Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KASIH TAK SAMPAI (Cinta Rumit STW, mahmud, binor, abegeh, beda kasta, beda usia, beda dunia)

***
Seharian itu kami melakukan persiapan keberangkatan ke Garut. Karung goni plastik kualitas baik dibelikan Elis dari temannya yang masih kerja di pabrik karung. Sementara timbangan “dacin” disediakan oleh Pak Anwar, si kepala gudang itu. Usep sendiri menelpon, dengan menggunakan smartphone-ku, sanak saudara dan teman-temannya untuk mengumpulkan hasil panen di halaman rumahnya dan akan langsung dibeli dengan cara dibayar kontan. Tidak akan diutang. Selain itu, Usep meminta ibunya dan saudara-saudara perempuannya untuk mempersiapkan nasi liwet yang banyak. Sekalian sama lalap-lalapnya dan sambal.

“Kalau bisa, emak masak nasi buat semua orang yang lagi panen. Soalnya Usep sudah siapkan ikan asin mahal yang sangat enak buat dimakan sama-sama.” Kata Usep dalam bahasa Sunda. “Biar mereka senang, mak. Sudah dapat duit, bisa makan sama ikan asin lagi, dijamin orang sekampung bersuka ria.”

Rencananya, Usep pergi ke kampung halamannya akan naik truk bersama Pak Anwar. Sedangkan aku naik motor bersama Rani. Pulangnya sebaliknya. Dia naik motor aku naik truk.

Aku sendiri secara diam-diam pergi ke bank dan mencairkan uang tabunganku sebesar 125 juta rupiah. Aku juga menemui Koh Lulung, bandar Cabe di Pasar Kramat Jati.

Pada malam harinya, mbak Harni mendatangiku dan memberi kode ngajak ngentot. Aku berkata kepada mBak Harni bahwa aku baru saja coli, jadi aku sudah tidak kepingin lagi. Mbak Harni tampak cemberut. Tak lama setelah itu, Usep sambil bersiul-siul kecil ke luar rumah melalui halaman belakang. Pada saat yang bersamaan, aku lihat Pak RT naik motor ke luar dari gang.

“Malem-malem mau narik rupanya.” Kataku kepada Pak RT. Namun pria berusia sekitar 55 tahun itu menjawab bahwa dia tidak akan narik penumpang.
“Saya akan ke Bekasi nak Jarwo, saudara lagi ada selametan.”
“Mbak Harni enggak ikut?”
“Enggak, dia lagi meriang enggak enak badan.”
“Oh.”
“Mari nak Jarwo.”
“Mari pak, silakan. Hati-hati di jalan.” Kataku sambil tersenyum. Dalam hati aku berkata, “malam ini si Usep dapet lagi dah.”

***

Keesokan paginya kulihat si Usep bangun tidur langsung cengar-cengir. Setelah mandi dan sarapan, dia pergi ke mulut gang menunggu mobil truk datang. Aku sendiri sama Rani sudah siap-siap dengan segala perbekalan dan perlengkapan. Dari helm tertutup, kaos tangan, sepatu, jaket hingga bekal makanan yang dibuat Rani semalam. Sedangkan uang 125 juta kusimpan di tas pinggang. Aman.

Kulihat bagaimana tingkah Rani demikian riang. Dia merasa sangat senang. Soalnya seumur hidupnya dia belum pernah ke Garut.

***

Kampung Cibeuti terletak di kaki bukit Pasir Beuti, kurang lebih 30 km dari arah Malangbong. Dulu sekali, di tahun 80-an, Kampung Cibeuti pernah menjadi salah satu sentra penghasil Jeruk Garut. Namun setelah tahun 90-an, produksi jeruk garut mereka turun drastis dan akhirnya hilang sama sekali. Setelah itu, warga setempat mencoba melakukan budidaya berbagai jenis tanaman holtikultura lainnya, tapi gagal juga. Kondisi perkebunan yang buruk itu membuat warga kampung Cibeuti banyak yang “bubuara” (merantau) ke kota-kota besar lain seperti Bandung dan Jakarta untuk memperoleh penghasilan.

Lima tahun yang lalu, salah seorang warga ada yang mencoba-coba menanam cabai, ternyata cukup berhasil. Kemudian warga yang lain ada yang mengikuti, ternyata hasilnya bagus juga. Akhirnya sejak 2 tahun lalu, warga kampung Cibeuti hampir seluruhnya menanam cabai.
Aku dan Rani tiba di kampung itu sekitar pukul 4 sore, dua jam lebih lambat dari truk yang membawa Usep beserta ikan asinnya. Kami disambut Usep beserta keluarga besarnya dan ditempatkan di rumah terbaik milik kepala Kampung yang bernama Pak Enjang. Sementara itu Rani malah bergabung dengan kaum ibu di sana dan ikut menghangatkan sisa bekal makanan yang masih cukup banyak.

Rani memiliki tubuh ramping yang tipis. Hidungnya mancung dengan kelopak mata agak dalam. Beberapa perempuan yang seumur dengannya rame-rame mengajak berfoto bersama. Rani disambut hangat di sana dan diperlakukan seperti seorang artis ibukota yang tenar.

Walau wajahnya masih terlihat lelah, namun tidak bisa dinafikan bahwa Rani benar-benar sangat menikmati penyambutan warga. Malamnya kami tidur terpisah. Dia tidur bersama para perempuan di rumah orangtuanya Usep. Sedangkan aku tidur sendiri di kamar dengan kasur tipis yang dingin.

***

Keesokan harinya, mulai sekitar jam 8 pagi, warga berduyun-duyun ke kebun untuk memanen cabe merah yang segar merekah. Kemudian satu per satu mereka mendatangi Usep yang sudah siap dengan timbangan. Usep menilai kualitas cabe, menimbang dan menentukan jumlah yang harus aku bayar. Aku duduk di kursi kayu di belakang Usep sambil merokok.
Setelah dibayar, cabe merah itu dimasukkan ke dalam karung dan karungnya aku tandai dengan huruf A untuk kualitas baik, B untuk kualitas sedang dan C untuk kualitas jelek. Setelah itu karung diangkat ke dalam truk. Sekitar pukul 3 sore, proses penilaian, penimbangan dan pembayaran pun selesai. Total uang yang kubelanjakan sebesar 121 juta rupiah. Jumlah cabe yang diangkut sebanyak 5,7 Ton.

Usep tampak kelelahan namun dia merasa senang dan bangga. Setelah semua selesai, barulah nasi liwet yang masih hangat dihamparkan di atas jajaran daun pisang yang dibariskan memanjang hingga ke pinggir kebun, bersama lalap dan sambel serta ikan asin.

Selesai makan, kami istirahat sebentar kemudian berangkat ke Jakarta pada jam 7 malam. Saat pulang, giliran Usep yang naik motor. Sedangkan aku dan Rani naik truk, sesuai rencana.

***

Sejak awal ketika Usep menceritakan akan pulang kampung untuk membantu memanen cabe, aku sudah tahu bahwa harga cabe kualitas sedang melonjak di angka 70 ribu per kilo, sedangkan cabe merah kriting yang dianggap kualitas jelek oleh Usep, harganya 60 ribu per kilo. Sebelum aku memutuskan untuk mencairkan tabungan, aku sudah menemui Koh Lulung yang merupakan Bandar Cabe di Pasar Kramat Jati. Kami sepakat menentukan harga cabe yang akan kubawa dari Garut untuk kualitas sedang 60 ribu per kilo dan kualitas rendah 50 ribu per kilo.

Kami tiba di pasar induk pukul setengah dua dini hari. Selama di Garut dan sepanjang perjalanan, aku selalu berhubungan dengan Koh Lulung. Curah hujan yang tidak merata di berbagai daerah di Indonesia, terutama di daerah penghasil cabe di Jateng, Jatim, Lampung dan Kalsel, membuat pasokan cabe tersendat ke Jakarta. Akibatnya harganya melambung karena permintaan tinggi, tapi pasokan yang tersedia sangat sedikit.

Begitu datang ke kramat Jati, Koh Lulung langsung mendekat dan mengecek kualitas cabe.
“Bahkan cabe yang dikatakan kualitas jelek ini nyatanya adalah kualitas cabe yang mendekati sedang.” Kataku kepada Koh Lulung yang secara langsung melakukan uji petik. Walau pun ekspresi Koh Lulung datar tapi senyum kecil di sudut mulutnya jelas menunjukkan dia puas dengan kualitas barang.

Dalam waktu satu jam, 2 ton cabe kualitas sedang dan 2 ton kualitas jelek, masuk ke gudang Koh Lulung. Namun hanya dalam waktu lima menit, uang senilai 220 juta ditransfer masuk ke dalam rekeningku.

Saat itu, sejujurnya saja aku sudah sangat cape sekali. Tapi begitu melihat angka itu masuk rekening, rasanya seluruh tulang-tulangku yang awalnya terasa remuk, kembali utuh.

“Kalau sisanya yang itu mau dikeluarin ga?” tanya Koh Lulung.
“Itu kualitas premium Koh.” Kataku, “di supermarket harganya pego (150) per kilo.”
“Elu minta berapa duit?”
“Gua sebenarnya mau tahan dulu.” Kataku, “soalnya dia masih kuat dan seger selama 5 hari, tapi kalo Koh berani nembak 125 gua kasih deh.”
“Kemahalan lu, udah 100 aja.”
“12 koh.”
“105.”
“Udah koh gini aja, 110 ambil, kalau kagak mau, gua tinggal.”
“Ya udah gua ambil. Ada berapa semuanya?”
“Ada 1,7. Tapi gua keluarin 1,5 aja.”
“Tanggung Lu ah, udah semua aja.”
“Sorri koh gua udah janji ke temen gua yang punya warung nasi padang.”
“Gua kagak peduli sama janji elu, keluarin semuanya atau tidak sama sekali.”

Aku terdiam selama beberapa menit. Tadinya aku berencana menjual cabe itu secara online sambil belajar jualan online.

“Ya udah, ambil semua deh.”

Koh Lulung tersenyum, “nah gitu dong, kan cakep. Gua transfer ya 187 juta.”
“Oke.” Kataku dengan pura-pura lemas.
Koh Lulung tertawa lebar. Setelah bersalaman, kami pun segera pulang. Pak Anwar mengantar kami sampai mulut gang dan aku memberinya tips 500 ribu rupiah. Kubangunkan Rani yang tertidur nyenyak.
“Udah sampe, ayo turun.”

***

Sepasang mata Usep melotot waktu melihat 3 gepok uang 10 jutaan yang baru saja kuambil dari bank. Dia seperti tidak percaya.

“Ini… bapak serius?”
“Kalau tidak mau, ya sudah aku ambil kembali.”
“Eh, jangan Pak.” Katanya sambil meraup uang sebanya 30 juta itu dan menciuminya dengan bahagia.

Aku juga tersenyum ikut bahagia. Soalnya, setelah kuhitung-hitung dengan berbagai biaya pengeluaran plus modal, aku punya keuntungan bersih sebesar 218 juta hanya dalam semalam. Ini gila bin edan.

“Mungkin seperti inilah yang dinamakan bisnis.” Kataku dalam hati. Saat aku akan memasukkan motor ke dalam rumah, ada kantong kresek kecil tergantung di stang motor.

“Sep, ini apaan?” tanyaku kepada Usep yang sudah siap-siap akan pergi. Dia cengar-cengir. Lalu berkata, “itu kobe, Pak.”
“Kobe? Apaan itu kobe?”
“Kopi cabe.”
“Kopi cabe?”
Sekali lagi Usep cengar-cengir, “biar gak gampang masuk angin, juga buat tubuh kuat, Pak.”

Aku megernyitkan kening tanda tidak mengerti.

“Maksunya buat kuat ginian, Pak.” Katanya sambil mengacungkan kepalan tangannya. Dia mengepalkan tangan dengan cara menyelipkan jempolnya di antara telunjuk dan jari tengah yang dikepalkan.
“Oh.” Kataku sedikit tercenung. Mendadak kuingat cerita Usep kemarin mengentot mbak Harni sampai 3 kali. Tapi aku masih merasa skeptis.
“Itu sengaja buat bapak, dibuat secara khusus sama sesepuh Cibeuti, yaitu Eyang Gilimanuk, waktu ngelihat Pak Jarwo kemarin dari kejauhan… entah mengapa Eyang merasa kasihan sama bapak. Padahal beliau itu orangnya ga pedulian. Berbondong-bondong orang datang ke dia untuk minta dibikinin bahkan dengan iming-iming uang… tapi dia tidak mau.”
“Masa sih?”
“I ya, Pak, betul. Sumpah.”
“Ya udah, kalau begitu kita bagi dua, biar kamu juga kuat ga gampang masuk angin.”
“Kalau Usep sih sudah dibikinin secara khusus sejak setahun yang lalu… ini lihat... kobe punya Usep warnanya agak coklat kalau punya bapak warnanya item.” Katanya. “Cara bikinnya beda sama nyeduh kopi biasa. Jerang dulu air segelas, setelah mendidih barulah masukkan satu atau dua sendok ke dalam air yang mendidih itu. Jangan diaduk. Matikan api. Tunggu sampai hangat. Setelah itu tuang ke dalam gelas atau cangkir. Diminum sama ampasnya ya Pak.”

Aku terdiam mendengar penjelasannya dengan pikiranku berada di antara percaya dan tidak.
“Pak Usep permisi dulu, kalau ada bisnis atau apa-apa, Usep boleh ya ke sini lagi.”
“Tentu, Sep, tentu.” Kataku.

***

Setelah Usep pergi, aku merasa penasaran dan membuat kopi itu dengan metode yang dikatakan Usep. Ternyata rasa kopinya sangat ringan dan bau cabenya tidak begitu menyengat, bahkan terkesan lembut. Ampasnya juga enak. Tapi setelah kuhabiskan satu gelas, aku tidak merasakan apapun efeknya. Aku malahan mengantuk dan tertidur di kursi sofa.

***

Aku terbangun oleh suara hiruk pikuk para abg teman-temannya Rani yang tengah belajar bersama di halaman belakang. Hari sudah larut sore. Aku bangun dan mandi. Makan malam bersama para abg itu. Rani sudah memasak gule kacang merah, tempe dan tahu goreng.

Usai makan malam yang kesorean, aku membuka laptop dan mendapatkan notifikasi email masuk dari sebuah perusahaan yang dua minggu lalu kukirimi lamaran kerja. Isinya, aku diharapkan datang besok mulai jam 9 pagi untuk intervieuw posisi lowong di perusahaan itu.
“Ada juga yang nyangkut.” Kataku sambil tersenyum senang. Saat itu mendadak mBak Harni datang dan menanyakan Usep. Wajahnya tampak kecewa saat kukatakan Usep sudah pergi.
“Mas Jarwo pengen enggak?”
“Tadi udah coli waktu mandi.” Kataku pendek, padahal dalam hati aku pengen juga. Cuma setelah merasakan memek Cici Leoni, aku jadi malas ngewe mBak Harni. Soalnya, memeknya bau anyir dan longgar.

Bila teringat tentang Cici, aku selalu mendadak merasa hampa. Apalagi jika kusadari dia tak pernah mau membalas chat dan mengangkat telepon, dia seakan-akan mengatakan bahwa aku tak berhak mencintainya.

Ah, sudahlah. Lupakan saja dia.

***
(BERSAMBUNG)

BACA LANJUTANNYA>>>
<<<SEBELUMNYA<<<
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd