Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KASIH TAK SAMPAI (Cinta Rumit STW, mahmud, binor, abegeh, beda kasta, beda usia, beda dunia)

***
Ada 7 orang yang duduk menunggu di ruang tunggu itu. Aku datang jam 8.40 menit dan mendapat antrian yang ke 8. Beberapa menit kemudian ada 4 orang lain lagi. Intervieuw untuk posisi asisten manager akan dimulai jam 9 tepat. Para kandidat yang datang, semuanya hampir berusia 5 tahun atau lebih di atasku. Mereka terlihat profesional dan sangat percaya diri. Aku merasa tidak minder, hanya saja kemungkinan besar peluangku untuk diterima, sangat kecil. Aku kalah bersaing dalam hal pengalaman kerja.

Terhitung di akhir semester 8 yang telah silam, saat aku belum lulus tapi sudah bekerja di Perusahaan Mebeul hingga selesai sarjana, terhitung masa kerjaku adalah setahun, lalu pindah ke Perusahaan Bakery juga selama setahun, lalu akhirnya di perusahaan konveksi selama satu tahun 3 bulan, secara total hitungan pengalaman kerjaku adalah 3 tahun.
Di ruang tunggu itu aku tidak menyangka bertemu lagi dengan Bang Todung, yang pernah sama-sama intervieuw di Bank Pan Asia. Sambil menunggu panggilan, kami ngobrol ngalor ngidul. Obrolan terhenti saat dia dipanggil ke dalam ruangan untuk intervieuw. Dia urutan nomor 3. Jadi giliranku masih lama.

Ruang tunggu itu kecil dan tanpa AC. Ada tulisan dilarang merokok. Aku merasa gerah dan bosan. Aku ke luar ruangan dan menuju warung kecil di dekat pagar kantor perusahaan itu. Memesan kopi dan merokok. Warung ini sangat kecil. Terselip di antara dua bangunan besar yang dulu kelihatannya pernah megah dan bagus. Di sebrang jalan, ada deretan toko kue dan roti, yang harumnya tajam semriwing. Sambil ngopi, kucium harum semriwing roti yang konon menurut iklan toko, ramuan dan bahannya asli berasal dari Perancis.

Toko kue dan roti itu memang sangat terkenal. Dia merupakan langganan artis top papan atas, politisi nasional kaya raya berperut gendut, para pengusaha dan para pelancong kelas hotel dari negara-negara Eropa dan Amerika. Demikianlah menurut pelayan sekaligus pemilik warung kecil ini yang telah berjualan di sini selama 20 tahun.

“Kalau lagi beruntung…” kata si pemilik warung itu, “ada artis cewek yang memakai celana pendek dan tank top, masuk ke toko itu. Dari sini, dalam jarak kurang dari 15 meter, kita bisa melihat dan menikmati kulitnya yang putih, bokongnya yang semok dan toketnya yang menonjol… pokoknya bikin mata seger.”

Aku tertawa kecil, “abang bisa sekalian coli dong.” Kataku. Tak kusangka pemilik warung itu yang berumur sekitar 40-an itu malah tertawa besar.
“Gak perlu ngeloco, bang.” Katanya. “Kalau mau, tiap malem di sini selalu banyak yang berseliweran cewek-cewek dari harga 100 ribuan hingga jutaan… kadang kite dapat jatah gratis di belakang warung… he he he…”

Aku ikut terkekeh. Tapi mendadak mulutku terkatup saat kulihat ada sepasang suami istri turun dari sebuah mobil sedan hitam. Ternyata mereka adalah Cici Leoni dan Pak Antoni. Mereka tampak mesra bergandengan tangan. Aku terbengong-bengong.
“Mereka cuma pengusaha biasa, bukan artis.” Kata si pemilik warung, gak perlu pake bengong begitu.”

Aku tak menggubris omongan pemilik warung itu. Aku hanya berpikir bahwa mereka telah rujuk dan mungkin telah saling memaafkan. Setelah apa yang dilakukan Antoni kepada Cici, aku gagal memikirkan alasan apa yang membuat mereka bisa kembali dan bersikap demikian mesra satu lain.
Sejak itu, dan mulai sejak saat itu, aku tidak mau lagi memikirkan Cici.

***

Usai intervieuw yang aku merasa pesimis akan diterima, aku pun pulang. Hari sudah melewati siang yang terik, tapi sore yang teduh belum datang. Saat melewati barber shop di dekat Gedung Serba Guna kelurahan, aku berhenti dan mampir untuk potong rambut. Karena aku datang pada jam tanggung, aku tak perlu mengantri. Saat aku masuk, tiga orang pemangkas rambut yang sedang ngobrol secara bersamaan menoleh kepadaku. Tentu saja mereka agak heran ada pelanggan yang datang di saat jam tanggung seperti ini. Mereka serentak berdiri hendak melayaniku. Tapi seorang lelaki berusia 30-an, berkulit putih dan berkumis tipis datang dari balik tirai.

“Silakan, Pak.” Katanya dengan ramah dan lembut. Dia tersenyum dan matanya mencoba menatap mataku secara langsung untuk menjalin komunikasi. Aku tak membalas senyumnya atau tatapan matanya. Aku langsung duduk di kursi di depan cermin besar dan berkata, “jangan terlalu pendek.”

Butuh waktu setengah jam untuk memotong rambutku hingga setengah pendek namun rapi dan bergaya. Saat dicukur, beberapa kali tangannya mencoba mengelus pundak dan pipiku. Selain itu, dia juga mencoba ramah dan mengajukan berbagai pertanyaan umum yang tidak kujawab. Selesai dicukur, aku membayar seharga yang tertera. Lalu ke luar dari barber shop itu. Saat duduk di atas motor, lelaki berkumis tipis itu berdiri di ambang pintu, tersenyum dan melambaikan tangannya dengan genit.

Aku membuang muka sambil meludah.
Cuiiih!!!

***

Rani mengawasiku dengan terkesima. Sepasang bola matanya yang hitam dan besar itu seperti melotot.
“Apaan sih?” kataku mengusir ekspresi wajahnya yang mirip boneka hantu. Tapi boneka hantu yang cantik.
“Om dicukur ya?”
“Emang ga boleh?”

Dia mendadak tertawa. Lalu merangkul leherku dan menciumiku tanpa henti.
“Udah ah, aku bau keringat.” Kataku sambil menarik pantatnya dengan kedua tanganku agar bagian selangkangannya rapat ke selangkanganku. Lalu menggesek-gesekkannya sebentar.
“Aduh Om, ga kuat.” Kata Rani sambil secara refleks melawan gesekanku dengan mengangsurkan selangkangannya ke selangkanganku. Kami pun saling menggesek-gesekan.
“Sama.” Kataku.
“Yuk Om.”
“Ayuk. Kamu udah pernah belum?” tanyaku.
“Belum.”
“Bener?”
“Bener. Kalau Om, pernah?”
“Kalau belum gimana, kalau udah gimana?” tanyaku.
“Kalau belum, kita sama-sama belajar. Kalau udah, ajarin Rani.”
“Gak perlu diajarin, kamu pasti bisa.” Kataku sambil melepaskan pelukanku, “Om mandi dulu ya.”

Rani menciumku secara kilat lalu berlari ke arah pintu depan. Aku sempat melihatnya dengan susah payah memasukkan motor ke dalam rumah. Lalu mengunci pintu depan. Selesai mandi, kulihat pintu belakang rumah sudah dikunci. Saat memasuki kamar, Rani tengah menungging merapikan sprei kasur yang kusut.

Dia menoleh dan tersenyum. Mata besarnya berbinar terang. Dia lalu duduk di bibir ranjang dengan tak melepaskan tatapannya kepadaku. Saat aku melepaskan handuk, dia terkikik.Lalu turun dari ranjang dan melepaskan kaos gombornya dan BH-nya.
“Kamu udah mandi belum?”
“Sebelum Om pulang Rani udah mandi.”

Dia berdiri di sisiku menghadap cermin lemari. Jarinya menunjuk ke kaca cermin di mana bayangan kontolku berdenyar oleh hasrat yang pelahan meningkat.
“Itu apa Om.”

Aku tersenyum. “Lepasin celananya.” Pintaku. Rani membungkuk melepaskan celana pendeknya sekaligus celana dalamnya. Dia berdiri di sisiku dan kami saling bertatapan di cermin. Telunjukku menuding cermin di mana bayangan memek Rani yang tembem berada.
“Ini kacang ya.”
“Bukan Om.”
“Apa dong?” tanyaku. Rani tersenyum malu.
“Itil.” Bisiknya sambil menunduk melihat kemaluanku. “Kalau ini penis kan?” katanya sambil menyentuh batang kontolku dengan jarinya. Otomatis, batang kontolku pun menegang.
“Bukan.” Jawabku.
“Koq bukan?”
“Ini namanya kontol.”
“Kontol?” tanyanya. Dia mengucapkan kata “kontol” dengan nada yang sangat seksi. Kontolku jadi tambah tegang.
“Koq jadi tambah gede?” dia keheranan, “anget lagi.”

Aku tertawa kecil.

“Ini nanti dimasukan ke sini ya Om.” Katanya sambil menunjuk memeknya yang tembem, mungil dan rapat.
“Heu-euh.” Kataku.
“Itu berarti kita ngentot ya Om?”
“Bukan.” Kataku.
“Masa bukan?”
“Namanya bukan ngentot, tapi ewean.”
“Apa?”
“Ewean.”
“Ewean?”
“Kalau Om masukin kontol Om ke liang memek kamu, artinya Om lagi ngewe kamu. Bukan ngentot kamu. Ngentot itu asalnya dari kata Kentot, singkatan dari kencan total.”
“Oh.” Kata Rani pendek, “Om mau ngewe Rani enggak?”
“Mau.”
“Tapi Rani enggak pengalaman. Gapapa?”
“Gapapa. Om malah bahagia kamu masih perawan.”
“Kata Elis, Popon, Ria sama Nita, ewean itu katanya enak.”
“Jadi mereka pernah?”
“Pernah, Om. Kadang udahnya mereka dikasih uang.”
“Tapi apa mereka tahu kalau akibatnya bisa hamil?”
“Enggak akan kalau minum pil KB.”
“Kamu minum pil KB enggak?”
“Enggak.”
“Kalau hamil gimana?”
“Kalau hamil…” mendadak Rani berpikir sesuatu. Pentil susunya yang semula menegang tampak kempes. Dia kemudian duduk di bibir ranjang. Kepalanya menunduk.
“Mamah bilang katanya… Rani sebetulnya waktu bayi dibuang sama orang tua Rani yang sebenarnya. Mamah disuruh mungut dan ngasuh. Jadi mamah sebetulnya bukan mamah Rani yang sebenarnya.”

Aku melangkah dan duduk di sisinya.

“Jadi kamu enggak tahu siapa orangtua kamu sebenarnya?”

Dia mengangguk. Aku terdiam. Samar-samar kuingat wajah ayah ibuku sendiri. Tapi aku tak bisa mengingat wajah asli mereka yang sedang riang tertawa. Aku hanya selalu ingat wajah mereka yang bersimbah darah. Dan suara ayah yang menyuruhku pergi dengan susah payah.
Aku baru lulus SD waktu itu. Bik Sumirah yang sudah tua memanggul sebuah tas besar di pundaknya, tas koper di tangan kirinya dan lenganku di tangannya. Aku juga menggendong tas ransel yang besar dan berat untuk ukuranku saat itu.

“Pokoknya kita harus pergi den. Jangan sampai kamu dibunuh juga oleh mereka.” Katanya.
“Mereka siapa, Bik?”

Bibi tidak mau menjawab dan tidak pernah mau menjawab bahkan sampai akhir ajalnya. Kami selalu berpindah-pindah tempat sampai akhirnya kami menemukan rumah ini. Bibi kemudian menamaiku dengan nama Sujarwo, nama anaknya yang tewas tenggelam di kampungnya, dulu sebelum dia bekerja kepada ayah dan ibuku. Sejak tinggal di rumah ini, Bik Sumirah menyuruhku untuk selalu memanggilnya nenek.

Dan nenek meninggal dunia 6 bulan yang lalu.

“Om, boleh Rani pake baju lagi?” Rani berkata membuyarkan lamunanku.
“Tentu, Om juga mau pake baju.”
Sambil mengenakan bajunya Rani berkata, “Om, sebelum Rani hamil dan punya bayi, Rani ingin belajar dulu jadi ibu. Rani tidak mau membuang bayi yang Rani lahirkan.”
“Memang begitulah seharusnya pikiran seorang calon ibu.” Kataku.
“Kalau kita ewean, terus punya bayi, apa Om juga mau bantuin ikut ngurusin.”
“Ya mau kalau diperbolehkan sama kamu.”
“Om enggak akan membuangnya?”
“Ya enggaklah. Yang dibuang itu sampah, bukan bayi.”

Rani berdiri dari duduknya, melangkah ke depan dan membungkuk di depanku, memungut CD, celana pendek dan kaos gombornya. Kutatap tubuh telanjangnya dari samping. Mendadak kusadari kalau Rani memiliki tubuh yang sempurna. Kulitnya memang tidak putih tapi kuning langsat. Kulit yang bersih dan berkilau. Sepasang toketnya berdiri tajam, mancung dan sombong. Tidak besar juga tidak kecil. Pantatnya juga indah, melengkung. Tubuh Rani lebih indah dari Cici. Jauh, 100 kali lebih indah dari mBak Harni.
Kontolku lunglai di paha. Tak ada lagi niat untuk ewean.

***

Sore semakin larut saat kami saling terdiam di halaman belakang. Aku merokok banyak sekali dan menenggak kopi Kobe pemberian Asep sampai 3 cangkir. Rani duduk menemaniku sambil menjahit kaos lamanya yang sobek di bagian pundak.
Saat itu mendadak kusadari kalau pakaian Rani banyak yang sudah tua dan lusuh.
“Ran, jalan yuk.”
“Ke mana Om?”
“Terserah, yang penting kamu bisa beli satu atau dua stel pakaian yang bagus.”
“Ini juga masih bagus Om.”
“Buat baju ganti kalau ke sekolah.”
“Bulan depan Rani ujian Om, buat bayar ujian aja.”
Aku diam.
“Eh, kamu punya HP gak?”
“Enggak, Om.”
“Ayo jalan, kita beli HP buat kamu.”
“Gak usah Om, Rani ga butuh.”

Aku berdiri dan merogoh dompet, masih ada sisa uang bekas kemarin ke Garut. “Nih buat kamu.” Kataku sambil menyodorkan uang sebanyak 2,5 juta rupiah.
“Buat apa Om?”
“Terserah, buat beli baju, buat bayar ujian, terserah kamu.”
“Jangan Om, tabung aja buat nanti modal usaha Om.”
Entah mengapa aku mendadak merasa ngenes. Sepasang bolamatanya yang besar dan hitam nampak teduh dan tulus.
“Terus kamu bayar ujian gimana?”
Dia terdiam.
“Ambilah.” Kataku mendesak.
“Tapi Om enggak akan nyuruh Rani telanjang di depan kamera kan?”
“Buat apa?” tanyaku, merasa aneh.
“Soalnya Rani dulu pernah dikasih uang, tapi harus bugil di depan kamera. Katanya buat live show. Rani enggak mau.”
“Om enggak akan nyuruh gituan. Paling nyuruh masak sama nyetrika, beres-beres rumah dan lain-lain.”
“Tapi ini uangnya kebanyakan.”
“Gapapa, soalnya Om ga merasa kamu sebagai pembantu di sini.”

Dia terdiam lagi. Dia menunduk. Dua tetes airmata jatuh membasahi kain kaos yang sedang dijahitnya.
“Makasih, Om.” Katanya pendek, seperti berbisik.

***

Suara ketukan di pintu depan sedikit mengejutkan kami berdua. Rani cepat menghapus airmatanya dan meletakan pekerjaan menjahit manualnya di kursi. Dia pergi ke pintu depan untuk mengetahui siapa yang datang bertamu. Tak lama kemudian Rani balik lagi ke halaman belakang dan memberitahuku ada tamu seorang lelaki yang mirip seorang pejabat pemerintah.

“Mirip pejabat?” tanyaku dalam hati. Siapa dia? Aku tak punya kenalan pejabat mana pun.

Aku cepat berdiri dan melangkah ke ruang tengah yang sekaligus juga sebagai ruang tamu. Eh, ternyata Pak Antoni. Dia mengenakan baju safari warna biru tua, jadi memang mirip pejabat. Lagi pula dia pernah menjadi anggota DPRD Jakarta.
“Wah, bosku, tuan mengejutkan penganggur yang sedang melamun jadi kaya raya ini.” Kataku dengan hormat sekaligus bercanda. Aku ingat Antoni paling suka dipanggil tuan.
“Aku tidak akan lama, Wo.” Katanya.
“Silakan duduk dulu, tuan.” Aku mempersilakannya duduk. Tapi matanya hanya berputar menyapu sofa bututku, yang menurut bos ini tidak layak diduduki pantatnya.
“Aku sudah menghubungi kamu beberapa kali, tapi HPmu selalu mati.”
“Maklum android jadul tuan. Baterainya cepet abis.”
“Begini pokoknya, malam ini kamu ditunggu Papi Mertua di resto “beef and salad”, kamu tahu kan tempatnya?”
“Tentu saja tahu. Ada apa?”
“Aku juga enggak tahu persis masalahnya. Tapi Leoni marah karena kamu enggak nemui Bu Theresia, padahal dia sudah mengusahakan agar kamu bisa kerja di bank anak konglomerat itu. Sekarang Leoni lagi nunggu di mobil, kami baru pulang dari dokter…” berkata demikian wajah Antoni nampak sumringah. “Aku harus menjaga dia baik-baik, kata dokter, kemungkinan besar dia hamil… pokoknya aku harus mengalah apa pun keinginan Leoni.”

“Hamil? Wah, tuan boss, anda harus mendapat ucapan selamat.” Kataku sambil merangkapkan tangan dan membungkukkan badan. “Selamat, selamat, semoga diberi kesehatan dan umur panjang.”

Antoni tertawa senang.

“Jangan terburu-buru dulu, dokter mengatakan masih sangat dini. Mungkin usia kandungannya baru dua atau tiga minggu… ohhh, setelah 15 tahun menikah, baru sekarang aku diberi rezeki sebesar ini…. Nah, kamu pake baju resmi ya kalau ke sana, cepat-cepatlah bersiap, aku pergi dulu.”
“Terimakasih Tuan Antoni.” Kataku. Dia tidak menanggapi dan membalikkan badan, terus melangkah pergi.

Aku tercenung. Dan berpikir, “aku sudah menghadap bu Theresia, mengikuti intervieuw yang dilakukan langsung oleh anak buah yang menjadi tangan kanannya, melaksanakan psychotest selama 3 jam… aku ini sudah ditolak olen Bank Pan Asia, mengapa Cici Leoni harus marah karenanya?

Saat aku merenung, Rani mendekatiku.

“Om, mau pake baju yang mana?”
“Apa?”
“Om harus pergi kan?”
“Ya.” Kataku.
“Pake baju resmi kan?”
“Ya.”
“Pake kemeja atau batik?” tanya Rani.
“Batik lengan pendek aja.”
“Celananya?”
“Yang item.”
“Sepatunya yang pantofel ya Om.”
“I ya, masa pake sepatu sport.”

Rani pergi ke kamar mempersiapkan semua yang akan kupakai, sementara aku pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Setelah itu aku pergi ke kamar, melepaskan semua baju termasuk kau singlet dan celana dalam. Rani berdiri di depanku, menyerahkan kaos singlet baru. Aku pun mengenakannya. Selesai mengenakan kaos singlet aku hendak memakai celana dalam saat Rani mendadak mengalungkan tangannya di leher. Menciumiku.

Kami telah berkumpul selama kurang dari sebulan sebagai pembantu dan majikan pada awalnya. Dia telah menjaga jarak dan aku tak mempedulikan apa pun tentang kehidupannya. Dan kami tak mengeluhkan apa pun satu sama lain. Dia punya masa lalu yang aneh demikian juga aku memiliki masa lalu yang bahkan aku sendiri pun samar-samar memahaminya. Sampai tiba pada suatu titik di mana secara diam-diam kami saling mengerti bahwa kami adalah orang-orang yang kesepian. Kami saling membutuhkan satu sama lain.

Aku membalasnya. Kini kusadari bibirnya lebih manis dan lebih lembut dari cici atau siapa pun yang pernah kucicipi. Tubuhnya lembut dan hangat saat kurengkuh dalam pelukan. Belahan memeknya telah basah saat kuelus. Dan aku menurunkan celana pendeknya dan celana dalamnya sekaligus. Rani pelahan menatapku dengan tatapan lembut. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tak bisa kupahami. Tapi dia rela melepaskan keperawanannya saat tangannya menggenggam batang kontolku dan membimbingnya ke liang memeknya.

Dia berdiri merenggangkan ke dua kakinya. Lututku menekuk ke bawah agar glandula batang kontolku bisa menodong liang memeknya dari bawah.
Cleb!

“Akh.” Dia meringis sekaligus mendesah. Kutekan lagi kepala kontolku agar masuk menerobos liang memeknya yang sangat sempit, namun licin dipenuhi lendir cinta.

Slleebbb! Cleb!
“Ougkh!” dia mengeluh pendek. Tangannya masih mengalung dileherku. Aku ragu melanjutkan mengewe memeknya melihat ekspresinya yang agak aneh. Sepertinya dia kesakitan.

Aku ingat pertama kali aku mengewe memek adalah ketika kelas 12. Dia bukan pacarku tapi pacar temanku. Namanya Noni. Dia telah janjian dengan pacarnya di belakang sekolah, tapi karena satu dan lain hal, pacarnya ingkar janji. Saat itu aku sedang mengerjakan PR di belakang gedung perpustakaan yang sangat sepi, Noni mendekatiku dan tanpa basa-basi menyibak rok abu-abunya. Dia sudah lama naksir sama aku, katanya. Dia horni berat dan tahu kalau aku memiliki kontol gede. Dia pernah mengintipku waktu kencing.

Waktu itu Noni terkenal di sekolah sebagai piala bergilir. Beberapa teman sekelasku pernah mengewenya bahkan Pak Wakil Kepala Sekolah juga pernah merasakan memek Noni. Aku penasaran. Di tempat yang sepi itu, Noni menyisihkan celana dalamnya dan aku mengeluarkan kontolku dari ritsluiting yang terbuka lebar.

Aku memasukan kontolku ke dalam liang memeknya tanpa kesulitan. Menggenjotnya dengan semangat seorang pemula yang baru pertama kali merasakan nikmatnya liang memek. Kugenjot tanpa henti hingga Noni orgasme. Dan tersenyum puas. Saat itu aku baru tahu betapa menyenangkannya bisa memuaskan perempuan hingga orgasme. Semua penetrasi pengontolan ke liang memek yang telah kulakukan, semuanya terasa mudah. Bu Ineu guru bahasa Inggris, Ceu Lina, Uni Irma, mbak Harni… semuanya mudah. Slup, slup, bles! Kecuali Cici Leoni yang memang memiliki kesulitan karena liang memek Cici kesat kekurangan lendir. Tapi begitu lendir cinta ke luar, langsung kontolku menyelonong dan menyelam di dalam liang cinta Cici yang hangat.

Tapi kali ini beda. Rani memang beda. Dia masih perawan. Dan aku tidak memiliki pengalaman mengewe memek perawan. Oleh sebab itu, ketika aku memaksa mecobloskan kepala kontolku masuk ke dalam liang memeknya, Rani menjerit kecil.

“Om, sakiit.” Rintihnya. Aku cepat menarik kontolku dari liang memeknya. Seketika kulihat sebuah selaput tipis seperti plastik kantong kresek warna merah pink yang berlumur darah kental menempel di kepala kontolku. Aku terhenyak. Rani membungkuk sambil menahan memeknya dengan kedua tangannya dan kemudian berbaring di kasur dengan meringkuk.

Dia benar-benar kesakitan.

Dia menangis. Terisak pelahan. Dan aku terdiam. Mendadak sebuah perasaan hampa menyelimuti hati dan kepalaku. Cepat kuambil saputangan untuk menyeka selaput darah kental itu. Lalu kulipat. Dan kusimpan di dalam laci lemari yang berkunci.

(BERSAMBUNG)

BACA SELANJUTNYA>>>
<<<SEBELUMNYA
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd