, baru ini rasa kehilangan yang tinggal menunggu waktu begitu mendalam menerpa hatinya. Seseorang yang memiliki ambisi, pendirian, dan cita-cita besar seperti Theo benar-benar membuat Rani Asura terpukul. Sedari dulu, tak ada seorang pun yang bisa mengintervensi keputusan Theo.
Rani Asura sangat mengetahui hal ini. Pikirannya mulai nenerawang jauh, hingga sampai pada memori di mana pertemuan pertama Rani Asura dengan Theo. Pertemuan fenomenal saat Rani Asura menjabat sebagai seorang raja sekaligus ratu yang nama gelar abhisekanya ialah Bathari Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Dan tepat di tahun 2023 Saka, atau 2101 Masehi, di Petirtaan Narayana, peristiwa yang menggemparkan dunia pun terjadi.
***
Aku bukannya putus asa atau takut menghadapi kelamnya dunia.
Aku hanya meragukan kemampuanku tuk membuat seulas senyum manismu memantul kembali di kornea mataku.
Mungkin hanya kau yang paham maksudku untuk melakukan hal tergila dalam hidupku ini.
Dan tentu aku takkan pernah menyesalinya.
***
PRANG!!!
Sebuah tabung reaksi lepas dari genggaman tangan Agnia. Ia terkejut bukan main. Masalahnya, Agnua yakin kalau tadi ia sangat berhati-hati mengenggam tabung reaksi itu.
Baru saja dua jam di laboratorium, Agnia telah berbuat gaduh.
Agnia menggerutu kesal, padahal ini masih pagi tapi ia sudah hilang konsentrasi. Ia pun segera membereskan pecahan tabung reaksi tersebut dan mengambilnya satu persatu secara tergesa-gesa.
“Aduh!” pekik Agnia.
Ternyata pecahan tabung yang Agnua ambil menggores jari telunjuknya. Dengan cekatan Agnia mengeluarkan sihir.
Masih pagi juga tapi Agnua sudah mendapatkan hal buruk bertubi-tubi. Di sisi lain, perasaannya tak enak pula, layaknya ada sesuatu hal buruk akan terjadi. Lantas terbersit titik gelap dalam benaknya. “Mungkinkah, Ryan …?!”
***
Pecahan botol berserakan ke lantai, mengusik ruangan yang diselimuti atmosfir suram.
Bagaimana tidak? Rani Asura teramat kaget dengan permohonan Theo yang tiba-tiba, dan alasan Theo memutuskan itu? Ratu Asura perlu tahu dulu.
Seperti abu di atas tanggul.
Dari matanya saja, Rani Asura bisa menebak bahwa Theo sedang dalam keadaan mencekam. Sang Rani menyelam jauh ke dalam mata biru yang begitu pekat sendu itu. Tak ada lagi gairah di dalamnya, yang tersisa hanya puing-puing durja yang terpantul dari mata azure nan cerahnya.
Namun, Rani Asura tidaklah gamang, dia tetap menepis buruk sangka yang terukir ketika dilihatnya binar-binar luka yang menjerat Theo. Rani Asura hanya bisa tertawa getir. “Hahaha. Apa yang barusan kau katakan, Theo? Maksudmu kau mengkhawatirkan Ryan, kan? Kau tak usah cemas, dia sedang dalam perawatan intensif aku dan Ravalda. Hahhhh … Theo, aku pikir itu terlalu berlebihan.” Sang Maharani mencoba memaparkan fakta yang ada, memandangi lagi mata Theo ***panya Theo sama sekali tak bergeming.
Setetes peluh meluncur dari pelipis Rani Asura .Apakah kebohongannya terbaca oleh Theo?
Theo terkekeh-kekeh seperti sehabis menonton panggung lawak yang sering ada di festival Kerajaan Majapahit.
Bukan rasa lucu yang Rani Asura dapat. Malah ketakutannya makin mencuat kala melihat Theo terpingkal hebat.
"Tante, kau tak usah berakting layaknya sedang pentas di sebuah drama.” Alis Theo menukik tajam. Air mukanya berubah menjadi serius. “Aku tahu keadaan Ryan sedang di antara hidup dan mati.”
Tak lagi bisa disangkal, pikiran Rani Asura langsung porak poranda. Ia mengerti, bahwa lambat laun Theo akan mengetahui perihal yang memang sengaja dipendam untuknya.
Lantas, Rani Asura mencoba berkelit. Mana sudi ia mengizinkan Theo mendonorkan jantung untuk Ryan. Ya, pernah sepintas Rani Asura berpikir hal ini mungkin akan terjadi, tapi ia sama sekali tak menyangka hal ini benar-benar menjadi kenyataan.
The Last Amurwabhumi tak pantas untuk diberi kesempatan hidup, itu pendapat Rani Asura yang mewakili mayoritas rakyat Kerajaan Majapahit. Sang pengkhianat yang bergelimang dosa, membuat repot semua orang dengan tindak-tanduknya. Bukan maksud Rani Asura untuk tidak berperasaan, ia hanya mencoba menggunakan logika berpikir. Semua orang pasti setuju dengan pendapatnya tersebut.
Sedangkan Theo lebih pantas untuk mendapat kesempatan untuk hidup dibandingkan dengan keturunan terakhir trah Amurwabhumi.
Lalu, mengapa Theo begitu keras kepala hingga melakukan hal yang menurutnya gila ini?
Mengapa bocah baru gede itu rela menderita untuk mempertahankan seonggok daging pongah yang mengkhianatinya?
“Theo, tidakkah kau pikir kau sudah tidak waras? Aku tahu Ryan adalah teman baikmu. Aku dan Shin pernah mengalami hal yang sama, dan untuk itu kami tidak keras kepala.” Rani Asura merengkuh kedua pundak Theo. “Theo, kau tak bisa menegakkan benang yang sudah basah.”
Theo memandang Rani Asura dengan menyala-nyala, ia menghela nafas panjang. “Ryan tidak seperti Paman Nicolas. Aku tahu ada sisi lain dari Ryan yang tak dapat ditembus oleh kegelapan pikirannya. Kau tahu kenapa dia sampai koma seperti itu sekarang? Itu karena dia menyelamatkanku. Lagipula hal ini bukanlah hal mustahil yang tidak dapat kau lakukan sebagai seorang penyihir medis tangguh, Yang Mulia.”
Rani Asura terpaku, mulutnya membisu. Anak ini memang lain dari yang lain. Pola pikirnya sulit ditebak. Kadang sulit dterka oleh akal sehat lantaran saking keras kepala pola pikirnya tersebut. Maksud hati Ratu Asura ingin mempertahankan apa yang layak Theo dapatkan.
“Theo, coba sekali waktu saja kau pikirkan dirimu. Berhenti memikirkan orang lain!” Rani Asura mulai kehilangan kesabaran.
Theo semakin murka. “Mana bisa aku begitu, Tante?! Ryan bukan orang lain, tapi sahabatku! SAHABATKU!” alih-alih Theo menjadi naik pitam, ia menatap tajam Rani Asura. Perlahan ekspresinya melunak, namun masih menyimpan kemarahan yang disembunyikan. “Aku … sejak kecil tak ada yang memperhatikanku … aku hidup sendiri tanpa laki-laki dan wanita yang seharusnya aku panggil ayah dan ibu. Semua orang di Majapahit menjauhiku karena naga sialan yang tersegel dalam perutku ini. Semuanya membenciku …” Theo memandang perutnya sejenak. Seekor Beast Divine Spirit, yang sedang terlelap, tersegel di sana. “Tak ada yang tahu. Tak ada yang bisa mengerti bahwa hari-hari itu bagai neraka bagiku. Tapi, mereka hadir ke dalam hidupku yang kala itu tak terperi bengisnya. Mayor Tristan, Kapten Adam, Agnia, dan Ryan. Merekalah yang pertama kali menyirami hari-hariku yang layu lagi suram.”
Rani Asura tercenung. Ia mafhum bahwa hari-hari penuh penderitaan itu tak akan bisa dilupakan oleh Theo. Wanita itu tak akan pernah mencoba untuk membayangkannya, karena duka nestapa berbalut kesedihan terlalu menyakitkan untuk dibayangkan.
“Setelah itu aku memutuskan … orang-orang yang aku cintai akan kulindungi dengan segenap nyawaku. Karena itu adalah caraku sebagai seorang penyihir untuk mempertahankan hidup. Aku hidup dengan melindungi orang-orang yang berharga bagiku.”
“Theo ….” Rani Asura mulai berkaca-kaca.
Gigi Theo bergemeretuk kuat. Ia mengatupkan mata rapat-rapat ingin menahan tangis yang nyaris tumpah mengalir.
“Theo, Ryan dalam keadaan seperti itu bukan karena salahmu.”
Theo langsung memalingkan wajah ke arah Rani Asura. “Bukan salahku? BUKAN SALAHKU, KATAMU?! Kau tidak tahu apa-"Theo menghentikan lontaran amarahnya. Ia kembali tertunduk, Theo tahu tidak seharusnya ia membentak Rani Asura yang belum mengerti kenapa dia begitu bersikeras untuk menyelamatkan Ryan. “Aku tahu semua orang tak mengerti kenapa aku mati-matian ingin membawa Ryan pulang ke Majapahit.” Lantas, terbersit sesuatu dalam pikiran Theo yang sebenarnya telah lama ingin ia sampaikan pada Rani Asura. “Yang Mulia, bolehkah aku menceritakan sebuah kisah padamu?”
Rani Asura terlihat berpikir sejenak, entah apa yang ada di benaknya, tapi akhirnya ia pun mengangguk.
Theo pun memulai ceritanya. “Dahulu kala, ada seorang anak yang bercita-cita untuk menjadi penyihir. Dia bukan anak yang istimewa, malah terlihat tolol dibandingkan dengan teman-temannya.”
Rani Asura mengambil kursi dan duduk di atasnya, menyimak sebuah kisah yang sedang diceritakan oleh Theo.
“Tapi walaupun begitu, dengan segenap keyakinannya, dia lulus dalam ujian dan berhasil masuk ke tim yang dipimpin oleh penyihir hebat. Dalam tes berikutnya, dia yang paling sering masuk dalam jebakan yang dibuat oleh penyihir hebat itu.” Theo tersenyum, ada sesuatu hal yang dia ingat yang menurutnya sulit untuk dilupakan waktu.
Rani Asura menginterupsi. “Theo, apakah kau sedang menceritakan dirimu sendiri?”
Theo tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala. “Bukan. Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai, dong.”
"Baiklah."
“Kala itu, dia diejek habis-habisan oleh teman perempuan yang satu tim dengannya. Mereka pun akhirnya saling ejek satu sama lain.”
Entah mengapa, Rani Asura merasa familiar akan cerita yang Theo utarakan ini, tapi ia biarkan dulu Theo menyelesaikan ceritanya.
“Sebenarmya anak tersebut jatuh cinta pada perempuan itu, oleh karenanya dia sering menggoda kawan se-timnya yang cantik lagi pintar tersebut. Sayangnya, si temannya itu sama sekali tidak mengetahui perasaan dia yang sebenarnya. Hingga suatu saat … suatu saat perempuan itu kehilangan adik semata wayangnya. Kala itu anak tersebut telah beranjak dewasa bersama rekan-rekan timnya. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai pemuda. Pemuda itu, dia berusaha menghibur gadis yang dicintainya dengan segala lelucon konyolnya. Tapi tetap saja gadis itu tidak mempedulikannya.”
Ranu Asura tercekat, mungkinkah Theo menceritakan …?!
“Theo, kau? Maksudmu, itu ….”
“Sssttt! Tante, dengarkan ceritaku dulu.” Theo tersenyum simpul, kemudian ia melanjutkan ceritanya lagi. “Ya, gadis itu begitu terpukul. Semenjak kejadian itu, dia pun bertekad untuk menjadi seorang penyihir yang tangguh.”
Rani Asura terkesiap, dugaannya benar. Sekali lagi, ia biarkan dirinya hanyut mendengarkan cerita Theo. Rasa penasaran masih menyelimuti pikirannya.
“Karena setelah kesedihan pastilah ada kebahagiaan. Perempuan itu bertemu dengan seorang pemuda tampan. Ketampanannya melebihi teman se-timnya. Lantas dia jatuh cinta pada pemuda tampan itu, yang kutahu dia bernama Hayama.” Theo memandang semu mata Rani Asura.
Sementara Rani Asura merasa tenggorokannya mongering seketika. Masa-masa itu adalah masa tersulit dalam hidupnya.
“Ya, kami berpacaran. Tapi itu tidaklah lama, karena-”
Theo memotong kalimat Ratu Asura, “Karena Paman Hayama tewas saat perang, dan kau menjadi sedih berkepanjangan karenanya. Benar, kan, Tante?”
Rani Asura terpekur. “Bagaimana kau bisa tahu, Theo?”
“Aku pernah tak sengaja membaca buku harian Paman Shin, namun ketahuan olehnya dan dia langsung membakar buku hariannya itu, tak tahu mengapa.”
“Theo, jadi kau …?!” Rani Asura tak bisa berkata apa-apa.
Yah, Hayama Wisanggeni adalah mantan kekasih Rani Asura semasa muda. Hayama tewas mengenaskan di medan peperangan beberapa tahun silam. Walaupun bergelar raja sekaligus ratu, namun Nimas Ayu Asura tetaplah seorang wanita. Ia juga memiliki sisi feminin.
Terlepas dari kedua rekannya sekaligus seorang Paladin -Nicolas Sanjaya dan Basudewa Shin- hari-hari Rani Asura begitu suram. Hanya dihabiskan untuk meratap dan menangis. Luka di hatinya tak kunjung sembuh.
Dari cerita Theo, Rani Asura tak menyangka jika seorang Shin yang keras kepala … pria itu …?!
ARGH!
Ketika Rani Asura sedang menyelam ke dalam kenangan, tiba-tiba Theo kembali berkata, “Ya, Tante Asura. Aku sedang menceritakan masa lalumu yang kau bingungkan. Ekspresi apa yang harus kau pasang ketika memutarnya ulang di dalam pikiranmu karena kau belum tahu sebenarnya siapa yang benar-benar kau cintai dalam hidupmu.”
Theo memalingkan wajahnya ke depan, memandang bunga daffodil dari Agnia, yang dulu sering dibawakannya untuk Ryan ketika dirawat di rumah sakit. Theo tidak tahu maksud Agnia menaruh bunga itu di antara bunga lainnya, di ruangannya. Dan tentulah Theo menginterpretasikannya secara berbeda. Bukan sebagai perasaan yang tulus dari seorang anak manusia yang mengharapkan balasan cinta.
Padahal bunga daffodil memiliki banyak arti selain arti yang indah-indah itu.
Theo sadar Agnia salah menaruh bunga. Menghirup udara dan menghembuskannya perlahan, Theo kembali melanjutkan ceritanya, “Pada akhirnya aku bisa mengetahui masa lalu Paman Shin. Terutama tentang perasaannya padamu.”
Rani Asura menelan ludahnya sendiri, rasa-rasanya dia sama sekali tak enak hati untuk mengulang masa lalu yang baginya cukup suram. Ada perasaan bersalah yang masih terkurung dalam kalbunya yang tak ia singkap kepada siapa pun.
Rani Asura bukannya tak mengetahui perasaan Shin yang sebenarnya padanya, hanya saja Sang God of War tak pernah serius dengannya. Yang pria itu lakukan di depannya, hanyalah melakukan lelucon-lelucon mesum. Praktis membuat Ranj Asura menghajarnya hingga babak belur.
Lantas untuk apa Theo menceritakan dirinya dengan Shin?
“Kalau begitu, kau sudah tahu kan siapa yang aku maksud? Lalu apa kau tahu, Tante? Waktu itu Paman Shin sangat menyesalinya …” Theo menatap Rani Asura dengan lembut. “Dia menyesal karena tidak bisa menyelamatkan keluargamu dan Paman Hayama, padahal Paman Shin ada di tempat kejadian saat itu.”
Rani Asura menggigit bibirnya sendiri. Kenapa Shin berpikir seperti itu?
Padahal yang menyesal adalah aku karena tidak bisa menyembuhkan mereka berdua, ungkap Ratu Asura dalam hatinya.
“Tante, kau dan Paman ashin itu hampir sama dengan Agnia dan aku.”
Rani Asura sekali lagi terperanjat. Sesuatu hal secepat kilat menyambar pikirannya. Ia ingat kalau Theo mempunyai perasaan melebihi kata teman pada keponakannya, Agnia Samara Tunggadewi.
“Syukurlah, Ryan. Syukurlah kau baik-baik saja,” ucap Agnia sembari memeluk Ryan yang telah siuman dari tidurnya akibat serangan Kriss.
Dan saat itu Theo melihatnya, melihat gadis kecil yang dicintainya memeluk sahabatnya sendiri. Theo hanya bisa tersenyum getir dan segera meninggalkan ruangan.
Rani Asura tidaklah keliru waktu itu. Ia tahu Theo memendam perasaannya pada Agnia. Namun, gadis itu acuh tak acuh terhadapnya.
Dan Theo? Nihil, tak punya usaha apa-apa untuk menyampaikan perasaannya. Ia lebih banyak berbuat ketimbang mengutarakannya dengan kata-kata. Persis seperti Shin yang kerap melakukan kelakar-kelakar konyol di depan Rani Asura.
Rani Asura menyadari apa yang Theo maksud dengan menceritakan semua hal ini. Ia tak tahu mengapa ia bisa menerka bahwa akhir dari semuanya akan terasa begitu menyakitkan.
“Tante, Pamen Shin tidak pernah mengatakan perasaannya terhadapmu dengan serius, kan? Sebagai seorang lelaki, tentulah dia mempunyai keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatinya untuk seorang wanita yang dia puja. Tapi, kau tahu mengapa dia tak pernah melakukannya?” tanya Theo, misterius.
Rani Asura menatap Theo dengan saksama, sekujur tubuhnya bertambah dingin, ia menggelengkan kepala pelan.
"Karena dia gagal menyelamatkan Paman Hayama yang pada perang itu satu regu dengannya,” jawab Theo.
Rani Asura terperangah. Hal ini masih tak masuk akal baginya.
Kenapa Shin sampai nekad mengambil keputusan seperti itu? Batin Ratu Asura resah.
“Tante, saat itu tempat persembunyian mereka saling berdekatan. Paman Shin mengetahui ada penyihir musuh yang menyerang Paman Hayama dari arah belakang, hendak memperingatkan. Tapi … kesempatan itu raib begitu saja. Aku masih ingat kata-kata Komandan di buku hariannya:
pemandangan selanjutnya tak sanggup untuk kulihat. Kau meratap hebat kala Paman Hqyama meregang nyawa dan sihirmu tak mampu untuk menghidupkannya. Aku mungkin seharusnya … senang Hayama telah tewas, karena aku memiliki kesempatan untuk memilikimu. Tapi entah mengapa hal tersebut malah membuat hatiku makin tertusuk dari dalam, tertohok hingga otakku ingin kukeluarkan dan kubelah saja. Agar kejadian ini tak terngiang lagi dalam pikiranku. Namun rupanya dia terus menghantui, tak mau pergi.”
Rani Asura menggerang seketika. Sampai seperti itukah? Sampai sedalam itukah Shin mencintainya? Rani Asura tak pernah memandangnya … tak pernah mempedulikannya. Karena ia tak tahu apa-apa saja yang Shin pendam dalam otaknya, yang Rani Asura pikir telah membusuk karena isinya hanyalah hal-hal nista.
Shin selalu tertawa dalam sedihnya, tersenyum di balik penderitaannya. Memang dari sewaktu kecil hingga remaja mereka sering bersama-sama.
Dan tatkala kejadian-kejadian penuh lara itu datang, Rani Asura memutuskan untuk lari dari kenyataan. Ia terperangkap dalam kabungnya selama bertahun-tahun dan pergi mengasingkan diri dari Kerajaan Majapahit. Mereka rupanya belum saling mengerti satu sama lain.
“Aku hafal dengan kalimat-kalimat itu. Karena aku begitu tersentuh ketika membacanya. Maksudku … aku tak pernah menyangka Komandan memiliki perasaan sedalam itu pada seorang wanita. Lantaran aku sering melihatnya keluar-masuk pub-pub mesum, bermain dengan para wanita di sana, atau menulis novel dengan bahasa-bahasa vulgar khasnya, hehehe.” Theo tertawa kecil. Begitulah, Theo menyangka bahwa Shin tidak pernah jatuh cinta pada satu orang wanita. Shin memanglah pecinta wanita. Tapi untuk hal yang lebih dalam, dari mukanya saja tidak kelihatan bahwa ia pernah melabuhkan satu cintanya kepada satu wanita.
Kedua mata Rani Asura mulai berair.
Dengan tenang, Theo menghela nafas sebentar.
Pandangan Theo begitu sendu, menatap Rani Asura dengan sorot tak terbaca. “Paman Shin selalu berpikir bahwa hidupnya tidak pernah berhasil. Dia gagal untuk menyelamatkan Bhre Wijaya III ketika maut menjeratnya. Gagal menyelamatkan anak dari sahabatnya, Bhre Wijaya IV, yang waktu itu tewas karena menyegel Naga Besukih ke dalam tubuhku. Lalu dia gagal membawa salah satu rekan Paladin kalian, Paman Nicolas untuk kembali ke Kerajaan Majapahit. Dan yang terakhir … Paman Shin gagal untuk memenangkan hatimu. Dia membawa semua penyesalan itu hingga akhir hayatnya, Tante Asura.”
Rani Asura menghadap bumi. Ia tidak lagi menatap Theo yang sedang memandangnya dengan senyuman getir penuh haru.
“Namun aku tahu, Tante. Di saat-saat terakhirnya dia tersenyum, karena dia tahu akan ada generasi yang melanjutkan perjuangan-perjuangannya. Aku tahu yang diharapkannya adalah aku. Tapi dengan tubuh seperti ini … aku tak akan mampu untuk melanjutkan perjuangan itu.”
Rani Asura langsung menyeka air matanya. “Tidak, Theol Agnia pasti bisa menyembuhkanmu! Dia sedang berusaha menyembuh-" hardikan Rani Asura yang langsung terhenti ketika dilihatnya Theo menatapnya dengan tatapan pedih. “Ka-kau kenapa, Theo?”
Theo tersenyum simpul. “Begitulah kesudahannya, Tante. Mungkin aku bisa saja sembuh seperti sedia kala. Menjadi penerusmu yang paling sakti mandraguna di tahta dunia sihir ini. Tapi aku tidak mau egois. Menurutmu, bagaimana dengan Agnia? Dengan memutuskan untuk merelakan Ryan mati, baginya itu sangatlah berat. Aku tidak ingin peristiwa yang dialami Tante terulang pada Agnia.”
Untuk kesekian kalinya, Rani Asura membeku, lama-lama ia makin mengerti apa yang Theo inginkan.
“Aku tidak ingin mempunyai penyesalan yang sama seperti Paman Shin. Kau pasti ingat, Tante, jikalau kalian berpisah begitu lama. Karena kalian berdua lari dari kenyataan yang ada dan enggan menghadapinya bersama-sama. Sedangkan aku tidak mau akhir yang memilukan seperti itu.”
“Theo, Agnia dan aku tidaklah sama! Kalau kau mati, dia akan sangat merasa kehilangan! Agnia pasti akan sedih berkepanjangan dan menangis-”
“Agnia tidak akan menangis meratapi kematianku dibandingkan jika Ryan yang meninggalkannya. Dia … tidak mungkin bersedih sampai seperti itu,” potong Theo tenang.
Ratu Asura kembali tercenung. Kenangan akan masa lalu menghampiri Ratu Asura kembali. Mengetuk pintu pikirannya perlahan-membuka memori saat Shin berpamitan dengannya pergi ke Kerajaan Kediri.
“Shin, kalau kau mati … aku ….”
“Eh? Apakah kau akan menangis untukku? Hahaha, terima kasih Asura. Aku merasa tersanjung.”
“Bodoh!”
“Tapi tidak akan seperti ketika Hayama meninggal, kan?”
“Huh?”
“Hahaha, bercanda! Aku bercanda, Asura!”
Sekilas percakapan terakhir Rani Asura dengan Shin.
Waktu itu, Shin seperti biasanya berkelakar sebagaimana dirinya. Santai dan tak peduli alam sekitar. Dan seperti biasa, Ratu Asura tidak begitu menanggapinya dengan serius. Namun, kali ini entah mengapa hatinya remuk redam. Ia merasa ditampar bolak-balik di kedua pipinya.
Ya, Ratu Asura memang sangat bersedih saat ia tahu Shin tewas di tangan Bathory, salah satu ras vampir yang tergabung ke dalam tubuh Ranggalawe.
Tapi … Ratu Asura baru menyadari, ratapannya ketika Shin dan Hayama tewas adalah berbeda jauh adanya.
Lalu anak ini, si Theo ini … hanya demi gadis yang yang dicintainya, ia rela mengorbankan nyawanya sendiri.
“Aku tidak ingin memiliki penyesalan yang sama.”
Kalimat Theo itu berulang kali terngiang di otak Rani Asura. Kali ini Rani Asura berada dalam dua pilihan sulit.
Membiarkan Theo mati dengan mencuatnya kemarahan seluruh penduduk Kerajaan Majapahit, karena jika dipikir hal ini tidaklah masuk akal bagi seorang pengkhianat tiada tanding untuk memiliki kesempatan hidup yang mungkin tidaklah adil bagi seorang pahlawan besar seperti Theo.
Rakai Panangkaran IV -raja dari Kerajaan Medang Kamulan- saja menginginkan Ryan dihukum mati lantaran pernah menculik Rakai Teguh Dharmawangsa, saudara angkatnya, sekaligus wadah seekor Beast Divine Spirit -Hydra- yang nyaris terbunuh di tangan Ranggalawe.
Dan jika Ryan dibiarkan mati, itu akan menjadi hal yang berat bagi Theo yang telah Ratu Asura anggap seperti sambungan nafasnya sendiri untuk tetap berdiri tegak memimpin Kerajaan Majapahit.
Rani Aaura tak rela jika Theo mengalami penyesalan seumur hidup yang sama seperti Shin. Bahkan ketika wanita paruh baya itu mengetahui persepsi Shin akan alur hidupnya sendiri, Rani Asura menjadi terenyuh yang teramat sangat. Karena sesungguhnya, ada penyesalan yang Rani Asura kubur dalam-dalam di memorinya.
Rani Asura tidak perlu lagi menerjemahkan kalimat-kalimat Theo ke dalam kalimat yang lebih sederhana. Karena dari air mukanya, dapat Rani Asura terka dengan jelas, bahwasanya Theo tidak pernah main-main dengan keputusannya. Bukan maksud juga untuk berkompilasi, Rani Asura tahu semuanya telah dipikir oleh Theo dengan akal sehatnya sendiri.
Lantas, benarkah akan seperti itu jadinya kelak?
Benarkah Agnia akan tersenyum lebar kala dia mengetahui Ryan memiliki kesempatan hidup?
Dan Theo? Tetes air mata tanpa sadar mengalir di kedua pipi Rani Asura yang halus. Pun, Theo telah menggenggam kedua tangannya dengan lembut.
“Kalau aku mati, naga di dalam tubuhku juga akan mati. Otomatis perdamaian dunia akan semakin nyata adanya. Dunia akan kembali damai karena Ranggalawe tidak berhasil melaksanakan misinya. Ini kesempatan yang baik, Tante. Kematianku akan membawa perdamaian untuk semuanya."
Rani Asura masih bimbang untuk memutuskan perihal tersulit yang dihadapinya selama dia menjadi seorang maharani.
Tapi bagaimanapun juga, Theo tidak akan berhenti memohon begitu saja. “Yang Mulia Bhatari Wijaya Nimas Ayu Asura, tolong periksa jantung saya apakah cocok untuk Ryan atau tidak.” Sebuah kata langka terlontar begitu saja dari mulut Theo.
Rani Asura tahu betul, belum pernah Theo se-formal itu memanggilnya. Ia sungguh mengerti apa maksudnya, Theo menginginkannya untuk segera menentukan sebuah pilihan karena ia adalah seorang maharani.
Selama ini, Theo memanggilnya tante atau panggilan kurang ajar lainnya, karena ada ikatan yang mereka miliki, tak akan tergantikan.
Karenanya, Rani Asura membiarkan Theo memanggilnya seperti itu. Dan kali ini, Theo memohon kepadanya sebagai seorang penyihir yang ingin mengorbankan dirinya untuk tanah tumpah darahnya. Untuk kedamaian dunia yang berjuta-juta orang menginginkannya.
Ya, semuanya makin masuk akal.
Tapi, ya ampun! Mengapa anak ini yang lagi-lagi harus menjadi tumbal kebengisan dunia penyihir?
Seorang anak yang telah susah payah berjuang agar dirinya bisa diterima di tengah-tengah rakyat Kerajaan Majapahit karena ia bukanlah seorang anak normal seperti yang lainnya.
Seorang anak yang mati-matian ingin membawa sahabat karibnya untuk pulang kembali ke kerajaan tercinta.
Seorang anak yang begitu percaya diri bahwa kelak dia mampu untuk meraih gelar Bhre Wijaya selanjutnya, gelar yang pastinya diidam-idamkan olehnya.
Lalu apakah perjuangannya akan sia-sia begitu saja?
Dengan kalimat apalagi Rani Asura harus berkelit
Sejurus, Ratu Asura menatap lekat-lekat mata azure yang berpijar membara menunjukkan bahwa keputusannya sudah bulat dan ia butuh ketegasan dari Rani Asura.
Sedetik, Rani Asura mengatupkan matanya rapat-rapat.
“Seorang lelaki sejati tidak pernah menarik kata-katanya.”
Theodore Wirabhumi … siapa yang bisa bertahan dengan otak batok kelapanya yang kerasnya tak terperi?
Semua orang selalu angkat tangan ketika kata-kata itu terlontar dari Si Penyihir Putih. Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa Theo dijuluki Penyihir Putih?
Itu karena …
“Saya tidak akan mati sia-sia, Rani Asura. Semua orang akan hidup dalam kedamaian, Ryan berhasil saya selamatkan. Dan Agnia akan tersenyum seperti sedia kala. Dan Yang Mulia Maharani tidak perlu repot lagi memarahi saya karena sikap saya yang terkadang kurang ajar terhadap Anda.”
Pertahanannya tumbang, Ranj Asura langsung memeluk Theo erat-erat. Wanita itu terisak-isak. Matanya terpejam, namun begitu banyak air yang mengalir dari sana.
Theo tersenyum getir, semoga keputusannya diterima oleh Rani Asura. Ia pun membalas pelukan Ratu Asura, tapi malah menambah ratapan Sang Rani. Bahunya sampai naik-turun.
“Maafkan aku … maafkan aku, Theo ….” Ranj Asura berkata lirih sembari tersedu-sedu.
“Ya. Kau tidak akan salah memilih. Trah Amurwabhumi adalah trah hebat, kau pasti tidak akan menyesal mempertahankannya.”
Theo melihat lurus ke masa depan. Mungkin masa depan adalah hal yang tidak tembus pandang dari matanya karena dia tidak bisa menebak apa yang akan terjadi di sana. Theo berpikir kalau Ryan hidup pastilah ia akan menikah dengan Agnia. Lantas, trah Amurwabhumi yang baru akan terbentuk.
Betapa Theo ingin melihat langsung hal tersebut terjadi.
“Di mata Agnia, aku memang tidak sebanding dengan Ryan. Tapi, Tante, aku ingin mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada Agnia. Selama ini aku selalu besar mulut, tapi tidak pernah berhasil membuktikan kata-kataku. Karenanya, aku harus menepati janjiku dulu. Yah, meskipun dia tidak akan pernah membalasnya, sih.”
Jadi karena itu? Karena Theodore Wirabhumi adalah orang yang selalu menepati janjinya.
Mati pun dia rela.
Rani Asura sudah cukup tahu karena Theo pernah membuktikannya ketika bertarung dengannya dulu.
Sembari mengusap-usap punggung Ranj Asura, Theo memintanya untuk memeriksa ulang kasus pembantaian trah Amurwabhumi dulu. Hal itu bisa menjadi bukti mengapa trah Amurwabhumi pantas untuk dipertahankan.
Theo berharap Ratu Asura dapat menyelesaikan perkara rumit tersebut.
Rani Asura mengangguk pelan, semuanya lekas ia runtut dan pahami reka kejadiannya. Kalau memang begitu adanya, Rani Asura akan melindungi Ryan dengan kekuatan politiknya.
Ya, mungkin saja sehabis ini Ryan akan menjadi mangsa musuh-musuhnya terdahulu.
Theo menitipkan semuanya pada Rani Asura. Ia meminta agar Sang Rani menjaga jantungnya yang nanti akan tertanam di tubuh Ryan. Karena dengan itu Theo bisa menjaga dua orang yang sangat berarti baginya sekaligus.
“Mereka berdua pasti akan bahagia. Tenang saja, Tante. Semua ini akan cepat berlalu, seperti pasir yang bertebaran ditiup angin. Semuanya akan menghilang begitu saja. Keputusanmu tidaklah salah, Tante.”
Rani Asura lantas memanggil Ravalda yang kebetulan melintas di depan koridor ruangan Theo.
Sembari menyeka air matanya, Rani Asura melenggang ke arah Ravalda. Ia meminta Ravalda untuk memeriksa jantung Theo apakah cocok dengan Ryan.
Ravalda jelas saja terkesiap dan hendak berargumen. Sontak Rani Asura langsung mengiterupsi dengan lontaran khasnya yang tegas, tak ingin mendapatkan bantahan atas keputusannya. Ravalda pun langsung menuruti.
Dalam hati sebenarnya Rani Asura berdoa, semoga saja jantung Theo tidak cocok ditransplan untuk Ryan. Dalam hati Rani Asura bergumam pula, bahwa perihal ini tidak akan lipur begitu saja dari memorinya. Karena Theo sangatlah nirmala, ia begitu mirip dengan mendiang ayahnya, Bhre Wijaya IV. Perjuangan yang sama, akhir cerita cinta yang sama.
Rani Asura memandang ke arah luar jendela di koridor utama. Hujan rintik-rintik membasahi bumi, segala kuntum mengatup melindungi diri dari terpaan angin. Daun-daun layu meranggas meninggalkan rantingnya. Dan semua persis seperti waktu terakhir kali Rani Asura menunggu kabar dari Shin sembari memandang derasnya hujan yang tumpah membasahi desa yang dipimpinnya.
“Kau tidak tahu, Shin. Waktu itu … waktu itu aku bersedia menjadi seorang teman hidupmu. Tapi kau malah pergi dan tak pernah kembali,” ungkap Rani Asura lirih.
Dan itu adalah sebuah penyesalan yang Rani Asura sembunyikan, menimbulkan luka yang cukup dalam di hatinya.