Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KASIH TAK SAMPAI (Cinta Rumit STW, mahmud, binor, abegeh, beda kasta, beda usia, beda dunia)

***

Seminggu telah berlalu sejak test wawancara dan psychotest di kantor Bank Pan Asia. Tetapi tidak ada kabar apa pun. Sementara Cici Leoni juga tidak pernah mau menerima telepon mau pun membalas chat.

Ya, sudah, berarti semuanya memang sudah selesai. Pengalaman dengan Cici Leoni adalah sesuatu yang aneh dan absurd, tapi indah. Aku pikir memang tak mungkin dua manusia beda kasta ekonomi menjalin hubungan cinta atau pun hubungan asmara. Andai pun itu terjadi, yang ada adalah eksploitasi. Kasta ekonomi tinggi akan mengeksploitasi kasta ekonomi rendah. Begitulah hukumnya.

Cici cuma menginginkan hubungan sesaat. Dia tak mungkin menyimpan suatu perasaan apa pun. Aku bisa memakluminya. Tapi bila suatu saat dia menginginkan aku lagi, aku akan dengan senang hati melayaninya. Soalnya aku masih penasaran bagaimana rasanya kalau dia kudoggy. Hm, mungkin aku bisa merasakan tulang pantatnya memukul-mukul selangkanganku. Itu pasti rasanya nikmat sekali.

***

Dua minggu pun berlalu. Selama dua minggu jadi penganggur, aku menyibukkan diri setiap pagi dan sore berolahraga ringan, merapikan halaman belakang dan membuat partisi untuk kamar Rani. Jadi dia bisa leluasa belajar dan tidur di situ. Sementara itu pada hari Selasa malam, mertuanya Pak RT alias ibunya mBak Harni, meninggal dunia. Mereka pun sibuk dengan berbagai kegiatan ritual dan acara kumpul keluarga.

Tapi Rani tidak ikut sibuk. Dia hanya sibuk menata kamarnya sendiri dan memperbaiki baju-baju lamanya yang sobek.

Selama dua minggu itu, aku telah mengirimkan puluhan lamaran kerja ke berbagai perusahaan yang berada di sebuah situs Loker. Tapi belum ada satu pun yang tembus. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan lowongan kerja di Jakarta, tapi untuk mendapatkannya perlu tehnik dan pendekatan tertentu. Melulu dengan hanya mengirim lamaran melalui email seperti yang aku lakukan, hasilnya tentu tidak akan maksimal. Bahkan mungkin agak mustahil untuk berhasil.
Tapi aku sengaja melakukan hal itu bukan karena aku masih merasa tenang memiliki tabungan yang cukup lumayan, tapi aku ingin melupakan sementara dunia kerja dan kehidupan perusahaan beserta dinamika para pegawainya.

Sebagaimana tidak semua orang Jakarta berkata “elu gue”, tidak semua kehidupan dunia kerja juga buruk dan toxic. Aku pasti akan menemukannya. Atau mungkin aku yang akan menciptakannya.

***

Malam itu sekitar pukul 8, aku sedang main game saat seorang tamu yang tak terduga muncul. Namanya Usep Udin. Umurnya sekitar 19 tahun, berasal dari Garut. Di perusahaan konveksi dulu, dia bekerja di bagian packing. Orangnya pendiam dan agak polos. Begitu perusahaan dibubarkan, dia langsung pindah bekerja di pasar induk sebagai kuli. Aku memiliki rasa simpatik sendiri kepada anak yang satu ini.

“Yang penting saya bisa kerja, dapat uang, bisa makan.” Begitu katanya dulu.
“Aku setuju Sep dengan pendapatmu.” Kataku waktu itu.
“Ini bukan pendapat Pak, ini prinsip.”
“Oke.”

Dia datang mengenakan kaos polos sederhana dan celana jeans yang kelihatannya tidak dicuci selama satu bulan. Baunya agak sengit.
“Biar kutebak, kamu ke sini mau nginep dan mau pinjem uang.” Kataku. Dia nyengir.
“Kalau dibolehkan saya mau ikut nginep semalam.”
“Boleh, boleh.” Kataku, “terus, mau pinjem berapa? Buat pulang kampung kan?”

Dia diam sebentar.

“Saya tidak akan pinjem uang, Pak, tapi…”
“Tapi apa?”
“Saya mau ikut mandi dan cuci baju juga, kalau boleh saya pinjam bajunya sebentar untuk…”
Aku tertawa. Lalu menyuruh Rani mengambil bajuku yang kira-kira pas di badan Usep.
“Ran, mungpung ada Usep di rumah, kamu mau ga jalan-jalan?”
“Ke mana Om?”
“Ke mana ajalah, mungpung langit cerah.”
“Mau, Om. Tapi Rani mau bikinkan kopi dulu buat Usep.”
“Sekalian Om juga.”

Sambil ngopi dan ngudud, kami berbincang. Besok Usep berencana pulang ke Garut, mau bantu keluarga besarnya panen cabe. Seperti tahun kemarin, setelah panen selesai, biasanya Usep balik lagi ke Jakarta sambil membawa sekarung atau dua karung cabe untuk dijual di pasar.
“Hasilnya lumayan Pak.” Katanya, “Usep beli cabe per kilo dari saudara sekitar 25 atau 30 ribu, tergantung kualitasnya. Kalau yang jelek, bisa sepuluh ribu. Di pasar induk Usep jual harganya bisa dua kali lipat.”
“Berarti sekarang kamu pulang bawa duit dong.”
“Ya I ya lah, Pak.”
“Berapa?”
“Kalau uang buat modal beli cabe mah paling 2 juta. Tapi sekarang Usep bawa 5 juta, 3 jutanya buat Emak.”
Aku merenung sebentar.
“Menurut kamu, total jumlah panen cabe di kampung kamu berapa ton?” tanyaku.
“Ya, ada 5 ton mah. Bisa jadi lebih.”
“Kalau kamu beli semuanya dari saudara kamu dengan harga rata-rata 20 ribu, berarti kamu butuh uang 100 juta, betul tidak?”
“Betul, Pak.”
“Kalau kamu beli cabe dengan modal 2 juta, berapa keuntungan kamu?” tanyaku.
“Kurang tahu, Pak. Soalnya Usep tidak menghitung. Tapi biasanya keuntungannya cukup untuk membayar sewa kamar 2 atau 3 bulan.”
“Hm.” Aku mendengus pelan. Berpikir agak lama. “Bagaimana menurutmu Sep, kalau semua hasil panen itu kita beli.”
“Menurut Usep sih itu akan menghasilkan keuntungan yang banyak. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Darimana dapat modal 100 juta, Pak? Itu kan uang yang sangat banyak.”
“Aku bisa usahakan.”
“Kita juga butuh kendaraan untuk membawa hasil panen, butuh karung goni yang bagus untuk memisah-misahkan mana kualitas bagus, kualitas sedang dan kualitas jelek… itu juga butuh modal yang banyak.”

Aku menoleh ke arah Rani, “Ran, katanya dulu si Elis pernah kerja di pabrik karung.”
“I ya Om.”
“Pabriknya di mana?”
“Di Cikarang Om kalo ga salah.”
Aku menoleh lagi ke arah Usep, “panennya kapan, Sep?”
“Mungkin dua atau tiga hari lagi.”
“Kita punya waktu satu hari untuk persiapan. Gimana kalau kamu pulang kampungnya lusa aja.” Kataku.
“Berari Usep ikut nginep di sini 2 malem dong.”
“Ga jadi masalah.” Kataku.
“Bapak serius?” tanya Usep dengan mata yang bercahaya.
“Serius.” Kataku, “kamu mau enggak ikut bisnis ini?”
“Ya, mau, Pak.”
“Kamu nanti akan mendapat pembagian keuntungan yang adil…”
“Usep tahu bapak orang jujur, bapak tidak akan menipu.”
“Nah, sekarang aku mau jalan-jalan dulu sekalian cari truk atau colt bak yang besar… kamu di sini nyantey aja. Mau bikin mie, mau bikin kopi lagi, mau mandi, mau nyuci… terserah. Tapi udahnya diberesin ya.”
Usep mengangguk. Tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya harapan.

***

Malam cerah dan hangat. Langit biru tanpa awan. Bintang sepotong tersenyum sendirian di angkasa raya. Motor kulajukan ke arah Jakarta Timur, menemui Mang Dudung yang sudah mendapat pekerjaan sebagai penjaga gudang distributor beras. Kukatakan maksudku kepada Mang Dudung untuk meminjam truk pengangkut beras yang sedang nganggur.

Mang Dudung kemudian memperkenalkan aku kepada Kepala Gudang yang memang menyebutkan bahwa ada truk yang sedang nganggur, tidak akan digunakan sampai minggu depan untuk menarik beras dari beberapa daerah di Jawa Barat.

Setelah bernegosiasi selama satu jam, akhirnya kami sepakat untuk menyewa truk itu dengan harga 2 juta termasuk sopirnya, yaitu si Kepala Gudang itu, tapi tidak termasuk bensin.
“Bensin bapak yang tanggung.” Katanya.
“Oke. Deal.” Kataku menutup negosiasi.

***

Setelah urusan bisnis selesai, kami pergi ke sebuah dermaga kecil di kawasan perbatasan Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Rani memelukku dari belakang dengan hangat. Kami mampir ke angkringan ikan bakar yang letaknya tidak jauh dari pabrik pengemasan ikan asin. Kulihat lampu pabrik itu menyala terang dan orang-orang banyak yang datang.

Menurut pedagang ikan bakar, mereka yang berkerumun di pabrik itu adalah para pedagang ikan asin yang membeli ikan untuk dijual lagi di pasar.
“Ran, kamu suka ikan asin ga?”
“Suka Om. Dimakan sama sambal, lalap dan nasi putih anget, pasti enak banget.”
“Kamu mau?”
“Mau Om.”
“Mau berapa?”
“Terserah Om.”
“Ya udah, kamu beli 2 kilo untuk di rumah dan 8 kilo untuk dibawa ke Garut.”
“Om Rani boleh ga ikut ke Garut?”
“Mau ngapain? Om kan sama Usep pergi ke sana buat bisnis.”
“Katanya cewek Garut itu imut-imut Om, nanti Om kepincut.”
“Kamu cemburu?” tanyaku lembut. Rani menatapku. Sorot matanya mengatakan bahwa dia cemburu.
“Ya udah, boleh.” Kataku.
“Om, kalau Rani ga bisa tidur boleh ga ikut tidur sama Om?”
Aku melotot.
“Ga boleh.” Kataku.
“Kenapa?”
“Soalnya nanti Om gakkan kuat.”
“Gak kuat apa?” tanya abg itu sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Gak kuat pengen.” Kataku.
“Rani juga sekarang gak kuat pengen…” katanya sambil memeluk tubuhku.
“Kamu mau?” bisikku.

Dia mengangguk.

“Ya, udah. Nanti.” Bisikku di telinganya. Saat aku mengecup pipinya, Rani dengan sangat bersemangat malahan membalas mencium bibirku. Bila saja tidak banyak orang dan tidak malu dilihatin penjual ikan bakar, aku mungkin akan membalas menciumnya lagi dan agak mustahil bisa dihentikan.

***

Setelah makan ikan bakar, kami jalan-jalan sebentar ke Cilincing, lalu pulang. Tiba di rumah sekitar pukul setengah satu dini hari. Persis waktu tiba di depan gang, motor sportku ini kehabisan bensin. Tadinya aku akan memutar kran bensin full ke bawah, tapi kupikir sisa “rest” bensin sangat berguna untuk pergi ke pom bensin besok. Lagi pula, dari mulut gang, rumahku sudah tidak jauh lagi. Paling sekitar 500 meter.

Aku turun dari motor demikian juga Rani. Kami sama-sama mendorongnya hingga tiba di teras. Tetapi aku lupa satu hal, sejak Rani tinggal di rumahku, aku melepaskan kunci rumah dari rencengan kunci motor. Usep mungkin sudah tidur di dalam sleeping bag. Daripada berisik membangunkan orang tidur, aku berjalan melingkar ke halaman belakang dan masuk melalui pintu belakang. Sementara Rani berdiri di samping motor, menunggu aku membukakan pintu. Namun saat aku membuka pintu belakang rumah, aku sungguh terkejut.
mBak Harni tengah rebah di atas hamparan sleeping bag, kedua pahanya mengangkang sementara Usep berada di atasnya dalam keadaan dari pinggang ke bawah telanjang bulat. Batang kontol Usep yang kecil namun panjang sedang menusuk-nusuk liang memek mBak Harni yang dipenuhi hutan lebat bulu-bulu yang hitam.

Mbak Harni mendesis-desis keenakan. Tapi biasanya kalau aku yang melakukan pengentotan itu, mbak Harni selalu terengah-engah sambil mendesah keras. Soalnya, batang kontolku lebih besar dan lebih panjang dari punya Usep.

Pantat Usep sudah bersimbah keringat. Namun dia tidak henti menghujam-hujamkan kontolnya masuk ke luar liang memek mBak Harni. Kalau boleh jujur, saat itu aku sebenarnya langsung merasa horny. Maklum sudah dua minggu tidak menemukan pelampiasan. Aku ingin melepaskan celanaku dan ikut menyerbu memek mBak Harni. Siapa tahu mBak Harni bisa lebih merasa puas jika memeknya dicoblos dua kontol sekaligus. Tapi aku tak ingin menggangu Usep yang tengah nikmat-nikmatnya mengewe memek mBak Harni.

Jadi aku berdiri di belakang pintu sebentar sampai Usep berkata dengan setengah berteriak, “tobaaaaattttttt!!!”

Saat kuintip lagi, Usep ambruk dalam pelukan mBak Harni sementara batang kontolnya amblas di dalam liang memek mBak Harni.

“Kamu kenapa sih?” kata mBak Harni kesal. Dia mendorong Usep hingga terguling ke lantai. “Kenapa muncrat di dalem lagi?”

Usep hanya terkapar pasrah. Namun wajahnya memancarkan ekspresi kenikmatan dan kepuasan. mBak Harni buru-buru berjongkok dan membersihkan liang memeknya menggunakan celana dalamnya. Setelah kurasa mereka cukup beristirahat, barulah aku masuk.

“Cepet kalian pake baju, aku mau masukin motor.” Kataku.

Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana terperanjatnya mereka dengan kedatanganku ini.
“Pak…”
“Mas Jarwo…”
Ujar mereka berseru bersamaan.
“Cepet, jangan sampai ketahuan Rani.” Kataku.
Mereka pun dengan sangat kalang kabut cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.

***

Malam itu aku merasa kasihan kepada Usep. Sebelum aku terlelap, kulihat dia gelisah di dalam sleeping bagnya. Sementara Rani langsung nyungsep di kasurnya sendiri karena cape dan senang sudah jalan-jalan. Keesokan paginya, tanpa diminta Usep bercerita.

Semua terjadi bukan karena salah dirinya, demikianlah dia membela diri. Ketika dia mau tidur, saat berbaring di atas sleepeng bag, tiba-tiba perempuan STW itu datang, membuka celananya dan mengisap kontolnya. Lalu mengewenya. Tanpa basa-basi.
“Mbak itu terkejut dan marah waktu melihat Usep.” Katanya sambil jarinya yang menjepit batang rokok gemetar, “pertama dia nyangka Usep orang lain… tapi juga mungkin karena Usep ke luar terlalu cepat. Tapi waktu mbak itu lihat punya Usep masih tegang… eh, dia malah mau lagi. Ya Usep terpaksa… soalnya Usep juga masih pengen.”
“Terus?”
“Terus udah itu, setelah selesai, mbak itu marah lagi karena Usep ngecrot di dalem. Tapi Usep bilang enggak… maksudnya, enggak banyak. Mbak itu ngomel-ngomel… tapi… tapi… waktu lihat punya mbak itu yang brewokan… Usep tegang lagi… eh, si mbak malah ketawa senang. Terus dia bilang, emang masih kuat? Usep bilang, masih.”
“Jadi kamu melakukannya lagi?”
Usep mengangguk.
“Enak enggak?”
Usep tidak menjawab, dia hanya bengong.
“Enak enggak?” aku mengulang pertanyaanku.
“E…e… nak… Pak.”
“Bagus.”
“Bagus?”
“Ya baguslah. Buat apa ngentot kalau enggak enak.”
“Bapak enggak marah?”
“Kenapa harus marah? Aku kan bukan suaminya.”
“Jadi… jadi…”
“Jadi kita harus fokus pada bisnis yang akan kita kerjakan, oke?”
“O… oke, Pak.”
“Saya takkan bilang siapa-siapa. Rahasia kamu aman.”

Usep terdiam sebentar. Kemudian dia senyum-senyum sendirian seperti orang sinting. Namun jauh dalam hatiku, aku diam-diam merasa kagum jika nyatanya Usep memiliki stamina yang hebat. 3 kali muncrat dalam kurun waktu yang relatif pendek, itu bukan main-main.
Itu gila sekaligus keren. Pendeknya, amazing.

***
(BERSAMBUNG)

BACA LANJUTANNYA>>>
<<<SEBELUMNYA
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd