'Ya Tuhan! Kenapa bisa sampai begini? Aku tak merencanakan akan sejauh ini.' aku terus membatin dalam penyesalan. Meski begitu aku juga sangat sadar, aku juga menikmati apa yang kini sedang terjadi.
Aku bodoh. Dari awal aku tahu hal ini kemungkinan besar akan terjadi. Aku terlalu percaya diri, bahwa aku pasti bisa menghentikan sebelum terlampau jauh.
'Belum terlambat!' nuraniku berteriak. 'Aku masih bisa menghentikan ini!'
Aku tahu itu, tapi tubuhku berkata lain. Alih-alih malah menikmati semuanya.
"Uuhhh," aku tak mampu menahan lenguhan.
"U-udah, Git," akhirnya aku meminta kegilaan ini dihentikan. Tapi itu hanya kata-kata di bibir saja, tanpa usaha untuk benar-benar menghentikan.
Masih berbaring di atas sofa dengan kedua kaki menjuntai, aku memandangi pemuda yang berlutut di dekatku ini. Aku hanya kuasa menyaksikan tatkala lidah, bibir, dan mulutnya bermain dengan payudaraku, sedang jemarinya berputar di putingku yang bebas.
Sigit, oh Sigit. Betapa hubungan kita meloncat begitu jauh. Belumlah berselang satu bulan sejak aku menerimamu sebagai kekasih, namun kini kita sudah berani melampaui batas.
'Bukan yang pertama bukan?' batinku mengingatkan.
Ya. Memang bukan yang pertama. Aku belum lupa, mirip seperti inilah aku mengawali hubungan kekasih dengan Zyan.
Zyan dan Sigit. Mengapa kedua hubungan cintaku selalu di warnai birahi seperti ini? Apa memamg seperti ini yang seharusnya? Apa pasangan lain pun sama.
Tidak. Ini salah. Bukan seperti ini yang diajarkan padaku.
Tiba-tiba Sigit menghentikan aksinya dan aku tersentak saat siksaan geli nan nikmat yang menghantamku menghilang. Seketika kelegaan menghampiri, berseteru dengan rasa kosong yang berharap kenikmatan itu terus kurasakan.
Sigit tersenyum, sedang aku hanya mampu memandang wajahnya. Cowokku ini kemudian mengulurkan tangan dan aku menerima dia yang membantuku kembali duduk.
'Sudah selesaikah?' aku kembali membatin. Sembari bertanya, ingatanku mengawan pada awal semua ini.
***
Uhuy. Sebentar lagi semester genal tahun ajaran pertamaku akan dimulai. Aku boleh dong berbangga diri. Aku berhasil melewati enam bulanku sebagai mahasiswi baru dengan nilai yang cukup baik.
Bukan cuma itu yang membuatku senang. Dalam hitungan bulan, hari kelahiranku semakin dekat. Itu artinya, aku Alexandria akan berusia 18 tahun. Aku bukan lagi gadis ingusan, semakin mematang diri menjadi seorang wanita.
Sayang, kebahagianku terasa tak lengkap. Semua gara-gara satu nama, Zyan.
Jengkel nan kesal. Itulah yang kurasakan memikirkan pacarku itu. Aku terus berpikir dia semakin jauh dan terus menjauh, merenggangkan hubungan kami.
Sebenarnya aku sudah merasakan ini sejak lama. Bahkan sebelum kami sama-sama berhasil lulus SMU. Tapi aku pribadi terus berusaha berpikir positif.
'Zyan. Kamu di mana? Kenapa susah sekali menghubungi kamu? Kenapa susah sekali ketemu kamu? Apa kamu nggak tau aku kangen banget sama kamu?' Pikiranku terus bertanya-tanya. Lebih-lebih, aku ingin tahu, sebenarnya kami ini masih pacaran atau tidak.
Selama berbulan-bulan, aku dengan cuek memendam semua itu, tapi aku tak bisa lagi. Alu butuh Zyan untuk membantu menyelesaikan apa yang sedang kuhadapi.
Sejak masa SMP, aku memang aktif di Pramuka. Bahkan kian aktif jelang kelulusan hingga sekarang. Satu hal yang kuakui cukup membantu agar aku tak terlalu memusingkan Zyan.
'Terserah dia lah kalo mau ilang-ilangan,' pikirku. Aku juga ga mau pusing mikirin apa kami masih pacaran atau tidak.
Tapi kini aku butuh kepastian itu. Apakah kami masih keep going atau aku harus move on. Aku butuh kepastian itu untuk menjawab permintaan Sigit.
Sigit bisa dibilang merupakan teman masa kecilku. Selain kami satu SD, dia juga tetanggaku, beda beberapa gang. Dulu, kami kerap main bersama. Namun sempat tak ketemu saat masuk di SMP yang berbeda.
Siapa yang sangka, coba. Ternyata Sigit pun aktif di Pramuka dan kami akan bertemu di acara pelantikan Penegak yang kuikuti.
Singkat kisah, kami pun kembali akrab. Sigit mulai kerap main ke rumah. Tak jarang dia menjemputku di sekolah sebelum kami pulang bersama, meski kami beda sekolah.
Usai kelulusan, Sigit memang belum pernah menjemputku di kampus, tapi dia masih sering ke rumah. Memang sih, biasanya bersama salah seorang kawan. Kami juga kerap pergi bersama di tiap kegiatan Pramuka.
Dan hari itupun tiba. Hari yang sama sekali kuduga-duga. Saat itu, kami baru selesai mengikuti salah satu kegiatan, Sigit lalu mengajakku jalan-jalan sejenak di Taman Kota sebelum pulang. Tanpa curiga, aku sih setuju-setuju saja. Siapa sangka ternyata di sana dia memintaku menjadi pacarnya.
Sigit memang tidak tahu aku sudah memiliki Zyan. Entah kenapa aku tidak memberitahu dia, saat itu. Dengan mudah menolak cintanya. Justru aku meminta waktu untuk memikirkannya.
***
Tubuhku bergetar pelan. Jantungku kian berpacu. Aku pun mulai merasakan takut yang sejatinya sudah muncul tatkala aku dan Sigit mulai bercumbu.
Saat membantuku duduk, tadinya aku pikir kami sudah selesai. Malu-malu, aku pun berusaha menurunkan kaus dan BH-lu yang terangkat di atas dada, berusaha menutupi busungan payudaraku yang baru saja Sigit nikmati. Namun dia menghentikanku. Alih-alih dia justru berusaha melepaskannya dan aku justru membiarkan dia.
'Bodoh! Hentikan dia!' nuraniku berteriak.
'Kenapa? Dia sudah melihat semua, apa bedanya kalau dia melepaskannya. Sama saja kan?' bantah sisi lain pikiranku.
Pemenangnya jelas. Separuh bugil, aku hanya berusaha menutupi payudaraku dengan tangan, malu-malu.
Takut. Takutku semakin muncul. Aku tidak tahu apa yang akan Sigit lakukan, tapi jelas aku tak berpikir dia akan ikut melepas kausnya. Sedang aku hanya terus melihat dia. Mataku baru terpalingkan saat celana pendek yang dia kenakan melayang entah kemana. Pun begitu, aku tak kuasa untuk melirik.
Oh My God. Aku bisa melihatnya. Tonjolan keras dari balik CD Sigit. Hal pertama yang terpikirkan olehku, siang ini aku akan kehilangan keperawananku.